Alasan Orang Flores Memilih Merantau

Kalau kita mau menghitung mundur ke belakang, sebenarnya banyak sekali orang Flores yang memilih merantau di daerah lain. Kebanyakan ke Jawa dan Bali. Namun, tak sedikit juga yang merantau ke Kalimantan, Papua, Sulawesi, bahkan jauh ke Sumatera sana. Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri mengapa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Memang merantau sebenarnya bukanlah keinginan setiap orang sejak kecil. Namun karena ada beberapa hal yang kemudian membuat orang Flores, “terpaksa” pergi meninggalkan Flores dan merantau ke luar.

Tulisan ini diangkat dari percikan pengalaman dan renungan Eugenius Emanuel Susento alami selama ini. Percikan pengalaman itu kemudian membawanya kepada suatu muara bahwa merantau adalah pilihan terbaik (kala itu). Semuanya bermuara pada sebuah permenungan bahwa merantau bisa membawa perubahan bagi diri si perantau.

Ada tiga hal besar yang melatarbelakangi keputusan orang Flores - kalau diambil kesimpulan berdasarkan pengalamannya - merantau keluar Flores. Ketiga hal tersebut adalah aspek ekonomi, aspek sosio-kultural dan aspek psikologis individu. Sekiranya, ketiga hal tersebut sudah cukup mewakili keputusan orang Flores pada umumnya (kala itu) untuk merantau.

Aspek Ekonomi

Pertama, masalah yang paling mendasar bagi keluarga-keluarga Flores adalah kemiskinan dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat. Di saat kebutuhan harian makin meningkat, di saat itu pula kemiskinan terus menanjak. Sebuah perbandingan progresif yang sangat menyiksa masyarakat Flores. Jumlah pendapatan yang diperoleh justru berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Semakin tinggi dan banyak pendapatan yang diperoleh, semakin banyak juga kebutuhan harian dengan tingkat harga yang melambung pula. Pergerakan ekonomi di daerah lain bergerak jauh lebih cepat dari pergerakan ekonomi di daerah Flores. Kemiskinan ini menutup dan mengekang semua lapisan masyarakat Flores, tanpa kecuali. Hampir tidak ada satupun golongan masyarakat Flores yang berada di luar lingkaran kemiskinan. Kemiskinan seakan menjadi “duri dalam daging” bagi masyarakat Flores. Di tanah yang gersang, dengan tingkat pendapatan yang kecil, orang-orang Flores masih harus berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian mereka. Sungguh sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan.

Kedua, kemiskinan ini berdampak langsung terhadap kurangnya infrastruktur memadai di Flores dan meningkatnya angka pengangguran di Flores. Bicara soal infrastruktur, Flores kalah segala-galanya. Sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pemerintahan, semuanya sangat minim. Tak ada toko buku yang bisa diakses. Tak ada rumah sakit dengan pelayanan prima. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat daerah terpencil seperti Flores, harusnya membutuhkan pembangunan di bidang infrastruktur. Keadaan ini sungguh terasa menyedihkan karena mayoritas masyarakat Flores sangat merindukan infrastruktur yang memadai dengan kemudahan aksesibilitasnya. Lain infrastruktur, lain pula soal pengangguran. Pengangguran itu adalah hasil “perkawinan” antara kemiskinan yang meningkat dan lapangan pekerjaan yang terbatas. Seperti itulah keadaan di Flores. Di saat kemiskinan dan angka kelahiran yang terus meningkat, lapangan pekerjaan malah semakin menipis. Satu-satunya pekerjaan yang membuka lowongan rutin tiap tahun hanyalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, akibat dari kurangnya pendidikan masyarakat Flores kala itu, PNS pun tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk 'berlabuh'. Di saat yang bersamaan, PNS sudah dirasakan tidak mampu menjawabi zaman yang semakin cepat berlari ke depan. Generasi muda di NTT seolah kehilangan masa depan. Mau merantau, tak punya duit. Mau bekerja, tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Pun tak ada industri-industri kreatif yang berkembang di Flores. Alhasil, generasi muda Flores lebih mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan, di pinggir (dekker) jembatan, duduk bergerombolan, menenggak minuman keras dan akhirnya menciptakan berbagai keresahan di tengah masyarakat.

Ketiga, kemiskinan dan pengangguran ini semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas sektor unggulan di Flores, yaitu pertanian. Banyak orang bilang Flores itu hanya cocok untuk pertanian. Sayangnya, pertanian itu identik dengan kemiskinan. Apalagi, saat ini, pertanian dirasa sudah tidak kontekstual lagi, tidak mampu menjawabi tantangan zaman. Lihat saja, berapa banyak generasi muda yang kuliah dan mengambil mata kuliah pertanian? Berapa banyak anak-anak muda Flores, yang setelah selesai kuliah, kemudian kembali dan mengembangkan kebun milik orangtuanya? Sangat kecil jumlahnya. Mau sampai kapan Flores bertahan dengan pertanian subsisten, sementara masyarakat luar sudah mulai berkembang dan maju dengan ilmu-ilmu terapan lainnya? Dunia itu terus berubah. Di dalam sebuah dunia yang dinamis, stagnasi bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Alasan-alasan ekonomi inilah yang akhirnyamemantapkan orang-orang Flores mengambil keputusan untuk memilih jalan merantau. Mereka hanya mau keluar dari jerat kemiskinan yang ada. Bukankah seorang anak harus bercita-cita menjadi lebih baik dari orangtuanya?

Aspek Sosio-Kultural

Selain masalah ekonomi, kondisi sosio-kultural pun turut mempengaruhi orang-orang Flores memutuskan meinggalkan tanah Flores.

Pertama, terlalu kuatnya adat yang mengekang masyarakat Flores. Orang Flores itu terkenal memegang teguh adat istiadat yang ada. Sayangnya, terlalu kuatnya orang Flores memegang nilai-nilai adat istiadat, justru membuat orang Flores semakin “mengkultuskan” adat istiadat. Sedangkan dalam sebuah dunia yang modern, kita perlu untuk sesekali “meninggalkan” adat istiadat yang terlalu mengekang. Jika adat istiadat dirasakan tidak membawa masyarakat Flores ke arah kesejahteraan, kenapa harus tetap dipertahankan? Bukankah adat istiadat adalah untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman? Setiap acara atau ritual adat maupun keagamaan di Flores, hampir pasti ada saja yang dikorbankan. Entah itu kerbau, sapi, babi, anjing, beras, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Semuanya tentunya mempunyai harganya masing-masing. Kadang, untuk sebuah urusan adat, orang Flores harus berhutang. Sederhananya, gali lubang tutup lubang.

Kedua, Flores itu masih kental dengan nilai-nilai primordialisme. Walaupun berada dalam satu pulau, orang Flores masih terkotak-kotak dalam perbedaan suku, kabupaten maupun bahasa. Di dalam sebuah dunia yang terus berkembang, primordialisme kadang menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana mau maju kalau perjuangan menuju kemajuan itu masih dilakukan daerah per daerah atau golongan per golongan? Satu yang aneh adalah, jika berada di luar Flores, orang Flores bersatu sebagai satu Flores. Itu pun masih terbatas dalam hal-hal tertentu. Namun, di dalam Flores sendiri masih terjadi berbagai konflik atas nama suku dan daerah.

Aspek Psikologis-Individualis

Selain alasan ekonomi dan sosio-kultural, aspek psikologis individualis juga sangat berpengaruh besar menentukan langkah nereka untuk merantau.

Pertama, Pulau Flores sekarang mulai kehilangan generasi orang-orang Flores yang tangguh, pekerja keras, rela berkorban, berpikir kritis-logis. Selain itu, Flores juga mulai kehilangan para petani yang kreatif dan pekerja keras. Ini mungkin salah satu produk perkembangan zaman. Namun, sangat tidak bisa dimaklumkan bahwa kebanyakan orang Flores akhirnya mulai mencari jalan instant, mulai bermental instan. Perlahan-lahan generasi orang Flores pekerja keras dan tangguh mulai lenyap dari bumi Nusa Bunga. Generasi pekerja keras dan tangguh itu justru diganti dengan generasi bermental enak, pemalas dan generasi penunggu bola (bukan penjemput bola). Ini yang sangat disayangkan. Keadaan ini kemudian diperparah dengan mayoritas orang Flores yang selalu bersikap “tertutup” terhadap peluang usaha yang datang dari luar. Ini lagi salah satu sifat negatif yang menghambat pertumbuhan ekonomi: adanya prasangka-prasangka buruk terhadap segala peluang dan investasi dari luar. Patut disayangkan. Pasalnya, kemajuan itu berkorelasi erat dengan investasi. Kita bisa maju kalau ada investasi.

Kedua, satu hal yang cukup mendorong orang Flores merantau keluar Flores adalah karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah dan gereja. Tidak ada sinergi antara pemerintah dan gereja. Masing-masing dengan jalannya sendiri-sendiri. Pemerintah dan gereja selama ini terbukti tidak bisa membebaskan masyarakat Flores dari garis kemiskinan. Padahal, pemerintah dan gereja adalah dua institusi yang sangat dipandang di NTT. Lebih-lebih di daratan Flores. Seharusnya, pemerintah dan gereja bergandengan tangan dan bekerja sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat Flores. Sayangnya, pemerintah dan gereja justru tertidur lelap di tengah segala kemewahan yang mereka miliki sekarang. Pemerintah dan gereja seolah membuat benteng raksasa, yang membatasi mereka dengan segala kemiskinan dan kesusahan di luar sana. Melihat semua paparan di atas, merantau adalah jalan terbaik (kala itu). Kita adalah orang yang dinamis, selalu mau berubah dan selalu punya cita-cita. Untuk semua itu, tentunya kita - masyarakat Flores tidak mau berdiam di dalam sebuah lingkungan yang stagnan dan penuh berbagai kungkungan.

Namun, ada juga harapan besar yang ingin dikemukan di sini, yakni dalam dunia yang super tekhnology ini, hendaklah kita bersama - sama bergandengan tangan dengan Pemerintah dan Gereja untuk menyikapi situasi ini dengan benar dan bijaksana dan tepat cerdas. Sehingga kita masyarakat Flores mulai berkurang untuk berpikir merantau tapi mencari jalan untuk membangun Flores dengan kekuatan dan kemauan serta ilmu yang telah diperoleh generasi m uda Flores sekarang. dan suatu saat nanti kita bisa disejajarkan dengan daerah-daerah lain di Republik ini. Semoga.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG