Pilkada
Pentingnya Sebuah Pilkada Yang Cerdas
Apakah tujuan akhir pilkada ? Apakah manfaat terpenting yang diperoleh rakyat dari pilkada ? Dua pertanyaan ini penting disimak bagi refleksi pentingnya pilkada secara normatif. Membiarkan pilkada dalam tujuan dan prosedur semata berada dalam wilayah politis, sama artinya dengan menjerumuskan konsep hak politik individu semata sebagai instrument kekuasaan. Inilah yang menimbulkan, masyarakat kemudian tidak memperoleh apa-apa dari pilkada. Jika diamati, apa yang terjadi dengan pilkada akhir-akhir ini, semakin jelas bahwa asumsi tersebut semakin mendekati realitas. Tulisan ini akan menunjukan bagaimana konsep hak politik individu dimanfaatkan dengan rasional sehingga memberi manfaat besar bagi masyarakat.
Bangsa Indonesia berhasil keluar dari kemelut, setelah krisis panjang politik dan ekonomi. Krisis tersebut telah menjadi pelajaran berarti bagaimana sebaiknya segala hal dikelola untuk sesuatu yang jauh lebih baik. Pemerintahan yang otoritarian muncul karena segala hal dikelola secara sentralistik. Pemerintahan yang sentralistik sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan. Dan penyalahgunaan kekuasaan sudah pasti buruk hasilnya bagi masyarakat. Mengapa ? Karena kekuasaan yang sentralistik hanya mengakomodasi kepentingan segelintir orang, bahkan bisa jadi sangat individual. Indonesia masa Orde Baru, menurut Bill Liddle, adalah contoh bagaimana Indonesia dikelola hanya dengan satu kepala, Soeharto. Yang lain semata pemanis, pernak-pernik, dan sama sekali tidak penting. Jika demikian, apakah rakyat hanya berharap belas kasihan dari pemilik segala hajat hidup rakyat ?
Sentralisme sesungguhnya hadir bukan tanpa basis historis dan budaya. Bangsa Indonesia, dalam sejarahnya hidup dalam angan-angan hadirnya seseorang yang akan menjadi solusi permasalahan individu dan struktural. Kehadirannya merupakan sesuatu yang dinantikan karena masalah yang dipersepsi datang dari luar dirinya, seolah-olah tidak mampu diatasi. Hanya dengan kehadiran sang Ratu Adil itulah semua masalah akan dapat diselesaikan. Ratu Adil dapat menghadirkan masyarakat yang makmur secara ekonomi dan adil secara politis. Pemahaman seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik di negeri ini untuk maju dalam pilkada. Mereka berusaha menghadirkan dirinya sebagai solusi, seolah-olah sebagai sebuah entitas, mereka adalah figur tanpa cacat, tanpa kepentingan, dan mengabdi tanpa pamrih. Lihat saja iklan dan media luar ruang yang muncul seperti jamur dimusim hujan, sesaat setelah pilkada dilakukan di berbagai daerah. Semua iklan tersebut menyatakan dirinya sebagai Ratu Adil, bukan sebagai pemimpin untuk sebuah masyarakat yang demokratis.
Apa bedanya ? Pemimpin sebagai entitas demokrasi berorientasi program dan bukan citra. Mengapa ? Karena citra tidak bisa digugat dan ditagih, tapi program bisa ditagih. Program adalah alat ukur objektif, sedangkan citra bersifat subjektif dan kualitatif. Citra itu imajiner, sedangkan program bersifat aktual dan historis. Tapi program tersebut bukan dijanjikan, tapi ditawarkan. Program yang dijanjikan, sama artinya sang calon bermain-main dengan hajat hidup publik. Melalui janji, seolah-olah sang calon sudah menguasai semua sumberdaya politik yang sarat kepentingan. Dan janji tersebut pasti akan dipenuhi. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sang calon harus berhadapan dengan berbagai macam kepentingan, yang sangat mungkin dikemudian hari, janji tersebut tidak akan terpenuhi.
Semua janji dan citra ditampilkan dalam pilkada, terutama dalam kampanye. Kampanye adalah tahap untuk merebut hati publik. Pilihan publik adalah hal yang sangat diperhatikan. Karenanya, semua sentiment irasional dieksploitasi, mulai dari kesukuan, agama, strata sosial budaya, dan atribut-atribut seperti akademisi yang cerdas, politisi handal, birokrat yang peduli, incumbent yang berhasil, cendekiawan, muslim yang baik, militer yang peduli dan sigap mengambil keputusan, dll. Semua sentiment dan atribut-atribut tersebut hidup dan bersemi dalam hati publik. Karena itu mewakili imajinasi mereka akan Ratu Adil. Mereka adalah orang-orang baik yang akan menyelesaikan masalah rakyat. Oleh karena itu, apapun oleh rakyat akan dipertaruhkan demi hadirnya Sang Ratu Adil tersebut. Ironisnya, semua calon berpretensi sebagai Ratu Adil. Namun, di ranah publik, Ratu Adil hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Publik mendekonstruksi semua atribut dan sentiment Ratu Adil yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pilkada. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah. Pilkada dibeberapa daerah belakangan ini, misalnya pendudukan terhadap kantor KPUD dan ancaman pembunuhan terhadap anggota KPU, menunjukan bahwa sang calon sama sekali tidak menghargai lembaga-lembaga demokrasi. Lembaga yang justru diberi mandat menyelenggarakan hajat mereka sendiri.
Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah , apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi. Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit dan masyarakat, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit yang mencalonkan diri dalam pilkada harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.
Pemimpin yang dibutuhkan dalam konteks demokrasi bukanlah pemimpin yang menguasai segala kualitas kebaikan, tetapi pemimpin yang menyadari bahwa dirinya sangat berpotensi berbuat khilaf. Karena itu butuh kontrol dan kritik. Jika ada sebuah pilihan, mana yang harus dipilih pemimpin yang demokratis atau pemimpin yang baik, maka demokrasi merekomendasikan pemimpin yang demokratis. Karena pemimpin yang dianggap memiliki kualitas kebaikan biasanya tidak bersedia dikritik, karena menganggap dirinya sudah memenuhi semua unsur-unsur kebaikan. Karena itu, pemimpin seperti ini biasanya otoriter dan korup. Belum lagi bahwa sangat mungkin kualitas-kualitas kebaikan yang disampaikan dalam kampanye, semuanya berbau manipulatif. Namun pemimpin yang demokratis juga mempersyaratkan masyarakat yang cerdas dan kritis. Mengapa ? Karena jika tidak dikontrol maka kekuasaan se-demokratis apapun juga akan cenderung korup. Masyarakat harus curiga terhadap pemimpinnya, namun memberi kepercayaan yang tinggi kepada sistem yang baik. Karena itu, dibutuhkan masyarakat yang cerdas dengan pemimpin yang demokratis, bukan masyarakat marah yang selalu bertikai dengan pemimpin yang manipulatif.
Apakah tujuan akhir pilkada ? Apakah manfaat terpenting yang diperoleh rakyat dari pilkada ? Dua pertanyaan ini penting disimak bagi refleksi pentingnya pilkada secara normatif. Membiarkan pilkada dalam tujuan dan prosedur semata berada dalam wilayah politis, sama artinya dengan menjerumuskan konsep hak politik individu semata sebagai instrument kekuasaan. Inilah yang menimbulkan, masyarakat kemudian tidak memperoleh apa-apa dari pilkada. Jika diamati, apa yang terjadi dengan pilkada akhir-akhir ini, semakin jelas bahwa asumsi tersebut semakin mendekati realitas. Tulisan ini akan menunjukan bagaimana konsep hak politik individu dimanfaatkan dengan rasional sehingga memberi manfaat besar bagi masyarakat.
Bangsa Indonesia berhasil keluar dari kemelut, setelah krisis panjang politik dan ekonomi. Krisis tersebut telah menjadi pelajaran berarti bagaimana sebaiknya segala hal dikelola untuk sesuatu yang jauh lebih baik. Pemerintahan yang otoritarian muncul karena segala hal dikelola secara sentralistik. Pemerintahan yang sentralistik sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan. Dan penyalahgunaan kekuasaan sudah pasti buruk hasilnya bagi masyarakat. Mengapa ? Karena kekuasaan yang sentralistik hanya mengakomodasi kepentingan segelintir orang, bahkan bisa jadi sangat individual. Indonesia masa Orde Baru, menurut Bill Liddle, adalah contoh bagaimana Indonesia dikelola hanya dengan satu kepala, Soeharto. Yang lain semata pemanis, pernak-pernik, dan sama sekali tidak penting. Jika demikian, apakah rakyat hanya berharap belas kasihan dari pemilik segala hajat hidup rakyat ?
Sentralisme sesungguhnya hadir bukan tanpa basis historis dan budaya. Bangsa Indonesia, dalam sejarahnya hidup dalam angan-angan hadirnya seseorang yang akan menjadi solusi permasalahan individu dan struktural. Kehadirannya merupakan sesuatu yang dinantikan karena masalah yang dipersepsi datang dari luar dirinya, seolah-olah tidak mampu diatasi. Hanya dengan kehadiran sang Ratu Adil itulah semua masalah akan dapat diselesaikan. Ratu Adil dapat menghadirkan masyarakat yang makmur secara ekonomi dan adil secara politis. Pemahaman seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik di negeri ini untuk maju dalam pilkada. Mereka berusaha menghadirkan dirinya sebagai solusi, seolah-olah sebagai sebuah entitas, mereka adalah figur tanpa cacat, tanpa kepentingan, dan mengabdi tanpa pamrih. Lihat saja iklan dan media luar ruang yang muncul seperti jamur dimusim hujan, sesaat setelah pilkada dilakukan di berbagai daerah. Semua iklan tersebut menyatakan dirinya sebagai Ratu Adil, bukan sebagai pemimpin untuk sebuah masyarakat yang demokratis.
Apa bedanya ? Pemimpin sebagai entitas demokrasi berorientasi program dan bukan citra. Mengapa ? Karena citra tidak bisa digugat dan ditagih, tapi program bisa ditagih. Program adalah alat ukur objektif, sedangkan citra bersifat subjektif dan kualitatif. Citra itu imajiner, sedangkan program bersifat aktual dan historis. Tapi program tersebut bukan dijanjikan, tapi ditawarkan. Program yang dijanjikan, sama artinya sang calon bermain-main dengan hajat hidup publik. Melalui janji, seolah-olah sang calon sudah menguasai semua sumberdaya politik yang sarat kepentingan. Dan janji tersebut pasti akan dipenuhi. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sang calon harus berhadapan dengan berbagai macam kepentingan, yang sangat mungkin dikemudian hari, janji tersebut tidak akan terpenuhi.
Semua janji dan citra ditampilkan dalam pilkada, terutama dalam kampanye. Kampanye adalah tahap untuk merebut hati publik. Pilihan publik adalah hal yang sangat diperhatikan. Karenanya, semua sentiment irasional dieksploitasi, mulai dari kesukuan, agama, strata sosial budaya, dan atribut-atribut seperti akademisi yang cerdas, politisi handal, birokrat yang peduli, incumbent yang berhasil, cendekiawan, muslim yang baik, militer yang peduli dan sigap mengambil keputusan, dll. Semua sentiment dan atribut-atribut tersebut hidup dan bersemi dalam hati publik. Karena itu mewakili imajinasi mereka akan Ratu Adil. Mereka adalah orang-orang baik yang akan menyelesaikan masalah rakyat. Oleh karena itu, apapun oleh rakyat akan dipertaruhkan demi hadirnya Sang Ratu Adil tersebut. Ironisnya, semua calon berpretensi sebagai Ratu Adil. Namun, di ranah publik, Ratu Adil hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Publik mendekonstruksi semua atribut dan sentiment Ratu Adil yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pilkada. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah. Pilkada dibeberapa daerah belakangan ini, misalnya pendudukan terhadap kantor KPUD dan ancaman pembunuhan terhadap anggota KPU, menunjukan bahwa sang calon sama sekali tidak menghargai lembaga-lembaga demokrasi. Lembaga yang justru diberi mandat menyelenggarakan hajat mereka sendiri.
Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah , apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi. Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit dan masyarakat, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit yang mencalonkan diri dalam pilkada harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.
Pemimpin yang dibutuhkan dalam konteks demokrasi bukanlah pemimpin yang menguasai segala kualitas kebaikan, tetapi pemimpin yang menyadari bahwa dirinya sangat berpotensi berbuat khilaf. Karena itu butuh kontrol dan kritik. Jika ada sebuah pilihan, mana yang harus dipilih pemimpin yang demokratis atau pemimpin yang baik, maka demokrasi merekomendasikan pemimpin yang demokratis. Karena pemimpin yang dianggap memiliki kualitas kebaikan biasanya tidak bersedia dikritik, karena menganggap dirinya sudah memenuhi semua unsur-unsur kebaikan. Karena itu, pemimpin seperti ini biasanya otoriter dan korup. Belum lagi bahwa sangat mungkin kualitas-kualitas kebaikan yang disampaikan dalam kampanye, semuanya berbau manipulatif. Namun pemimpin yang demokratis juga mempersyaratkan masyarakat yang cerdas dan kritis. Mengapa ? Karena jika tidak dikontrol maka kekuasaan se-demokratis apapun juga akan cenderung korup. Masyarakat harus curiga terhadap pemimpinnya, namun memberi kepercayaan yang tinggi kepada sistem yang baik. Karena itu, dibutuhkan masyarakat yang cerdas dengan pemimpin yang demokratis, bukan masyarakat marah yang selalu bertikai dengan pemimpin yang manipulatif.
Komentar
Posting Komentar