HUKUM, MORAL, DAN HAKIM (Refleksi tentang Nuansa di Balik Konsep Satu Atap Lembaga Peradilan)

Suatu peristiwa yang boleh dibilang menarik, khususnya untuk para ahli hukum, terjadi pada awal 1960-an, di Amerika Serikat. Kejadian itu adalah ketika para aktivis pejuang hak-hak sipil kulit hitam dan kulit putih naik bus bersama-sama di negara bagian Selatan. Tidak hanya itu. Mereka juga, dengan sengaja, makan bersama-sama (kulit putih dan kulit hitam ) pada satu restoran yang sama. Padahal, di negara bagian tersebut terdapat aturan yang mengharuskan mengadakan pemisahan antara kulit putih dengan kulit hitam dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas umum, seperti restoran, kendaraan umum, dan hotel-hotel. Dengan demikian kegiatan para aktifis tersebut oleh pemerintah setempat dipandang sebagai tindakan provokatif dan, yang lebih penting lagi, merupakan perbuatan melanggarar hukum lokal. Karena alasan itulah, oleh pemerintah setempat, para aktivis tersebut kemudian ditangkap. Sekalipun dianggap bersalah karena melakukan perbuatan melanggar hukum, para aktivis tersebut tetap bersikeras bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang benar. Alasan mereka, pertama, yang mereka lakukan adalah berdasarkan nilai-nilai moral dari persamaan dan martabat kemanusiaan untuk melawan diskriminasi ras dan kedua, yang mereka lakukan telah sesuai pula dengan konstitusi Amerika Serikat yang menentang setiap hukum lokal yang memasukkan rasialisme.1 Anekdot tersebut tampaknya mengingatkan kita bahwa aturan hukum dan moral terkadang memang berjalan tidak ekiuvalen. Bahkan, dalam tataran tertentu keduanya mengalami perbedaan yang sangat antagonistis, yaitu hukum di satu pihak dan moral di pihak yang lain. Oleh karena itu, tidak heran jika oleh kalangan ahli hukum hubungan kedua istilah, yaitu hukum dan moral, telah menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai. Pada praktek kehidupan memang sering terjadi orang menggunakan kedua terminologi tersebut untuk kepentingannya masing-masing. Letak ke-antagonistis-an kedua terminologi tersebut, adalah ketika keduanya dipakai, secara ekstrim, oleh dua pihak dalam menyikapi suatu persoalan. Satu pihak mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah atas nama hukum. Sedangkan, pihak yang lain mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah atas nama moral. Pihak yang mengatasnamakan hukum selalu berdalih, bahwa apapun yang dilakukan seseorang tidak bisa keluar dari koridor hukum. Sebab, hukum pada hakekatnya merupakan kristalisasi dari kesepakatan-kesepakatan bersama yang dibuat untuk mengatus kepentingan bersama. Oleh karena itu keberadaannya harus selalu dijunjung tinggi bersama yang terimplementasi dengan ketaatan terhadap segala ketentuan aturan hukum tersebut. Orang yang tidak mentaatinya, dapat dipandang sebagai orang yang mengkhianati kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Sedangkan, kelompok moralis selalu melihat bahwa kaidah moral-lah yang harus dijunjung tinggi sebab moral pada prinsipnya merupakan fitrah yang, sejak awal, inheren dengan keberadaan manusia. Alasan lain, menurut mereka adalah karena hukum sendiri dibuat bersumber dari ajaran moral. Hukum hanya mengambil sedikit dari ajaran moral. Di luar hukum masih terdapat ajaran moral yang belum terakomodasi oleh hukum. Dalam pandangan ini, oleh karena hukum bersifat temporal yang keberadaannya mudah sekali usang seiring dengan perubahan ruang dan waktu, maka menjadi tugas aturan hukumlah untuk selalu menyesuaikan dengan eksistensi moralitas, sekalipun tidak tertulis. Dalam praktek, yang berada pada pihak pertama tampaknya adalah para penguasa. Perbuatan, perkataan rakyat harus sesuai dengan apa yang disebut hukum. Ironinya terkadang sering terjadi, dengan mengatasnamakan hukum penguasa berbuat sesuatu yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, meskipun sebenarnya hukum dibuat, salah satunya dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Pemerkosaan hukum oleh, dan berikut menjadi keberpihakan hukum kepada, penguasa, dari isi teori hukum terkadang memang wajar ketika kita mengingat unsur-unsur pengertian hukum yang dikemukakan oleh John Austin, bahwa hukum adalah seperangkat perintah dan larangan, dibuat oleh pemilik otoritas, dan mengandung sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Lembaga yang memiliki otoritas tersebut menurutnya, tidak lain adalah penguasa. Tetapi, pandangan yang mewakili positivisme hukum tersebut, kemudian--dan bahkan, saat ini, ada kecenderungan untuk--ditentang oleh para ahli hukum yang berpandangan sosiologis. Penganut aliran sosiologis selalu menempatan hukum dari segi kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat. Alasannya, hukum dibuat adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, hukum adalah dari masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat mempunyai pandangan moralnya masing-masing, maka dalam konteks inilah sebenarnya hukum harus dikesampingkan ketika dia bertentangan dengan pandangan moral masyarakat yang melingkupinya. Setidaknya pandangan seperti itu pernah dikemukakan oleh Henry David Thoreau ketika ia menulis : “The public disobedience of law is justifiable on the basic of moral and ethical principles that are conflict with the law and are more important than law, even when it is made democratically” ( Ketidaktaatan publik pada hukum adalah dibenarkan atas dasar moral dan asas etika yang berkonflik dengan hukum dan lebih penting dari pada hukum, bahkan ketika ia dibuat secara demokratis sekalipun ). Pandangan demikian sepintas memang terkesan sangat ekstrim. Akan tetapi, itulah kenyataannya yang terjadi. Ketidaktaatan masyarakat terhadap segenap aturan main yang dibuat oleh hukum disebabkan hal tersebut dipandang sebagai penghambat penegakan moral. Terjadinya tindakan anarkis secara masal akibat tidak puas oleh kesewenang-wenangan penguasa yang mengatasnamakan hukum dan ketidakpuasan massal akibat output suatu kasus di pengadilan merupakan contoh mengenai kebenaran pandangan tersebut. Sedangkan moral merupakan ajaran baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya atau akhlak, budi pekerti, susila. Oleh karena, hampir 100 persen (99,9 persen ) masyarakat Indonesia adalah beragama, maka dapat dipastikan bahwa sumber moral bangsa sebenarnya banyak didominasi oleh ajaran agama. Meskipun, dalam pengertiannya yang konvensional, kaidah moral dibedakan dengan kaidah agama. Ajaran yang dianut akan selalu memberikan inspirasi terhadap pandangan moral mareka. Pandangan moral tersebut akan terefleksi pada kedalaman penghayatan terhadap agama yang dianut. Dalam praktek, orang yang dipandang mempunyai otoritas tingkat kedalaman penghayatan terhadap nilai agama tersebut bisa nabi dan rasul, para ulama, pendeta, pastor, dan pemuka agama semacamnya. Masyarakat lain, yang lazim dikenal sebagai orang awam, hanya akan melihat dan mencontoh, sosok mereka. Sebab, dalam pandangan awam para pemuka agama itulah sebenarnya yang mereka sebut sebagai agama itu sendiri. Atau, bahkan mereka menganggap para tokoh agama, dengan kapasitas yang dimiliki, merupakan representasi dari firman Tuhan. Itulah sebabnya para awam harus menghormati, mentaati, termasuk membela jika kemudian sang tokoh mendapat perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun. Sebagai contoh, pasti masyarakat di manapun akan marah ketika ada seorang ulama, pastor, pendeta, yang mencoba berjuang menegakkan prinsip-prinsip moral yang baik dengan mencoba berteriak menyerukan kebenaran dan memerangi kebatilan yang hingar bingar di sekitarnya, seperti praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang kini hampir terjadi di semua lini kehidupan. Ketika melihat fenomena demikian, pandangan moral agama kaum awam tersebut pasti mempertanyaan : Mengapa orang yang menegakkan kebenaran justru harus dihukum ? Merekapun kemudian marah dengan berbagai ekspresi mereka. Kemarahan itupun berubah menjadi sedemikian brutal dan anarkis, ketika melihat, bahwa yang menyebabkan sang tokoh dihukum justru orang yang mestinya harus dihukum. Para penguasa, dengan mengatasnamakan hukum juga berkilah bahwa mereka dihukum bukan karena menegakkan moral. Akan tetapi, cara menegakkan moral itulah yang menyebabkan dihukum sebab melanggar hukum. Jika masing-masing pihak tetap berpijak pada posisi ekstrim tersebut, maka dapat dipastikan, bahwa dari ujung manapaun kita lihat, keduanya tidak akan pernah saling bertemu pada titik yang sama. Pertanyaan kita adalah haruskah, atau setidak-tidaknya di negara kita hukum dan moral mesti dipisahkan secara dikhotomis ?. Jawabnya, sudah barang tentu, tidak mungkin. Pertentangan keduanya, mungkin lebih disebabkan munculnya sikap tidak jujur manusianya. Manusia yang dimaksud disini tidak lain adalah orang yang berkecimpung di dunia hukum, dalam hal ini adalah para penegak hukum itu sendiri ( enforcer ). Merekalah sejatinya yang paling bertanggungjawab munculnya pertentangan hukum dan moral. Mengapa demikian ?. Sebagai alasannya adalah karena dari semula negara kita tidak pernah membuat garis demarkasi ekstrim antara hukum dan moral. Dengan pernyataan “atas berkat rahmat Allah” sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan “Ketuhanan Yang Maha Esa “sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila, secara tidak langsung membuktikan bahwa kedua term, hukum dan moral, tersebut tidak mungkin bisa dipisahkan. Dengan demikian mestinya moral agama, sebagai sumber moral yang baik, harus mengilhami terbentuknya aturan hukum yang baik. Atau sebaliknya, aturan hukum apapun yang tercipta, di negeri kita, tidak boleh bertentangan dengan moral yang baik tersebut. Persoalan yang mungkin timbul adalah ketika kedua hal tersebut terjadi pertentangan dan harus dipilih salah satu, manakah yang harus didahulukan, aturan hukumkah atau moralkah ?. Bagi para ahli hukum, seperti telah di singgung di muka, hal ini memang telah menjadi wacana yang berkepanjangan dan berujung kepada terbentuknya aliran-aliran hukum. Akan tetapi, jika kita konsisten dan konsekuen bahwa Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Sila Pertama Panacasila tersebut merupakan sumber kekuatan moral dan sumber dari segala sumber hukum kita, maka semestinya morallah yang harus didahulukan. Persoalannya adalah siapa yang berkompeten mengawinkan hukum dan moral ini. Mengenai hal ini Prof. Sudikno pernah mengemukakan, bahwa setiap aturan itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif. Hal senada juga pernah ditulis oleh Prof. Bustanul Arifin, bahwa seorang hakim hsruslah learned in law ( alim dalam ilmu hukum ) dan skilled in law ( terampil dalam melaksanakan hukum ). Kecuali harus memahami substansi dan arti hukum, hakim juga harus terampil dalam penerapan hukum. Di tangan hakim, ilmu hukum menjadi pengetahuan yang praktis ( applie science ). Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal undang-undang dan peraturan yang terdiri huruf-huruf mati itu. Dengan demikian, dalam konteks hubungan hukum dan moral, maka sebenarnya hakimlah yang paling bertanggung jawab, memasukkan, atau mengawinkan hukum dan moral, melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Sehingga antara dua term, hukum dan moral, tidak pernah berada dalam dua kutub yang saling berjauhan. Pada berbagai kesempatan pelatihan hakim, para petinggi Mahkamah Agung sering juga meng-kampanye-kan, bahwa putusan hakim selain harus selalu mempertimbangkan keadilan hukum ( legal justice ) dan keadilan sosial ( social justice) juga harus mempertimbangkan keadilan moral ( moral justice ). Jadi, secara tidak langsung sebenarnya sistem hukum kita tidak lagi mengenal hakim sebagai terompet undang ( bouche de la loi) sebagaimana pandangan Montesquieu. Untuk mencapai hal itulah mengapa hakim harus menguasai teori-teori hukum yang bersifat teknis, seperti interpretasi dan konstruksi hukum yang pada prinsipsinya, di satu sisi adalah memberikan ruang gerak kepada para hakim untuk menemukan hukum suatu kasus yang diperiksa dan di sisi lain, memberikan motivasi kepada hakim untuk tidak terpaku kepada bunyi ketentuan pasal-pasal mati suatu aturan hukum. Bahkan, dalam konteks memutus suatu perkara oleh hakim dikenal pula contra legem, yaitu mekanisme yang „membolehkan hakim menyimpangi suatu ketentuan yang nyata-nyata bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tindakan seperti itu, secara yuridis, telah pula mendapat legitimasi ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, yang pada prinsipnya mengamanatkan kepada hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat agar putusan yang dibuat dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat yang ada. Refleksi demikian mungkin perlu bagi para penegak hukum, khususnya hakim. Mengapa demikian ? Sebab, konon yang menjadi demikan terpuruknya dunia hukum kita, dari sekian persoalan yang menjadi penyebab, salah satunya, adalah adanya sikap orang yang bergulat di dunia hukum. Sikap dan tindakan para penegak hukum inilah yang, secara sengaja atau tidak, menyebabkan hukum dan moral menjadi tidak pernah bertemu. Ketika orang mencoba mencari biang kongkritnya lagi kemudian menemukan sosok hakim. Lantas, salahkah jika masyarakat berpandangan demikian ?. Dalam konteks ideal tugas seorang hakim di atas, pandangan masyarakat tersebut tidak sepenuhnya salah. Alasan lain, mengapa pandangan masyarakat tersebut tidak sepenuhnya salah adalah karena, hakimlah yang diharapkan menjadi benteng terakhir dari semua proses jalannya penegakan hukum. “Katakanlah, polisi, pengacara, dan jaksa boleh brengsek, tetapi janganlah keadaan tersebut terjadi pada sosok hakim”, kata Abdul Rahman Saleh, S.H.,M.H. dalam salah satu kesempatan. Dengan hati nurani yang dimiliki dan legitimasi keberadaan dirinya yang bisa bertindak atas nama Tuhan, seorang hakim tidak boleh bisa dikelabuhi oleh sistematika kebohongan dari luar dirinya. Apalagi, dengan sengaja malah ikut-ikutan melacurkan diri. Sinyalemen seperti ini, setidaknya juga pernah diteriakkan oleh Bustanul Arifin, bahwa hakimlah yang menjadikan coreng morengnya wajah lembaga peradilan dewasa ini. Pernyataan tersebut sekilas memang terasa agak vulgar. Akan tetapi, wajar manakala kita mengingat bahwa hakimlah yang menjadi tumpuhan terakhir dari semua proses hukum. Dengan kapasitasnya sebagai seorang Ketua Muda Mahkamah Agung RI waktu itu, yang nota bene juga seorang hakim, pernyataan tersebut sudah barang tentu juga merupakan self critic bagi para hakim. Akan tetapi, mutlakkah hal tersebut tertumpu pada pundak hakim. Sudah barang tentu tidak. Kelompok di luar profesi hakim mestinya juga harus adil dalam memberikan penilaian terhadap keberadaan hakim berikut kinerjanya. Sebab, hakim pada hakikatnya juga manusia biasa. Sebagai manusia menyebabkan dia terikat pula dengan hukum-hukum yang layaknya berlaku bagi manusia lain, non hakim. Dengan kata lain, kalau orang lain bisa capek, mengantuk, lapar, khilaf,dan mungkin, juga stres, maka hakimpun bisa mengalami hal-hal tersebut, meskipun kadarnya tidak boleh sama dengan orang awam pada umumnya. Keculasan para pihak, „permainan‟ sistematis oleh unsur penegak hukum lain sebelum berkas perkara sampai ke meja peradilan, dan opini hukum yang keliru, di satu sisi perlu diakui ikut menjadi penyebab terpuruknya dunia penegakan hukum. Di sisi lain, hal tersebut juga menjadi salah satu penyebab kekhilafan hakim. Bagi hakim kekhilafan tersebut, sepanjang telah bekerja sesuai dengan mekanisme yang ada dan yang lebih penting telah sesuai dengan hati nuraninya, tidak menjadi persoalan. Dalam sistem peradilan manapun, kehilafan hakim tersebut tidak dapat diganggu gugat. Apalagi dituntut ganti rugi. Seakali lagi, kalau hal tersebut terjadi di luar kemampuan dirinya. Toh, ada mekanisme untuk mengoreksi putusan hakim tersebut melalui lembaga upaya hukum. Tindakan di luar kemampuan diri tersebut terkadang juga bisa muncul ketika seorang hakim berhadapan dengan persoalan birokrasi baik secara eksternal maupun internal. Hakim sebenarnya juga seorang Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi tidak dapat disamakan dengan pegawai negari sipil yang lain. Sebab, sebanarnya saat ini dia juga seorang pejabat negara. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, telah menyebutkan secara, limitatif para pejabat negara, termasuk di dalamnya Hakim pada semua lingkungan peradilan, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tatausaha Negara. Bahkan, jika penyebutan tersebut berdasarkan urgensinya, dari kedelapan macam pejabat negara yang ada dalam UU tersebut penyebutan Hakim merupakan rangking keempat setelah Presiden/ Wakil Presiden, MPR, dan DPR atau lima point di atas penyebutan Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wali Kota. Pengangkatannnya juga dibedakan dengan PNS lain. Di antara Kepala Dinas yang ada di Pemerintah Kabupaten yang ada, Hakimlah satu-satunya pejabat negara di Kabupaten yang pengangkatannya didasarkan atas Keputusan Presiden ( KEPPRES ). Sistem penggajiannyapun dibedakan dengan PNS yang lain. Terkahir hakim digaji menurut PP Nomor 12 Tahun 2003. Dengan PNS yang sederajat gaji pokok hakim memang lebih tinggi. Tetapi semua orang tahu, bagaimana kondisi hakim-hakim di negeri ini. Sebagai contoh, hampir semua orang tahu bagaimana kehidupan hakim yang bertugas pada peradilan tingkat pertama. Profil para pimpinan pengadilan saja di suatu kabupaten, rata-rata relatif jarang mencerminkan sebagai seorang pejabat negara. Setidak-tidaknya, jika diukur dengan keberadaan para pejabat di Kabupaten yang setingkat dengannya. Apalagi, jika dibanding dengan Bupati dan Wakil Bupati setempat. Kalaupun ada yang relatif sejajar dengan kehidupan seorang Kepala Dinas, hal itu karena kepiawaiannya menjalin „pergaulan‟ dengan penguasa wilayah dan para „dermawan‟ setempat. Kendaraan dinas seorang Ketua pengadilan, kebanyakan juga berkat kemurahan hati para Bupati/Wali Kota setempat. Logikanya adalah, jika pimpinan pengadilannya saja demikian, maka bagaimana lagi kondisi hakim yang masih berstatus sebagai hakim biasa. Memiliki sepada motor dengan cara kredit karena tidak tersedia kendaraan dinas untuknya, tinggal di rumah dinas yang atapnya bocor, misalnya, merupakan sebagian kecil kisah pilu yang pada umumnya terjadi pada kehidupan para hakim, setidak-tidaknya para hakim yang bertugas di daerah „kering‟. Kondisi demikian masih harus diperparah dengan, kondisi hakim ketika berhadapan dengan urusan-urusan birokrasi yang mengurus nasibnya sebagai PNS, seperti kanaikan pangkat yang tidak mulus, mutasi alih tugas yang tidak jelas, dan urusan non teknis peradilan yang lain. Urusan yang berhubungan dengan scurity sehari-hari dan keluarga hakimpun juga belum jelas. Siapa yang dapat menjamin keamanan seorang hakim ketika manangani perkara-perkara gawat, sementara tempat tinggalnya harus berbaur dengan masyarakat umum dan tanpa kawalan petugas keamanan. Akhirnya, hakimpun berusaha mencari kawan yang mau mengerti dan mencari selamat dengan caranya masing-masing. Akhirnya hakimpun perlu menjalin hubungan dengan orang-orang kuat di sekitar, baik dari segi kekuasaan, ekonomi, dan sosial. Lagi-lagi hal ini juga berpotensi memunculkan penyalahgunaan kesempatan dan berikut berpotensi pula menimbulkan kecurigaan masyarakat kepada hakim. Dengan demikian, obsesi para hakim untuk menempa diri guna mewujudkan asas ius curia novit pada akhirnya memang sering terganggu oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan tugas utama seorang hakim tersebut. Ilustrasi tersebut tidak dimaksudkan sebagai apologi seorang hakim, apalagi menutupi adanya oknum hakim yang dapat dikualifikasikan sebagai hakim yang dasarnya memang “nakal”.Tetapi, hanya sekedar memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat, bahwa sebagai seorang pejabat negara sebenarnyalah hakim merupakan: manusia besar, telah pula bergaji besar, dan oleh karena itu dituntut berbuat sesuatu yang besar, tetapi ternyata kondisinya tidak sebesar yang dibayangkan. Dalam banyak hal, keberadaan pejabat satu-satunya yang berhak bertindak atas nama Tuhan ini, masih termarjinalkan. Segala tetek bengek non teknis, dirasakan sering mengganggu konsentrasi hakim menjalankan tugas teknisnya dan dalam tataran tertentu sering membuat hakim merasa diperlakukan tidak adil. Sejak beberapa waktu lalu, sebagai bagian tuntutan reformasi, telah direalisasi konsep satu atap ( one roof ) lembaga peradilan. Sebagai puncaknya, konsep tersebut telah mendapat legitimasi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang perlu dicermati adalah jangan sampai terjadi konsep satu atap tersebut dipahami berbeda oleh insan peradilan di satu pihak dan oleh tuntutan reformasi yang sedang bergulir di pihak lain. Oleh insan peradilan satu atap hanya dipandang sebagai fenomena harapan perbaikan nasib. Kalau ini yang terjadi maka misi konsep satu atap tidak akan mendongkrak citra peradilan tetapi justru sebaliknya. Pada hal, maksud direalisasikannya konsep atap peradilan menurut tuntutan reformasi yang paling utama adalah terciptanya supremasi hukum yang dalam tataran praktisnya antara lain agar campur tangan pihak ekstra yudisial, sebagaimana yang selama ini sering terjadi, dapat dihilangkan. Tapi mungkinkah tujuan ideal tersebut akan terwujud jika salah satu sayarat untuk itu tidak dipenuhi. Salah satu syarat itu adalah memperbaiki nasib lembaga berikut aparatnya sehingga benar-benar mencerminkan sebagai penegak hukum dan khsusus hakim, pada saat yang sama juga sebagai pejabat negara. Dan, kini konsep satu atap lembaga peradilan ini telah terwujud. Tidak hanya itu. Upaya peningkatan pendapatan para aparat peradilan dengan remunerasi juga telah dipenuhi.Apalagi ?. Hanya saja berkah remunerasi tersebut tidak malah menimbulkan kebiasaan baru. Apa? Dengan besarnya pendapatan yang didapat, malah mengakibatkan tingginya frekuensi para aparat peradilan masuk pusat-pusat perbelaanjaan. Semoga tidak! Daftar Bacaan Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta -------------, 1996, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, PT Yasrif Watampone, Jakarta. -------------, 1999, Pengadilan Dan Masyarakat, Hasanuddin Press, Makassar. Friedman, 1953, The Legal Theory, Stevens & Sons, London. Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, ttp. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Himpunan Peraturan Perundang-undangan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG