MERELIGIKANPOLITIK
Hingar bingar politik selalu mengalami icon menarik. Eskalasi politik senantiasa mencuat dalam menuju rubric isu panas di pentas kekuasaan negeri ini. Seolah bincang politik salalu ‘memukau’ dan mewacana dalam segala level sosial masyarakat. Hampir semua orang ogah ketinggalan informasi politik. Seolah ritme politik telah menjadi irama goyangan lisan di setiap topik perbincangan.
Memukaunya isu politik bahkan telah membius kesadaran akan esensi berpolitik. Kesadaran berpolitik semata hanya terlukiskan dalam hak politik yang tercermin dari kebebasan berpendapat, berekpresi dan persamaan hak dalam merenggut kursi kekuasaan. Dengan demikian, esensi politik menjadi kabur, bahkan menyimpang dari khittah nya. Memang, khittah politik menjadi sangat nisbi, karena tidak satupun sikap politik yang bebas dari “virus” kepentingan. Bahkan, dengan kepentingan itulah terwujudnya rahim politik. Hasilnya, politik melahirkan sifat-sifat yang tidak lagi berdasarkan moral dan agama. Berpolitik menjadi bebas nilai, karena kepentingan mendominasinya, bahkan kepentingan itulah yang menjadi rujukan nilai politik. Dimana, kapan, dan bagaimana kepentingan itu bisa terwujud, maka politik diformat sesuai birahi kepentingan itu. Hal inilah yang menjadikan politik memiliki kadar magnetis yang luar biasa, karena rayuan kepentingan yang banyak diakomodasi oleh kekuasaan terlihat begitu sangat menjanjikan. Realitas emperik telah kasat mata mempertontonkan perilaku politisi, yang dengan kekuasaannya mampu meraup modal kekayaan yang luar biasa, mendapat fasilitas kehidupan yang serba mewah yang seakan lebih terhormat, terpandang, dan dibutuhkan oleh segala level social masyarakat.
Kenyataan sikap berpolitik seperti di atas tidak terlepas dari paradigma hidonisme yang tengah mewabah di masyarakat. Wabah hedonistic tersebut menyebar tularannya ke pelbagai dimensi kehidupan. Bahkan telah bersenyawa dengan dinamika social masyarakat. Sehingga standar kebaikan segala hal diukur dari dimensi keduniaan an sic. Sedangkan unsur keakhiratan menjadi urusan personal dan bahkan harus dipenjarakan dalam jeruji privasi. Akhirnya, agama tidak lagi menjadi orientasi dari politik. Agama harus terpisah dari politik, dan politik diharamkan untuk intervensi terhadap agama. Jadi, agama dan politik menjadi dualitas yang tidak lagi searah.
Walau demikian, agama tidak dapat ditinggalkan secara total, mengingat modal capital politik kekinian bertumpu pada komunitas massa, dan agama menjadi alat yang paten dalam membius massa. Maka akibatnya, agama hanya dijadikan “daun salam” dalam masakan sayur politik. Ketika memasak dan agar selalu enak, maka bumbu daun salam disertakan, tapi ketika ingin menyantap makanan, daun salamnya disingkirkan. Begitulah kira-kira analogi posisi agama dan politik kekinian. Walau sesungguhnya keharusan politik dan agama menjadi dua sisi mata uang yang tidak mungkin untuk diceraikan. Agama menjadi pilar dan norma politik, sedangkan politik menjadi kendaraan dan cara dalam mernerjemahkan kemauan titah agama.
Media keberagmaan
Dalam konteks politik modern, partai merupakan institusi yang legal dalam menerjemahkan kemauan dan kepentingan politik. Bahkan, partai dianggap sebagai cara yang modern dalam mengarungi pergulatan dunia politk. Dalam mausu’ah al-siasiyah (ensiklopedi politik) yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Pengembangan Arab (al-Muassasah al-Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nasyr), pertai politik (Parpol) merupakan kumpulan masyarakat yang memiliki orientasi dan ideology politik yang sama kemudian mereka bergabung dalam sebuah organisasi untuk mewujudkan program dan cita-cita politik yang mereka anggap realistis dalam merebut kekuasaan ditempat mereka berdomisili. Pengertian Parpol ini berangkat dari realitas masyarakat sekarang yang hampir menyeluruh menyalurkan ragam aspirasi politiknya melalui Partai (al-hizb).
Jika dikorelasikan dengan istilah keagamaan, pengistilahan Partai (al-hizb) dalam kajian keislaman bukanlah barang baru. Bahkan menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Hal al-Islam Huwa al-Hill, istilah partai (al-hizb) bukanlah hasil produk asing yang diadopsi secara sembrono oleh peradaban pemikiran Islam, akan tetapi memiliki argumentasi yang transendental. Hal ini karena dalam kitab suci al-Qur’an terdapat ayat yang menggunakan kata hizb dan ahzab (QS al-Ahzab: 22 & al-Maidah: 56). Penggunaan kata hizb dalam al-Qur’an tidak hanya berkonotasi negative, tapi juga bermakna positif. Juga, di dalam hadits nabi terdapat pula penggunaan istilah hizb, bahkan dengan ungkapan hizb Muhammad. (Imarah, 1998: 87).
Terlepas dari maksud kata hizb di atas, pengistilahan partai memiliki legalitas keagamaan, walau penerjemahannya ke ranah realitas sangat beragam, malah tidak beragama. Akan tetapi, jika ditilik dari substansi Parpol secara akademis, maka Parpol memiliki tugas yang sama dengan dakwah, yang nota benenya sebagai media dalam mengembangkan dan mempertahankan agama. Bahkan ‘berparpol’ seharusnya merupakan bagian dari institusi keberagmaan yang terlembaga dalam dakwah. Karena pengertian dakwah secara akademis, memiliki beberapa pengertian seperti al-nida (memanggil), al-du’a (menyeru, memohon) atau suatu upaya untuk menarik manusia menuju suatu aliran atau agama tertentu.(Islam Moderat, Ikadi 2007). Akan tetapi, dalam realitas paradigma umat, ungkapan dakwah juga memiliki nasib yang serupa dengan politik. Kata dakwah terjajah dengan pengertian yang sangat parsial, yang sudah terpola menjadi suatu perbuatan yang hanya identik dengan ceramah, pidato, kultum dan bentuk oratif lain yang berisikan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits. Jadinya, ruang dakwah menyempit pada momen tertentu dan bahkan menjadi ajang hiburan yang penuh lelucon. Paradigma dakwah seperti ini bahkan telah membudaya, sehingga tidak jelas juntrung orientasi capainnya.
Inilah persoalan dan letak penyakitnya. Padahal, dakwah memiliki pengertian dan ruang lingkup yang sangat luwes juga luas. Intinya, dakwah adalah mengajak orang lain ikut bersama, bersatu dalam satu orientasi kesefahaman atau kesadaran akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Tuhan. Artinya, dakwah bisa dilakukan dengan politik dan bahkan berpolitik menjadi wajib strategis dalam berdakwah. Jika berdakwah berarti mengajak umat kepada kabaikan, maka politik merupakan suatu perilaku yang harus selalu mengarah kepada kemaslahatan umat, maka konsekuensinya politik mesti terorganisir, teratur dan terarah. dan partai merupakan penerjemahan organisasi politik (orpol) untuk karcis kekuasaan secara sah dan modern.
Dalam negara modern, partai merupakan zona berpolitik yang konstitutif dan legal. Berpartai berarti mengakui kewajiban dan hak politik juga menyalurkannya secara elegan dan bertanggung jawab. Namun, penerjemahan partai di ranah politik mengerucut menjadi tiket menuju terminal kekuasaan. Di terminal inilah semua kepentingan, baik ideologi, budaya dan agama berjibaku dalam menuju kekuasan. Tak jarang, kata haram terkubur dan sirna ketika goyangan kursi keuasaan telah menggoda.
Keinginan partai menduduki kekuasaan dilindungi selama masih dalam role of game konstitusi. Dengan demikian, partai Islam memiliki kans besar dalam meraih kekuasan. Dan di ruang ini letak strategisnya pelembagaan dakwah dalam suatu partai politik. Dari beberapa argumentasi di atas, agaknya sangat rasional untuk menjadikan politik yang berbentuk partai sebagai bagian dari intrumen dakwah. Politik dijadikan alat berdakwah agar kepentingan-kepentingan dakwah bisa diakomodir dalam politik. Maka menjadi kelaziman bagi seorang muslim untuk mendakwahkan politik, bukan justru sebaliknya, menjadi dakwah sebagai intrumen politik yang akhirnya dakwah hanya menjadi titian penyebrang menuju kekuasaan. Jika itu yang ada, maka itulah oportunisme dakwah yang barangkali tidak bedanya dengan kemunafikan. Begitukah bukan? Wallahu alam.
Memukaunya isu politik bahkan telah membius kesadaran akan esensi berpolitik. Kesadaran berpolitik semata hanya terlukiskan dalam hak politik yang tercermin dari kebebasan berpendapat, berekpresi dan persamaan hak dalam merenggut kursi kekuasaan. Dengan demikian, esensi politik menjadi kabur, bahkan menyimpang dari khittah nya. Memang, khittah politik menjadi sangat nisbi, karena tidak satupun sikap politik yang bebas dari “virus” kepentingan. Bahkan, dengan kepentingan itulah terwujudnya rahim politik. Hasilnya, politik melahirkan sifat-sifat yang tidak lagi berdasarkan moral dan agama. Berpolitik menjadi bebas nilai, karena kepentingan mendominasinya, bahkan kepentingan itulah yang menjadi rujukan nilai politik. Dimana, kapan, dan bagaimana kepentingan itu bisa terwujud, maka politik diformat sesuai birahi kepentingan itu. Hal inilah yang menjadikan politik memiliki kadar magnetis yang luar biasa, karena rayuan kepentingan yang banyak diakomodasi oleh kekuasaan terlihat begitu sangat menjanjikan. Realitas emperik telah kasat mata mempertontonkan perilaku politisi, yang dengan kekuasaannya mampu meraup modal kekayaan yang luar biasa, mendapat fasilitas kehidupan yang serba mewah yang seakan lebih terhormat, terpandang, dan dibutuhkan oleh segala level social masyarakat.
Kenyataan sikap berpolitik seperti di atas tidak terlepas dari paradigma hidonisme yang tengah mewabah di masyarakat. Wabah hedonistic tersebut menyebar tularannya ke pelbagai dimensi kehidupan. Bahkan telah bersenyawa dengan dinamika social masyarakat. Sehingga standar kebaikan segala hal diukur dari dimensi keduniaan an sic. Sedangkan unsur keakhiratan menjadi urusan personal dan bahkan harus dipenjarakan dalam jeruji privasi. Akhirnya, agama tidak lagi menjadi orientasi dari politik. Agama harus terpisah dari politik, dan politik diharamkan untuk intervensi terhadap agama. Jadi, agama dan politik menjadi dualitas yang tidak lagi searah.
Walau demikian, agama tidak dapat ditinggalkan secara total, mengingat modal capital politik kekinian bertumpu pada komunitas massa, dan agama menjadi alat yang paten dalam membius massa. Maka akibatnya, agama hanya dijadikan “daun salam” dalam masakan sayur politik. Ketika memasak dan agar selalu enak, maka bumbu daun salam disertakan, tapi ketika ingin menyantap makanan, daun salamnya disingkirkan. Begitulah kira-kira analogi posisi agama dan politik kekinian. Walau sesungguhnya keharusan politik dan agama menjadi dua sisi mata uang yang tidak mungkin untuk diceraikan. Agama menjadi pilar dan norma politik, sedangkan politik menjadi kendaraan dan cara dalam mernerjemahkan kemauan titah agama.
Media keberagmaan
Dalam konteks politik modern, partai merupakan institusi yang legal dalam menerjemahkan kemauan dan kepentingan politik. Bahkan, partai dianggap sebagai cara yang modern dalam mengarungi pergulatan dunia politk. Dalam mausu’ah al-siasiyah (ensiklopedi politik) yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Pengembangan Arab (al-Muassasah al-Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nasyr), pertai politik (Parpol) merupakan kumpulan masyarakat yang memiliki orientasi dan ideology politik yang sama kemudian mereka bergabung dalam sebuah organisasi untuk mewujudkan program dan cita-cita politik yang mereka anggap realistis dalam merebut kekuasaan ditempat mereka berdomisili. Pengertian Parpol ini berangkat dari realitas masyarakat sekarang yang hampir menyeluruh menyalurkan ragam aspirasi politiknya melalui Partai (al-hizb).
Jika dikorelasikan dengan istilah keagamaan, pengistilahan Partai (al-hizb) dalam kajian keislaman bukanlah barang baru. Bahkan menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Hal al-Islam Huwa al-Hill, istilah partai (al-hizb) bukanlah hasil produk asing yang diadopsi secara sembrono oleh peradaban pemikiran Islam, akan tetapi memiliki argumentasi yang transendental. Hal ini karena dalam kitab suci al-Qur’an terdapat ayat yang menggunakan kata hizb dan ahzab (QS al-Ahzab: 22 & al-Maidah: 56). Penggunaan kata hizb dalam al-Qur’an tidak hanya berkonotasi negative, tapi juga bermakna positif. Juga, di dalam hadits nabi terdapat pula penggunaan istilah hizb, bahkan dengan ungkapan hizb Muhammad. (Imarah, 1998: 87).
Terlepas dari maksud kata hizb di atas, pengistilahan partai memiliki legalitas keagamaan, walau penerjemahannya ke ranah realitas sangat beragam, malah tidak beragama. Akan tetapi, jika ditilik dari substansi Parpol secara akademis, maka Parpol memiliki tugas yang sama dengan dakwah, yang nota benenya sebagai media dalam mengembangkan dan mempertahankan agama. Bahkan ‘berparpol’ seharusnya merupakan bagian dari institusi keberagmaan yang terlembaga dalam dakwah. Karena pengertian dakwah secara akademis, memiliki beberapa pengertian seperti al-nida (memanggil), al-du’a (menyeru, memohon) atau suatu upaya untuk menarik manusia menuju suatu aliran atau agama tertentu.(Islam Moderat, Ikadi 2007). Akan tetapi, dalam realitas paradigma umat, ungkapan dakwah juga memiliki nasib yang serupa dengan politik. Kata dakwah terjajah dengan pengertian yang sangat parsial, yang sudah terpola menjadi suatu perbuatan yang hanya identik dengan ceramah, pidato, kultum dan bentuk oratif lain yang berisikan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits. Jadinya, ruang dakwah menyempit pada momen tertentu dan bahkan menjadi ajang hiburan yang penuh lelucon. Paradigma dakwah seperti ini bahkan telah membudaya, sehingga tidak jelas juntrung orientasi capainnya.
Inilah persoalan dan letak penyakitnya. Padahal, dakwah memiliki pengertian dan ruang lingkup yang sangat luwes juga luas. Intinya, dakwah adalah mengajak orang lain ikut bersama, bersatu dalam satu orientasi kesefahaman atau kesadaran akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Tuhan. Artinya, dakwah bisa dilakukan dengan politik dan bahkan berpolitik menjadi wajib strategis dalam berdakwah. Jika berdakwah berarti mengajak umat kepada kabaikan, maka politik merupakan suatu perilaku yang harus selalu mengarah kepada kemaslahatan umat, maka konsekuensinya politik mesti terorganisir, teratur dan terarah. dan partai merupakan penerjemahan organisasi politik (orpol) untuk karcis kekuasaan secara sah dan modern.
Dalam negara modern, partai merupakan zona berpolitik yang konstitutif dan legal. Berpartai berarti mengakui kewajiban dan hak politik juga menyalurkannya secara elegan dan bertanggung jawab. Namun, penerjemahan partai di ranah politik mengerucut menjadi tiket menuju terminal kekuasaan. Di terminal inilah semua kepentingan, baik ideologi, budaya dan agama berjibaku dalam menuju kekuasan. Tak jarang, kata haram terkubur dan sirna ketika goyangan kursi keuasaan telah menggoda.
Keinginan partai menduduki kekuasaan dilindungi selama masih dalam role of game konstitusi. Dengan demikian, partai Islam memiliki kans besar dalam meraih kekuasan. Dan di ruang ini letak strategisnya pelembagaan dakwah dalam suatu partai politik. Dari beberapa argumentasi di atas, agaknya sangat rasional untuk menjadikan politik yang berbentuk partai sebagai bagian dari intrumen dakwah. Politik dijadikan alat berdakwah agar kepentingan-kepentingan dakwah bisa diakomodir dalam politik. Maka menjadi kelaziman bagi seorang muslim untuk mendakwahkan politik, bukan justru sebaliknya, menjadi dakwah sebagai intrumen politik yang akhirnya dakwah hanya menjadi titian penyebrang menuju kekuasaan. Jika itu yang ada, maka itulah oportunisme dakwah yang barangkali tidak bedanya dengan kemunafikan. Begitukah bukan? Wallahu alam.
Komentar
Posting Komentar