SEMANA SANTA (HARI BAE) KONGA

Menelusuri Sejarah Tradisi Hari Bae Konga

Oleh: Philiphe 'Randhoe' Weking

Ilustrasi : Armada Perang Portugis

Penjaga Kapela, Mama Agnes Within, bersiap membuka Pintu Kapela Tuan Ana Konga

Kapela Tuan Ana Konga



Mama Agnes Within (Penjaga Kapela Tuan Ana) Konga di depan Kapela Tuan Ana

Kapela Tuan Ma Konga

Mama Theresia Daton (Penjaga Kapela Tuan Ma Konga)

Ruang Doa Kapela Tuan Ma Konga sebelum memasuki Ruang Pentahtaan Arca Suci Tuan Ma

Tandu Tuan Ma, tempat Pentahtaan Arca Suci Tuan Ma saat diarak dalam Persisan Jumat Besar (Sesta Vera) Konga

Toca (tempat lilin) dan Pali (tongkat penyanggah kain pali/penutup tenda Tuan Ma

Toca (tempat lilin) dan Pali (tongkat penyanggah kain pali/penutup tenda Tuan Ana

Tori/Kapela Bunda Maria Alleluya (Bunda Yang Bergembira) Konga yang dijaga oleh Mama Vin da Costa Hokeng sedang dalam Proses Pembangunan

Tori/Kapela Tuan Maninu Konga



Tumba (peti jenazah Tuan Ana) yang biasa di arak dalam Persisan Jumat Besar (Sesta Vera) Konga


Arca Tuan Ma yang biasa di arak dalam Persisan Jumat Besar (Sesta Vera) Konga


Mengisahkan kembali sejarah ‘Tradisi Hari Bae Konga’ dari desa Konga yang terletak kurang lebih 40 kilometer ke arah barat kota Larantuka yang dulu dikenal dengan Nagi Tua Lewonamang, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah datangnya Bangsa Portugis sekaligus masuknya Gereja Katolik/ Agama Katolik di desa Konga. Berdasarkan catatan-catatan tua yang ditinggalkan para Mesti (Guru) yang Mengajar Prende (mengajar agama Katolik) sebelum adanya sekolah-sekolah, seperti Kapitan Yoseph Hurint dan Cosmas Ena da Cunha yang merupakan 2 Mesti terakhir pengajar Prende di Konga, yang hingga saat ini masih disimpan dengan baik oleh salah satu Pewaris Mesti, meski tidak lagi mengajarkan Prende, Bapak Benediktus Pedo Ena da Cunha (Mesti yang ke 37), tercatat bahwa Sejarah Tradisi Hari Bae Konga merupakan Tradisi Warisan Leluhur bangsa Portugis pertama yang mendiami desa Konga, yang berdasarkan catatan tersebut adalah Tome Bugi Jogo Werela da Costa (Mesti Pertama) bersama pasukannya yang meninggalkan Lewonamang (sekarang Larantuka) dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan Lewonamang ke arah barat. 

Tome Bugi Jogo Werela da Costa bersama Pasukannya setelah bertolak dari Lewonamang (sekarang Larantuka), berhasil sampai di Pelabuhan Kantu Jebe di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Desa Konga (Wilayah Kampung Lama). Nama Desa Konga dan Pulau Konga yang merupakan tempat persinggahan Tome Bugi Jogo Werela da Costa dan pasukannya sebelum berlabuh di Pelabuhan Kantu Jebe hingga akhirnya menetap adalah nama yang diambil dari nama salah seorang Pengikut Tome Bugi Jogo Werela da Costa yang tertua. Dari Tome Bugi Jogo Werela da Costa dan pasukannya inilah, Tradisi Hari Bae Konga bermula.
Berdasarkan catatan-catatan tua tersebut yang mengisahkan secara garis besar perjalanan Masuknya Bangsa Portugis yang juga berarti masuknya Agama Katolik di Konga hingga Warisan Tradisi Hari Bae Konga yang masih dijaga dan dijalankan dengan baik sesuai keaslian yang ditinggalkan oleh leluhur Orang Konga yakni Tome Bugi Jogo Werela da Costa dan pasukannya; terdapat catatan seperti berikut:

Pada sekitar tahun 1562 M, Misionaris Dominikan dalam  melakukan misi penyebaran Agama Katolik telah berhasil tiba dan menetap di Lohayong, pulau Solor.

Kemudian di sekitar tahun 1564 M, didirikan Serikat Konfrereria Reinha Rosari, yang adalah perkumpulan kaum awam tertua di Indonesia di Larantuka (Lewonamang, Konga, Wure) dan Sikka Paga (Maumere) oleh Misionaris Dominikan.

Pada sekitar tahun 1599 M, sebagian kecil Armada Portugis berhasil tiba di wilayah Solor Watan Lema dan berhasil menghancurkan Lamakera yang merupakan Kerajaan Lokal yang cukup kuat saat itu. Kemudian mampu menguasai pulau Solor dan membangun Benteng Lohayong guna menangkal serangan dari pasukan kerajaan-kerajaan lokal yang ada. Situs Benteng Lohayong ini masih ada hingga saat ini. 

Kemudian pada tanggal 8 November 1636 M, orang Portugis dari armada Portugis yang mendiami Benteng Lohayong pindah ke Postoh di wilayah Lewonamang.

Pada masa itu, upaya monopoli dagang oleh bangsa-bangsa Eropa yang memperebutkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara berakibat perang antara bangsa-bangsa Eropa tersebut di wilayah Asia Tenggara. Maka pada tahun 1641 M, dalam Perang antara Armada Pasukan Belanda dengan Armada Portugis di Semenanjung Malaka berakibat kekalahan pada pihak Portugis di Malaka. Akibat kekalahan ini, Para Misionaris Katolik Portugis yang ada melarikan diri dengan membawa sebagian besar perlengkapan Ibadat Katolik (ornamento) yang ada di Gereja St. Dominikus di Malaka menuju Makasar di wilayah Indonesia. Jatuhnya kota Malaka ini merupakan bencana yang sangat menggangu upaya Misionaris Portugis dalam menjalankan karya misionaris Katoliknya di Asia Tenggara termasuk di Indonesia.

Sementara itu dalam upaya Penyebaran Agama Katolik di wilayah Indonesia, para Misionaris Portugis telah berlayar hinggga mendiami wilayah Solor Watan Lema yang pada waktu itu masih dalam bentuk beberapa kerajaan lokal. Tercatat bahwa pada tahun 1645 M, seorang misionaris Portugis, Pater Antonio de Sao Jasinto, berhasil menobatkan salah seorang Raja Lokal bernama Ado Bala sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka.

Sementara itu, perang antara Armada Belanda dan Armada Portugis terus berlanjut hingga Armada Portugis yang menguasai Makasar juga berhasil dikalahkan oleh Armada Belanda pada tahun 1660 di Makasar. Kekalahan ini membuat Armada Portugis yang ada bersama Pastor Lukas da Cruz, O.P mengungsi ke wilayah selatan dan berhasil tiba di wilayah Kerajaan Larantuka, dan bergabung bersama Armada Portugis dan para Misionaris Dominikan yang sudah terlebih dahulu menetap di Lohayong, Pulau Solor. Kemudian memperkuat Benteng Lohayong guna menangkal serangan dari Armada Pasukan Belanda.

Antara tahun 1664-1665 M, Raja Ado Bala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Ado Bala Diaz Vera Digodinho oleh uskup Hendrique. Dan sejak saat itu Kerajaan Larantuka menjadi Kerajaan Katolik. Dan pada masa kepemimpinan Raja Don Servus DVG I, diadakan sebuah peristiwa bersejarah yakni Upacara Penyerahan Tongkat Kerajaan Larantuka berkepala Emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari dan Meletakkan Tradisi Katolik untuk dijalankan semua keturunannya dan menempatkan Bunda Maria Reinha Rosari sebagai Bunda Pelindung Kerajaan Larantuka.

Dan dalam tahun 1666 M, terbentuklah untuk pertama kalinya di Kerajaan Larantuka, bahwa Kerajaan Larantuka memiliki Struktur Kerajaan dengan Kekuasaan Raja dibantu oleh Kakang Lewo Pulo dan Pou Suku Lema termasuk Konga dan Wure disebut Pou Terimakasih (Pou Abrigado). Dan dalam setiap urusan dengan Presidenti dan Prokador di Lewonamang (sekarang Larantuka), Konga dan Wure sebagai Pou Abrigado mendapatkan keistimewaan tersendiri sebab tidak tunduk kepada Kakang maupun Pou, melainkan langsung berurusan dengan Presidenti dan Prokador di Lewonamang (sekarang Larantuka).

Pada tahun 1666 M ini juga, bertempat di Lewonamang, terjadilah sebuah peristiwa penting dan bersejarah yakni peristiwa Pembagian Harta Benda Pusaka peninggalan bangsa Portugis serta pembagian wilayah di Lewonamang menjadi 2 bagian yakni Timur dan Barat namun tetap berpusat di Lewonamang (sekarang Larantuka). Kedua wilayah ini diwajibkan untuk tunduk pada Lewonamang yang merupakan tempat kedudukan Presidenti dan Prokador.

Adapun harta benda yang dibagi pada saat itu yakni:
Patung Tuan Ana dan Tuan Ma dengan segala perlengkapannya (ornamento) yang merupakan perlengkapan yang digunakan dalam Prosesi Hari Bae mulai dari Hari Bae Kelahiran/ Natal hingga Hari Bae Kematian dan Kebangkitan/ Paskah.

Di wilayah timur dipimpin oleh seorang Persan/ Sersan dengan barang Pusakanya yang terkenal hingga kini yakni Tuan Ana dan Tuan Ma beserta semua ornamentonya yang lain berpusat di Desa Wure.

Sementara di wilayah barat dibawah pimpinan seorang Kemendanti/ Komandan bernama Tome Bugi Jogo Werela da Costa dengan membawa Pusakanya ialah Patung Tuan Ana dan Tuan Ma bersama semua ornamentonya termasuk Tuan Amaninu (patung kanak-kanak Yesus) juga sebuah Lonceng Besar yang ketinggalan di Lewonamang dan sekarang masih dipakai di Gereja Kathedral Reinha Rosari Larantuka. Setelah pembagian tersebut, maka bertolaklah Kemendanti Tome Bugi Jogo Werela da Costa menuju arah barat Lewonamang dan menyinggahi Tenedeng (Rumah Sembilan) sekarang Desa Kawalelo selama beberapa waktu. Bukti persinggahan ini adalah sebuah sumur besar di desa tersebut yang merupakan sumur yang digali oleh Pasukan Tome Bugi Jogo Werela da Costa.

Setelah itu bertolaklah mereka melanjutkan perjalanannya terus ke arah barat dan berlabuh di sebuah Pulau Kecil selama beberapa hari dan kemudian merapat lagi ke daratan yang terletak di sebelah barat Pulau Kecil tersebut. Dan Tempat itu di beri nama Pelabuhan Kantu Jebe. Di tempat ini akhirnya mereka tinggal dan menetap. Dan di Pulau Kecil dan tempat mereka menetap tersebut di beri nama Konga yang diambil dari nama orang tertua yang ikut dalam armada tersebut.

Setelah menetap di Konga, Tome Bugi Jogo Werela da Costa mulai mencari kenalan dan sahabat. Salah satu sahabatnya bernama Siratuna Blawa Bura dari Desa Lamika. Menurut catatan tua tersebut, sebelum Tome Bugi Jogo Werela da Costa mendiami Konga, di Wedong (sekarang Nangaleko yang merupakan batas paling timur desa Konga dengan Desa Kenada), telah ada seorang Raja lokal yang digelar Raja Wedong. Kerjasama antara Siratuna Blawa Bura dengan Tome Bugi Jogo Werela da Costa akhirnya mampu mengalahkan Raja Wedong dan menguasai wilayah Wedong (sekarang Nangaleko). Hingga akhirnya wilayah Wedong tersebut menjadi milik wilayah Konga. 

Setelah berhasil menguasai wilayah Konga, Tome Bugi Jogo Werela da Costa dan Palu da Cunha kemudian membagi wilayah Konga menjadi 2 bagian yang disebut Kinta (tempat) dengan Hak Ulayatnya masing-masing, yakni; Kinta Suku Sauh yang menguasai wilayah dari Kali Konga ke arah timur sampai batas Kali Nangaleko (sekarang batas Desa Konga dan Desa Kenada). Dan Kinta Malaka memiliki hak ulayatnya atas wilayah sebelah barat Kali Konga hingga Tana Noa (tapal batas Desa Konga dan Desa Nobo). Tidak ada catatan yang menyebutkan alasan dari pembagian wilayah tersebut. Namun dalam perjalanan, peran Kinta Suku Sauh dan Kinta Malaka ditambah Kepala Nagi sangat penting dalam menjalankan Tradisi Hari Bae Konga.

Sementara itu, upaya monopoli dagang yang dilakukan bangsa eropa terus berlangsung. Sehingga perang antara Belanda dan Portugis pun terus berlangsung. Dan dalam perang antara Belanda dan Portugis hingga tahun 1613 M, Belanda berhasil mengalahkan Portugis hingga ke Lewonamang dan mengusir para Misionaris Portugis dan prajuritnya keluar dari wilayah Kerajaan Larantuka. Maka Benteng Lohayong pun jatuh ke tangan Belanda. 

Dan dalam catatan tua tersebut tertulis, pada tanggal 7 Desember 1756 M (abad 17), Konfentu (imam serikat) Dominikan telah menetap di Konga dan mulai menjalankan Tradisi Hari Bae Natal pada tahun itu juga.

Namun, akibat kalah perang melawan Belanda pada tahun 1851 M, maka Portugis menyerahkan Kerajaan Larantuka yang meliputi wilayah Solor dan Adonara termasuk Konga dan Wure serta Sikka Paga kedalam penguasaan Belanda.

Selain itu, berdasarkan catatan tua tersebut, dikatakan bahwa pada tahun 1852 M, para Konfentu (Imam) Serikat Dominikan yang masih berkarya di Konga membentuk Paroki Konga dan Paroki Riang Wulu di Boru. Setelah membentuk kedua Paroki ini, Misionaris Serikat Dominikan masih terus berkarya di Paroki Konga dan Paroki Riang Wulu hingga tahun 1917 M. Di tahun ini, karya Misionaris Serikat Dominikan kemudian digantikan oleh Misionaris SVD dibawah pimpinan Pater Hoeberekhts, S.J dan berpusat di Paroki Konga. Namun, dalam perjalanan karya misinya, Misionaris SVD kemudian melakukan Pemekaran Paroki. Semenjak itu terbentuklah Paroki Hokeng di Desa Hokeng, Paroki Lewotobi di Desa Nurabelen, dan Paroki Lewolaga di Desa Lewolaga. Dan pusat karya para misinaris SVD dipindahkan ke Paroki Hokeng. Sejak saat itu, Konga tidak lagi menjadi Paroki dan masuk dalam wilayah Paroki Lewotobi. Begitu juga Paroki Riangwulu dileburkan ke dalam Paroki Hokeng hingga kini. Sementara dalam perjalanan, Konga dipindahkan lagi dari Paroki Lewotobi dan bergabung kei Paroki Lewolaga. Dengan demikian hilanglah Paroki Konga dan Paroki Riang Wulu. Tidak terdapat  catatan yang menjelaskan alasan ditiadakannya Paroki Konga dan Paroki Riang Wulu oleh Misionaris SVD tersebut.

Namun, tradisi peninggalan Hari Bae Konga (Natal dan Paskah) tidak dihilangkan oleh para Misionaris SVD tersebut, melainkan tetap dipertahankan untuk dijalankan hingga saat ini masih tetap terjaga dan dilestarikan dengan kuat dan kultus. Begitu juga Hari Bae di Larantuka dan di Wure masih terus dipertahankan untuk dijalankan sampai saat ini sebagai sebuah Tradisi Warisan Leluhur berkebangsaan Portugis.

Hari Bae Konga

Sesungguhnya Tradisi Hari Bae yang merupakan warisan Bangsa Portugis yang berlangsung di Larantuka, Konga dan Wure ini sedikit berbeda. Namun perbedaan itu tidak lantas menjadikan makna Hari Bae di ketiga tempat ini menjadi berbeda.
Hari Bae Konga dijalankan dalam dua peristiwa, yaitu Hari Bae Merayakan Peristiwa Kelahiran Yesus Kristus yang dinamakan Hari Bae Natal. Dan Hari Bae Mengenang Kisah Sengsara, Wafat hingga Kebangkitan Yesus Kristus dinamakan Hari Bae Paskah.

Hari Bae Natal

Prosesi Tuan Amaninu yang diarak dari Gereja Paroki Sanjuan di Kelurahan Lebao melewati Laut Pantai Larantuka menuju Kapela Tuan Ma di Pohon Sirih pada hari Juma’at Besar siang tidak dilakukan di Konga. 

Tradisi Prosesi Tuan Amaninu di Konga yang merupakan Tradisi Perarakan Patung kanak-kanak Yesus yang adalah gambaran Peristiwa Kelahiran Yesus Kristus di  jalankan pada Perayaan Malam Natal. Tradisi ini dikenal dengan nama Hari Bae Natal. Pada saat Hari Bae Natal, Perarakan dimulai dengan Penjemputan Patung Tuan Amaninu dari Kapela Tuan Amaninu menuju Gereja. Selama Perarakan, Konfrereria menyanyikan lagu berbahasa Portugis yakni Lagu Awoson, sementara para umat yang ikut dalam perarakan mendaraskan doa yang tidak terputus (Mengaji) hingga tiba di Gereja. Di gereja Konfrereria menyanyikan Lagu Naseu. Setelah itu, Patung Tuan Amaninu ditingal di Gereja selama 3 hari, baru diantar kembali ke Kapela Tuan Amaninu. Nyanyian dan Doa saat perarakan pulang dari gereja ke Kapela Tuan Amaninu, sama seperti Perarakan Penjemputan. 

Peristiwa Hari Bae Natal ini ditutup dengan Upacara Serah Punto Dama (Penyerahan dan Pengambilan Lilin) dari dan oleh Para Tuan Merdomu Natal (para permesa/ pendoa) untuk Hari Bae Natal tahun berikutnya pada hari Natal Kedua.

Demikianlah Hari Bae Natal Konga yang merupakan Tradisi Warisan Leuhur berkebangsaan Portugis dengan mengarakkan Patung Tuan Amaninu, tetap kuat dijalankan sampai sekarang.

Hari Bae Paskah

Selanjutnya, Peristiwa Sengsara Tuhan Yesus Kristus yang diperingati selama Pekan Suci dalam Liturgi Gereja Katolik sesungguhnya dimulai dari Rabu Abu. Pada Hari Rabu Abu, untuk mengenang dan menyadarkan manusia (umat Katolik) akan peristiwa penciptaan, maka semua umat Katolik dalam Peristiwa Liturgis Rabu Abu, menerima Abu Berkat yang digoreskan pada setiap jidat/ dahi umat dengan tanda salib/ Tanda Kru oleh Pastor. 

Tradisi Hari Bae Paskah Konga untuk mengenang Kisah Sengsara Yesus Kristus juga diperingati sejak Hari Rabu Abu. Peristiwa ini dimulai dengan Tradisi Lamentasi dan Nyanyian Lagu Solva. Dan ditutup dengan Persisan Kosta (Prosesi Keliling Gereja).

Setelah Tradisi Persisan Kosta, umat Katolik Konga mulai melakukan Masa Puasa keesokan harinya seperti biasa yang berakhir pada Hari Juma’at Agung, guna mengenang Penderitaan dan Sengsara hingga Wafatnya Yesus Kristus di Kayu Salib.

Namun, sebelum mengakhiri masa Puasa pada Hari Juma’at Agung, dalam Tradisi Hari Bae Paskah Konga, dilakukan sebuah kegiatan bersama pada Hari Selasa dalam Pekan Suci yang dikenal dengan nama Tradisi Paku Turo. Kegiatan ini melibatkan seluruh umat yang ada di Konga, termasuk para Tuan Merdomu serta para Tuan Perpetu. Ada pun Turo-turo tersebut terbuat dari Tiang Kayu Kukung dan Bilah Bambu yang diikat dengan Tali Gebang guna dijadikan tempat Ikat Lilin sepanjang Jalan Prosesi. Juga didirikan 6 buah Armida/ Tori (Tempat Berdoa) dari Tiang Kayu Kukung, Bilah Bambu dan Daun Kelapa di 6 titik/ tempat di Jalan Prosesi, guna dijadikan sebagai Tempat Pemberhentian untuk Berdoa dan Ovos. Bahan-bahan pembuatan Turo dan Armida ini selalu dari bahan yang sama dan tidak boleh berubah. Hal ini sesuai tradisi yang telah diwariskan semenjak pertama kali Tradisi Persisan Juma’at Besar dijalankan di Konga oleh leluhur yang nota bene berkebangsaan Portugis tersebut.

Ada pun urutan Armida/ Tori (tempat berdoa) tersebut sebagai berikut :
         1.      Armida Misericordia Pesadu
         2.      Armida Pohon Nangka
         3.      Armida Pohon Bunga
         4.      Armida Pohon Waru
         5.      Armida Misericordia
         6.      Armida Jentera

Setiap Armida yang ada diurus atau diberikan tanggung jawab kepada Tuan Perpetu yang artinya orang/ keluarga yang mengurus armida/tori. Para Tuan Perpetu ini dipimpin oleh Ketua Perpetu.

Setelah itu, pada Hari Rabu sebelum Kamis Putih, ada Tradisi Rabu Trewa mengenang Kisah Penangkapan Yesus Kristus di Taman Getzemani. Pada hari ini, Tradisi dimulai dengan Lamentasi, Nyanyian Lagu Miserere, Lagu Solva, Domi Yesus dan Filie di Gereja. Setelah itu umat kembali dan membunyikan Gong Desa dan berbagai macam peralatan bunyi-bunyian selama kurang lebih 5-10 menit. Tradisi ini menggambarkan peristiwa penangkapan Yesus di Taman Getzemani.

Pada hari Kamis yang dinamakan Kamis Putih, Tradisi dibuka dengan Lamentasi dan Koor Solva. Kemudian dilanjutkan dengan Tradisi Muda Tuan yakni Tradisi Mandi Tuan Ana (Tuan Tidur) di Kapela Tuan Ana. Setelah Tradisi Muda Tuan ini, Kapela Tuan Ana dan Tuan Ma pun di buka bagi umat yang mau melakukan Intensi Doa di dua Kapela tersebut hingga Hari Juma’at sebelum jam 2 siang. 

Pada tepat Jam 2 siang, semua umat yang ada di Konga berkumpul dalam dua kelompok doa yakni di Kapela Tuan Ana (Tuan Tidur) dan di Kapela Tuan Ma untuk kemudian melakukan Perarakan Patung Tuan Ana (Tuan Tidur) dan Patung Tuan Ma menuju Gereja. Pada Jam 3, diadakan Jalan Salib terakhir hanya sampai pada Perhentian Keduabelas dari 14 Perhentian yang ada, diikuti Tradisi Cium Salib. Dua perhentian tersisa akan lanjutkan pada malam jam 7 yang dikenal dengan istilah Persisan Juma’at Besar (Prosesi Juma’at Agung). Persisan Juma’at Besar inilah merupakan Puncak dari Tradisi Hari Bae Paskah Konga. Persisian Jumat Besar dibuka dengan doa dan nyanyian berbahasa Portugis.

Sebelum Perarakan Persisan, Mesti dan Lekto I, II dan III membawakan Ratapan Nabi Yeremias yang disebut Lamentasi secara bergantian. Dilanjutkan Lamentasi dan Koor Solva yang dipimpin oleh Mesti. Selesai Koor Solva, Tradisi Persisian Juma’at Besar dimulai dengan barisan anak-anak yang membawakan perlengkapan-perlengkapan (ornament) para prajurit yang menangkap dan menyiksa Yesus. Barisan ini yang dinamakan Barisan Persisan Kecil. Diikuti Pastor dan Misdinar, Konfrereria, Para Pembawa Ovos (Ratapan Veronika), Para Eyus (Ratapan Perempuan Yerusalem), Penabuh Genda Do (gendang yang terbuat dari kayu bulat berlubang dengan panjang kurang lebih 60cm dan bagian atasnya ditutupi/ diikat erat kulit hewan yang sudah dibersihkan), Penggoyang Mataraka (bunyi-bunyian yang terbuat dari bilah papan yang ditengahnya ditempel batang besi berbentuk setengah lingkaran), dan Luto Kambing (bunyi-bunyian yang terbuat dari pasak kayu yang saling beradu).

Setelah itu Pembawa Lilin (toca) Tuan Ana (Tuan Tidur), Patensi yang menggambarkan Tokoh Yusuf dari Arimatea berjalan dengan Jubah Putih Besar diikuti 4 orang Lakademu yang menggambarkan Tokoh Nikodemus yang membantu Yusuf dari Arimatea untuk membawa Jenazah Yesus guna dikuburkan. Lakademu ini yang memanggul Patung Tuan Ana (Tuan Tidur) di dalam Peti Suci yang dibungkus dengan Kain Berwarna Hitam. Dan juga ditudungi dengan kain hitam yang disebut Pali Tuan Ana. Pali Tuan Ana dipegang oleh 4 orang dan berdiri di samping keempat Lakademu. Barisan berikut dibelakang Tuan Ana (Tuan Tidur) adalah Para Permesa Tuan Ana.

Selanjutnya diikuti dengan Pembawa Lilin (toca), 4 orang Pemegang Pali Tuan Ma berwarna biru, 4 orang Pengusung Patung Tuan Ma. Selanjutnya Para Permesa Tuan Ma.
Setelah itu, umat mengikuti barisan di belakang para Permesa Tuan Ma.

Sepanjang perjalanan Perarakan Persisan Juma’at Besar semua umat dan para permesa mendaraskan doa permohonan dan nyanyian yang tidak putus-putus. Para Konfrereria dan Ana Muji menyanyikan Lagu Solva dan Inmanut Sinjoreko. Setiap akhir bait lagu Solva selalu diringi dengan Bunyi Genda Do dan Mataraka.
Di setiap Armida, Ratapan Veronika (Ovos) dinyanyikan. Suasana menjadi hening. Setiap akhir bait Ovos, bunyi Genda Do dan Mataraka mengiringi. Setelah Ovos selesai dinyanyikan, Pastor/ Imam memimpin doa singkat. Lalu Tuan Merdomu memanjatkan Intensi Doanya. Kemudian diikuti Ratapan Perempuan Yerusalem (Eyus). Setelah itu, Koor Solva dinyanyikan oleh Konfrereria dan Ana Muji. Perarakan Perisisan pun dilanjutkan lagi. Umat kembali mendaraskan doa sepanjang perjalanan hingga 6 Armida/ Tori berikutnya selesai.

Perarakan Persisan Juma’at Besar mengelilingi Kampung (Jalan Keliling Nagi) hingga berakhir kembali masuk Gereja yang ditutup dengan Ovos terakhir di dalam Gereja. Pada saat Ovos selesai dinyanyikan, patung Tuan Ana (Tuan Tidur) dan Tuan Ma diletakkan kembali di tempatnya masing-masing. Patensi dan Lakademu meninggalkan gereja serta Pengusung Tuan Ma kembali bergabung bersama umat di dalam gereja untuk berdoa. Begitu pun petugas Toca dan Pemegang Pali Tuan Ana dan Tuan Ma. Setelah itu semua umat melakukan Tradisi Cium Tuan Ana (Tuan Tidur) dan Cium Tuan Ma. Setelah Tradisi Cium Tuan ini berakhir, ada umat yang dengan sukarela melakukan tugas Jaga Gereja hingga pagi harinya. 

Begitu juga di Kapela Tuan Ana (Tuan Tidur) dan di Kapela Tuan Ma, ada umat yang masih melakukan Intensi Doa hingga pagi. Semenjak hari Tradisi Muda Tuan, pintu Kapela Tuan Ana (Tuan Tidur), Tuan Ma dan Tuan Amaninu tetap di buka. 

Pada hari Sabtu yang disebut Sabtu Santo, jam 6 pagi, para Konfrereria menjalankan Tradisi Kure Armida (berdoa dari armida ke armida). Tradisi Kure Armida ini ditutup dengan doa di dalam Gereja oleh para Konfrereria. Setelah itu, Patung Tuan Ana (Tuan Tidur) dan Tuan Ma diarak kembali ke kapelanya masing-masing yang dipimpin Konfrereria dan diiringi oleh doa para umat yang mengikuti perarakan kecil ini. Dalam perarakan ini, tidak ada nyanyian atau pun bebunyian seperti saat Persisan Juma’at Besar. Setelah kedua Patung Tuan ini masuk kapelanya masing-masing, maka saat itu juga pintu Kapela Tuan Ana (Tuan Tidur) dan Tuan Ma ditutup hingga Tradisi Muda Tuan tahun berikutnya. Sementara pintu Kapela Tuan Amaninu juga ditutup, namun akan dibuka kembali pada saat Tradisi Hari Bae Natal dijalankan.

Tradisi hari Bae Paskah Konga masih dilanjutkan pada hari Minggu Paskah malam. Tradisi ini biasanya dimulai pada jam 07.00 malam waktu setempat. Semua umat berkumpul kembali di Gereja untuk menjalankan tradisi ini yang dinamakan Persisan Alleluya. Tradisi Persisan Alleluya adalah Persisan Kemenangan yang mengenang Kegembiraan Bunda Maria, Bunda Berdukacita, atas Kebangkitan Anaknya Tuhan Yesus Kristus yang berhasil mengalahkan maut dan menyelamatkan umat-Nya dari dosa.

Prosesi ini juga mengikuti jalan Persisan Juma’at Besar hingga berakhir di Gereja. Patung yang diarak adalah Patung Maria Alleluya. Sepanjang perarakan, Konfrereria dan Ana Muji menyanyikan Lagu Regina Seci diiringi dengan Gendang (Genda Do).

Tradisi Hari Bae Paskah Konga ditutup pada Hari Senin (Paskah Kedua), dengan Tradisi Penyerahan Lilin dari para Tuan Merdomu dan Pengambilan Lilin Permesa oleh para Tuan Merdomu Baru untuk Tradisi Hari Bae Paskah Konga tahun berikutnya yang disebut Serah Punto Dama. Pada Tradisi Serah Punto Dama ini, semua Tuan Merdomu bersama-sama menjalankan kewajibannya untuk melakukan Serewi Nagi. Pada hari ini semua umat/ masyarakat Konga diwajibkan untuk hadir guna Makan Bersama Anak Tanah yang diberikan oleh para Tuan Merdomu dalam Kumpo Kao yang telah para Tuan Merdomu lakukan. Juga sebagai acara evaluasi seluruh kegiatan hari Bae Paskah Konga. 

Tradisi Serah Punto Dama sendiri, biasanya dilakukan berpindah-pindah setiap tahunnya. Dimulai dari Rumah Kepala Nagi, Rumah Kinta Malaka dan Rumah Suku Sauh.

Demikianlah Tradisi Hari Bae Konga, baik Natal maupun Paskah yang merupakan Warisan Tradisi dari leluhur berkebangsaan Portugis yang dibawa masuk Konga oleh Tome Bugi Jogo Werela dan Pasukannya yang bertolak dari Lewonamang (sekarang Larantuka) pada kira-kira tahun 1666 M dan berhasil mendiami Konga bersama Misionaris Dominikan yang boleh dikatakan bahwa saat itulah Agama Katolik masuk ke Konga. Dan Tradisi Hari Bae yang merupakan Warisan Leluhur berkebangsaan Portugis ini dapat terus dijaga, dilestarikan dan dijalankan dengan baik sesuai apa yang diwariskan para leluhur tersebut.

(Sumber: Lembaran Catatan Tua Peninggalan Turun Temurun Mestri (Guru) yang mengajarkan Prende (mengajar agama bagi anak-anak sebelum menerima Komuni Pertama) dan Nara Sumber Bapak Benediktus Pedo Ena da Cunha (Mestri ke 37 dan Perpetu), Bapak (Alm.)Yakobus Lado Buan (Perpetu/ Penjaga Kapela Tuan Ana), Bapak Bernadinus Leko Within (Perpetu) dan Bapak Yoseph Kopong Kung (tokoh masyarakat konga)..

Foto by: Ebed de Rosari dan Febry Within

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA