KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG
BORUK TANA BOJANG, KEBO KILI BATU
SUKUN PULU WOT LIMA, AKENG RUA PLEBONG TELU
LIWU LEWAR TUKAN BORUK SOGE TAPUN MAU RAWA
TERI ORA NIAN, ERA ORA TANA
MULA AI, PA’AT TALI
TENA NIAN A’UN GIIT TANA A’UN MANGAN
Boruk Tana Bojang
tanah persekutuan seahli waris, bersaudara seketurunan leluhur
persekutuan suku-suku berkerabat khalayak banyak
Liwu Lewar Tukan Boruk Soge Tapun Mau Rawa
ini tanah tumpah darah kami, di sini kami menanam pohon
dan melindungi hutan
serasi selaras tanah air, lestari bumi hunian
Sepenggal kalimat di atas merupakan
semangat yang mendorong komunitas Boruk Tana Bojang di perbatasan
Kabupaten Sikka – Flores Timur memperjuangkan haknya atas tanah yang
telah ditetapkan pemerintah menjadi kawasan hutan lindung. Ungkapan
semangat sekaligus penegasan keberadaannya ini bukan tampa alasan. Sudah
sejak pemerintahan kolonial Belanda hingga ke pemerintahan RI,
masyarakat di wilayah ini terhimpit dalam kungkungan produk
hukum yang mengingkari hak-haknya atas pengelolaan hutan. Sudah
sederetan nama yang terpaksa berhadapan dengan aparat negara karena dituduh menyerobot tanah negara di kawasan Hutan Lindung Wuko Lewoloro[2].
Komunitas[3] Boruk Tana Bojang terpaksa berladang di dalam kawasan hutan lindung karena mereka tidak mempunyai pilihan lain. Demi mempertahankan hidup, satu-satunya jalan yang harus ditempuh yaitu masuk dan mengelola dalam kawasan
hutan lindung. Sepengetahuan masyarakat, dari dahulu tanah-tanah di
dalam kawasan lindung merupakan tanah kelola yang dikerjakan secara turun temurun.
Persebaran Penduduk
Warga Komunitas Boruk Tana Bojang mengakui ada dua kelompok masyarakat yang hidup di wilayah ini yaitu Bubuk Bekor[4] atau tumbuh dari tanah dan Tena Mao[5] yaitu pendatang dari laut. Tokoh bubuk bekor yaitu Gego dan Arong.
Kedua tokoh legendaris perempuan ini muncul dari tanah berlokasi di
Nale. Setelah menjelma menjadi manusia, mereka turun mandi di sungai
yang sampai saat ini di sebut Liwun Tarun. Suku[6]Mau, Rotan, Iri dan Lewuk merupakan turunan Gego dan Arong.
Sedangkan suku Liwu, Lewar, Tukan, Soge, Tapun dan beberapa suku lainnya merupakan pendatang dari laut yang disebut Tena Mao. Adapun tokoh pendatang yang dikenal pemberani dan memiliki sejumlah keahlian yaitu: Keso, Kuit, Kudi, Eba, Tobeng, More, dan Dopeng. Asal muasal tokoh ini tidak diketahui secara pasti. Sebagian sumber menyebutkan bahwa ketujuh pendatang ini berasal dari Sina Jawa[7] yang diperkirakan dari Pulau Jawa. Sedangkan sumber lain mengakui bahwa mereka berasal dari Sina Malaka. Sebelum
mereka turun dari perahu, tanah-tanah di wilayah ini masih digenangi
air. Untuk mengeringkan genangan air, mereka mengucapkan mantra ”dedu watu mela ai, ai naha laja boga, watu mitan dibitak, para bura dilenang, wair naha baja, watu naha gogo pout”. Setelah air mengering, para pendatang ini terus mengembara. Mula – mula mereka tiba di bukit Wengot
di wilayah Boruk Tana Bojang. Kehadiran mereka diterima oleh penduduk
asli (bubuk bekor). Sebagian mereka tetap berdiam di Wengot, yang
lainnya ke Napan Poar, Watu Manuk, Kayo Burak, dan Waitenge. Semuanya
berada dalam wilayah Boruk Tana Bojang. Sedangkan sumber lainnya
mengakui bahwa Marga Boruk merupakan kelompok pendatang yang tidak
bersamaan dengan pendatang terdahulu. Marga Boruk merupakan turunan dari Nowing Dele. Tokoh ini memulai pengembaraan dari wilayah timur di daerah Nobo.
Melalui pengembaraan dan penguasaan wilayah oleh para pendahulu, ditemukan batas-batas wilayah adat Boruk Tana Bojang yaitu Selatan berbatasan dengan komunitas Wodong Duang Bawa Liang, tepatnya di Nutin – Wai Tenge -Se – Bue Wolo – Se Bako – Kewet. Barat berbatasan dengan komunitas Hewat Lewo Rotan tepatnya di Welo – Wai Oti – Ratu Wua – Watu Laban – Dada Elan – Talok. Utara berbatasan dengan dengan komunitas Hikong tepatnya di : Aur Lorak – Watu Tetor – Watu Tadak, Hea – Soda Pagat. Timur berbatasan dengan Komunitas Nobo dan Nileknoheng, tepatnya di Walang.
Berdasarkan
penuturan para tua adat, untuk mengikat persaudaraan antara warga
pendatang dan penduduk asli, para leluhur mewariskan kahe[8]:
”Ami Boruk Tana Bojang kebo kili batu,
tana goen uak tukan, ekan goen wai matan.
Nuba i’in go tobo lodo, nara i’in go dein gere.
Mula kaan puken mege, paat kaan kate mangan.
Giit biri baru sina, mangan bao aran jawan”.
Artinya
Kami orang Boruk yang berdiam di Tana Bojang
Tanah kami yang subur, berkelimpahan mata air
Di bumi ini kami ada
Untuk menanam, menanam lagi
Agar kami bisa sejahtera, kuat selamanya
Sebuah
sumpah untuk membangun Boruk Tana Bojang dengan menjunjung nilai
persatuan, sekerabat dan seketurunan. Hingga saat ini, sumpah tersebut
selalu diucapkan pada saat penerimaan tamu secara adat dan pada
acara-acara ritual adat lainnya.
Hingga tahun 2007, penduduk yang berdiam di wilayah Boruk Tana Bojang berjumlah 1.141 kk yang terdiri atas 5.177 jiwa, dengan komposisi 2.242 laki laki dan 2.925 perempuan.[9]
Sistem Pemerintahan
Dalam
kehidupan sehari-hari, komunitas Boruk Tana Bojang terikat dalam ikatan
kekeluargaan suku. Sehari-hari masyarakat di wilayah ini menyebut
klan/marga dengan suku. Kurang lebih ada 15 suku yang hidup di wilayah
ini. ”sukun pulu wot lima akeng rua plebong telu”
merupakan ungkapan untuk mempersingkat penyebutan nama masing-masing
suku, sekaligus sebagai ungkapan persekutuan di antara klan/marga.
Pengelompokan klan/marga berdasarkan keturunan. Pengelompokan tersebut erat kaitan dengan pelaksanaan adat dokang balik yang lasim disebut belis berupa gading. Apabila
seorang perempuan sudah diberi belis oleh suami maka istri dan
anak-anak akan masuk klan suami. Namun apabila suami tidak mampu memberi
belis maka dibuat kesepakatan lain yang disebut plawu hura. Itu
berarti suami dan istri tetap menjadi anggota klan masing-masing,
sedangkan anak akan dibagi secara merata pada klan suami dan klan istri.
Apabila suami – istri dikaruniai hanya seorang anak maka plawu hura
akan berlaku juga pada anak. Pembagian marga akan terjadi pada level
cucu. Dengan proses ini maka tidak mengherankan jika dalam sebuah rumah
tangga terdiri atas beberapa klan.
Dari
penuturan para tetua, pada zaman dahulu sebelum kedatangan koloni
Belanda, mereka hidup di komunitas – komunitas kecil yang disebut Natar[10]. Ada
enam Natar yang membentuk satu kesatuan komunitas adat Boruk Tana
Bojang. Pengaturan hidup bersama secara lebih luas dalam kesatuan adat
Boruk Tana Bojang menjadi tanggung jawab Tana Puan dan Raja Tana[11].
Mengingat warga komunitas Boruk Tana Bojang tinggal di Natar yang
berjauhan, Tana Pu’an dan Raja Tana mendelegasikan sebagian dari
wewenangnya, terutama pelaksanaan ritus adat kepada para pemimpin marga
yang ada di masing-masing Natar. Mereka yang mendapat mandat biasa
disebut Du’a Mo’an[12]. Tana Pu’an adalah mereka yang berasal dari Suku Liwu, Raja Tana dari Suku Boruk. Sedangkan Diran Le’en[13] (penjaga keamanan) menjadi
tanggung jawab Marga Soge. Yang menjadi pemimpin Marga Soge sekaligus
sebagai pemimpin pasukan perang. Karena keberanian dan ketrampilannya
memimpin perang, marga Soge dijuluki ”Soge wengin bele, bajo okon ba’at”.
Beberapa sumber mengakui bahwa ketika Koloni Belanda masuk ke wilayah ini, masyarakat mulai mengenal pemerintahan yang disebut Hamente. Yang menjadi pemimpin di sebuah wilayah Hamente yaitu Kakan. Komunitas Boruk Tana Bojang merupakan bagian dari Hamente Lewo Ingu.
Sedangkan di wilayah pantai menjadi wilayah Hamente Lewotobi. Selain
Pemerintahan yang disebut Hamente, ketika itu masyarakat sudah
mengetahui adanya Kerajaan Larantuka.
Ceritera
ini apabila dikaitkan dengan tulisan Ernst Vater, dalam studinya
tentang penduduk asli mengungkapkan bahwa hingga zaman Belanda, di
Flores Timur terdapat enam kerajaan yaitu Kerajaan Larantuka, Adonare,
Trong, Lamahala, Lawaijong, dan Lamakera. Kerajaan Larantuka sendiri
menguasai sebelas wilayah yaitu: Larantuka – Lewotala,
Mudakeputu, Wolo, Lewoingu, Lewotobi, Lewolein, Pamankaju (Pamankayo),
Horowura, Tanah Boleng, Lewoleba, dan Lamalerap (Lamalera). Dalam buku Ata Kiwan,
terjemahan tulisan Ernst hanya menjelaskan bahwa sebelas wilayah
tersebut merupakan wilayah bawahan Kerajaan Larantuka. Tidak pernah
menyinggung tentang Hamente dan Kakan[14].
Pada
tahun 1932 ketika Koloni Belanda menetapkan sebagian wilayah kelola
masyarakat menjadi kawasan hutan lindung, masyarakat diperintahkan untuk
tinggal di Tana Kedang di wilayah selatan Gunung Woku – Wengot.
Sebagian warga memilih tinggal di Hikong, wilayah utara dari kawasan
hutan lindung yang ditetapkan. Sejak bergulirnya UU Nomor: 5/1979
tentang Desa, warga komunitas yang berdiam di wilayah selatan disatukan
dalam satu kesatuan desa yaitu Desa Boru. Pada tahun 1999, Desa Boru dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa Boru dan Boru Kedang. Sementara
warga komunitas yang berdiam di Hikong menjadi bagian dari Desa Hikong
di wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Sikka.
R.
Yando Zakaria dalam bukunya Abih Tandeh menegaskan bahwa dengan adanya
penyeragaman sistem pemerintahan, merupakan awal kehancuran tata nilai
di tingkat komunitas lokal. Kehancuran ini disebabkan karena tidak
berfungsinya otoritas fungsionaris adat. UUPD No.5/979 pada pasal 2 ayat
(1) menegaskan: Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga
Musyawarah Desa yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat
desa. Dengan
adanya penyeragaman sistem pemerintahan yang disebut Desa maka secara
perlahan meminggirkan peran fungsionaris adat: Tana Puan, Raja Tana, dan
kepala suku. Fungsionaris adat akhirnya sebatas sebagai pelaksana
seremoni adat, tidak lagi sebagai pengambil keputusan politik[15].
Walaupun
terpisah dalam batas administrasi pemerintahan desa bahkan kabupaten,
masyarakat masih tetap menjunjung persatuan di antara mereka yang
terungkap dalam semboyan ”nian ue wari, tana kera pu, ue wari naha tota dadin, kera pu naha topo baler” yang mangandung arti ”tanah persekutuan,tanah kepunyaan bersama, bersaudara seketurunan, tidak mengenal batas waktu”. Semboyan ini lebih dipertegas dalam ungkapan ”Ami Boruk Tana Bojang, Ami Kebo Kili Batu”. Sebuah ungkapan kebanggaan sebagai anak tanah Boruk Tana Bojang.
Sebelum kedatangan Belanda di Boruk Tana Bojang, warga komunitas bertempat tinggal di beberapa kampung kecil di sekitar Gunung Wuko – Wengot. Mereka tinggal secara berkelompok dalam satu kesatuan komunitas kecil yang disebut Natar. Salah satu unsur pembentuk Natar yaitu karena kekerabatan suku dan perkawinan antar suku. Dengan demikian setiap Natar dikuasai oleh suku tertentu. Natar pembentuk Boruk Tana Bojang yaitu:
- Natar Gengar ( Lewo Leku Sapi Soge) berlokasi di Baolela. Wilayah ini dikuasai oleh suku Iri dan Lewuk. Jabo dan Maleng sebagai peletak dasar di Natar Gengar dengan membangun tempat ritus adat atau disebut Paat Mahe.
- Natar Darawoer (Dara Woer Anin Bliran Kurak Wutun Laba Lian) berlokasi di Darawoer. Suku Boruk mendiami wilayah ini. Muda, Modo, Hoba dan Pati sebagai tokoh utama yang melakukan Paat Mahe di Natar Darawoer.
- Natar Bolawolor (Bobo Roti Manu Wair Blama Unen See Gete Ranin Dadi Bue Wolo Taka Patat) berlokasi di Bolawolor. Suku Soge dan Weran mendiami wilayah ini. Siku Soge dan Soge Weran sebagai peletak dasar di Natar Bolawolor.
- Natar Baowolor (Bao Wolo Biro Dadi) berlokasi di Baologun. Suku Soge mendiami wilayah ini. Warat Soge panglima perang di Boruk Tana Bojang berasal dari wilayah ini.
- Natar Klobong, berlokasi di Klobong Wolor yang didiami oleh Suku Plue dan Liwu. Blewang Plue dan Ribu Liwu sebagai pemimpin terkenal di wilayah ini.
- Natar Riangwulu, berlokasi di Wulugete yang didiami oleh suku Liwu dan Tapun. Adapun para pemimpin terkenal di wilayah ini yaitu Diri, Lalong, Lata, dan Lanang. Mereka sebagai peletak dasar dan pengatur kehidupan bersama di Natar Riangwulu.
Dalam kehidupan bersama di setiap suku, pimpinan
suku ditetapkan secara aklamasi oleh anggota suku dengan
mempertimbangkan aspek umur tertua, kemampuan bertutur sejarah, dapat
mengatur pelaksanaan ritus adat. Tugas utama pemimpin suku yaitu
mengatur kehidupan para anggota suku. Dalam pengaturan ini para pemimpin
suku tetap menjunjung adanya struktur pemerintahan adat Tana Pu’an dan Raja Tana.
Tana Pu’an dan Raja Tana bukan pemilik tunggal atas tanah, melainkan
sebagai pengatur hidup bersama dalam kesatuan komunitas adat Boruk Tana
Bojang.
Dari
tuturan sejarah, komunitas Boruk Tana Bojang pernah berperang melawan
komunitas tetangga Duang Bawaliang di wilayah selatan. Perang
ini terjadi pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Dalam perang ini,
komunitas Boruk Tana Bojang mendapat bantuan personil dari komunitas
yang tergabung dalam Hamente Lewo Ingu. Hingga saat ini belum ditemukan
data dan informasi yang lebih akurat tentang perang
tersebut, entahkah ada kaitan dengan pemeritahan Hamente. Ada sumber
menduga bahwa perang di jaman itu masih berkaitan dengan politik
adudomba, rekayasa Kolonial Belanda.
Berkaitan
dengan dugaan ini, dalam studinya, Ernst Vatter mencatat bahwa hingga
pertengahan abad 19 masih berlangsung perang antara Kerajaan Larantuka
dengan kerajaan-kerajaan pulau, maupun pertempuran antara penduduk
pantai dan penduduk gunung. Dalam ketidak pastian ini, raja Larantuka
bertahun-tahun hampir tidak pernah keluar rumah lebih dari setengah jam.
Baru di bawah Gubernur Jenderal van Heusz (1904-1909), peperangan dan
penduduk pedalaman ditaklukkan. Semuanya hanya dilakukan dalam beberapa
tahun saja[16].
Sebelum masa kolonialisme Belanda, beberapa Natar ini berdiam
di sekitar Gunung Wuko– Wengot. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
sebagian wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Dengan
alasan ini dan terutama untuk mempermudah pengumpulan Kewet[17], Koloni Belanda memerintahkan masyarakat untuk membangun pemukiman baru di tempat rata dan dekat jalan. Warga komunitas akhirnya meninggalkan kampung halamannya yang asli. Ada yang berpindah ke selatan ke Tanah Kedang, sedangkan yang lainnya ke utara di wilayah Hikong.
Pada
zaman Belanda telah pula dilakukan kesepakatan antara Raja Larantuka
dan Raja Sikka tentang batas kerajaan yang berada di Etan Baologun.
Penetapan ini telah berdampak pada pemutusan relasi antara komunitas
yang berdiam di Hikong dan di Tana Kedang. Penetapan
batas wilayah kerajaan tersebut berlaku hingga saat ini dan
dipergunakan sebagai batas administrasi pemerintahan Kabupaten Sikka –
Flores Timur[18].
Dengan demikian tidak mengherankan apabila pemerintah selalu menanggapi
konflik tanah di wilayah ini sebagai konflik batas kabupaten. Warga
komunitas, tidak mempersoalkan batas adiministrasi kepemerintahan
melainkan memperjuangkan tanah warisan yang telah ditetapkan sebagai
hutan lindung. Walaupun terpisah secara wilayah administrasi desa bahkan
kabupaten, masyarakat masih tetap mengakui bahwa mereka adalah
bersaudara. Masyarakat selalu dipersatukan melalui ritus-ritus adat terutama adat Long Sope. Ritus
adat Long Sope merupakan sebuah upacara yang diyakini untuk mempererat
hubungan antara orang mati dengan orang hidup. Long Sope juga dimaknai
sebagai mendatangkan kekuatan gaib.
Ketika masyarakat
diperintahkan untuk meninggalkan kampung halaman mereka yang berada
dalam kawasan hutan lindung, ketika itu kekuasaan pemerintahan lokal yang disebut Natar lambat laun ditinggalkan. Begitu pula otoritas fungsionaris adat. Fungsionaris adat terutama Tana Pu’an, Raja Tana, Diran Le’en yang sebelumnya berperan sebagai pengatur kehidupan bersama, pada akhirnya sebatas sebagai pelaku ritus adat.
Perjalanan sejarah lambat laun terus menggeser peran pemerintahan lokal. Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, sistem pemerintahan lokal yang asli diabaikan. Dari Natar diubah menjadi Kampung dan seterusnya Desa. Dengan berbagai pertimbangan, desa-desa
yang ada dimekarkan lagi tampa mengindahkan batas wilayah adat. Saat
ini, satu kesatuan warga komunitas Boruk Tana Bojang hidup terpencar di
beberapa desa yaitu Desa Boru dan Boru Kedang di Kabupaten Flores Timur,
dan Desa Hikong di Kabupaten Sikka. Dengan demikian tidak mengherankan
apabila berbicara soal tanah di wilayah hutan lindung Woku Lewoloro akan
menjadi persoalan bersama warga yang berasal dari ketiga desa ini,
bahkan dari dua kabupaten yaitu Sikka dan Flores Timur. Masyarakat ketiga desa menyebut satu kesatuan wilayah yang menjadi hak bersama ini dengan sebutan Nian Ue Wari, Tana Kera Pu. Itu artinya tanah tersebut merupakan tanah persekutuan yang tidak dibatasi oleh batas administrasi dalam sistem pemerintahan RI.
Kendati
prinsip Nian Ue Wari Tana Kera Pu masih dipegang teguh oleh generasi
saat ini, dalam diskusi mereka mempertanyakan apakah nilai ini akan
dipertahankan oleh generasi yang akan datang? Terhadap keraguan
tersebut, Maria Rita Ruwiastuti, SH dalam studinya tentang sengketa
tanah di Manggarai menemukan beberapa indikasi terjadinya sengketa tanah
antar warga, salah satunya yaitu telah terjadinya pemisahan atau
memisahkan diri warga dari suatu komunitas, entah akhibat pertengkaran
internal (Tenda vs Kumba), atau karena perubahan kebijakan administrasi
pemerintahan (Mena vs Taga). Apabila temuan ini menjadi rujukan maka
pemberdayaan komunitas adat hendaknya dilakukan secara utuh dengan tidak
terpaku pada batas administrasi pemerintahan desa[19].
Sistem Penguasaan Tanah
Tanah – tanah di wilayah adat Boruk Tana Bojang dahulu kala berupa hutan belukar yang disebut ”tu’an atau tu’an beleng”. Tanah yang masih berwujud hutan belukar langsung di bawah pengaturan Tana Pu’an.Tana
Pu’an bukan sebagai pemilik tanah, melainkan berfungsi sebagai
pengatur. Tanah Pu’an akan melakukan pendistribusian tanah kepada
masing-masing warga melalui pemimpin marga yang tersebar di setiap
Natar.
Ketika masyarakat mulai mengenal budaya bercocok tanam, mereka diperkenankan oleh Tana Pu’an untuk membuka Tu’an Beleng (hutan belukar). Proses pembukaan hutan belukar disebut roa tu’an. Pembukaan hutan belukar dikerjakan secara bersama oleh beberapa orang dalam satu kesatuan hamparan yang disebut etan. Dengan demikian, kebun yang berada dalam satu kesatuan etan disebut uma etan.
Uma adalah kebun yang dikelola oleh masing-masing orang (rumah tangga),
sedangkan uma etan merupakan kepemilikan bersama (kolektip) beberapa
orang dalam satu kesatuan kawasan (’etan). Sebagai pembatas antara uma akan dibuat tanda pembatas yang disebut duen.
Menurut penuturan tetua adat, untuk membuka tu’an (hutan) menjadi uma (kebun), selalu diawali dengan ritus adat yang disebut ogo nitu wewe no’ang[20]. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa di setiap Tu’an ada pemiliknya yaitu Nitu No’ang.
Nitu No’ang adalah makhluk halus yang tidak dapat dilihat. Supaya Nitu
Noang tidak marah maka Nitu Noang harus dipindahkan terlebih dahulu ke
hutan lain. Pemindahan Nitu No’ang dilakukan dengan membuat simbol
manusia yang terbuat dari bahan pelepah pinang. Sebelum dipindahkan,
simbol manusia laki dan perempuan diberi makan dan pakaian terlebih
dahulu. Ritus adat ini harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Apabila
salah melakukan ritus adat maka Nitu Noang akan marah. Mantra yang wajib
diucapkan dalam ritus ini yaitu:
”Nitu kiku wiru abang laka meran,
deri a’un ilin wutun gera a’un tuan loran”
yang mengandung arti :
Roh halus penguasa alam,
tinggallah di puncak gunung, beristirahatlah di hutan rimba.
Untuk menciptakan kesuburan tanah, pengelolaan kebun (uma) di suatu roin biasanya relatif singkat yaitu berkisar dari 3-4 tahun. Uma yang diistirahatkan sementara agar menjadi subur kembali disebut amak. Selanjutnya uma amak dibiarkan menjadi hutan selama beberapa tahun bahkan puluhan tahun. Uma amak yang sudah berwujud hutan disebut Roin Du’an. Apabila
tanahnya sudah subur kembali, para pemilik dapat membukanya menjadi
kebun. Proses pembukaan kebun pada wilayah yang sudah berupa Roin (bukan lagi Tuan Beleng) disebut Opi.
Untuk menghindari konflik, sebelum melakukan aktivitas opi, diawali dengan membuat tanda yang disebut bulun. Bulun dilakukan dengan cara membuka sebagian kecil areal berukuran beberapa meter sebagai bentuk pemberitahuan bahwa roin siap diolah. Kurang lebih dalam kurun waktu seminggu apabila tidak ada pihak yang mempersoalkan maka roin tersebut dibuka seluruhnya menjadi uma (kebun). Pembukaan roin menjadi uma (kebun) biasanya dilakukan secara bergotong royong dan bergilir disebut klulur. Pihak keluarga yang tidak terikat dalam klulur namun sesekali dapat meluangkan waktu untuk membantu disebut pohe. Dari sistem berkebun yang demikian maka warga komunitas Boruk Tana Bojang sebenarnya tidak mengakui adanya ”tanah terlantar”[21].
Semua tanah di dalam kesatuan komunitas sudah ada pemiliknya. Ladang
yang yang dikerjakan selama beberapa tahun akan diistirahatkan bertujuan
untuk menciptakan kesuburan tanah, bukan diterlantarkan.
Dari penguasaan tanah semacam ini, masyarakat Boruk Tana Bojang sebenarnya memiliki konsep penguasaan tanah secara kolektip dan individual. Etan merupakan kepemilikan kolektip, sedangkan kepemilikan individual ada pada roin. Satu etan terdiri atas beberapa roin. Sistem ini apabila digambarkan sebagai berikut :
Roin 1
|
Roin 2
|
Roin 3
|
Roin 4
|
Roin 5
|
Roin 6
|
Roin 7
|
Roin 8
|
Roin 9
|
Roin 10
|
Roin 11
|
Roin 12
|
Catatan : Beberapa Roin akan membentuk satu kesatuan ’Etan. Setiap Roin seluas 0,5 Ha – 3 Ha.
Dalam sistem penguasaan tanah semacam ini, penamaan suatu bidang kelola hanya diberikan pada etan yang merupakan kepemilikan kolektip. Sedangkan roin tidak diberi nama. Masyarakat hanya mengenal nama etan.Perotasian kebun dalam sebuah kawasan etan hampir tidak menimbulkan konflik antar warga karena mereka tahu batas hak masing-masing. Batas hak sebuah wilayah roin disebut duen hoat.
Tanda batas biasanya berupa batu alam yang tidak dapat dipindahkan,
atau berupa tumbuhan umur panjang non budidaya seperti beringin, lontar,
dan berbagai jenis pohon lain yang dapat bertahan hidup dalam waktu panjang.
Namun tidak tertutup kemungkinan apabila terjadi persoalan, maka akan diselesaikan secara damai oleh para tua adat. Penyelesaian biasanya dalam bentuk menceriterakan pelaku sejarah sejak membuka hutan (roa tu’an). Apabila masing-masing pihak masih mempertahankan hak dan tidak menemukan titik temu, akan dilakukan dengan sumpah adat melalui beberapa pendekatan yaitu noro welut, nobe nuhung, dan niru nalu mera[22]. Dengan sumpah diyakini bahwa pihak yang bersalah akan meninggal dunia karena dimakan tanah. Apabila berbicara soal tanah, masyarakat
selalu berpegang pada kebenaran ceritera sejarah yang didukung oleh
saksi. Sangat haram bagi mereka untuk mengarang ceritera menyangkut asal
usul tanah. Mengarang ceritera diyakini sebagai membunuh diri. Pengakuan akan relasi antara manusia dengan tanah terurai dalam ungkapan ”Nian Eon Na Mai, Tana Eon Baun Bawan”. Ungapan ini mengandung makna bahwa tanah tidak dapat berpindah dan tidak dapat bertambah. Itu berarti dalam berceritera soal tanah harus jujur. Melalaui ungkapan Nian Eon Na Mai, Tana Eon Baun Bawan juga mengandung makna bahwa hak atas tanah (roin dan etan) tidak boleh dipindahkan karena roin dan etan tidak dapat bertambah[23].
Pengerjaan kebun selalu dilakukan secara bersama dalam satu kesatuan ’etan. Sebelum membuka kebun, para pemilik dalam kesatuan ’etan
akan bersepakat untuk menetapkan waktu pengerjaan. Mereka bekerja
secara bergotong royong dalam satu kelompok kerja yang disebut klulur. Sistem klulur cukup membantu menghindari konflik karena selama kegiatan klulur
mereka membiacarakan banyak hal termasuk sejarah tanah. Dengan demikian
ceritera ini terus diwariskan secara alamiah kepada generasi
berikutnya. Sistem klulur kini
menjadi ancaman tersendiri bagi warga dengan meningkatnya mekanisasi
pertanian, pengenalan herbisida yang tidak mebutuhkan banyak tenaga
kerja dan proyek padat modal.
Hak atas Tanah
Masyarakat Boruk Tana Bojang mengenal beberapa cara untuk mendapatkan hak atas tanah :
1) Ro’a Tu’an: merupakan cara pertama masyarakat mendapatkan hak atas tanah dengan membuka hutan belukar (tu’an). Mereka
yang membuka pertama suatu areal hutan belukar akan diakui sebagai
pemegang hak pertama. Hak yang melekat ini akan diturunkan secara
genealogis. Proses pembukaan hutan (ro’a tu’an) terlebih dahulu
dibicarakan di tingkat komunitas untuk dipertimbangkan apakah layak
hutan tersebut dibuka.
2) Alih waris (hak turunan):
yaitu hak mendapatkan bidang tanah karena diturunkan oleh orang tua.
Dalam pembagian warisan tanah, masyarakat Boruk Tana Bojang menerapkan
sistem patriakal. Hanya anak laki-laki yang mendapat warisan tanah. Anak
perempuan mendapatkan hak atas tanah dari keluarganya pada saat menikah
yang disebut baku wine. Belakangan ini anak perempuan juga sudah
mendapat pembagian warisan tanah, terutama bagi perempuan yang bersuami
pendatang dari luar komunitas yang tidak punya tanah.
3) Baku Wine: dimaknai sebagai bekal untuk saudari yaitu hak atas suatu bidang tanah yang berkaitan dengan adat kawin. Apabila
klan suami mampu memberikan belis gading kepada klan istri maka saudara
laki-laki dari istri yang menerima gading menyerahkan sebidang tanah
(roin) kepada saudarinya sebagai bekal. Bidang tanah yang diberikan
haruslah utuh dalam kesatuan roin.
4) Ai tali – roun ramut: yaitu hak yang diperoleh melalui jasa pelayanan para molan (Dukun) yang berhasil membantu menyembuhkan seseorang dari penyakit. Dalam memberikan bantuan, para molan tidak menuntut pembayaran, akan tetapi diserahkan oleh pihak yang dibantu (pasien) sebagai tanda terima kasih.
5) Naruk Hoot
: hak atas suatu bidang tanah karena ada persoalan, terutama yang
berkaitan dengan pelanggaran tata aturan dalam komunitas seperti :
mencuri, asusila, pencemaran nama baik. Misalnya mengambil hasil jeratan ayam hutan tampa memberitahukan kepada yang memasang jerat dapat dikenai sanksi berupa sebidang roin.
Pengelolaan Hutan
Masyarakat Boruk Tana Bojang memiliki beberapa kearifan pengelolaan hutan yang terdiri atas :
1) Tu’an: Hutan
belukar yang belum pernah diolah. Semua warga memiliki hak yang sama
untuk memanfaatkan hasil yang ada di dalamnya (hak bersama), termasuk
untuk membuka (ro’a tu’an) menjadi kebun (uma). Pada masa
paceklik, semua warga komunitas memiliki hak yang sama untuk mengambil
hasil-hasil yang yang bisa dimakan dalam kawasan ini. Adapun bahan
pangan tersebut antara lain: magar, hura, bleit, enak, wole. Begitu pula
bahan bangunan rumah atau pondok biasanya diperoleh dalam kawasan ini.
2) Dudun: Areal tanah yang tetap dibiarkan dalam wujud hutan karena dianggap keramat atau karena
memiliki fungsi tertentu seperti tempat melakukan ritus adat (nuba
nara), tempat melakukan ritus khusus meminta hujan (uran wair) dan
lokasi mata air (wair matan). Dudun tidak boleh dibuka menjadi kebun. Semua warga memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan dudun. Kepemilikan dudun bersifat kolektif.
3) Repit Moar:
Repit Moar adalah sebagian areal yang tidak bisa dijadikan kebun karena
tingkat kemiringan tanah yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lahan
pertanian.
4) Roin: Hutan yang sudah melekat hak perseorangan karena sebelumnya sudah pernah dijadikan kebun. Proses mendapatkan roin awalnya melalui ro’a tu’an. Tidak semua warga berhak untuk mengelola atau memanfaatkan hasil yang ada dalam suatu wilayah roin. Segala bentuk pemanfaatan hasil yang berada dalam wilayah roin harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemilik roin. Kepemilikan roin diturunkan secara geneologis, karena alih waris, perkawinan (baku wine), balas jasa molan (ai tali roun ramut), dan pelanggaran norma (naruk hoot). Sehari – hari mayarakat biasa menyebut roin dengan roin tu’a.
5) Klu’ut Dun: Bidang tanah yang disepakati oleh sekelompok masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk tetap menjadi hutan sebagai tempat membuang hajat dan sampah. Areal ini berada dalam wilayah kelola yang sudah berupa roin. Apabila pemilik roin berkeinginan untuk memanfaatkan menjadi kebun maka kesepakatan dapat dibatalkan.
6) Uma Ongen: Terdiri dari kata uma (kebun) dan ongen (tanaman). Dengan demikian uma ongen yaitu bidang tanah yang sudah dikembangkan dengan beraneka tanaman umur panjang. Uma Ongen merupakan wujud hutan budidaya. Kepemilikan uma ongen bersifat individual.
Dalam mengelola tanah, hutan dan air, masyarakat Boruk Tanah Bojang selalu diilhami oleh syair adat:
Mula ora piren, pa’at ora glaran,
Tena nian a’un gi’it, tana au’n mangan.
A’u ata nian tuar tanah genan,
Nian a’un lopa na mai, tana a’un lopa baun bawan.
Du’e ganu gu mai, gera ganu get bawa,
Nai beli me, bekat beli pu.
Syair ini apabila diterjemahkan secara harafiah bermakna
Kubenam niat suci, kutanam janji setia,
Agar bumiku kuat, tanahku utuh.
Aku anak tana warisan pusaka,
Bumiku lestari, tanahku tetap subur
Seperti sedia kala
Untuk masa depan anak, kerabat seketurunan
Sebuah ungkapan syarat makna. Ada
pengakuan bahwa kekayaan alam yang ada di wilayah Boruk Tana Bojang
sebagai warisan leluhur, sekaligus menjadi hak generasi yang akan
datang. Pengelolaan alam haruslah serasi – selaras alam untuk menjamin
keutuhan alam semesta demi kehidupan yang berkelanjutan[24].
[1] Keseluruhan isi pada Bab I merupakan catatan penulis dari ceritera lisan masyarakat yang dikumpulkan selama pendampingan. Sejak tahun 1999 Yayasan Ayu Tani mendampingi komunitas ini.
[2]
Wokoh Lewoloro merupakan kawasan hutan lindung seluas 12.960 Ha yang
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI, Nomor:
124/kpts-II/90, tertanggal 23 Maret 1990.
[3] Komunitas
(komuniti) adalah terjemahan sekaligus padanan dari kata community
(Bah. Inggris). Koentjaraningrat, Bapak Ilmu Antropologi Indonesia
menegaskan bahwa komuniti menunjuk pada satuan hidup masyarakat setempat
yang khas, dengan suatu identitas dan solidaritas yang telah terbentuk
dari dalam dan berkembang dalam waktu yang lama. Bdk catatan kaki nomor 4 Bab I, Abih Tandeh.
[4]Bubuk Bekor berarti tumbuh dari tanah, sebutan untuk penduduk asli.
[5] T’ena Mao, sebutan untuk pendatang.
[6] Yang dimaksud dengan ”suku” dalam bahasa pergaulan masyarakat FloresTimur adalah kelompok kekerabatan ulineal-patriarchal yang dalam atropologi disebut clan (marga).
[7] Beberapa tua adat mengakui bahwa kata Sina Jawa sebenarnya berasal dari kata Sina dan Jawa. Kata Sina merupakan sebutan khusus untuk pedagang.
[8] Kahe merupakan ungkapan identitas komunitas, bisa dimaknai sebagai sumpah. Ungkapan ini menggunakan bahasa Krowe dan Muhan. Sehari-hari masyarakat di wilayah ini menggunakan bahasa yang merupakan campuran antara bahasa Sikka (Krowe) dan bahasa Muhan (Lamaholot).
[9] Data
Desa Hikong, Boru Kedang dan Desa Boru tahun 2007. Desa Boru 461 kk,
2.295 jiwa (889 laki dan 1.406 perempuan), Desa Hikong 424 kk, 1.896 jiwa (877 laki dan 1.009 perempuan), Desa Boru Kedang 256 kk, 986 jiwa (476 laki dan 510 perempuan).
[11]
Tana Puan dan Raja Tana yaitu mereka yang dari dahulu diakui sebagai
pengatur dalam kesatuan adat Boruk Tana Bojang. Tana Puan dari Marga
Liwu, Raja Tana dari marga Boruk.
[12] Du’a Mo’an terdiri dari pala kepala marga.
[13] Diran Le’en sebagai penjaga keamanan, menjadi tanggung jawab Marga Soge.
[14] Ernst Vatter, Ata Kiwan, Penerbit Nusa Indah – Ende, 1984. (Judul Asli: Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker Im Tropischen Holland, 1932).
[15] Bdk, R. Yando Zakaria, Ambih Tandeh : Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam, 2000.
[16] Bdk Ernst Vatter, Atakiwan, hlmn 19.
[18] Bdk, Nico Ngani dan Steph Djawa Nai, Hukum Pertanahan di Kabupaten Ngada, Flores dan Nusa Tenggara Timur,
2004. Pergeseran perbatasan pada saman Belanda bukan untuk kepentingan
suku-suku yang ada di Flores akan tetapi untuk kepentingan Belanda
yaitu: rodi, pemasukan pajak, dan kesatuan hukum dalam sistem negara
kolonial Belanda.
[19] Maria Rita Ruwiastuti, Sengketa Tanah di Manggarai, makalah disampaikan pada seminar sehari “Sengketa Tanah: Bom Waktu dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Jakarta, 30 Oktober 1999.
[20] Ogo Nitu We’we Noang berarti memindahkan roh halus. Masyarakat setempat yakin bahwa hutan punya penghuni berupa roh-roh halus.
[21] Menurut masyarakat, istilah “tanah terlantar” mulai diperkenalkan oleh pemerintah sejak masuknya proyek pengembangan berbagai komoditi yang berprospek pasar. Sebutan ”tanah terlantar” sangat bertentangan dengan konsep bertani masyarakat setempat.
[22]
Sumpah adat ini mulai tidak diterapkan lagi ketika otoritas
fungsionaris adat melemah sebagai dampak menguatnya system pemerintahan
Negara dengan menyodorkan hukum positif Negara. Apabila masyarakat
menemukan problem tanah maka akan ditangani oleh pemerintah Desa atau
langsung dibawa ke Pengadilan. Menurut masyarakat bahwa penyelesaian
sengketa tanah melalui sumpah adat sangat lebih adil karena selalu
ditunjang oleh bukti alamiah. Hal ini tidak ditemukan dalam hukum
positif negara.
[23] Saat ini ungkapan nian eon na mai, tana eon baun bawan menjadi problem serius warga. Jual-beli tanah sudah merupakan hal lumrah. Kenyataan ini merupakan awal kemiskinan petani.
Komentar
Posting Komentar