PEMBERDAYAAN NELAYAN DENGAN PENDEKATAN SOSIO-BUDAYA
Semakin panjang pantai, semakin banyak penduduk miskin Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan. Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan bukanlah suatu yang independent, melainkan akibat kebijakan masa lalu yang terlalu terkonsentrasi pada pembangunan wilayah darat (continental orientation) dan melupakan pembangunan wilayah laut (maritim orientation), sehingga menjadikan kelautan dan perikanan sebagai sektor pinggiran (peripheral).
Kesalahan terhadap kebijakan pembangunan di masa lalu tersebut ditebus dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Hadirnya DKP merupakan bukti tumbuhnya kesadaran dan kemauan politik pemerintah dalam membangun kelautan dan perikanan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan perikanan, terutama masyarakat nelayan yang selama ini menjadi korban pembangunan.
Namun dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu menciptakan nelayan-nelayan tangguh dan sejahtera. Kenapa demikian? Tentu saja ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi, LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya bersifat proyek ansich (jangka pendek).
Buku karya Drs. Kusnadi, M.A. yang berjudul “Akar kemiskinan Nelayan” memberikan peringatan kepada kita semua, khususnya kepada para pembuat kebijakan (policy maker) akan pentingnya pendekatan sosial budaya sebagai basis atau instrumen pemberdayaan masyarakat nelayan. Mengingat secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) berbeda dengan kelompok masyarakat pedesaan (petani) yang ada di daratan. Selain itu, karakteristik sumber daya dan geografis antar daerah sangat beragam. Jadi, akibat pemaksaan, ketidaktahuan pendekatan dan homogenisasi pelaksanaan program pembangunan untuk masyarakat nelayan pasti akan membuahkan kegagalan.
Menurut Kusnadi dalam bukunya ini menyebutkan bentuk kegagalan dan suatu program pemberdayaan dapat berupa besarnya nilai kemacetan dana bergulir yang akan dikembangkan, penyelewengan penggunaan dana untuk kepentingan di luar program, bubarnya institusi-institusi sosial ekonomi yang dibangun setelah pelaksanaan program berakhir, dan kondisi sosial ekonomi atau kesejahteraan masyarakat nelayan tidak meningkat akhirnya, kontinuitas kegiatan pemberdayaan terhenti di tengah jalan
Kegagalan tersebut disebabkan oleh aplikasi program pemberdayaan yang kerap tidak dikerangkai oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Akibatnya program-program pemberdayaan tersebut menjadi asing bagi masyarakat nelayan setempat, dan ironisnya, institusi bentukan program pemberdayaan yang baru sering diperhadapkan dengan institusi-institusi lokal secara antagonistis. Sehingga, apatisme masyarakat terhadap strategi pelaksanaan program pemberdayaan yang demikian semakin berkembang dan menimbulkan resistensi sosial yang berdampak pada penciptaan hambatan strategi terhadap keberhasilan program pemberdayaan.
Kusnadi mengingatkan, untuk terciptanya efektivitas dan efisiensi program pemberdayaan masyarakat nelayan seharusnya tidak dilakukan secara parsial, mengingat permasalahan kenelayanan sangat kompleks. Selanjutnya Kusnadi mencontohkan dari Program IDT (Inpres Desa Tertinggal), PDKP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) hingga PEMP lebih diarahkan untuk kegiatan ekonomi produktif dan fisik. Khusus untuk program PEMP yang mulai diluncurkan sejak tahun 2001 hingga sekarang, sepenuhnya difokuskan pada pembangunan kegiatan ekonomi produktif dan berlaku seragam untuk seluruh desa nelayan Indonesia. Kegiatan yang hanya terlalu bertumpu pada peningkatan perekonomian (economic growth) akan menciptakan eksternalitas negatif di sektor kelautan dan perikanan, seperti kemiskinan lingkungan sumber daya pesisir dan laut.
Hal lain yang sangat berpengaruh dalam tercapainya keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan yang kadang terlupakan dari kebijakan pemerintah adalah peran dan keterlibatan kaum perempuan atau isteri-isteri nelayan. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dan sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya, strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup. Dengan demikian, kaum perempuan dan pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan ekonomi lainnya.
Buku ini hanya berpesan, untuk menciptakan masyarakat nelayan tangguh dan sejahtera diperlukan pemberdayaan yang berbasiskan pada sosial-budaya masyarakat lokal. Karena, karakteristik masyarakat dan sumber daya serta permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut sangat complicated dan beragam. Oleh karena itu, kombinasi modal alami (natural resources) dan modal sosial (social kapital) tersebut akan menjadi kekuatan kelautan Indonesia yang luar biasa, suatu kekuatan yang terlupakan selama puluhan tahun.***
Komentar
Posting Komentar