BUKU

TUHAN ITU ATEIS

Kritik Terhadap Yahudi, Kristen, dan Islam

Dafat Isi

Prakata Penerbit

Pengantar

1. I. TUHAN ITU ATEIS
2. Relevansi Diskursus Tuhan dan Ateisme
3. Klarifikasi Terminologis
4. Mengapa Tuhan itu Ateis?
5. Satu Tuhan Diklaim Tiga Agama
6. Monoteisme Trinitaris dan Hak Prerogatif Tuhan
7. Apakah Tuhan Beragama?
1. II. PLURALITAS PAHAM KETUHANAN
2. Pada Mulanya: Misterium Tremendum et Fascinosum
3. Tuhan Alam: Agama-agama Asli
4. Tuhan Universal: Agama-agama Universal
5. Monoterisme Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam
6. Tuhan Filosofis-Teologis
7. Tuhan Para Sufis dan Mistikus
8. Tuhan Sains
1. III. TENTANG ATEISME
1. Ateisme Ilmiah
2. Ateisme Pragmatais
8. KONFLIK ANTARA TUHAN DAN MANUSIA
9. Konflik antara Tuhan dan Israel
10. Konflik antara Tuhan dan Bangsa-Bangsa
11. Tuhan Kristen Sepi Konflik?
12. Tuhan Islam Sepi Konflik?
1. PERANG PARA TUHAN: KONFLIK ANTARAGAMA
2. Yahudi versus Kristen
3. Kristen versus Islam
4. Islam versus Yahudi

1. KETIKA TUHAN DIBAJAK TERORIS
1. Klaim Membela Tuhan dan Agama
2. Ketika Teroris Membajak Islam
3. Perang Melawan Terorisme Global
2. PENUTUP
3. “Ateisme”: Yes or No?
4. “ateisme”: Yes or No?

CATATAN

REFERENSI

INDEKS

PENDAHULUAN

Tesis tentang “Tuhan itu Ateis” sepintas terdengar janggal dan terasa aneh. Karena secara harafiah itu berarti “Tuhan tidak ber-Tuhan” atau “tidak mempunyai Tuhan”. Juga dapat berarti Tuhan tidak mengakui adanya Tuhan. Ini aneh karena bagaimana mungkin Tuhan menyangkal atau meniadakan diriNya sendiri? Demikian pula, kebalikan dari Tuhan tidak ber-Tuhan, dapat dikatakan pula bahwa “Tuhan itu ber-Tuhan”. Ini juga aneh karena mana mungkin Tuhan mempunyai Tuhan lagi? Bukankah Tuhan itu esa, tunggal, satu-satunya yang mutlak? Jadi, pernyataan bahwa “Tuhan itu Ateis” atau “Tuhan itu ber-Tuhan” adalah irasional, tidak bermakna, bahkan suatu penghujatan.

Bukankah istilah ateis itu hanya pantas dikenakan kepada manusia, yang tidak percaya dan tidak mengakui adanya Tuhan, sehingga disebut ateis? Memang sepintas pernyataan Tuhan itu Ateis atau sebaliknya Tuhan itu ber-Tuhan terdengar seperti permainan kata-kata semata, yang tidak mempunyai arti dan makna apa-apa. Namun demikian, tentu saja tesis tentang “Tuhan itu Ateis” di sini jelas tidak dimaksudkan untuk sekadar permainan kata-kata semata, melainkan bahwa tersis tersebut mempunyai implikasi makna dan masalah yang sungguh mendalam dan mendasar. Terutama sekali apabila dikaitkan dan dikontekskan dengan pragmatisme keberagamaan di satu pihak, dan di lain pihak Tuhan yang senantiasa diseret-seret oleh manusia dalam sejarah konflik dan perang antaragama dan dalam konflik antarperadaban, serta konflik antarbangsa.

Nah di sini, tiga entitas yaitu Tuhan, manusia, dan agama justru menjadi masalah pelik sepanjang abad. Bahkan, dari pembacaan secara kritis-radikal-komprehensif tentang Tuhan sebagaimana diyakini dan tertulis serta terungkap dalam kitab-kitab suci berikut agama-agama, terutama agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam), ternyata bahwa Tuhan sendiri menjadi sumber masalah sekaligus sumber solusi. Tuhan itu paradoks. Dia diklaim oleh manusia beragama sebagai Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang, tetapi sebaliknya Dia juga adalah Tuhan yang kejam, menghukum, menyiksa, membinasakan, dan bahkan boleh dikatakan sebagai sumber perang dan terorisme. Karena dewasa ini, kegiatan terorisme selalu dilegitimasikan dengan klaim teologis membela Tuhan dan membela agama Allah.

Selain itu, Tuhan juga dapat dikatakan sebagai sumber konflik sekaligus sumber consensus. Tuhan berkonflik dengan manusia yang prototipenya terlihat pada konflik antara Tuhan dan Adam-Hawa di Taman Firdaus. Konflik tersebut menular dan menjalar bak virus ke konflik antara manusia melawan manusia, bangsa melawan bangsa, agama melawan agama, peradaban melawan peradaban, dan Barat melawan Timur. Namun sebaliknya, sebagai sumber konsensus Tuhan juga selalu membangun dan mengembangkan consensus-konstitusional demi harmonisasi hubungan antara manusia Tuhan dan manusia, serta manusia dengan manusia. Sama seperti yang diperlihatkan oleh Tuhan perihal konflik dan consensus, maka berbagai upaya dialog dialog peradaban antara Timur dan Barat dan antaragama terus dilakukan di atas pentas sejarah demi perdamaian, meskipun selalu tak pernah tuntas dan memuaskan, justru karena adanya perbedaan mendasar dalam persepsi, konsep, interpretasi, dan pragmatisme berkaitan dengan Tuhan, manusia, dan agama.

Nah, misteri paradoks Tuhan dan realitas konflik-konsensus-tripolar antara Tuhan, manusia, dan agama itulah yang ingin saya bedah secara kritis-radikal-komprehensif dengan menggunakan mata pisau filsafat dalam buku ini di bawah judul “Tuhan itu Ateis”. Adapun metode yang saya gunakan adalah studi kepustakaan, baik sumber asli maupun sumber sekunder. Ada eman masalah atau topik pokok yang ingin saya diskusikan dalam halaman demi halaman buku ini.

Pertama, saya akan langsung pada upaya menjawab pertanyaan dan menjelaskan mengapa Tuhan itu Ateis, karena dalam tesis tersebut akan terimplikasi lima pokok masalah mendasar dan pelik selanjutnya. Untuk itu, saya melihat ada urgensi dan relevansi melakukan diskursus tentang Tuhan, Ateisme, dan Tuhan itu Ateis. Dalam rangka itu saya akan terlebih dahulu memberikan beberapa klarifikasi terminologis penting untuk membantu kita memahami makna dan konteks kata-kata yang senantiasa muncul sepanjang diskursus tentang Tuhan itu Ateis. Setelah itu saya akan membuka mata dan pikiran Anda untuk melihat dan mengerti bahwa justru Tuhan sendirilah yang secara eksplisit maupun implisit mendeklarasikan diriNya sebagai Ateis.

Karena itu saya tidak bermaksud menghujat atau menghina Tuhan kalau saya mengatakan Dia itu Ateis. Saya hanya mencoba membuka implikasi-implikasi masalah dalam pernyataan diri Tuhan sebagai Ateis. Selanjutnya, karena deklarasi diri Tuhan itu Ateis saya temukan dalam monoteisme Abrahamik, maka saya akan mendiskusikan tentang satu Tuhan yang diklaim oleh tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam sejarah ternyata klaim dan perebutan satu Tuhan oleh tida agama tersebut berdampak buruk bagi hubungan dan pergaualan antarketiganya. Karena itu perlu ada perspektif lain yang lebih adil dan proporsional untuk saling menerima dan memahami secara jujur dan ikhklas.

Perspektif yang saya maksudkan itu adalah “Monoteisme Trinitaris dan Hak Prerogatif Tuhan”. Meskipun saya tahu bahwa perspektif ini pun problematik, karena Tuhan bisa dikritik sebagai tidak konsisten dan konsekuen dengan memeberikan wahyu-wahyu uang kontradiktif dan paradoks seperti terkodifikasi dalam Alkitab dan Alquran. Akan tetapi, karena kontradiksi dan paradoks wahyu itu masuk dalam wilayah hak prerogatif Tuhan, maka manusia tidak bisa membatalkan, mengubah, atau mengoreksi wahyu yang telah diberikan Tuhan. Yang hanya bisa dilakukan oleh masing-masing penganut monoteisme Abrahamik-Trinitaris adalah bersikap seperti dan atau menghayati wahyu yang diberikan oleh Tuhan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yaitu: “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”

Jadi, Yahudi adalah Yahudi, Kristen adalah Kristen, dan Islam adalah Islam. Tidak bisa perspektif agama yang satu dipakai sebagai tolok ukur atau parameter untuk menilai, apalagi menghakimi atau mengadili, serta mengutuk agama yang lain, sekalipun ketiganya memiliki warisan bersama dari Abraham. Selanjutnya, saya akan mengakhiri masalah pertama ini dengan mempertanyakan apakah Tuhan itu bergama mengingat muncul banyak klaim tentang membela agama Allah untuk melegalisasi kegiatan terorisme.

Kedua,

I

TUHAN ITU ATEIS

1. 1. Relevansi Diskursus Tuhan dan Ateisme

Sebelum membahas secara komprehensif-konsepsional-multidisipliner tentang Tuhan itu Ateis berikut implikasi-implikasi problematiknya, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan berikut ini. Apah relevan diskursus tentang Tuhan dan ateisme serta Tuhan itu Ateis pada milenium ketiga ini sebagai milenium globalisasi sains dan teknologi yang membawa perubahan sangat revolusioner-radikal dan signifikan dalam segala dimensi kehidupan umat manusia? Apakah relevan diskursus tentang Tuhan dan ateisme serta Tuhan itu Ateis pada milenium di mana posisi dan peran Tuhan hampir seluruhnya diambil alih oleh manusia, sains, dan teknologi?

Mungkin bagi sebagian besar orang, diskursus tentang Tuhan dan ateisme serta Tuhan itu Ateis dewasa ini tidak relevan. Itu bukan karena mereka tidak mengakui adanya Tuhan atau bukan karena mereka menganggap Tuhan tidak penting dalam hidup mereka, melainkan karena bagi mereka lebih relevan berbicara tentang kepentingan-kepentingan pragmatis sehari-hari ketimbang buang-buang waktu berdiskusi tentang Tuhan dan ateisme, apalagi tentang Tuhan itu Ateis. Bagi orang-orang seperti ini, Tuhan itu sesuatu yang sudah taken for granted sebagaimana diajarkan dan dihayati serta diamalkan dalam agama-agama. Jadi, tinggal urusan pengamalannya saja dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Namun, sebaliknya mungkin pula sebagian orang menganggap diskursus tentang Tuhan dan ateisme, apalagi tentang Tuhan itu Ateis terasa relevan dan signifikan. Karena menurut mereka, nasib manusia dan dunia akan menjadi lebih baik ataukah sebaliknya akan menjadi lebih buruk, itu sangat tergantung pada realitas hubungan dan interaksi antara Tuhan, manusia, dan agama, terutama agama-agama monoteisme Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam yang mendominasi dunia dewasa ini.

Dari penelitian tentang agama-agama dan beradaban bangsa manusia serta diskursus-diskursus filosofis-teologis sepanjang sejarah, ternyata bahwa sejak awal mula sejarah, hubungan antara Tuhan, manusia, dan agama tidak selamanya berjalan harmonis. Hubungan antaramereka senantiasa berlangsung dalam suasana konflik-dialektis-tripolar, yang tidak dengan sengaja ataupun dengan sengaja diulang-ulang terus hingga hari ini, bahkan mungkin sampai masa-masa yang akan datang. Realitas sejarah konflik-dialektis-tripolar antara Tuhan, manusia, dan agama inilah yang saya formulasikan dalam sebuah tesis yaitu “Tuhan itu Ateis”.

Sepanjang sejarah, Tuhan senantiasa menjadi masalah yang kompleks untuk didiskusikan. Tuhan merupakan objek kajian ilmiah multidisipliner yang kontroversial, namun juga tetap mengasyikkan untuk didiskusikan. Dia bisa didekati dari perspektif ilmu agama, dari perspektif bibles-teologis, dan dari perspektif filosofis. Tuhan juga bisa dikaji dari perspektif mistisisme dan sufisme. Bahkan sains pun ingin berbicara tentang Tuhan. Dengan kata lain, kita bisa berbicara tentang Tuhan agama, Tuhan biblis, Tuhan para teolog, Tuhan parafilsuf, Tuhan para mistikus, Tuhan para sufi, serta Tuhan para ilmuwan.[1] Dalam setiap disiplin terdapat pula pluralitas konsep, pandangan, dan keyakinan tentang Tuhan, yang bahkan saling berkontroversi satu sama lain, serta berdampak praktis berupa konflik antaruamat beragama, konflik antarperadaban, dan konflik antarbangsa.

Sebelum melanjutkan diskusi tentang Tuhan dan ateisme serta Tuhan itu Ateis, saya ingin menunjuk sebuah fenomena yang harus kita baca dengan kritis ketika kita hendak berdiskursus tentang Tuhan agama, terutama agama-agama monoteisme Abrahamik yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Fenomena yang saya maksud itu adalah suatu monoteisme yang angkuh, monopolistic, dan bahkan suatu monoteisme yang tiran terhadap agama-agama non-Abrahamik. Agama Yahudi, Kristen, dan Islam dengan angkuh memonopoli Tuhan sebagai satu-satunya miliki mereka, sehingga agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan di luar monoteisme Abrahamik harus dinegasikan atau ditiadakan oleh mereka. Ini dapat kita baca dan saksikan sepanjang sejarah penyebaran atau misi universal agama-agama monoteisme Abrahamik, yang menimbulkan konflik tak berkesudahan. Itulah sebabnya saya menamakan monoteisme Abrahamik sebagai sebuah “monoteisme ateisktik”, seperti akan kita diskusikan kemudian.

Keangkuhan monoteisme Abrahamik itu bahkan termanifestasi sampai pada hal-hal teknis dan pragmatis. Seperti stigmatisasi terminologis “agama kafir” terhadap teisme atau agama-agama dan kepercayaan non-Abrahamik untuk membedakannya dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Lebih celaka lagi, dalam praktik terjadi “saling mengkafikan” di antara sesama monoteisme Abrahamik itu sendiri. Tidak itu saja, sampai pada penulisan huruf dan kata pun terjadi diskriminasi. Hutuf T dari kata Tuhan atau A dari kata Allah harus ditulis dengan huruf besar kalau berkaitan dengan Tuhan dan atau Allah orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkan huruf dan kata Tuhan atau illah atua allah dari agama-agama lain selalu ditulis dengan huruf kecil. Masih dalam kaitan dengan perlakuan diskriminatif itu, di Indonesia, misalnya, terjadi politik diskriminasi bahwa agama-agama yang diakui resmi oleh negara dan pemerintah adalah hanya agama-agama yang memiliki “wahyu Allah”, “kitab suci”, serta “didirikan oleh seorang nabi”. Sedangkan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan di luar wahyu, kitab suci, dan nabi adalah kafir dan haram hukumnya.

Dengan demikian, menurut saya, justru “keangkuhan monoteisme Abrahamik” inilah yang menjadi salah satu penyebab paling utama, yang memicu terjadinya konflik, kekerasan dan bahkan peperangan serta terorisme. Oleh karena itu, kritik terhadap Tuhan, manusia, dan agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) sangat relevan diajukan dan didiskursuskan terus-menerus. Agar kaum beragama, terutama para penganut monoteisme Abrahamik sadar akan kesalahan dan kekeliruan yang mereka buat sepanjang sejarah dunia ini. Keangkuhan monoteisme Abrahamik ternyata sangat merusak citra Tuhan yang mereka imani dan junjung tinggi, serta sangat merugikan seluruh umat manusia dan kemanusiaan. Orang Yahudi, Kristen, dan Islam harus membuang jauh-jauh keangkuhan monoteisme Abrahamik mereka, apabila mereka ingin memberikan andil sejarah yang signifikan dalam upaya bersama menciptakan suatu tata dunia baru yang adil, makmur, aman, dan damai. Tuhan juga perlu dikritik dan dimintakan pertanggungjawabanNya atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh para pengikut dari tiga agama monoteisme Abrahamik. Jadi, kapan pun dan di mana pun diskursus tentang Tuhan dan ateisme, apalagi tentang Tuhan itu Ateis memang penting dan tetap relevan dilakukan demi menjaga citra agama dan tetap menghormati citra Tuhan sendiri.

1. 2. Klarifikasi Terminologis

Setelah melihat relevansi diskursus tentang Tuhan dan Ateisme, berikut ini perlu dikemukakan beberapa klarifikasi terminologis. Dalam Alkitab dan Alquran, juga dalam buku ini, akan banyak kita jumpai kata-kata seperti: Tuhan, Allah, Yahwe, kafir, berhala, paganisme, agama, ateisme, monoteisme Abrahamik, wahyu, iman, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu ada klarifikasi terminologis untuk membantu kita memahami dan mengerti konteks dan makna penggunaan kata-kata tersebut. Tanpa klarifikasi, maka akan menimbulkan kebingungan dalam penggunaan atau praktik penyebutan kata-kata tersebut di atas.

Kata Tuhan yang biasa kita gunakan atau ucapkan sehari-sehari, entah dalam doa, khotbah, dakwah, dan sebagainya, itu merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari istilah bahasa Arab al dan Ilah, yang dipadatkan menjadi kata Allah, yang berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan.[2] Jelas bahwa kata Tuhan bukan merupakan kata asli bahasa Arab. Jadi, ada dua kata yaitu Tuhan dan Allah, namun dua kata ini – yang memang banyak muncul dalam Alkitab dan Alquran secara silih berganti itu – mau menunjuk pada dan menjelaskan tentang satu realitas ilahi tertinggi yang sama dan bukan dua realitas tertinggi ilahi yang berbeda. Itu berarti Tuhan adalah Allah dan Allah adalah Tuhan. Jadi, kalau di dalam Alkitab dan Alquran ditulis, misalnya, “Allah berfirman”, itu sama artinya dengan Tuhan berfirman, dan jangan dimengerti sebagai ada dua Tuhan yang berfirman.

Kata Tuhan dan Allah kemudian akan menimbulkan kejanggalan dan sedikit kebingungan apabila dikaitkan dengan syahadat atau pengakuan iman kepercayaan dalam rukun Islam yang pertama, yaitu “Tiada Tuhan selain Allah”. Sepintas frasa tersebut tidak menjadi masalah, tetapi kalau kita mengikuti logika bahwa Tuhan adalah Allah dan Allah adalah Tuhan, maka frasa tersebut di atas agak menjadi masalah, karena sama artinya dengan Tuhan menegasikan dirinya sendiri atau Allah meniadakan dirinya sendiri. Dus, tidak ada Tuhan dan juga tidak ada Allah.

Padahal syahadat tersebut di atas membuktikan bahwa orang-orang Islam adalah teis, bahkan monoteis, dan bukan ateis. Orang Islam percaya bahwa Allah itu mahaesa. Bahwa Allah adalah satu dan tidak ada tuhan lain selain Allah. Sekalipun huruf “t” dalam frasa “Tiada tuhan selain Allah” ditulis dengan huruf kecil, yang lazimnya ditujukan pada tuhan atau ilah kafir, dan terutama untuk menolak ke-Allah-an atau ke-Tuhanan- Yesus dalam Trinitas yang diyakini orang-orang Kristen, namun toh tetap membingunkan. Karena “t” dengan huruf kecil dan “T” dengan huruf besar sama-sama merujuk pada satu kata yang sama yaitu Tuhan (tuhan), meski dengan makna yang berbeda, yakni “tuhan kafir” yang ditiadakan atau dinegasikan oleh “Tuhan/Allah” Islam. Ini adalah problem semantika (makna bahasa) dalam setiap transliterasi kata Arab Allah ke dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia kata Allah berarti Tuhan, dalam bahasa Inggris disebut God, dalam bahasa Jerman disebut Gott, dalam bahasa Latin disebut Deus, dan sebagainya.

Problem semantika kata Tuhan dan Allah juga ditemukan dalam Yahudi dan Kristen. Dalam kitab suci dua agama tersebut, terutama Perjanjian Lama, kata Tuhan dan Allah berasal dari konteks tradisi-tradisi asli yang menjadi sumber utama dan bahan penulisan oleh para penulis atas nama dan atas ilham ilahi. Tradisi-tradisi itu adalah: Yahwist (J), Elohist (E), Deutronomis (D), dan tradisi para Imam (lazim disebut P, dari kata Presbiterium yang artinya imam, Lat.). Dalam tradisi Yahwist, kata yang digunakan untuk Tuhan adalah Yahwe. Dalam tradisi Elohist seringkali digunakan kata Elohim atau Allah untuk Tuhan. Sedangkan tradisi Deutronomis menekankan pengabdian kepada Yahwe secara batin dan penuh cinta kasih. Tradisi Imam menekankan peraturan-peraturan dan hukum-hukum ibadat.[3]

Lagi-lagai, di sini pun kata Yahwe, Tuhan, dan Allah merujuk pada dan menjelaskan tentang satu realitas ilahi tertinggi dan bukan tiga realitas ilahi. Nah, kalau di dalam Taurat atau Alkitab ditulis, misalnya, Yahwe bersabda, itu sama dengan Tuhan bersabda atau Allah bersabda, dan jangan dimengerti sebagai ada tiga Tuhan yang bersabda. Sebagaimana orang-orang Islam, orang-orang Yahudi dan Kristen pun adalah monoteis dan bukan ateis serta bukan pula politeis (poli artinya banyak, teos artinya tuhan).

Selain Yahwe, Tuhan, dan Allah, perlu juga ada klarifikasi tentang “kafir”, “berhala”, dan “paganisme”. Ketiga kata ini sama maknanya yang merupakan pencirian dan stigmatisasi serta diskriminasi terhadap para penganut kepercayaan selain monoteisme Abrahamik. Sebagai konsekuensi dari paham monoteisme, maka para dewa-dewi, tuhan-tuhan, serta ilah-ilah lain tidak punya hak untuk hidup dan disembah oleh para penganutnya. Itulah sebabnya mereka digolongkan atau dicap sebagai orang-orang kafir oleh para penganut monoteisme Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Kalau dalam monoteisme, Tuhan mengateiskan atau menegasikan tuhan dan dewa-dewi kaum pagan, maka lain lagi dengan Ateisme. Dalam ateisme manusia justru dengan sadar, tahu, dan mau, konsisten dan kosekuen, serta radikal menegasikan atau meniadakan Tuhan kaum monoteis maupun tuhan para politeis. Tentang ateisme akan didiskusikan lebih komprehensif kemudian.

Terminologi berikutnya yang perlu juga diklarifikasi adalah agama dan monoteisme Abrahamik. Agama adalah institusionalisasi atau pelembagaan hubungan antara Tuhan dan manusia, mulai dari yang paling sederhana agama-agama suku atau agama asli hingga yang paling kompleks seperti agama-agama universal dan monoteisme Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam praktik, agama-agama besar ini lebih banyak menjadi “lembaga birokrasi keselamatan” dengan sejuta aturan birokrasi keselamatan, baik yang diberikan oleh Tuhan maupun yang dibuat sendiri oleh manusia, di mana para elite agama yang bertindak selaku birokrat keselamatan menggeser peran Tuhan dalam komuniksiNya dengan manusia di mana Tuhan akan menyapa manusia secara unik-personal-eksistensial. Menurut para birokrat keselamatan, selamat tidaknya seseorang, masuk surga atau nerakanya seseorang, itu sangat tergantung pada ketaatan – yang kadang-kadang buta – terhadap tetek-bengek aturan birokrasi keselamatan.

Terminologi penting lainnya, yang perlu diklarifikasi adalah monoteisme Abrahamik. Dengan terminologi ini mau dijelaskan bahwa satu-satunya Tuhan (mono artinya satu, teos artinya Tuhan) sebagaimana Ia mewahyukan diri kepada Abraham, itulah yang menjadi asal-muasal dan hubungan persamaan sekaligus perbedaan dari tiga agama besar dunia yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Mengenai klaim tiga agama ini tentang Tuhan akan kita diskusikan dalam pasal tersendiri. Masih ada beberapa terminology lagi yang penting dan perlu dijelaskan, yaitu wahyu, iman, inspirasi atau ilham ilahi, kitab suci, kanonisasi, dan kodifikasi kitab suci. Terminologi-terminologi ini saling berkaitan satu sama lain.

Wahyu adalah tindakan proaktif dan inisiatif Tuhan sendiri yang secara langsung membuka selubung misteri diriNya dan menjelaskan tentang siapa diriNya, apa kehendak dan rencana serta karya-karyaNya untuk manusia. Tuhan mewahyukan diri melalui orang-orang yang dipanggilNya secara khusus, yaitu para nabi. Terhadap wahyu Tuhan itu manusia memberikan jawaban dalam bentuk penyerahan diri secara total dan kesetiaan mutlak. Inilah yang disebut Iman. Para nabi yang menerima wahyu Tuhan secara langsung itu kemudian menyampaikan dan mengajarkan kepada umat. Wahyu yang disampaikan dan diajarkan oleh para nabi itu dihidupi, dihayati, diamalkan, dan dipelihara baik melalui tradisi-tradisi lisan maupun tradisi-tradisi tulis. Dari situ kemudian terciptalah apa yang disebut Kitab Suci, yang sesungguhnya adalah Sabda Tuhan sendiri.

Kitab suci dipercaya sebagai “diilhamkan”, artinya Tuhan secara istimesa membantu pengarang atau penulis ketika mereka menulis sabda Tuhan. Ilham atau inspirasi adalah “karunia ilahi” yang diberikan Tuhan kepada para penulis suci, agar mereka atas nama dan dengan jaminan Tuhan sendiri, mampu menyampaikan dan mengajarkan kepada umat siapa itu Tuhan, apa kehendak dan rencana serta karya-karyaNya bagi umat manusia. Tuhan sendiri aktif terlibat langsung, melalui karunia ilahi, dalam penciptaan kitab suci, sehingga kebenaran dari apa yang termaktub atau tertera dalam kitab suci, tidak dapat diragukan. Tuhan membimbing, membuka akal pikiran, kehendak, dan hati nurani penulis suci, dalam menangkap dan mencerna apa yang dikehendaki oleh Tuhan.

Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta utama dari kitab suci, dan karenanya pula kitab suci sesungguhnya adalah Sabda Tuhan.[4] Kitab suci agama-agama monoteisme Abrahamik itu mengalami apa yang disebut kodifikasi dan kanonisasi. Kodifikasi adalah proses pembakuan kitab-kitab suci, sedangkan kanonisasi adalah daftar kitab-kitab suci resmi yang diakui dan digunakan oleh otoritas gereja katolik dan gereja-gereja kristen lainnya.

Mengakhiri klarifikasi terminologis terhadap beberapa istilah atau kata penting yang akan banyak muncul dalam buku ini, maka perlu diajukan pertanyaan, mengapa judul buku ini menggunakan kata Tuhan dan bukan Allah atau Yang Ilahi? Untuk menjawab pertanyaan ini saya merujuk pada filsuf Franz Magnis-Suseno (FMS) yang mengatakan sebagai berikut:

“…. ‘Tuhan adalah istilah yang jelas mengandung personalitas, artinya Ia mengetahui dan meminati kita, bisa masuk ke dalam dialog dengan kita, bisa mewahyukan diri. Tuhan diambil dari alam politik. Tuhan adalah penguasa tertinggi, pimpinan tertinggi yang kita ikuti….’” …. ‘Allah’ hanya dapat dipakai oleh agama-agama monoteis …. Maka pada umumnya saya menggunakan kata Tuhan, karena cakupannya cukupluas , tetapi kadang-kadang kata Allah lebih tepat.”[5]

Dengan alasan seperti dikemukakan oleh FMS itulah mengapa judul buku ini juga menggunakan kata Tuhan dan bukan Allah, jadi, Tuhan itu Ateis dan bukan Allah itu Ateis.

1. 3. Mengapa Tuhan itu Ateis?

Sejauh ini kita sudah banyak kali menyebut kata atau nama Tuhan.Tetapi kita belum mengajukan pertanyaan siapakah Tuhan itu dan mengapa Tuhan itu Ateis? Sebelum menjawab dan mendiskusikan pertanyaan ini lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kalau di sini saya mengatakan, Tuhan itu Ateis, hal tersebut bukan karena saya ingin menghina dan menghujat Tuhan yang diyakni, dihormati, disembah, dijunjung tinggi, dibela, dan dibangga-banggakan oleh kaum monoteis Abrahamik, melainkan karena Tuhan mereka sendiri secara eksplisit maupun implicit mendeklarasikan diriNya sebagai “Ateis”. Sebagaimana diketahui, secara etimologis, ateis (a artinya tidak, teos artinya Tuhan, Yun.) berarti “tidak ada Tuhan”, “tidak mengakui adanya Tuhan”, atau “menyangkal adanya Tuhan”. Jadi, Tuhan itu Ateis berarti Dia menyangkal adanya Tuhan atau allah-allah lain yang sejajar denganNya, atau menyaingi apalagi melebihi atau berada di atas diriNya. Sebaliknya, hanya diriNyalah Tuhan yang Esa atau satu-satunya Tuhan, dan harus tidak oleh ada yang lain.

Pernyataan Tuhan itu Ateis sepintas sederhana sekali, bak permainan kata-kata belaka, yang tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang hebat, heboh, dan sangat berat untuk dipikirkan. Memang secara permainan kata-kata, tampak sederhana, tetapi bila dibuka secara kritis-radikal implikasi-implikasi dalam pernyataan Tuhan itu Ateis, maka akan muncul banyak masalah yang mendasar dan rumit. Baik itu menyangkut kontradiksi-kontradiksi ontologism dan konsepsional, maupun terutama berkaitan dengan paradoks-paradoks pragmatisme keberagamaan kaum monoteis Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Bahwa Tuhan menyatakan diriNya ateis sangat jelas dapat dibaca dan diketahui dari kitab-kitab suci ketiga agama tersebut. Dari penyataan Tuhan Biblis dan Tuhan Alqurani itulah kemudian dirumuskan syahadat atau credo (dari bahasa Latin: credere artinya percaya. Credere berasal dari kata cor yang artinya hati dan dare yang artinya memberikan, jadi memberikan hati). Syahadat atau credo adalah pengakuan iman kepercayaan akan keesaan Tuhan, yang harus diucapkan oleh para pemeluk dalam doa dan upacara keagamaan atau wajib diucapkan oleh para penganut baru atau mualaf dalam ritual keagamaan sebagai tanda keabsahan seseorang menjadi anggota institusi agama yang dianutnya, entah Yahudi, Kristen, ataupun Islam.

Berikut ini saya akan mendiskusikan beberapa masalah yang terimplikasi dalam tesis Tuhan itu Ateis dan sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan siapa itu Tuhan dan mengapa Tuhan itu Ateis, baik dari perspektif Alkitab maupun perspektif Alquran.

Perspektif Alkitab tentang Tuhan itu Ateis

Tuhan Menegasikan “Tuhan CiptaanNya”

Masalah pertama adalah Tuhan tidak menghendaki manusia menjadi (seperti) Tuhan, padahal potensi manusia untuk menjadi Tuhan, justru diberikan oleh Tuhan sendiri ketika Dia menciptakan manusia.

Lalu Allah berfirman: “Marilah kita menjadikan manusia menurut citra kesamaan kita, dan hendaknya ia menguasai ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan ternak, dan seluruh bumi serta segala binatang yang merayap di atas tanah!” Dan Allah menciptakan manusia menurut citraNya; menurut citra Allah ia diciptakanNya. Ia menciptakan mereka pria dan wanita.[6]

Dalam teks tersebut di atas, sebagai citra Tuhan, manusia memiliki potensi kekuasaan sama seperti Tuhan yang mahakuasa. Tetapi kekuasaan manusia terbatas pada menguasai dan memelihara segala ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Kemudian Tuhan menempatkan manusia di Taman Eden dan melarang manusia untuk memakan buah “pohon pengetahuan” baik dan jahat serta melarang manusia memakan buah “pohoh kehidupan”.

Yahwe Allah mengambil manusia dan menempatkannya di Taman Eden, untuk mengolah dan menjaganya. Dan Yahwe Allah memerintahkan kepada manusia: “Segala pohon taman ini bolehlah kau makan buahnya, tetapi pohon pengetahuan baik dan jahat janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau akan mati.”[7]

Dalam teks tersebut di atas terlihat bahwa buah pohon pengetahuan dapat memberikan kepada manusia potensi untuk memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan Tuhan apabila buah pohon pengetahuan itu dimakan oleh manusia. Dan, kalau manusia sampai jadi memakan buah pohon pengetahuan itu, maka manusia akan menjadi saingan berat bagi Tuhan. Karena merasa tidak ingin disaingi oleh manusia, maka Tuhan melarang dengan ancaman jika buah pohon pengetahuan itu dimakan, maka pada hari manusia memakannya, akan matilah manusia. Di sini Tuhan tidak mempertimbangkan peran “kekuasaan kejahatan”, yaitu sang iblis yang disimbolkan dengan ular yang secara logis mampu meyakinkan manusia untuk melawan bakal saingannya yaitu Tuhan setelah manusia memakan buah pohon pengetahuan. Kitab Kejadian mengisahkan secara menarik tentang dialog antara si iblis atau ular dengan si wanita sebagai berikut.

Adapun ular itu lebih licin daripada segala binatang liar, yang telah dijadikan Yahwe Allah. Katanya kepada wanita: “Betulkah Allah telah berfirman: segala pohon taman ini jangan kamu makan buahnya?” Sahut wanita kepada ular: “Kami boleh makan buah pohon-pohon taman ini, hanyalah tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman itu Allah telah berfirman: Kamu jangan memakan buah itu, meraba pun jangan, nanti matilah kamu.” Maka kata ular kepada wanita: “Bukan, kamu tidak akan mati! Tapi Allah tahu bahwa pada hari kamu makan buahnya, matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi sejajar dengan Allah mengerti akan baik dan jahat.” Adapun wanita itu melihat bahwa pohon itu baik untuk dimakan buahnya dan lagi sedap di mata dan merangsang keinginan akan pengertian. Maka ia memetik buahnya lalu dimakannya, dan diberikan juga kepada suaminya yang ada di sampingnya, dan dia pun makan.[8]

Dengan licik si iblik tidak langsung bertanya tentang inti persoalan yaitu tentang buah pohon pengetahuan yang terletak di tengah Taman Eden dan dilarang untuk dimakan oleh manusia. Dengan nada seakan memancing emosi, keingintahuan, dan hasrat manusia, iblik bertanya tentang apakah betul Tuhan melarang manusia memakan buah dari semua pohon yang ada di Taman Eden. Iblis kemudian memutarbalikkan logika Tuhan bahwa kalau manusia memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, maka manusia akan mati. Menurut iblis, justru sebaliknya, kalau manusia memakan buah phon itu, maka manusia tidak akan mati, malah manusia dapat memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan sama seperti yang dimiliki oleh Tuhan. Manusia dapat menjadi Tuhan. Iblis berhasil merayu manusia, dan manusia pun jadi memakan buah pohon pengetahuan, dan setelah dimakannya “ternyata mausia tidak mati”. Iblis sukses membuat manusia menjadi Tuhan.

Kalau ada pandangan bahwa iblis diciptakan oleh Tuhan untuk menguji kesetiaan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, maka harus dikatakan bahwa dengan berbuat demikian, Tuhan justru semakan mempermudah manusia menjadi seperti Tuhan. Dan iblis berhasil menyatakan kebenaran bahwa manusia dapat menjadi Tuhan dengan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Melihat kenyataan tersebut, buru-buru Tuhan mengambil tindakan radikal untuk mencegah kekekalan manusia apabila manusia sampai memakan lagi buah “phon kehidupan”, karena buah pohon kehidupan akan memberikan kekekalan kepada manusia. Tuhan kemudian mengusir manusia dari Taman Eden dan membatasi usianya.

Lalu Yahwe Allah bersabda: “Lihatlah, manusia telah menjadi salah satu dari kita, tahu akan baik dan jahat. Dan sekarang janganlah ia sampai mengulurkan tangannya dan memetik buah dari pohon kehidupan, untuk dimakannya dan untuk hidup selama-lamanya!” Maka Yahwe Allah mengeluarkan dia dari Taman Eden…..[9]

Tindakan radikal Tuhan mengusir manusia dari Taman Eden menandai awal dari sejarah konflik antara Tuhan dan manusia sepanjang abad secara turun-temurun hingga dewasa ini dan pada masa-masa yang akan datang. Konflik tersebut dilanjutkan dan ditumbuhsuburkan oleh para penganut monoteisme Abrahamik, seperti akan kita diskusikan dalam topik Konflik antara Tuhan dan Manusia serta Perang para Tuhan. Psikoanalis agama terkenal, Erich Fromm dalam bukunya You Shall Be As God, yang dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul Manusia Menjadi Tuhan, mengungkapkan ketakutan Tuhan terhadap manusia yang dapat menjadi seperti diriNya, antara lain sabagai berikut.

Tetapi kekuasaan mutlak Tuhan atas manusia ini diimbangi ole hide bahwa manusia adalah saingan Tuhan yang potensial. Manusia bisa menjadi Tuhan hanya jika dia makan dari pohon pengetahuan dan buah dari pohon kehidupan. Buah dari pohon pengetahuan memberikan manusia kebijaksanaan Tuhan. Buah dari pohon kehidupan bisa memberinya kekekalan. Dengan rayuan iblis, Adam dan Hawa berani makan buah pohon pengetahuan dan ini memberinya satu dari dua langkah yang harus dilakukan. Tuhan merasa terancam dalam posisi luhuNya. Dan Dia berkata, “Lihat, manusia menjadi seperti salah satu dari kita, mengetahui yang baik dan buruk; dan sekarang, jika dia melanjutkannya, dan mengambil dari pohon kehidupan, dan memakannya, dan hidup untuk selamanya….” (Gen. 3:22). Untuk melindungi diriNya sendiri dari bahaya ini Tuhan lalu mengusir manusia dari surga dan membatasi umurnya tidak lebih dari 120 tahun.

……… Manusia pertama bertingak sebagai pembangkang, dan Tuhan menghukumnya karena dia membangkang, dan karena Tuhan ingin mempertahankan keluhurannya. Untuk mempertahankan keluhuran itu, Tuhan lalu mengambil tindakan pemaksaan, dengan mengusir Adam dan Hawa dari Taman Surga dan sekaligus mencegah mereka mengambil langkah kedua untuk menjadi Tuhan – yakni dengan mengkonsumsi buah pohon kehiduapan…..[10]

Dari teks-teks Kitab Kejadian tersebut di atas dan komentar Erich Fromm tampak jelas bahwa sejak awal mula Tuhan menciptakan “Tuhan”, kalau boleh saya redaksikan demikian. Tetapi kemudian Dia terpaksa meniadakan “Tuhan” cipataanNya itu. Tuhan menjadi Ateis, karena Dia tidak menghendaki manusia menjadi Tuhan dan menjadi saingan diriNya. Menurut Erich Fromm, setelah manusia keluar dari Taman Eden atau Taman Surga, manusia sama sekali tidak memperlihatkan rasa tobat dan penyesalan, melainkan manusia memulai kehidupan bebasnya. Pembangkangan manusia adalah awal dari sejarah manusia dan kebebasannya. Manusia semakin membebaskan diri dari keunggulan Tuhan.[11] Dan seperti kita ketahui, dalam sejarah kebebasan manusia itu, sebaliknya manusia secara radikal pula meniadakan atau menegasikan Tuhan. Itulah yang dikenal dengan paham ateisme. Rupanya Tuhan dan manusia saling asyik meng-ateis-kan dan saling meniadakan.

Selain merasa bebas dari kemahakuasaan Tuhan, dalam sejarah manusia di kemudian hari ternyata bahwa tindakan mengkonsumsi buah pohoh “pengetahuan” (baik dan jahat) itu, berdampak positif yang mahadahsyat. Yakni, bahwa manusia dapat melanjutkan karya penciptaan yang telah dimulai oleh Tuhan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Potensi kekuasaan Tuhan dalam diri manusia membuat manusia mampu menciptakan kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat positif bagi kehidupan umat manusia (sebagai konsekuensi dari memakan buah pohon pengetahuan baik). Meskipun demikian, sebaliknya kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi itu pun berdampak sangat negatif bagi kehidupan manusia (sebagai konsekuensi dari memakan buah pohon pengetahuan jahat) karena digunakan dengan tujuan jahat.

Jadi, boleh saja Tuhan menegasikan atau meniadakan “Tuhan” yang “diciptakanNya”, yaitu manusia, tetapi Ia tidak mencegah manusia untuk menjadi “Tuhan” penguasa atas dunia. Bahwa manusia menjadi “Tuhan” penguasa dunia tidak harus dipertentangkan atau diperlawankan dengan Tuhan sang pencipta utama. Manusialah yang menjadi “Tuhan” penguasa dunia, manusia memberi makna kepada eksistensi dan hidupnya di atas dunia ini. Tanggung jawab pengelolaan dunia yang awalnya diberikan oleh Tuhan kepada manusia itu dapat dilaksanakan oleh manusia justru berkat manusia mengkonsumsi buah pengetahuan yang ada di Taman Eden.

Pengetahuan sebagai “potensi ontologism” manusia sangat penting. Tanpa potensi ontologis pengetahuan, maka mandate Tuhan kepada manusia untuk menguasai dunia adalah ilogis dan irasional alias tidak bermakna. Potensi ontologis adalah potensi untuk menciptakan atau membuat menjadi ada. Dan, ini hanya dimungkinkan oleh pengetahuan yang dimiliki manusia berkat mengkonsumsi buah pohon pengetahuan (baik dan jahat), yang dilarang oleh Tuhan. Meski awalnya Tuhan marah berat, tetapi kemudian Tuhan memahami “pelanggaran yang mempunyai sisi manfaat bagi manusia”. Dan, Tuhan merasa perlu mengatur kembali hubungan antara diriNya dengan manusia, seperti akan kita diskusikan kemudian tentang bagaimana Tuhan menerapkan manajemen konflik antara diriNya dan manusia.

Tuhan Menegasikan tuhan-tuhan lain

Masalah kedua yang terimplikasi dalam tesis Tuhan itu Ateis adalah Tuhan juga menegasikan atau meniadakan tuhan-tuhan atau dewa-dewi lainnya untuk membela dan mempertahankan harkat dan martabat keesaan diriNya. Setelah menegasikan “Tuhan ciptaanNya”, Tuhan rupanya melihat ada tuhan-tuhan lain atau dewa-dewi lain yang bakal menjadi pesaingNya. Karena itu, menurut Tuhan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan lain harus tidak boleh ada di sampingNya, apalagi melebihi diriNya. Setelah manusia berkembang biak menjadi bersuku-suku bangsa, termasuk Israel yang diklaim Tuhan sebagai bangsa pilihanNya, Tuhan melihat bahwa manusia, terutama Israel, asyik menyembah dewa-dewi atau tuhan-tuhan lain dan mengabaikan diriNya. Oleh karena itu dalam Kitab Keluaran, dengan sangat jelas, ketika memberikan Sepuluh Perintah kepada Musa, Tuhan menegaskan sebagai berikut.

Aku ini Yahwe Allahmu, yang telah mengantarkan engkau bebas meninggalkan Mesir rumah perbudakan itu. Janganlah engkau mempunyai allah-allah lain di sampingKu. Janganlah engkau membuat patung pahatan atau gambaran apa pun dari yang ada di langit di atas atau di bumi atau di dalam air di bawah bumi! Jangan engkau bersembah sujud kepadanya dan berbaktik kepadanya; sebab Aku Yahwe Allahmu adalah Allah yang cemburu; Aku membalas kesalahan ayah kepada anak-anak, pada keturunan ketiga dan keempat, bagi mereka yang membenci Aku. Tetapi Kulimpahkan rahmatKu atas keseribu keturunan mereka yang mencintai Aku dan menepati perintah-perintahKu.[12]

Penegasan Tuhan tentang tidak oleh ada allah-allah lain di samping diriNya itu merupakan hukum atau perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah. Perintah atau hukum yang dikeluarkan oleh Tuhan itu tentu saja didasarkan atas pengalaman Tuhan sendiri dengan umat Israel sepanjang sejarah Israel dipimpin oleh para bapak bangsa mulai dari Abraham, Isak, Yakub, hingga Musa. Tuhan banyak kali dikecewakan oleh kelakuan bangsa Israel. Oleh karena itu dalam perintah tersebut Tuhan menegaskan diriNya sebagai Allah yang “cemburu”. Tuhan cemburu merupakan suatu gambaran yang sangat antropomorfis. Dalam hidup sehari-hari kita akrab dengan kata cemburu. Apabila seseorang cemburu terhadap kekasihnya, maka itu artinya dia sangat mencintai sang kekasih.

Begitulah, Tuhan pun acapkali cemburu dengan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan dan bangsa kesayanganNya. Tuhan memang sangat mencitai bangsa Israel, selalu menjaga, dan melindungi mereka. Dan, salah satu perbuatan agung sebagai bukti cintaNya kepada Israel adalah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Firaun di Mesir. Namun, apa balasan Israel terhadap cinta Tuhan? Seharusnya, cinta dibalas dengan cinta. Tapi ternyata Israel membalas dengan tidak setia kepada Tuhan. Israel berpaling dari Tuhan dan menyembah berhala-berhala kau pagan. Dan, ini di mata Tuhan berarti Israel berkhianat dan memberikan cintanya kepada allah-allah kafir daripada Tuhan mereka yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Seharusnya umat Israel memberikan kesetiaan dan kepercayaan mereka hanya kepada Tuhan Israel semata. Tuhan memilih Israel bukan karena kelebihan Israel dari bangsa-bangsa lain, tetapi semata-mata karena Tuhan mencintai Israel.

Untuk memperkukuh dan melanggengkan hubungan cinta dan kesetiaan antara Tuhan dan Israel, maka Tuhan merinci larangan-larangan dalam perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah. Israel bukan sebuah suku bangsa yang eksklusif dari terisolasi dari suku-suku bangsa semit lainnya. Karena itu Israel mudah terpengaruh oleh dewa-dewi atau berhala-berhala lain. Suku-suku semit mempunyai kebiasaan membuat patung ataupun gambaran manusia, binatang, dan benda-benda langit seperti bintang-bintang yang diyakinin sebagai “penjelmaan” dari kekuatan-kekuatan ilahi atau dewa-dewi, yang dapat distir atau dikendalikan oleh kemauan manusia melalui doa-doa dan kultus-kultus sesembahan.

Menurut Tuhan, apabila umat Israel mendirikan arca-arca, itu sama saja dengan mereka menyembah berhala dan merendahkan harkat dan martabat Tuhan mereka yang esa dan agung. Dan, setiap ketidaksetiaan atau pelanggaran terhadap larangan-larangan Tuhan, akan menuai konsekuensi-konsekuensi yang serius dari Tuhan berupa pembalasan secara turun-temurun. Begitu pula sebaliknya apabila umat Israel memberikan kesetiaan dan kecintaan mereka hanya kepada Tuhan Israel semata, maka Tuhan akan memberkati mereka dengan kelimpahan rahmat secara turun-temurun. Kelak di kemudian hari ketika memberikan pidato perpisahan dengan bangsa Israel sebelum meninggal dunia, Musa memberikan penegasan definitif tentang keesaan Tuhan Israel dan meminta mereka menyerahkan diri secara total lepada Tuhan dan sebaliknya secara total pula menegasikan tuhan-tuhan atau berhala-berhala lain. Deklarasi keesaan Tuhan itu kemudian menjadi syahadat atau pengakuan iman orang Yahudi.

Dengarlah hai orang Israel! Tuhan adalah Allah kita. Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhanmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.[13]

Penegasan Tuhan dan penegasan Musa di atas membuktikan bahwa Tuhan betul-betul Ateis dengan menegasikan allah-allah lain untuk membela dan mempertahankan keesaan diriNya. Tuhan melarang umat Israel menyembah allah-allah lain dan menuntut kesetiaan total dari bangsa Israel.

Tuhan Megaskan Siapa Dia Sebenarnya

Kalau demikan, siapakah sebenarnya Tuhan Israel itu? Apakah keunikannya dan kehebatannya dibandingkan dengan allah-allah, ilah-ilah, dan berhala-berhala kaum pagan? Pertanyaan ini merupakan implikasi masalah ketiga dalam tesis Tuhan itu Ateis. Sebelum mengomentari masalah ini, mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Tuhan ketika memperkenalkan siala diriNya kepada Musa.

Musa lalu berkata kepada Allah, “Apabila aku datang kepada orang-orang Israel dan berkata kepada mereka, ‘Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu’, dan mereka lalu mengatakan kepadaku, ‘Siapa namaNya?’ – apakah yang harus kujawab kepada mereka?” – Maka Allah bersabda kepada Musa, “Aku adalah Aku ada.” Lalu Ia menyambung, “Itulah hendaknya kaukatakan kepada orang-orang Israel, ‘Aku ada’ yang mengutus aku kepadamu.” Selanjutnya Allah bersabda kepada Musa, “Inilah hendaknya kaukatakan kepada orang-orang Israel: Yahwe, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Isak, dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu. Inilah namaku untuk selama-lamanya, dan inilah cara Aku akan diperingati oleh segala keturunanmu.”[14].

Dalam teks kutipan tersebut di atas terlihat bahwa ketika Musa bertanya kepada Tuhan siapa namaNya, Tuhan malah memberikan sebuah jawaban seperti philosophical language game, suatu permainan bahasa atau kata-kata secara filosofis dengan mengatakan, “Aku adalah Aku ada”, dan tidak menyebutkan secara eksplisit suatu nama tertentu. Dalam kehidupan manusia, nama mempunyai peranan sangat penting terutama sekali untuk identifikasi diri seseorang. Coba bayangkan, pasti akan terjadi kacau-balau dalam komunikasi dan interaksi antarsesama manusia, apabila setiap orang tidak mempunyai nama. Nama menjelaskan dan menunjukkan sosok seseorang sehingga memudahkan kita untuk mengenal atau mengingat orang itu. Kita akan lebih muda memanggil atau menyapa seseorang melalui namanya. Begitu pula, nama selain penting untuk indetifikasi diri manusia, juga penting untuk dewa-dewi pagan suku-suku bangsa semitis yang bisa dimanipulasi oleh manusia dalam kultus-kultus pagan mereka.

Namun tidak demikian bagi Tuhan. Dengan mengatakan “Aku adalah Aku ada” tentu Tuhan tidak bermaksud untuk mengajak Musa dan umat Israel untuk berfilsafat atau melakukan penalaran filosofis. Akan tetapi, untuk mengetahui siapa sebenarnya Tuhan Israel itu, maka Tuhan mengajak Musa dan umat Israel untuk melihat perbuatan-perbuatan nyata yang telah dilakukan Tuhan terhadap umat Israel sepanjang sejarah mereka dipimpin oleh bapak-bapak bangsa mereka, yaitu Abraham, Isak, Yakub hingga di bawah pimpinan Musa. Bagi Tuhan, kesetiaan, kecintaan, dan kepatuhan total yang dibuktikan melalui kepatuhan terhadap hukum Tuhan yang diberikan untuk kepentingan dan keselamatan umat Israel adalah lebih utama daripada spekulasi filosofis-teologis tentang namaNya. “Aku adalah Aku ada” (Ehyeh esher Ehyeh) adalah idiom bahasa Ibrani. Karen Amstrong mengomentari makna penggunaan idiom Ibrani itu sebagai berikut.

Ehyeh esher Ehyeh adalah sebuan idiom Ibrani untuk mengungkapkan kesamaran yang disengaja. Ketika Alkitab menggunakan frase seperti “mereka pergi ke mana mereka pergi”, itu artinya: “Saya sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi!” Jadi, ketika Musa bertanya siapa gerangan dia, Tuhan menjawabnya: “Jangan pikirkan siapa Aku!” “Pikirkanlah dirimu sendiri!” Tak perlu diskusi tentang hakikat Tuhan dan tentunya tak ada upaya untuk memanipulasinya sebagaimana terkadang dilakukan oleh kaum pagan ketika mereka menyebut nama-nama Tuhan mereka. Yahwe adalah Zat yang Mutlak: “Aku adalah Aku”. Dia akan menjadi apa yang dia pilih dan tidak memberikan jaminan apa pun. Dia hanya berjanji bahwa dia akan melibatkan diri di dalam sejarah umatNya.[15]

Menurut Erich Fromm, ketika Tuhan mulai memperkenalkan diriNya kepada Musa, Tuhan menyatakan diriNya sebagai Tuhan sejarah ketimbang Tuhan alam. Tuhan juga menjelaskan perbedaan antara dirinya dengan berhala atau dewa-dewi yang mempunyai nama, sedangkan Tuhan sendiri adalah Tuhan tanpa nama.

Tujuan Musa jelas. Salah satu ciri utama berhala adalah bahwa ia mempunyai nama; segala sesuatu harus bernama karena berada dalam waktu dan ruang. Untuk bangsa Ibrani, yang biasa dengan konsep keberhalaan, Tuhan sejarah tanpa nama tidak masuk akal; berhala tanpa nama adalah suatu contradictio in terminis, sesuatu yang kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Tuhan mengenali ini dan membuat kelonggaran untuk pemahaman bangsa Ibrani. Dia memberikan nama pada diriNya dan berkata kepada Musa: “Aku adalah Aku”. Dan Dia berkata, “Katakanlah hal ini kepada orang Israel, ‘Aku telah mengutusku kepadamu’.” (Ex. 3:14)

…. Terjemahan bebas dari jawaban Tuhan pada Musa: “Namaku adalah tanpa nama. Katakanlah kepada mereka yang tanpa nama telah mengirimmu.” Hanya berhala mempunyai nama, karena mereka adalah sesuatu. Tuhan “yang hidup” tidak mempunyai nama. Dalam nama Ehyeh kita menemukan kompromi yang ironis antara kelonggaran Tuhan dan ketidaktahuan manusia; dan ma’ujudNya haruslah berupa Tuhan tanpa nama.[16]

Saya ingin mendiskusikan pernyataan Tuhan dan penegasan Musa berikut komentar Karen Amstrong dan Erich Fromm tentang hakikat dari nama Tuhan, dengan menggunakan tiga logika, yaitu logika Tuhan, logika Israel, dan logika filosofis. Nama mempunyai arti penting karena nama menjelaskan hakikat atau kodrat, sifat, fungsi, peran, kedudukan, dan kekuasaan seseorang.

Menurut logika Tuhan, ketika Musa mengatakan kepada Tuhan, apa yang harus dijawabnya kepada orang-orang Israel kalau mereka bertanya tentang nama Tuhan yang telah memperkenalkan diri kepada Musa, maka Tuhan pun menjawab, “Aku adalah Aku ada”. Dalam klarifikasi terminologis, telah dikatakan bahwa menurut tradisi Yahwist, kata yang digunakan untuk Tuhan adalah Yahwe. Sekarang saya ingin jelaskan lebih jauh tentang kata tersebut. Yahwe berasal dari kata Ibrani hajah yang artinya “berada”.[17] Kata hayah biasanya juga terdapat dalam bentuk jah atau Jahu atau juga dalam bentuk ehjeh. Jadi, Tuhan adalah yang “Ada”. Maka Tuhan menyuruh Musa mengatakan kepada orang Israel, “Aku Ada” telah mengutusku kepadamu.” Dari Tuhan yang bernama “Aku adalah Aku ada” dapat diketahui hakikat dan sifat Tuhan, bahwa Dia adalah Ada yang tetap yang satu dan sama (Tuhan adalah mahaesa), selalu hadir dan selalu berkarya, serta selalu menyertai manusia. “Aku akan menyertai engkau,”[18] kata Tuhan kepada Musa.

Jadi, nama diri Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti nama diri manusia atau nama diri dewa-dewi. Karena Tuhan adalah yang Ada dan yang Ada itulah Tuhan, maka nama diri Tuhan adalah Tuhan itu sendiri dan bukan yang lain. Karena Tuhan itu mahaesa, maka nama Tuhan adalah Tuhan yang tetap satu dan sama seperti “Aku adalah Aku ada”. Dengan begitu, dari nama ini dapat dikethui pula karakter “Ateistik” dari Tuhan sebagaimana akan Dia perlihatkan dan buktikan kepada Israel, juga yang akan Dia tuntut dari Israel. Jadi, menurut logika Tuhan, nama diri Tuhan adalah Tuhan, yang adalah Yahwe, yang adalah “Aku adalah Aku ada”.

Berikutnya, bagaimana dengan logika Israel berkaitan dengan nama diri Tuhan? Menurut logika Israel, adalah tidak masuk akal, kalau Tuhan meminta supaya jangan memikirkan tentang siapa Dia, melainkan pikirkanlah tentang siapa itu manusia dan atau siapa itu Israel sendiri? Untuk dapat menyerahkan diri secara total dan percaya semata-mata kepada Tuhan, maka logislah kalau Israel harus memikirkan siapa itu Tuhan mereka dan harus tahu tentang namaNya. Orang Israel yang hidup dan bergaul dengan suku-suku bangsa semitis, sudah terbiasa dengan berhala dan dewa-dewi pagan yang mempunyai nama. Dengan demikian, dalam bayangan mereka, Tuhan Israel pun tentu punya nama. Oleh karena itu, ketika Musa mengatakan bahwa “Aku Ada” telah mengutus aku kepadamu, tentu membuat orang Israel menjadi bingung.

Merujuk pada komentar Karen Amstrong, orang Israel seharusnya tak perlu memeras otak untuk memikirkan hakikat Tuhan atau berspekulasi tentang “Aku adalah Aku ada”. Lebih baik orang Israel berpikir tentang siapa diri mereka, tentang pengalaman sejarah hidup mereka ketika mereka dipimpin oleh para bapak bangsa yaitu Abraham, Isak, dan Yakub. Dan sekarang Tuhan memperkenalkan diri kepada Israel , melalui Musa, dengan menyebut namaNya sebagai “Aku adalah Aku ada”, yang tidak lain merupakan hakikat dari Yahwe. Dalam memperkenalkan dirinya, Tuhan selalu menyebut nama nenek moyang Israel. Dengan cara ini, Tuhan sebenarnya mau mengatakan kepada Israel bahwa dari zaman nenek moyang, “Aku Ada” selalu hadir dan menyertai Israel dengan memperlihatkan kekuasaanNya atas Israel dan atas bangsa manusia.

Karena “Aku adalah Aku ada” adalah hakikat dari Yahwe, yang adalah Tuhan yang satu dan sama, maka jelas pula karakter “Ateistik” dari Tuhan Israel. Bahwa Tuhan Israel tidak mengakui tuhan-tuhan atau dewa-dewi lain di sampinNya. Yahwe adalah “Ada” dan mempunyai kekuasaan yang tak berbatas. Yahweh adalah Tuhan universal. Ini sangat jauh berbeda dengan dewa-dewi atau tuhan-tuhan, yang adalah “tidak ada”, karena “tidak berkuasa” atau hanya memiliki “kekuasaan local”, dan karena itu tidak layak dipercaya. Menurut Tuhan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan lain, tidak layak ada.

Setelah logika Tuhan dan logika Israel, saya ingin mengomentari penegasan Tuhan tetang siapa diriNya dengan menggunakan logika filosofis. Logika filosofis ingin menalar apa yang saya sebut sebagai “kontradiksi ontologis” dan atau “paradoks ontologis” yang terimplikasi dalam pernyataan Tuhan tentang diriNya yaitu “Aku adalah Aku ada”. Di atas Karen Amstrong mengilustrasikan begini. “Mereka pergi ke mana mereka pergi,” itu berarti “saya sama sekali tidak tahu ke mana mereka pergi.” Dalam dua pernyataan yang kontradiktoris ini, ada sesuatu yang disamarkan atau disembunyikan, sehingga tidak dapat diketahui. Sesuatu yang disembunyikan itu adalah tempat yang dituju.

Mengacu kepada Karen Amstrong, maka menurut saya, Tuhan menyamarkan atau menyembunyikan sesuatu dalam perkenalan diriNya ketika Dia mengatakan, “Aku adalah Aku ada”. Pertanyaan saya adalah apa yang dengan sengaja disamarkan atau disembunyikan oleh Tuhan? Menurut saya, sesuatu yang disembunyikan oleh Tuhan itu adalah modus atau cara beradanya Tuhan. Yakni Tuhan “berada di dalam ketiadaan” (being in nothingness), karena keberadaan Tuhan tidak dapat diidentifikasi baik secara nama maupun secara sosok fisik. Jadi, bisa dikatakan bahwa hakikat Tuhan adalah “ada sekaligus tiada”. Tuhan bersembunyi atau menyamarkan keberadaanNya di dalam “ketiadaan”.

Begitu pula kalau kita merujuk pada terjemahan bebas Erich Fromm atas jawaban Tuhan kepada Musa: “NamaKu adalah Tanpa Nama”. Menurut Erich Fromm, Tuhan sejarah tanpa nama adalah tidak masuk akal alias contradictio in terminis, suatu yang kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Menurut Erich Fromm, ma’ujud Tuhan adalah “Tuhan Tanpa Nama”. Padahal nama sangat penting artinya untuk menjelaskan hakikat Tuhan. Lagi-lagi, hal ini membuktikan karakter “ateistik” dari Tuhan. Yakni Tuhan harus menegasikan namaNya untuk mencegah Israel menyamakan Yahwe dengan dewa-dewi pagan yang mempunyai nama. Jadi, terhadap pertanyaan siapa itu Tuhan harus dijawab begini. “Tuhan adalah Tuhan”, yang selalu paradoks. Dia “ada sekaligus tiada”, serta “NamaNya adalah Tanpa Nama”.

Menurut logika filosofis, Tuhan senantiasa memperlihatkan modus keberadaanNya sebagai “kontradiksi ontologis” dan atau “paradoks ontologis”. Dia ada sekaligus tiada. Dia bersembunyi di dalam ketiadaan. Tuhan itu ada tetapi tidak hadir dalam “adaan” atau being berupa sesuatu sosok ataupun sebuah nama. Semakin manusia menalar Tuhan, semakin manusia tidak memahami Dia. Semakin manusia mencari Tuhan, semakin manusia tidak menemukan Tuhan. Ketika manusia mencari Tuhan, maka Tuhan akan selalu datang menemui manusia. Jika manusia tidak mencari Tuhan, maka manusia akan menemukan Tuhan. Manusia akan menemukan Tuhan apabila manusia tidak mencari Tuhan. Inilah paradoksnya Tuhan.

Tuhan Berkonflik Dengan Manusia

Kita telah mendiskusikan tiga masalah mendasar yang terimplikasi dalam tesis Tuhan itu Ateis. Sekarang kita akan mendiskusikan implikasi masalah keempat sebagai konsekuensi logis namun tragis dari Tuhan itu Ateis. Yaitu terjadinya konflik-dialektis antara Tuhan dan manusia sepanjang sejarah. Konflik terjadi karena di satu sisi Tuhan itu mahakuasa dan memiliki kebebasan mutlak untuk menggunakan kekuasaanNya secara sewenang-wenang atas manusia. Sementara di sisi lain, manusia juga ingin menggunakan kebebasannya – kebebasan mana diperolehnya dari Tuhan lantaran dicipatakan dalam keserupaan citra – untuk melakukan pembangkangan terhadap Tuhan atau melawan kehendak dan ketetapan Tuhan. “Kasus Eden” adalah prototipe sejarah konflik atau bentuk dan model perdana dari sejarah konflik antara Tuhan dan manusia, yang kemudian dilanjutkan dengan konflik antarbangsa, konflik antarumat beragama, dan konflik antarperadaban dari milenium ke millennium, seperti yang akan diskusikan kemudian.

Setelah diusir keluar dari Taman Eden atau Taman Surga, manusia semakin membebaskan diri dari kemahakuasaan Tuhan. Tetapi celakanya, semakin manusia membebaskan diri dari Tuhan, justru manusia semakin menjadi tidak bebas, karena dia akan selalu berhadapan dengan Tuhan. Ke ujung bumi mana mausia pergi, di sana ia akan bertemu Tuhan, dan sudah pasti akan terjadi konflik antarkeduanya. Sebagai konsekuensi dari mengkonsumsi buah “pohon pengetahuan”, maka dalam hati, kehendak, dan pikiran manusia terdapat dua kecenderungan, yaitu cenderung kepada kebaikan dan cenderung kepada kejahatan. Dan, bagi manusia yang ingin bebas dalam berbuat kejahatan, sudah pasti akan berkonflik dengan Tuhan. Dan, bagi manusia yang cenderung kepada kebaikan akan hidup dalam keselarasan atau harmoni dengan Tuhan.

Konflik antara Tuhan dan manusia bisa berujung pada penegasian secara total, tetapi juga bisa berujung dengan penyelesaian melalui “konsensus konstitusional”, yang harus dihormati oleh kedua belah pihak. Dalam bahasa biblis disebut “perjanjian”, yang harus dipatuhi baik oleh Tuhan maupun oleh manusia. Dalam “kasus Air Bah dan keluarga Nuh”, setelah kasus Eden, kita dapat melihat dua cara berakhirnya konflik antara Tuhan dan manusia. Cara pertama adalah konflik berakhir dengan “penegasian total” di mana di dalam peristiwa itu Tuhan membinasakan seluruh umat manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi, kecuali keluarga Nuh dan pasangan hewan yang dibawa serta ke dalam bahtera. Tuhan melihat bahwa sejalan dengan berkembang biaknya manusia, maka kejahatan pun makin berkembang biak pula dan bahkan semakin bersimaharajalela. Inilah yang membuat Tuhan muak, murka, dan menyesal telah menciptakan manusia.

Yahwe melihat, bahwa kedurhakaan manusia di bumi itu besar, dan segala maksud serta kecenderungan hatinya sehari-harian jahat semata-mata, maka Yahwe menyesal telah menjadikan manusia di bumi, dan pedihlah hatiNya. Maka Yahwe bersabda: “Aku akan memusnahkan manusia yang telah Kuciptakan dari muka bumi, mulai manusia sampai ternak, binatang-binatang yang merayap, burung-burung di udara, sebab Aku menyesal telah menjadikan mereka.” Tetapi Nuh jadi berkenan di mata Yahwe.[19]

Setelah membinasakan manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi, dan menyelamatkan keluarga Nuh, Tuhan dan manusia memulai suatu permulaan baru dengan membuat perjanjian yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Maka Allah memberkati Nuh serta anak-anaknya, dan berfirmanlah kepada mereka: “Jadilah subur dan berlipatgandalah dan penuhilah muka bumi.”[20]

Dengan permulaan baru ini Tuhan mulai memikirkan ulang bagaimana manajemen penyelesaian konflik antara diriNya dengan manusia. Tuhan menggunakan cara penyelesaian baru atau cara kedua yaitu mengadakan “perjanjian” dengan Nuh dan keturunannya, yang dilambangkan dengan “pelangi”. Kepada Nuh Tuhan megatakan sebagai berikut.

Aku menegaskan perjanjianKu denganmu, bahwa tidak akan ada lagi jiwa yang tenggelam dalam bah, dan tidak akan ada lagi bah yang akan menghancurkan bumi.[21]

Erich Fromm memberikan komentar yang menarik tentang perjanjian antara Tuhan dan manusia sebagai berikut.

Menyimak kesimpulan dari perjanjian itu, tampak bahwa Tuhan telah berhenti menjadi penguasa mutlak. Dia dan manusia menjadi rekan dalam perjanjian. Tuhan berubah dari “mutlak” menjadi “monarki konstitusional”. Dia terikat sebagaimana manusia terikat, pada kondisi konstitusi … Hanya ada satu situasi, tetapi fundamental: Tuhan mengharuskan diriNya untuk melakukan penghormatan mutlak kepada kehidupan, kehidupan mansuaia, dan kehidupan makhluk hidup. Hak makhluk hidup untuk hidup ditegaskan sebagai hukum pertama, yang Tuhan pun tidak boleh mengubahnya.[22]

Sebagai konsekuensi dari “penghormatan mutlak kepada kehidupan” dalam perjanjian itu yang harus ditaati oleh kedua belah pihak, maka Tuhan pun mulai belajar bersikap sabar terhadap manusia, yang memang sudah sejak kecil suka condong kepada kejahatan. Tuhan memberi kesempatan kepada manusia yang suka berbuat dosa untuk bertobat, sehingga Tuhan tidak langsung membinasakan manusia setiap kali manusia melakukan kejahatan. Tuhan memberikan kesempatan yang sama dan hak yang sama untuk hidup bagi orang baik dan orang jahat. Tuhan tetap menerbitkan matahari, bulan, dan bintang, serta menurunkan hujan dan panas kepada orang baik dan jahat, agar keduanya bisa hidup. Oleh karena itu, orang yang baik harus tetap berusaha hidup dalam kebaikan, sementara orang yang jahat harus tetap berusaha meninggalkan kejahatannya dan berubah menjadi baik di hadapan Tuhan.

Perjanjian antara Tuhan dan manusia dilambangkan dengan pelangi yang melengkung indah bagaikan busur panah. Keindahan pelangi yang biasanya muncul setelah hujan lebat itu menggambarkan keangungan Tuhan sang pencipta. Fenomena ala mini digunakan oleh Tuhan sebagai “tanda perjanjian” antara Tuhan dan manusia. Jadi, demi melihat pelangi yang membusur indah dari lembah ke lembah atau dari bukit ke bukit, maka Tuhan harus ingat akan perjanjian yang Ia telah tetapkan. Bahwa Dia tidak akan lagi sewenang-wenang terhadap manusia. Bahwa Yahwe adalah Allah yang berbelas kasihan kepada manusia yang diciptakanNya, sekalipun manusia melakukan kejahatan. Sebaliknya juga, demi melihat pelangi yang tumbuh melengkung indah bak busur panah, manusia harus ingat akan perjanjian Tuhan. Manusia harus ingat bahwa perjanjian itu menuntut kepatuhan dan kesetiaan dari dua belah pihak. Dan tanda kepatuhan terhadap perjanjian adalah hidup dalam kebaikan di hadapan Tuhan.

Sejauh ini kita sudah mendiskusikan empat implikasi masalah penting dari tesis Tuhan itu Ateis dari perspektif Alkitab. Baik implikasi pada tataran konsepsional, maupun implikasi pragmatis berupa konflik antara Tuhan dan manusia serta antara manusia dengan manusia dari abad ke abad, dari milienium ke milenium sepanjang sejarah Tuhan dan sejarah manusia, yang akan kita diskusikan lebih komprehensif dalam bab empat, lima, dan enam.

Perspektif Alquran tentang Tuhan itu Ateis

Di atas kita telah mendiskusikan perspektif Alkitab tentang Tuhan itu Ateis. Pada kesempatan berikut ini kita akan mendiskusikan perspektif Alquran tentang Tuhan itu Ateis. Untuk itu kita bertolak dari dua kalimat syahadat atau pengakuan iman Islam yaitu “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah,” atau La illaha il allah, Muhammad rasul’llah. Menurut saya, pengakuan dalam kalimat syahadat yang pertama la illaha il allah adalah suatu penegasan yang terang benderang bahwa “Allah itu Ateis”. Allah tidak mengakui adanya tuhan-tuhan lain. Jadi Allah Islam adalah Allah yang Ateis, Allah yang esa, Allah yang satu-satunya, Allah yang manahakuasa.

Sepintas pernyataan Allah itu Ateis, mungkin terdengar aneh di telinga orang Islam, sebagaimana juga orang Kristen merasa aneh mendengar pernyataan Tuhan itu Ateis. Mungkin pula dianggap sebagai penghujatan dan penghinaan, tetapi bila berpikiran jernih, rasional, dan tidak mengedepankan kemarahan emosional yang meledak-ledak tak terkontrol lantaran berakal pendek, maka pernyataan Allah itu Ateis atau Tuhan itu Ateis adalah sangat logis. Allah atau Tuhan adalah mahaesa dan mahakuasa justru hanya dengan tidak mengizinkan dan menghapuskan allah-allah atau tuhan-tuhan lain. Saya mengerti karena terminologi ateis itu biasanya dikenakan kepada manusia, sehingga dirasa janggal kalau dikenakan kepada Tuhan atau Allah. Padahal pengakuan iman Yahudi, Kristen, dan Islam dengan terang menderang menjelaskan hakikat Tuhan atau Allah mereka adalah Ateis.

Ada dua pokok atau masalah mendasar yang terimplikasi dalam pernyataan Allah itu Ateis, menurut perspektif Islam atau perspektif Alquran. Pertama adalah Allah Islam menegasikan allah-allah atau dewa-dewi sesembahan kaum Quraisi dan tuhan-tuhan kaum kafir lainnya. Kedua – dan ini menurut saya yang paling penting – adalah penegasian Allah Islam terhadap keilahian dan atau keallahan Yesus Kristus (orang Islam menyebutnya dengan Isa) sebagaimana yang diimani oleh kaum Nasrani atau kaum Kristen. Menurut Allah Islam, menyekutukan Isa (Yesus Kristus) dengan Allah dan atau mengakui Isa sebagai putera Allah adalah suatu tindakan kafir, karena hal itu merupakan suatu perbuatan syirik atau penyembahan berhala. Menyembah Yesus sebagai Allah merupakan dosa besar yang tak terampuni bagi umat Islam.

Ada banyak wahyu Alquran tentang keesaan dan kemahakuasaan Allah. Namun dalam konteks penegasian Allah Islam terhadap keallahan atau keilahian Yesus Kristus, saya akan mengutip beberapa Surat penting yang di dalam beberapa ayatnya secara eksplisit menegaskan penegasian Allah Islam terhadap keallahan Yesus Kristus. Kemudian saya akan memberikan beberap komentar kritis berkaitan dengan penegasian itu. Ada tiga masalah mendasar yang terimplikasi di dalam penegasian Allah Islam terhadap keallahan Yesus Kristus yaitu menyangkut: (1) Isa (Yesus) adalah Allah, (2) Tuhan atau Allah mempunyai Anak, dan (3) masalah Trinitas.

Wahyu Allah kepada Nabi Muhammad yang secara eksplisit menegaskan penegasian terhadap keallahan Isa terdapat dalam Surat 5 AL-MAA’IDAH, yang mengatakan sebagai berikut.

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.” Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang yang berada di bumi semuanya? Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah mahakuasa atas segala sesuatu.[23]

Meskipun dalam ayat tersebut di atas menegasikan keilahian Isa (Yesus) dan mengutuk orang-orang yang mengakui Yesus sebagai Allah, serta mencap mereka sebagai orang kafir, namun dalam Surat 21 AL ANBIYAA’, Allah justru mengatakan sebagai berikut.

Dan (ingatlah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalau Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi alam semesta.[24]

Sebelum mencoba memahami wahyu-wahyu tersebut di atas, pertama-tama saya harus mengatakan bahwa saya tetap menghargai umat Islam yang tidak mau mengakui bahwa Isa (Yesus) adalah Allah. Penolakan Islam terhadap Isa (Yesus) sebagai Allah, barangkali, didasarkan pada logika bahwa oleh karena Isa (Yesus) itu “diciptakan” atau “dijadikan” oleh Allah, maka Isa bukan Allah (sekalipun Allah menciptakan Isa dari ruh dan firmanNya). Penciptaan Isa dari roh dan firman itu membuktikan atau menjadi tanda kekuasaan Allah yang besar atas alam semesta. Bahkan bila Allah hendak membinasakan Isa dan ibunya, Maryam, maka tak seorang pun dapat menghalanginya, karena sangat mahakuasanya Allah itu. Jadi, karena Isa diciptakan, maka Isa bukan Allah. Tak pantaslah Isa disebut Allah. Begitulah logika Islam tentang Isa.

Meskipun demikian, saya coba memahami pengakuan bahwa Isa (Yesus) adalah Allah dengan mengikuti alur logika berikut. Semua kita tahu bahwa Allah adalah roh dan Isa (Yesus) adalah roh (yang menjadi manusia konkret, dan kita juga setuju bahwa meski roh dan tubuh itu beda, tetapi satu dalam diri Isa), maka logsilah kalau disimpulkan bahwa Isa (Yesus) adalah satu dengan Allah, bahkan adalah Allah itu sendiri. Jadi, karena hakikat Allah itu menyatu dalam diri Isa (Yesus), maka Allah tidak mungkin terpisah dari Isa tatkala Isa memperoleh eksistensinya dari ruh dan firman Allah sendiri. Jadi, tak mungkin Allah menciptakan Allah (Isa). Bahkan, dalam dan oleh karena Firman (Isa)-lah segala sesuatu dijadikan.

Dalam Surat 3 ALI ‘IMRAN, Allah mewahyukan kepada Nabu Muhammad sebagai berikut.

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seroang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripadaNya, namanya Al Masih ‘Isa putera Maryam….[25]

Dalam Surat 19 Maryam, Allah mewhyukan kepada Nabi Muhammad sebagai berikut.

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Qur’an yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarga ke suatu tempat di sebelah timur.[26]

maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami[27] kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna[28]

Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.[29]

Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.[30]

Maryam berkata: “Bagaimana akan adda bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina.”[31]

Jibril berkata: Demikianlah Tuhan berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar kami dapat menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.”[32]

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.[33]

Dari ayat-ayat Alquran yang dikutip di atas jelas kiranya bagi kita bahwa tidak perlu dibutuhkan suatu logika yang rumit untuk menyimpulkan bahwa Isa (Yesus) memperoleh eksistensinya dari firman Allah dan karena itu Isa (Yesus) menyatu dengan Allah dan adalah Allah. Isa (Yesus) adalah manusia suci karena Allah yang menjadikannya dengan ruh dan firman atau kalimatNya, pun adalah Allah yang mahasuci adanya. Dan yang terpenting adalah Allah sendiri mengakui bahwa eksistensi Isa (Yesus) tidak dari campur tangan biologis manusia biasa, melainkan dari kemahakuasaan Allah yang menjadikan Isa (Yesus) dengan ruh dan firman Allah sendiri agar Isa (Yesus) menjadi tanda dan rahmat dari Allah yang telah diputuskanNya. Dan, itu adalah perkara mudah bagi Allah.

Untuk menjelaskan logika ini saya ingin mengajak Anda memikirkan dan merenungkan perkara berikut ini. Kita manusia biasa, yang lahir dari hubungan biologis, baik legal maupun ilegal, juga dalam arti tertentu memiliki dimensi keilahian dalam diri kita. Karena Tuhan sang pencipta dan pemilik kehidupan meniupkan rohNya ke dalam janin yang kemudian berkembang menjadi badan atau tubuh, sehingga setiap kita adalah satu manusia utuh yang terdiri dari roh, jiwa, dan badan. Nah, kalau manusia biasa seperti kita saja mempunyai aspek ilahiah atau rohaniah, apalagi dengan Isa (Yesus), yang menurut wahyu dalam Alquran, diciptakan dari firman dan roh Allah tanpa seorang bapak biologis.

Jadi, Isa (Yesus) adalah pribadi yang mempunyai sifat ilahi. Yesus adalah Tuhan bukan karena dia menganggap dirinya Tuhan. Bukan pula karena orang Kristen mengangkat dan menobatkannya menjadi Tuhan, melainkan Allah sendirilah yang mengakuinya sebagai Tuhan. Sedangkan manusia yang statusnya sebagai ciptaan saja memiliki keserupaan citra atau gambaran dengan dengan Allah, apalagi Yesus yang adalah firman dan yang oleh karenanya segala sesuatu diciptakan dan diselamatkan. Itulah keyakinan iman orang Nasrani.

Masalah kedua adalah tentang “Allah mempunyai Anak”, dalam hal ini tentang eksistensi Yesus sebagai Anak Allah. Menurut Alquran, orang-orang Kristen menghujat Allah karena mereka menyembah Yesus sebagai Anak Allah. Itu sama syiriknya dengan mengatakan Yesus adalah Allah. Dalam Surat 6 AL AN’AAM Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai berikut.

Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.[34]

Dalam Surat 9 AT TAUBAH Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai berikut.

…. orang Nasrani berkata, “Al Masih itu putera Allah, demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila’nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling.[35]

Dalam Surat 19 MARYAM Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai berikut.

Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.[36]

Sesungguhnya kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar.[37]

Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.[38]

Dalam Surat 112 AL IKHLASH Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagai berikut.

Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa.

Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.

dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.[39]

Dari wahyu-wahyu Allah tersebut di atas terdapat beberapa kontradiksi kategorial yang substansial. Di satu sisi Allah mengklaim bahwa “Isa diciptakan dengan kalimat atau firman dan ruhNya, tetapi di sisi lain, entah mengapa Allah berbicara tentang diriNya yang tidak beristeri. Dengan demikian, muncul pertanyaan, apakah wahyu-wahyu itu murni diturunkan langsung dari Allah ataukah hanyalah hasil interpretasi tak cerdas penuh kebencian terhadap keimanan orang Nasrani oleh para editor Alquran dan para teolog Islam, kemudian dijustifikasikan dengan meminjam mulut Tuhan? Nah, kalau Allah sendiri memberikan wahyu yang kontradiktif secara substansial atau wahyu yang menentang diriNya sendiri, apakah Allah seperti itu masih pantas disebut Allah?

Bila benar asumsi tentang Allah, isteri, dan beranak, adalah interpretasi para editor Alquran dan teolog Islam, lantas mengapa para editor Alquran dan teolog Islam itu sedemikian naïf membayangkan Yesus sebagai putera Allah secara harafiah dan mereduksi masalah keilahian serta kemahakuasaan Tuhan menjadi hanya sebatas nafsu biologis rendah semata, sehingga seakan-akan memaksa Tuhan harus beristeri untuk memperanakkan Yesus, sementara kita tahu Tuhan itu adalah roh? Bukankah Allah sendiri mengatakan bahwa Isa (Yesus) diciptakan dari firman dan rohNya, serta tidak dari seorang bapak biologis, sebgaimana juga diklaim Alquran?

Masalah ketiga yang terimplikasi dalam penegasian Allah Islam terhadap keallahan atau keilahian Yesus (Isa) adalah Trinitas. Untuk itu mari kita lihat apa kata Alquran tentang hal ini. Surat 4 AN NISAA’ mengatakan sebagai berikut:

Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dariNya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulNya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan yang di bumi adalah kepunyaanNya. Cukuplah Allah sebagi Pemelihara.[40]

Rupanya ada kesulitan besar dalam memahami Trinitas, sehingga ada tuduhan bahwa doktrin Trinitas yang diimani orang Nasrani itu bertentangan dengan logika atau akal sehat. Anak-anak sekolah taman kanak-kanak saja mengerti bahwa 1+1+1=3, tetapi mengapa nalar orang Nasrani mengatakan bahwa 1+1+1=1? Orang Nasrani memang beriman kepada Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Meskipun demikian, tak perlulah orang Islam mengutuk orang Nasrani sebagai orang kafir, hanya karena mereka mengimani Allah Tritunggal yang tidak cocok dengan iman Islam. Apalagi Trinitas sama sekali tidak bertentangan dengan logika atau akal sehat. Adalah sangat naïf dan dangkal kalau orang memahami Trinitas hanya dari perspektif numerologis dan ilmu berhitung taman kanak-kanak. Lebih dari itu, menurut saya, Trinitas hanya dapat dipahami menurut logika tingkat tinggi, yaitu logika ilahi di mana 1+1+1=1 di mana setiap satu mempunyai hakikat yang sama yaitu satu, sehingga kalau digabungkan atau dijumlahkan tetap satu juga.

Sebagai ilustrasi untuk memahami logika Trinitas, saya ingin mengajak umat Islam, Nasrani, Yahudi, dan manusia siapa saja untuk merenungkan dan memahami hal berikut ini. Setiap manusia secara hakiki memiliki misteri trinitas dalam dirinya. Sebagaimana telah saya singgung sepintas di depan, di dalam diri setiap manusia terdapat tiga hakikat substansial yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Itulah misteri penciptaan manusia oleh Allah. Tuhan menciptakan tubuh manusia dari tanah, kemudian Ia meniupkan roh dan jiwa ke dalam tubuh, sehingga jadilah manusia itu makhluk hidup yang memiliki keserupaan citra dengan Allah, sang Penciptanya. Manusia tidak bisa disebut manusia atau tak bisa menjadi manusia tanpa salah satu atau dua dari tiga hakikat substansial tersebut. Karena Allah menciptakan manusia menurut citraNya, maka logislah kalau Allah memeteraikan misteri trinitasNya dalam diri manusia. Roh adalah dimensi keilahian, jiwa adalah dimensi kehidupan, dan keduanya bersama tubuh menjadikan manusia makhluk hidup yang utuh-integral. Ketika roh dan jiwa terpisah atau dipisahkan oleh Tuhan dari tubuh manusia, itulah yang disebut manusia mati atau meninggal dunia.

Bertolak dari analogi logika trinitas dalam diri manusia, kita coba memahami logika Trinitas dalam diri Tuhan. Untuk itu salah satu rujukan yang sudah pasti adalah Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Pada awal Kitab Kejadian maupun awal Injil Yohanes, terdapat tiga kata kunci yang menyingkap misteri Trinitas atau Tritunggal, yaitu Allah, Roh, dan Firman.[41] Tuhan yang esa, ketika mewahyukan misteri diriNya, secara eksplisit memperlihatkan hakikatNya yang “sekaligus-mutlak-sempurna”, yakni sebagai Pencipta (Allah), Hidup (Roh), dan Penyelamat (Firman). Nah, Pencipta, Hidup, dan Penyelamat, adalah satu dalam hakikat yang sama sebagai Tuhan.

Menurut saya, hakikat Tuhan harus dibedakan dari sifat-sifat Tuhan, meskipun sifat-siafat itu inheren dalam diri Tuhan. Tanpa hakikat, maka tidak ada sifat, sifat ada karena ada hakikat. Jadi, Tuhan bukan Pencipta tanpa hakikatNya sebagai Hidup dan Penyelamat. Tuhan bukan Hidup tanpa hakikatNya sebagai Pencipta dan Penyelamat. Tuhan bukan Penyelamat tanpa hakikatNya sebagai Pencipta dan Hidup. Nah, puncak dari wahyu Tuhan adalah ketika Firman menjelma menjadi manusia (inkarnasi) dalam diri Yesus yang melingkupi alfa dan omega dari seluruh realitas manusia, alam semesta, dunia, dan Tuhan.

Untuk mempermudah atau meringkas logika Trinitas, maka mari kita analogikan dengan 1+1+1=1 di mana setiap satu mempunyai hakikat yang sama yaitu satu, sehingga bila digabungkan pun tetap satu juga. Jadi, Allah (Pencipta), Roh (Hidup), dan Firman (Penyelamat) adalah satu dalam kesamaan hakikat yaitu Tuhan. Inilah Keesaan Trinitas, yang merupakan misteri Tuhan dan sama sekali tidak bertentangan dengan logika atau akal sehat manusia.

Dengan peristiwa inkarnasi, maka terkuaklah misteri Trinitas atau Tritunggal Allah. Dan, inkarnasi, hidup, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus adalah realitas einmalig. Yaitu sekali terjadi, satu-satunya, untuk selama-lamanya, tidak ada yang lain lagi (artinya tidak ada penjelmaan atau inkarnasi lagi), alfa-puncak-omega, yang mewahyukan seluruh misteri manusia, dunia, alam semesta, dan Tuhan. Inkarnasi, hidup, wafat, kebangkitan, dan seluruh ajaran Yesus Kristus meringkas secara tegas dan jelas siapa itu Tuhan. Dialah Pencipta yang memberi Hidup dan Penyelamat. Itulah monoteisme trinitaris menurut keyakinan iman orang Nasrani. Jadi, trinitas bukanlah logika kelas murid sekolah taman kanak-kanak, melainkan logika tingkat tinggi, logika ilahi.

1. 4. Satu Tuhan Diklaim Tiga Agama

Dalam klarifikasi terminologis tentang monoteisme Abrahamik, telah dijelaskan bahwa Tuhan sebagaimana Dia mewahyukan diri kepada Abraham, itulah yang menjadi asal-muasal serta hubungan persamaan dan perbedaan dari tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen, dan Islam. Dengan kata lain, Abraham adalah founding father atau bapak bangsa yang menjadi peletak dasar bagi berdiri, berevolusi, dan melembaganya ketiga agama tersebut. Meskipun demikian, klaim kesamaan monoteisme Abrahamik itu tidak serta-merta atau tidak lantas berarti bahwa Yahudi, Kristen, dan Islam mempunyai pandangan atau konsep yang persis sama mengenai banyak hal prinsipiil dan fundamental keimanan monoteis.

Dengan kata lain, meskipun Yahudi, Kristen, dan Islam memiliki warisan bersama dari Abraham, namun ketiganya mempunyai konsep dan pandangan yang berbeda tentang warisan bersama itu. Inilah yang banyak kali menimbulkan kebingungan dan menjadi kendala serta kesulitasn pragmatis dalam komunikasi antara para penganut Yahudi, Kristen, dan Islam. Terlebih lagi kalau komunikasi itu terjadi di antara pemeluk monoteisme Abrahamik, yang memiliki perbedaan tajam dalam latar belakang sejarah, tradisi, dan kebudayaan, seperti antara Barat yang didominasi oleh tradisi Yudeo-Kristen dan Timur yang didominasi oleh tradisi Islam.

Berikut ini, saya akan mengemukakan hanya beberapa tema atau masalah saja tentang warisan bersama monoteisme Abrahamik, kemudian perbedaan pandangan mengenai warisan bersama itu dilihat dari perspektif Yudeo-Kristen, perspektif Kristen, dan perspektif Islam disertai dengan komentar-komentar kritis dari saya atas masalah yang saya anggap perlu.

Masalah yang paling pertama adalah tentang “Asal-Muasal” Yahudi, Kristen, dan Islam. Menurut perspektif Yudeo-Kristen, agama Yahudi dapat jejak asal-usul, evolusi, dan melembaga mulai dari masa prasejarah Israel atau proto-Yudaisme, yaitu sejak Adam hingga Nuh (Kej.1-14). Kondisi prasejarah yang penting dari masa Adam hingga Nuh adalah penciptaan dunia dan manusia oleh Tuhan serta wahyu dan perjanjian awal antara Tuhan dan manusia, yang diwakili oleh Nuh. Dari masa prasejarah, kemudian wahyu dan perjanjian antara Tuhan dan manusia mulai memasuki masa sejarah di mana dari antara bangsa-bangsa manusia, Tuhan secara eksklusif memanggil bangsa Israel untuk memberikan wahyu dan perjanjianNya, yang ditandai dengan panggilan Abraham.

Eksklusifitas perjanjian itu kemudian diwariskan kepada anak cucu Abraham, yaitu Isak dan Yakub, dan kemudian diwariskan kepada Israel di bawah kepemimpinan Musa. Pada masa kepemimpinan Musa itulah Yudaisme atau agama Yahudi mengalami proses pelembagaan atas wahyu dan perjanjian Tuhan secara penuh dan definitif. Kemudian pada masa-masa pasca-Musa, Tuhan secara periodik mengutus para nabi untuk memberikan peringatan keras kepada umat Israel yang gemar berperilaku tidak setia dan melanggar perjanjian Tuhan. Israel memang bangsa yang keras kepala. Peringatan Tuhan lewat para nabi menjadi tidak mempan, terutama bagi para elite penguasa.

Maka, kurang lebih tahun 930 Sebelum Masehi, Kerajaan Daud dan Sulaiman di Israel terpecah menjadi dua, yaitu Kerjaan Israel Utara dan Kerajaan Yehuda Selatan. Lagi-lagi perilaku keras kepala dari Israel membuat Tuhan marah sehingga Tuhan menghancurkan Kerajaan Israel Utara, yang dihuni oleh sepuluh suku Israel, melalui penaklukan oleh Kerajaan Assyria sekitar tahun 722 Sebelum Masehi. Nasib yang sama juga menimpa Kerajaan Yehuda Selatan, yang dihuni oleh suku Benyamin dan Yehuda. Kerajaan Yehuda dikalahkan oleh Kekaisaran Babilonia sekitar tahun 586 Seblum Masehi.

Banyak orang Yahudi dibuang ke Babilonia. Kemudian, pada masa-masa pasca-pembuangan, Yudaisme terpecah menjadi sekte-sekte. Ada sekte-sekte yang tidak bisa bertahan, tetapi ada juga sekte-sekte yang bisa bertahan sampai zaman Masehi dan modern di bawah pimpinan para rabi.Sekte-sekte Yahudi yang tetap eksis itu adalah Kaum Saduki dan Kaum Zelot yang berorientasi politik dan Kaum Farisi, yang sangat dominant pada zaman Yesus, serta Kaum Eseni. Dua sekte ini – Farisi dan Eseni – lebih berorientasi pada masalah keagamaan. Pada zaman modern, sekte-sekte Yahudi bisa dikelompokkan menjadi Yahudi Ortodoks, Yahudi Konservatif, dan Yahudi Liberal atau Reformis.[42]

Dengan kelahiran Yesus Kristus, maka perspektif Yudeo-Kristen menempun jalannya masing-masing. Bagi orang Yahudi, Yesus bukanlah Mesias yang dinanti-nantikan itu, lantaran Yesus tidak memperlihatkan kinerjanya sebagaimana diharapkan oleh orang-orang Yahudi, yakni sebagai seorang figur politik yang bisa membebaskan mereka dari bangsa-bangsa atau para penguasa asing. Maka, atas konspirasi elite politik dan elite agama, Yesus akhirnya diadili oleh suatu pengadilan yang penuh rekayasa dengan tuduhan yang tentunya direkayasa pula. Yesus dijatuhi hukuman mati oleh penjajah Romawi, yaitu digantung di kayu salib. Dan, orang-orang Yahudi pun masih tetap menantikan sang Mesias itu. Di sisi lain, sejak zaman Yesus, perspektif Kristen mulai menempu jalan sejarahnya sendiri.

Menurut perspektif Kristen, asal-muasal dan evolusi agama Kristen harus dikontekskan dalam “Paradigma Sejarah Keselamatan”, yang dirancang oleh Tuhan untuk dunia dan umat manusia yang terbentang dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Dengan kelahiran, berkarya, kemudian wafat dan bangkitnya Yesus Kristus, maka orang Kristen memosisikan Yesus sebagai puncak pemenuhan wahyu dan perjanjian Tuhan dengan manusia. Yesus adalah sentral atau fokus dari realisasi program sejarah keselamatan rancangan Tuhan sendiri. Yesus adalah Adam Baru, Israel Baru, dan Perjanjian Baru. Dialah Kristus, sang Mesias, jura selamat dunia. Yesus sungguh manusia sekaligus sungguh Allah. Karena pada mulanya Yesus adalah Friman atau Sabda, dan Sabda itu bersama Allah, dan adalah Allah. Dalam Dia segala sesuatu diciptakan dan diselamatkan.[43]

Untuk merealisasikan program sejarah keselamatan, maka Tuhan harus mewahyukan diri secara konkret dalam diri manusia Yesus Kristus. Yesus tidak menerima wahyu dari Tuhan, seperti nabi-nabi lain, karena Yesus adalah wahyu itu sendiri. Setelah berkarya, wafat, dan bangkit, Yesus memberi mandate kepada para muridNya untuk melanjutkan misi keselamatan universal melalui institusi gereja. Sejarah kemudian membuktikan bahwa Gereja Kristus tersebar sampai ke segala pelosok dan penjuru dunia, serta mengalami kemajuan yang sangat signifikan hingga memasuki milenium ketiga ini. Perspektif Kristen tentang ketuhanan Yesus justru sangat ditentang oleh Yahudi dan Islam, karena bagi mereka menyekutukan Allah dengan manusia Yesus yang dianggap sebagai Tuhan adalah suatu penghujatan alias syirik.

Selain menelusuri jejak asal-usul serta evolusi agama Yahudi dan Kristen, perspektif Yudeo-Kristen juga mempunyai pandangan sendiri tentang asal-usul serta evolusi agama Islam. Menurut perspektif ini, Islam belum ada sebelumnya dan baru mulai didirikan oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7 Masehi. Dalam mengembangkan ajarannya, Muhammad dan para pengikutnya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Yahudi Rabinik dan ajaran-ajaran Gereja Timur serta tulisan-tulisan apokrif. Sehingga Islam dianggap sebgai gabungan dari Yahudi dan Kristen.[44]

Nah, kalau perspektif Yudeo-Kristen memandang monoteisme Abrahamik itu mulai eksis dan berevolusi serta melembaga menurut skema awalnya Yahudi, kemudian Kristen, dan terakhir adalah Islam, maka sebaliknya tidak demikian menurut perspektif Islam. Menurut perspektif Islam, monoteisme Abrahamik justru berawal dari Islam dan ditutup pula oleh Islam dengan Muhammad sebagai nabi terakhir atau nabi pentutup dengan mengemban misi wahyu universal. Dan, sama seperti Kristen, Islam pun tersebar ke seluruh pelosok dan penjuru dunia dan mengalami perkembangan yang sangat signifikan hingga memasuki milenium ketiga ini.

Perspektif Islam justru memandang Yahudi dan Kristen sebagai orang-orang yang murtad dari Islam dan dengan demikian adalah orang-orang kafir yang harus dikembalikan kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah. Menurut perspektif Islam, penganut Islam yang paling pertama adalah Adam. Alasannya adalah karena, seperti dikemukakan oleh Jerald F. Dirk sebagai berikut.

Islam berarti “kepasrahan”, yaitu kepasrahan kepada Allah, dan seorang muslim adalah “seorang yang pasrah” kepada Allah. Oleh karenanya, agama Adam adalah Islam, demikian juga agama Nuh, Ibrahim, Musa, Isa (Yesus), dan sebagainya.[45]

Pandangan tersebut dibenarkan oleh Al-Quran sebagai berikut seperti dikutip Jerald F. Dirk.

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah menarik kepada agama itu, orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi pertunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepadaNya).[46]

Jadi, menurut perspektif Islam, karena hanya ada satu Tuhan, maka harus juga hanya ada satu agama, yaitu Islam. Jangan ada pecah belah menjadi Yahudi dan Kristen, dan tergantung pada Tuhan, apakah Dia mau mengembalikan orang Yahudi dan Kristen kepada Islam ataukah tidak. Agama Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Tuhan, sungguh berat bagi Yahudi dan Kristen sebagai orang-orang musyrik, demikian klaim wahyu tersebut di atas. Terhadap Tuhan Islam yang mensyariatkan demikian, saya hanya mau mengajukan pertanyaan, apakah mungkin Tuhan Islam mau menarik orang Yahudi dan Kristen untuk kembali kepada agama Islam atau malah sebaliknya Dia membiarkan Yahudi dan Kristen berjalan menurut sejarahnya masing-masing, sebab hingga milenium ketiga ini tampaknya Tuhan Islam belum menarik semua orang Kristen dan Yahudi ke dalam Islam.

Masalah kedua yang perlu ditanggapi secara kritis adalah tentang klaim bahwa agama Adam adalah Islam. Apakah klaim tersebut benar ataukah sebaliknya tidak benar kalau dilihat dari logika silogisme dan logika factual-institusional? Kalau dilihat dari logika silogisme, maka klaim tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. Premis Pertama: “Islam adalah kepasrahan diri secara total kepada Allah”. Premis Kedua: “Adam adalah orang yang beragama Islam”. Konklusinya: “Adam adalah orang yang memasrahkan diri kepada Allah.” Logika silogisme ini tampak sangat cerdas, tetapi pertanyaan saya adalah apakah benar Adam adalah orang yang memasrahkan diri secara total kepada Allah?

Menurut saya, logika faktual biblis-alqurani justru membantah kebenaran logika silogisme tersebut di atas. Dalam diskursus tentang implikasi masalah pertama dari tesis Tuhan itu Ateis, sudah saya kemukakan bahwa Adam dan Hawa (manusia) justru ingin menjadi Tuhan dengan cara membangkang terhadap Tuhan. Atas rayuan licik si jahat yaitu ular atau si iblis, Adam dan Hawa melanggar apa yang telah dilarang oleh Tuhan, yaitu jangan memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Dan, seperti kita ketahui, pelanggaran atas perintah atau larangan Tuhan itu justru berbuah konflik perdana antara Tuhan dan manusia, konflik mana telah menjalar ke seluruh bangsa manusia hingga dewasa ini.

Kalau Adam dan Hawa adalah orang-orang yang pasrah alias taat dan patuh kepada Tuhan, tentu Tuhan tidak mengusir mereka keluar dari Taman Eden atau Taman Surga. Nyatanya mereka diusir. Surat 7 AL ARAF dengan terang benderang melukiskan pembangkangan Adam dan Hawa terhadap apa yang dilarang oleh Tuhan. Keduanya mengikuti bujuk rayuan gombal dari setan yang mengklaim diri menjadi penasihat Adam dan Hawa. Akibat pembangkangan itu Tuhan mengeluarkan mereka dari surga dan menempatkan mereka di bumi. Adam dan Hawa (manusia) hidup dan mati di bumi, kemudian dibangkitkan.

Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya saya adalah termasuk prang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.” [47]

maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakana kepadamu: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kemu berdua?”[48]

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”[49]

Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.”[50]

Allah berfirman: “Di bumi itu kamu hiudp dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.”[51]

Ayat-ayat tersebut di atas dengan jelas membuktikan bahwa pada awal mula Adam dan Hawa bukanlah manusia yang taat dan berpasrah kepada Tuhan melainkan manusia pembangkang. Oleh karena itu, saya menganggap klaim tentang Adam beragama Islam, sebagai sebuah kecerdasan yang naïf dan konyol. Lantas bagaimana dengan Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (Yesus)? Apakah mereka beragama Islam? Bahwa mereka adalah orangorang yang pasrah, taat, setia, dan patuh kepada Allah, hal itu betul dan benar sesuai dengan logika silogisme. Akan tetapi, kalim tersebut akan terbantah dengan sendirinya kalau dilihat dari perspektif dan logika faktual-historis-institusional.

Sebagaimana terlah disebutkan di depan, menurut perspektif Yahudi, sejarah Tuhan dan manusia bermula dari zaman proto-Yudaisme, kemudian berpuncak pada Musa yang melembagakan Yudaisme untuk kemudian diwariskan kepada bangsa Israel dan orang-orang Yahudi di bawah pimpinan para rabi. Begitu pula menurut perspektif Kristen, sejarah Tuhan dan manusia harus dikontekskan dalam paradigma sejarah keselamatan yang dirancang oleh Tuhan. Bermula dari penciptaan dunia dan manusia Adam dan Hawa, berevolusi melalui Israel, kemudian berpuncak pada wahyu Yesus Kristus, sang penyelamat, dan dilanjutkan oleh gereja hingga dewasa ini dan akan datang.

Jadi, kalau Musa adalah peletak dasar Yudaisme dan Yesus adalah peletak dasar Kekristenan, lantas bagaimana bisa dikatakan bahwa Musa dan Yesus beragama Islam hanya berdasarkan logika silogisme, sebuah argumentasi yang cerdas, tapi lemah dan naïf. Lantas bagaimana dengan Nuh, Abraham, Isak, dan Yakub? Menurut saya, agama Nuh, Abraham, Isak, dan Yakub harus dikontekskan dalam hak prerogatif Tuhan dalam paradigma mototeisme trinitaris, yang akan kita diskusikan kemudian.

Lebih jauh, akan lebih celaka lagi kalau silogisme agama Adam adalah Islam itu dibalik, sehingga kita akan mendapatkan sebuah konklusi, yang jelas-jelas tidak dapat diterima oleh orang-orang Islam. Silogisme terbalik itu adalah sebagai berikut. Premis Pertama: “Adam adalah manusia pemberontak.” Premis Kedua: “Adam beragama Islam.” Konklusinya: “Islam adalah pemberontak.” Lagi-lagi, secara logika silogisme, benar. Tetapi secara logika faktual-historis-institusional, salah. Karena agama Islam tidaklah demikian.

Kepasrahan kepada Tuhan bukan hanya monopoli orang-orang Islam saja. Orang Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, dan Nasrani pun bisa pasrah kepada Tuhan, tetapi tentu saja mereka tidak setuju kalau dikatakan bahwa mereka adalah muslim. Pandangan seperti ini terjadi karena para editor kitab suci beserta para penulis, baik Yahudi, Kristen, maupun Islam belum mampu membebaskan diri dari prasangka-prasangka negative satu terhadap yang lain, dan masih terbelenggu keangkuhan religius, yang gemar membenarkan diri dan sebaliknya gemar menyalahkan atau mengkafirkan pihak lain. Begitu pula dalam mengkodifikasi dan mengedit wahyu Tuhan, sulit sekali untuk bebas dari dominasi faktor kemanusiaan, baik itu subjektivitas manusia penerima wahyu, penulis, dan editor, maupun subjektivitas dan kepentingan otoritas kelembagaan masing-masing agama.

Masalah ketiga adalah menyangkut pandangan bahwa Yahudi dan Kristen adalah orang-orang kafir yang murtad dari Islam sebagai satu-satunya agama yang disyariatkan dan diridhoi oleh Allah sejak Adam, dan oleh karenanya pula harus diserukan agar Yahudi dan Kristen kembali kepada Islam.

1. ../n
2. ..n

[1] Sumber utama yang saya rujuk untuk diskursus tentang Tuhan dan Ateisme adalah karya Karen Amstrong: Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan, Bandung, 2004 dan sumber-sumber lainnya yang relevan dengan tesis buku ini.

[2] Uraian yang cukup baik tentang istilah Tuhan dan Allah dapat diaca dalam Jerald F. Dirks, Salib di Bulan Sabit, Dialog Antara Islam dan Kristen, Serambi, Jakarta, 2004, hlm. 237-238.

[3] Penjelasan otoritatif tentang istilah Tuhan dan Allah dapat dibaca dalam Kitab-Kitab Taurat Musa I, yang diterbitkan atas nama Majelis Agung para Wali Gereja Indonesia (MAWI) atau sekarang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Terutama baca penjelasan dalam Kata Pendahuluan. Percetakan Nusa Indah, Ende-Flores, 1967, Hlm. viii-ix.

[4] Uraian tentang Wahyu dan Ilham dapat dibaca dalam Kata Pendahuluan, ibid, hlm 7.

[5] Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006 hlm. 18 terutama penjelasan pada catatan kaki.

[6] Kej. 1:26-27

[7] Kej. 2:15-17

[8] Kej. 3:1-6

[9] Kej. 3: 22-23

[10] Erich Fromm, Manusia Menjadi Tuhan, Pergumulan antara Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam, diterjemahkan oleh Evan Wisastra et al., Penerbit Hyena, Jakarta, 2004 hlm. 44-45.

[11] Erich Fromm, ibid hlm. 45-46

[12] Kel. 20: 2-6

[13] Ulangan 6: 4-6

[14] Kel. 3:13-15.

[15] Karen Amstrong, op.cit

[16] Erich Fromm, op cit. hlm 54-56

[17] Taurat Musa I, op cit. hlm 178-179, penjelasan pada catatan kaki. Menurut saya, terminologi hajah atau ehjeh lebih tepat ditejemahkan dengan kata “Ada” daripada kata “Aku” sebagaimana terjemahan dalam Alktiab dari Lembaga Alkitab Indonesia.

[18] Kel. 3:12

[19] Kej. 6: 5-8

[20] Kej. 9: 1

[21] Kej. 9: 11

[22] Erich Fromm, op cit. hlm. 48

[23] Q.S. 5: 17; 5: 72

[24] Q.S. 21: 91.

[25] Q.S. 3: 45

[26] Q.S. 19: 16

[27] Roh Kami di sini maksudnya Jibril

[28] Q.S. 19: 17

[29] Q.S. 19: 18

[30] Q.S. 19: 19

[31] Q.S. 19: 20

[32] Q.S. 19: 21

[33] Q.S. 19: 22

[34] Q.S. 6: 101

[35] Q.S. 9: 30

[36] Q.S. 19: 88

[37] Q.S. 19: 89

[38] Q.S. 19: 90

[39] Q.S. 112: 1-4

[40] Q.S. 4: 171

[41] Kej. 1: 1-3; Yoh. 1: 1-3;10. Penjelasan lebih komprehensif tentang hal ini akan disajikan dalam bab dua subtopic Tuhan menurut perspektif Kristen.

[42] Tentang asal-usul dan evolusi Yudaisme, lihat Jerald F. Dirk, op.cit. hlm. 35-46

[43] Yoh. 1: 1-18.

[44] Jerald F. Dirk, ibid. hlm. 46

[45] Jerald F. Dirk, ibid. hlm. 49

[46] Q.S. 42: 13

[47] Q.S. 7: 21

[48] Q.S. 7: 22

[49] Q.S. 7: 23

[50] Q.S. 7: 24

[51] Q.S. 7: 25

(MASIH DALAM PENULISAN)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG