Pemimpin Vs Opini Politik

PERGERAKAN aspiratif yang hanya memenjejalkan opini politik, sesungguhnya, berbahaya. Maka dari situlah pula pemimpin, posisinya, jadi dibuat sedemikian dilematis.

Tiliklah analogi berikut ini:
Seorang ayah naik keledai sedangkan anaknya berjalan kaki di sisi keledai itu. Sejumlah orang yang melihat menyampaikan aspirasi bahwa sang ayah tidak bijak, mau enaknya saja, membiarkan anaknya merana. Mendapatkan aspirasi demikian, si ayah turun dari keledai dan menyosong anaknya naik di atas keledai. Si ayah pun berjalan kaki di sisi keledai yang ditunggangi anaknya itu
Sejumlah orang yang melihat hal itu kemudian menyampaikan aspirasi, bahwa si ayah itu dungu membiarkan sang anak congkak. Betapa tidak durhaka tuh anak, ia enak ongka-ongkang sedangkan si ayah kepayahan berjalan kaki. Mendapatkan aspirasi demikian, si anak turun dan jalan kaki bersama sang ayah di sisi keledai. Sejumlah orang yang melihat hal itu kemudian menyampaikan aspirasi, bahwa mereka bodoh. Mau-mauan kepayahan jalan kaki tidak memanfaatkan keledai.

Mendapatkan aspirasi demikian, si ayah menyongsongkan anaknya naik keledai dan ia pun naik di dibelakangnya. Sejumlah orang yang melihat hal itu kemudian menyampaikan aspirasi, bahwa si ayah dan si anak itu betapa kejam mengeksploitasi keledai itu.

Silakan petik intisari analogi itu dalam perspektif politik. Betapa “sejumlah orang” dalam politik, rada mirip dengan analogi itu: selalu menjejalkan keinginan opini politik dalam sebuah pergerakan demokrasi. Memang, dari sana jadinya “aspirasi” tidak berbeda dengan “oponi” kecuali di dalam motifnya, karena ia dapat seluruhnya (walau hal ini merupakan pengecualian) berisi informasi yang condong ke arah tertentu, sedemikian rupa, sehingga meniadakan kecenderungan ke arah sebaliknya.

Kecaman dan opini, keduanya, yang bertentangan dengan analisis psiko-politik itu, jadinya juga adalah propaganda politik, meski kebanyakan orang mempunyai cukup banyak kelebihan dan cukup banyak kekurangan yang memungkinkan salah satu diantaranya dibuang dengan kebohongan.

Dengan cara yang sama memungkinkan sebaiknya “pihaknya” yang naik “keledai” itu. Maka justru mengherankan kita bahwa di dunia politik, “hal-hal” yang dramatis itu perebutan kursi pimpinan, ketimbang berkeras mengakomodasikan aspirasi masyarakat secara utuh.

Dalam segala macam taktik politik, esensi-esensi dramatis semacam di atas itu diandaikan berperan; semacam dapat menyadari pertautaan mengenai hal-hal yang tidak disukai dan preferensinya, dan setiap pernyataan seperti ini di hadapan “sejumlah orang” mempunyai dampak psiko-politis. Malah bagi sang politis analogi di atas tadi bukanlah apakah “si ayah dan si anak yang naik”, tetapi berapa banyak, seberapa terorganisasikannya “sejumlah orang melihat hal itu.” J

uga, pada suatu tahap selama pergulatan politik, apakan perlu diupayakan untuk membebaskan “keledai itu dari si ayah dan si anak” sejauh mungkin; tetap menandakan metode-metode untuk mencapai penilaian yang memihak: bernama opini politik dalam parpol.

Penekanan opini politik dalam parpol, peranan yang dimaikan oleh sistem nilai politis demikian, repotnya, justru cenderung meningkat terus-menerus sejak awal-awal era reformasi. Pertama-tama bisa saja kita nilai itu adalah akibat euforia reformasi: semacam disebabkan energi dan antusiasme yang dibangkitkan oleh trand pembaharuan.

Tetapi, bersama itu pula, merupakan alasan utama juga mengapa pertikaian tokoh-tokoh politik, terlebih satu parpol, jauh lebih sengit dari “cekcok pilitik” sebelumnya. Sebagaimana diperlihatkan oleh contoh itu, “cekcok politik” kini mempunyai makna yang belum pernah dimilikinya dulu.

Bentuk-bentuk opini atau aspirasi yang begitu acapkali pula melibas kepentingan jangka panjang partai politik dan keyakinan publik terhadap politik. Ini semua harus kita sudahi, karena bila terus ditradisikan, fungsi politik tidak dapat dijalankan secara terang-terangan.

Dari itu aturan main juga mesti kita sepakati agar partai politik solid dan indevenden. Jadi, konflik politik yang terjadi di dalam sebuah partai politik pada pokoknya, boleh kita berharap, bagian dari dinamika politik itu sendiri yang dilaksanakan selama pendidikan politik untuk publik.

Publik sangat boleh jadi lebih menyukai mereka yang duduk di pucuk pimpinan partai politik bukan pemenang dari konflik internal. Bersama ini lebih umum publik menyukai suasana politik yang ringan, tapi sekaligus menyatakan kepercayaan aspirasi mereka dapat diakomodasikan oleh partai politik. Visi politik ini biasanya berhasil mencapai tujuannya, jika tidak, tentu ada alasan khusus bagi kegagalan itu. maka kepastiannya adalah: kita mesti menginsyafi bahwa partai politik juga dibesarkan oleh publik, bukan oleh sosok personal.

Maka janganlah pelbagai pihak menjejalkan opini politik keinginannya; biarkan idiomatik demokrasi bergulir. Tapi, kita tahu juga bahwa dalam hitung-hitungan politik, perkara untung-rugi tak bsa dinafikan begitu saja.

Pada sisi positifnya itu memang dapat didefinisikan sebagai segala usaha, melalui persuasi, untuk mengerahkan manusia agar melayani satu kelompok secara bulat. Dengan demikian asumsi atau oponi dalam ranah politik berbeda dengan hitungan untung-rugi dalam ekonomi karena metodenya, dan berbeda dengan pengajaran sastrawi karena motifnya, yang bukan merupakan penyebaran pengetahuan melainkan penciptaan semacam perasaan kelompok. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG