SEMANA SANTA
A. Sekilas Sejarah Patung Tuan Ma
Dalam tradisi gereja Katolik di Flores Timur, khusunya di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, hari Kamis Putih merupakan hari suci untuk melakukan kegiatan “tikan turo” atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada keesokan harinya (10/4).
Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan sebutan kota Reinha Rosari itu, hening mencekam karena sedang dilakukan kegiatan “tikan turo” oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan) sesuai promesanya (nasar).
Ketika itu juga, aktivitas di kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dimulai dengan upacara “Muda Tuan” (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) oleh petugas conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah.
Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi dengan busana perkabungan berupa sehelai mantel warna hitam, ungu atau beludru biru.
Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa, menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan itu dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).
Sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka itu.
Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai melakukan kegiatan “cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana” dalam suasana hening dan sakral.
Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda pula.
Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.
Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut cerita legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.
Selama empat abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”.
Kedua ritual ini dikenal sebagai “anak sejarah nagi” juga sebagai ’gembala tradisi’ di tanah nagi-Larantuka.
Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya.
Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin.
Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci.
Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat yang dimulai dari hari Rabu atau disebut Rabu Trewa sehari menjelang Kamis Putih.
Hari ini merupakan hari penutupan Semana Santa. Selain doa dan mengaji di kapela-kapela, pada sore hari diadakan lamentasi (Ratapan Nabi Yeremia) di gereja Katedral Larantuka.
Lamentasi dilakukan menurut ritus Romawi jaman dahulu. Pada saat ini, Larantuka menjadi “Kota berkabung, sunyi senyap, tenang, jauh dari hingar bingar, konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.
Sehari setelah Kamis Putih yang bertepatan dengan pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April 2009, dilanjutkan dengan Prosesi Jumat Agung dalam bentuk perarakan menghantar jenasah Yesus Kristus yang memaknai Yesus sebagai inti, sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Dolorosa).
Pada hari Jumat pagi sekitar pukul 10:00 Wita, ritus Tuan Meninu (Arca Yesus) dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral.
Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja Larantuka dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih.
Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15:00 Wita, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan buah perhentian (armida), yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St. Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce dan Armida Desa Lohayong.
Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.
Pada Sabtu yang dikenal sebagai Sabtu Alleluya, umat Katolik mengarak kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Katedral untuk disemayamkan di kapelanya masing-masing. Demikian pun halnya dengan patung Tuan Missericordia dan Tuan Meninu diarak dari armidanya kembali ke kapelanya.
Ketika tibanya Minggu Paskah, dilangsungkan upacara ekaristi di gereja masing-masing. Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke kapela Pantekebis setelah pentakhtaan patung Maria Alleluyah, dilakukan sebuah upacara yang disebut “sera punto dama” dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru.
Tradisi keagamaan di Flores Timur yang sudah berlangsung ratusan tahun itu sampai sekarang masih tetap terus dipertahankan. ****
Sumber :Pemahaman adat lohayong solor
B. Wisata Rohani Semana Santa-di Kota Reinha Larantuka
Larantuka telah mendunia. Berkat wisata rohani Semana Santa-nya, Larantuka mampu menerobos sekat dan mampu menggerakan semua orang untuk ‘menyepi’ guna melihat seluruh kehidupan seberapa jauh mengikuti Yesus, Sang Penebus dosa umat manusia. Untuk mengetahui bagaimana potret Semana Santa tahun ini, berikut catatan perjalanan dari Kota Reinha.
Langit cerah saat KMP Namparnos dari Kalabahi yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Waibalun Jumat pagi (2/4/10) lalu. Suasana pelabuhan dan Kota Larantuka atau yang biasa disebut dengan Kota Reinha atau Tanah Nagi Nampak dipadai penduduk. Walaupun banyak peziarah yang datang ke kota itu, Larantuka tetap sunyi senyap. Tak ada bunyi musik atau klakson kendaraan. Kota Larantuka saat itu menjadi kota yang sedang berkabung, sunyi senyap, tenang, jauh dari hingar binger karena umat dan peziarah umumnya sedang konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.
Mayoritas penduduk dan peziarah yang datang ke kota ini berpakaian hitam-hitam sebagai tanda bahwa mereka sedang berduka cita atas wafatnya Tuhan Yesus Kristus atau wafatnya Nabi Isa Almasih. Sementara di sepanjang pesisir pantai dan pelabuhan ikan terlihat puluhan hingga ratusan kapal kecil maupun besar sedang antri untuk mengangkut para peziarah menuju Wure, suatu kampong dimana terdapat Kapela Tuan Ma (Bunda Maria) berada.
Keadaan itu pun memaksa kami untuk bergerak cepat menuju kediaman kerabat kami bernama Cons di bilangan San Juan. Setelah menitipkan tas di penginapan, dengan menumpang mikrolet, kami langsung menuju Pelabuhan TPI (tempat pelelangan ikan) Di sana, kami pun harus ‘berlomba’ menaiki kapal-kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan. Tak lama kemudian, Kapal Flotim 02 yang kami tumpangi sudah dipenuhi peziarah sehingga sang kapten langsung mengemudikannya menuju bagian tengah agar kapal lainnya bisa merapat di pelabuhan.
Hawa panas di siang itu, sama sekali tak menyurutkan semangat umat dan peziarah. Dengan menumpang ratusan kapal mulai dari perahu motor hingga kapal ASDP dan kapal lainnya, para peziaran menuju Wure untuk menjemput Tuan Ma. Ritual ini sudah berlangsung selama 5 abad atau 500 tahun. Dari Kota Reinha inilah, Agama Katolik mulai berkembang di daratan Flores. Karenanya, Kota Reinha disebut juga sebagai pusat pengembangan agama Katolik di wilayah timur Nusantara khususnya di NTT. Pengambangan Agama Katolik ini disiarkan oleh kaum awam atau non klerus. Berkembang pesatnya agama Katolik di daratan Flores dan NTTumumnya tentu saja atas dukungan dan peran para raja di Larantuka dan daratan Flores, para misionaris serta confreria atau perkumpulan persaudaraan rasul awam. Selain itu, sejarah juga mencatat, berkembangnya Agama Katolik tak bisa lepas dari peran dan dukungan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou atau Suku Lema.
Dalam penyebaran ajaran Katolik inilah, kemudian melahirkan suatu tradisi yang disebut dengan Semana Santa. Semana Santa adalah suatu tradisi warisan Portugis di Larantuka. Ini berawal dari abad ke XV sejak masuknya misionaris Dominikan. Upacara Semana Santas sangat unik karena terlibatnya para raja maupun bangsawan. Peran dan pengaruh Raja Larantuka dan keturunannya sangat besar dan dominant dalam setiap penyelenggaraan. Sejak Raja Larantuka ke-10 yakni Raja Ola Oda Bala DVG dipermandikan secara Katolik, beliau telah memerintahkan agar semua suku (Pou) yang berada dalam lingkaran kekuasaannya harus memberi perhatian yang serius dalam membantu gereja, baik dalam usaha perluasan agama maupun peningkatan iman umat. Pada setiap pagelaran kegiatan Semana Santa yang dilakukan secara mentradisi, Raja dan keturunannya bersama suku-suku Semana mengkoordinir seluruh rangkaian kegiatan.
Semana Santa adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan suci. Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat.
Ritual ini dilakukan untuk menghayati kisah kesengsaraan Tuhan Yesus. Prosesi Jumad Agung atau Sesta Vera ini dilakukan setiap tahunnya dan telah menjadi event wisata rohani bagi para peziarah dari berbagai penjuru dunia. Dalam menjalani prosesi Jumat Agung ini, umat Katolik melakukannya dengan berpuasa. Bertapa, tobat atas semua salah dan dosa. Dalam pertapaan inilah, umat bedoa dan bernyanyi dalam bahasa Portugis, Indonesia dan daerah serta bahasa Latin.
Prosesi Semana Santa berakhir pada Rabu Trewa, Pada hari tersebut, di semua kapela pada sore harinya umat melakukan lamentasi atas mendaraskan ratapan sebagaimana yang dilakukan Nabi Yeremia pada masa lampau. Di Larantuka, lamentasi dilakukan dengan mengikuti ritus Romawi.
Sehari sebelum Jumat Agung atau pada Kamis Putih, warga Kota Larantuka melakukan kegiatan yang disebut dengan ‘tikan turo’ atau menanam tiang-tiang lilin pada semua pagar sepanjang jalan yang menjadi rute prosesi Jumat Agung. Tikan turo dilakukan oleh kaum mardomu sesuai “promesa-nya” (nasarnya). Sementara itu, di Kapela Tuan Ma, berlangsung upacara ‘muda tuan’ atau upacara pembukaan peti yang selama satu tahun ditutup oleh petugas Confreria yang telah diangkat melalui sumpah.
Selanjutnya Arca Tuan Ma dibersihkan dan dimandikan kemudian dilengkapi dengan busana perkabungan, sehelai mantel warna hitam, ungu atau beludru biru. Setelah itu kesempatan diberikan kepada umat untuk berdoa, menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonannya dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum). Pintu kapela Tuan Ma dan Tuan Ana baru dibuka pada pagi pukul 10.00. Sebagaimana tradisi, Raja keturunan Diaz Viera Godinho yang membuka pintu kapela. Sesudah dibuka baru dimulai kegiatan pengecupan Tuan Ma dan Tuan Ana (Cium Tuan) yang berlangsung dalam suasana hening dan sakral.
Prosesi Jumat Agung
Jumat Agung adalah hari wafatnya Isa Almasih. Prosesinya dilakukan dengan menghantar jenasah Yesus Kristus yang memaknai Yesus sebagai inti sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Dolorosa).
Sekitar pukul 10.00, ritus Tuan Meninu dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral. Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih. Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15.00, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.
Dalam prosesi ini juga diikuti oleh dua uskup dari Fatima, Portugal, yakni Uskup Emeritus Fatima, Mgr. D Serafim, dan Uskup Fatima, Mgr. Luciano Gurera. Keduanya menumpang perahu nelayan dan perahu motor yang disiapkan panitia untuk melepas perarakan Tuan Meninu dari Pantai Kota Rewido, Sarotari menuju Pante Kuce, Pohon Sirih.
Seperti biasa, patung Tuan Meninu dilakukan melalui laut. Ribuan peziarah ikut prosesi laut ini. Para peziarah menumpang ratusan perahu nelayan dan perahu motor serta kapal-kapal yang ada. Patung Tuan Meninu (patung kanak-kanak Yesus) menumpang sebuah perahu nelayan yang disiapkan panitia. Dalam perahu Tuan Meninu ini ikut hadir Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr.
Selain dua uskup protugal, juga hadir Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro dan Dubes Portugal, Carlos Manuel Leitao Frota, bersama istrinya Ny. Manuel Frota.
Sekretaris Menteri Pertahanan mengatakan, kunjungan Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro, ke Larantuka sebetulnya merupakan kunjungan kerja.
“Menhan juga menganut iman yang sama dengan umat Katolik di sini, sehingga ikut dalam prosesi, “kata Sekretaris Menhan.
Selain para pejabat pusat dan tamu asing, juga terlihat Gubernur NTT, Frans Lebu Raya dan Wakil Bupati Flores Timur, Yosep Lagadoni Herin, S.Sos.
Dalam prosesi menjemput Tuan Ma di Wure, pezirah atau para penjemput harus berhadapan dengan arus laut yang terkenal ganas di Selat Gonsalu. Namun, ganasnya laut sama sekali tidak menyurutkan umat dan para peziarah mengikuti prosesi laut. Peziarah yang tidak kebagian perahu motor mengikuti perarakan dari darat dengan kendaraan dan ada yang berdiri di sepanjang pantai. Prosesi lewat laut ini untuk memaknai Yesus sebagai inti, sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian karena sedang bersedih, bunda yang berduka cita (mater doloroso).
Pada prosesi Jumat malam, umat dan peziarah yang hadir tahun ini lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi kota Larantuka menyinggahi 8 tempat perhentian (armida) yakni: (1) Armida Missericordia, (2) Armida Tuan Meninu (armida kota), (3) Armida St. Philipus, (4) Armida Tuan Trewa, (5) Armida Pantekebi, (6) Armida St. Antonius, (7) Armida Kuce dan (8) Armida Desa Lohayong.
Armida-armida tersebut sesuai urutannya, menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke-AllahNya (Missericordia), kehidupan manusia-Nya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaan-Nya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.
Sabtu Santo-Minggu Paskah
Pada hari Sabtu atau yang biasa disebut dengan Sabtu Santo, umat mengarak kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Katedral untuk disemayamkan di kapelanya masing-masing. Pun juga patung Tuan Missericordia dan Tuan Meninu diarak dari armidanya kembali ke kapelanya.
Sementara pada hari Minggu Paskah umat Katolik merayakannya sebagai Hari Kebangkitan Tuhan Yesus yang telah mengalahkan maut dan kematian. Minggu Paskah adalah hari dimana Yesus bangkit dari kuburnya. Hari Minggu Paskah adalah hari kemenangan dan hari itu adalah hari keselamatan umat manusia yang mengikuti Yesus. Umat bersama imam merayakan ekaristi di Gereja. Pada sore harinya, umat bersama irmau dan pesadu Confreria mengantar patung Maria Alleluya dari kapela Pantekebis ke Gereja Katedral untuk disemayamkan selama upacara ekaristi. Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke Kapela Pantekebis; setelah pentakhtaan patung Maria Alleluya, dilakukan acara “sera punto dama” dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru.
Acara “sera punto dama” juga dilakukan di Kapela Missericordia Pante Besar setelah berdoa Alleluya selesai. Dengan demikian, berakhirlah prosesi suci yang panjang; Semana Santa dengan Sesta vera sebagai mahkotanya. Sebagai budaya sakral warisan Portugis, ritus suci digelar juga di Konga dan Wureh.
Lima Abad Tuan Ma
Semana Santa menjadi momentum pembaruan iman dalam ziarah bersama Bunda Maria. Tema umum yang ditetapkan ialah “Berziarah bersama Bunda Maria”. Demikian disampaikan Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, ketika mengumumkan perayaan Lima Abad Tuan Ma di Larantuka, 7 Oktober 2009 lalu. Saat itu, Uskup Frans Kopong Kung dalam surat gembala, “Berziarah Bersama Maria, memaknai Lima Abad Tuan Ma,” meminta agar umat menyadari perayaan lima abad Tuan Ma sebagai momen pembaharuan iman dalam ziarah bersama Bunda Maria. Perayaan yang akan berpuncak pada 7 Oktober mendatang harus menjadi gerakan pertobatan. Semua mesti bertobat. Orangtua perlu bertobat dan memberikan contoh hidup yang baik bagi anak-anak. Anak-anak juga perlu membaharui diri dengan menjaga nilai-nilai kristiani. Pejabat pemerintah juga perlu semakin sadar akan tugasnya untuk melayani rakyat, bukan untuk mengeksploitir rakyat demi keuntungan pribadi. Singkatnya, dibutuhkan pembaharuan
total, sehingga makna Semana Santa tetap kuat dihayati.
Hal sama juga disampaikan Pastor Paroki Katedral Reinha Rosari Larantuka, Rm. Yosef Naran Leni, Pr. Ia mengatakan, Semana Santa harus menjadi momentum pembaharuan, kesempatan bertobat dan memperbaiki diri. Kehidupan devosional yang kental hendaknya berdampak pada perubahan sikap dan perilaku hidup yang lebih kristiani dalam kehidupan sehari-hari.
C.Smana Santa
Prosesi Semana Santa di Larantuka, NTT, telah mengalami inkulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran gereja, dan tradisi yang dibawa Portugis. Beberapa tradisi mengalami perubahan, tapi sebagian dipertahankan.
Meski demikian, perubahan yang muncul tak dipermasalahkan, justru dianggap sebagai hal yang memperkaya tradisi dan menjadi milik semua.
Dalam perayaan Semana Santa, ”Tuan Ma” diterjemahkan menjadi Bunda Maria, tokoh yang paling menderita atas sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus. Patung Tuan Ma pun diarak bersama Tuan Ana, patung Yesus.
Tradisi arak-arakan termasuk yang mengalami perubahan. Kalau di masa lalu umat memberi upeti kepada nenek moyang yang diyakini menghuni rumah pemujaan, korke. Kini, mereka meletakan salib. Korke-korke pun diubah menjadi gereja kecil. Upeti kepada raja berubah menjadi kolekte pada gereja.
Tradisi yang masih dipertahankan, antara lain, delapan suku tetap berperan aktif selama masa Semana Santa. Mereka memimpin doa di kapela, mengatur perarakan Tuan Ma, menggerakkan masyarakat, membangun armida (tempat persinggahan Tuan Ma dan Tuan Ana), dan memimpin prosesi Jumat Agung.
”Sampai sekarang yang menjaga dan membersihkan Patung Tuan Berdiri (Yesus disesah) dan juga Patung Cruz Costa (Yesus memikul salib) hanya suku-suku asli yang di masa lalu diberi kepercayaan oleh Raja Larantuka. Begitu pula urut-urutan devosi, tetap dipegang sesuai dengan aslinya seperti dalam Alkitab,” kata Markus Sakera, tokoh masyarakat Desa Wure, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tokoh adat Kota Rowido dari Suku Kinta Besa, Donatus da Rosari, di Kelurahan Sarotari, Kecamatan Larantuka, Flores Timur, mengatakan, sosok Bunda Maria dalam ajaran Kristiani yang disebarkan para misionaris Portugis, yang kemudian juga mengenalkan tradisi Semana Santa, dapat diterima oleh suku atau masyarakat adat setempat. ”Sebab, tradisi mereka juga menjunjung tinggi peran seorang perempuan,” ujarnya.
Donatus mencontohkan, dalam lingkungan adat umumnya masyarakat Flores, begitu pula Larantuka, air susu ibu dijadikan sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk pembayaran mas kawin.
Agama asli masyarakat Flores Timur juga mengenal ama lera wulan ina tana ekan, penguasa langit dan bumi. Mereka meyakini, dengan melihat langit ada sesuatu yang luar biasa berkuasa dan sangat tinggi. Namun, keberadaan mereka juga tak lepas dari tanah atau bumi.
”Sehingga, ketika dikenalkan Allah Tritunggal dalam ajaran Kristiani, Bapa Putra, dan Roh Kudus, penguasa semesta alam, hal itu pun dapat diterima,” kata Donatus menjelaskan.
Inkulturasi agama lokal, tradisi Portugis, dan tradisi gereja bisa dikatakan cukup tecermin dalam perayaan Semana Santa di Larantuka. Prosesi Jumat Agung melibatkan delapan suku di Larantuka yang diketuai raja Raja Diaz Diego Dinho.
Tiap suku memiliki armida sendiri yang harus disinggahi selama prosesi. Pada setiap armida atau tempat perhentian biasa dinyanyikan lagu lamentasi atau kisah sengsara dan penderitaan Yesus yang kemudian ditangisi Bunda Maria. Semuanya itu menggunakan bahasa Portugis.
”Ini kegiatan tradisional yang dipadukan dengan agama sehingga ada unsur tradisi dan unsur agama di dalamnya. Keduanya menyatu sangat intens sehingga sulit dipisahkan,” tambah Donatus.
Para penyiar agama katolik Larantuka yang menyebarkan Katolik ke wilayah Sikka, Ende, Ngada, sampai Manggarai tahun 1600-an selalu mewajibkan penghormatan kepada Maria. Namun, para pastor dan uskup tetap mengawasi proses devosi ini agar Yesus tetap menjadi tokoh sentral.
Kegiatan liturgi dan devosi pun dipisahkan. Devosi kepada Tuan Ma dipimpin raja-raja, conferia, atau awam Katolik, sedangkan kegiatan liturgi dipimpin pastor atau uskup.
Kendati demikian, sampai saat ini sosok Bunda Maria masih sangat sakral atau keramat bagi warga Larantuka. Karena itu, untuk menyebut sembarangan patung Tuan Ma, mereka takut mengalami hal-hal buruk, seperti terkena kutukan.
Unik
Uskup Larantuka Monsinyur Fransiskus Kopong Kung Pr merasakan keunikan devosi Bunda Maria oleh masyarakat Larantuka sampai saat ini. ”Anggota keluarga yang jauh berada di luar Flores Timur atau NTT akan pulang ke sini untuk mengikuti prosesi ini. Begitu sakralnya sosok Maria, mereka pun takut menyebut namanya,” ujarnya.
”Saya juga sampai sekarang di luar masa Pekan Suci tidak boleh melihat patung Tuan Ma. Sebab, patung itu hanya dikeluarkan saat Kamis Putih dan Jumat Agung. Setelah itu, disimpan kembali di ruangan khusus,” tambah Monsinyur Fransiskus.
Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Laga Doni Herin mengemukakan, devosi Semana Santa merupakan kultur umat Katolik di Indonesia, yang diawali dari misi di Pulau Solor, Flores Timur, hingga menjadi titik sebar ajaran Katolik di Indonesia.
”Jadi, Semana Santa ini merupakan kebanggaan bagi umat Katolik secara keseluruhan di Larantuka. Meski kemudian dengan banyaknya peziarah juga menimbulkan dampak ikutan hidupnya pariwisata Flores Timur,” tambah Yoseph.
Inkulturasi Semana Santa di Larantuka ini juga yang akhirnya membedakannya dengan tradisi Semana Santa di negara lain, seperti di Spanyol, Brasil, Peru, Venezuela, dan Kolombia.
Inkulturasi, membuat Semana Santa di Larantuka jadi lebih kaya dan memesona.
Semana Santa Larantuka menyadarkan bahwa antara tradisi, agama, dan budaya suatu bangsa bisa saling mengisi. Bukan sebaliknya, justru saling menghabisi.
Komentar
Posting Komentar