CERITA SUANGGI DI FLORES TIMUR
SUANGGI: KEPERCAYAAN PRIMITIF LAMAHOLOT YANG MEMBAWA PETAKA
Oleh: Alfons Liwun
Ceritera Suanggi dari Sinar Hading
Ketika
masih kecil, orangtua saya dan bahkan orang-orang yang ada di sekitar
saya sering menceriterakan tentang kejahatan, petaka, bahaya, kegagalan
dan penderitaan akibat satu jenis makhluk misterius, namanya suanggi atau dalam bahasa Lamaholot dialek Kawaliwu, Menaka.
Suanggi, dalam obrolan orang-orang yang ada disekitar saya, dilukiskan
dengan sosok yang berjenggot dan berambut panjang menutupi seluruh
tubuh. Sosok yang bermata merah, berkuku tangan dan kaki yang panjang
serta seluruh badannya berwarna hitam. Lukisan yang demikian, punya
warna khas yaitu selalu menakutkan, membuat orang merasa cemas, takut
dan menderita dalam hidup.
Lukisan
sosok makhluk misterius tadi, bisa saja dalam bentuk gambaran yang
lain. Namun, yang terpenting dalam semua bentuk lukisan masyarakat
Kawaliwu, mengarah pada suatu pribadi misterius yang mengakibatkan
seseorang merasa hidupnya terancam. Bahkan makhluk ini, hadir dalam
setiap hidup seseorang, kapan dan dimana saja seseorang itu berada.
Karena
lukisan yang demikian menakutkan ini, bila seseorang itu berjalan
sendiri entah pada waktu pagi, siang bolong atau pun di malam hari,
apalagi ditambah dengan jarak tempuh perjalanan yang begitu jauh dan
berkelok-kelik, seseorang selalu dihantui dengan gambaran yang pernah
didengarnya itu.
Kawaliwu-Sinar
Hading adalah sebuah desa di pesisir Pantai Utara Kabupaten Flores
Timur. Suanggi atau dalam bahasa Lamaholot versi Kawaliwu sehari-hari
mereka sebut menaka adalah seseorang atau kelompok orang yang
berhati jahat dan bertindak buruk secara mistis untuk merugikan
seseorang atau sebuah suku. Hendrikus H. Liwun (85), seorang penatua adat dari suku Liwun, Molaluwun, sering menyebut menaka itu, punya hati yang kotor-jorok, mite bedelang (hitam pekat). Baginya, ciri menaka itu berawal dari sering temaka tèmaö
(kerja curi), malas bekerja, iri hati, dendam, ingin dihormati dan yang
lebih parah lagi tertutup dari orang lain. Kalau ia bekerja pun,
hasilnya tidak ada, karena sikap dan caranya tidak terpuji. Kalau ia
bergaul dengan orang lain pun, ia dengan berbagai macam cara yang baik
dan sopan, namun hati dan niatnya selalu dirundung iri hati, cemburu,
punya strategi sendiri untuk melumpuhkan orang lain, seperti dalam karya
Lukas 4:13, “… dan menunggu waktu yang baik.”
Berawal dari ciri hidup tadi, lebih lanjut Hendrikus H. Liwun menjelaskan bahwa menaka
mulai beraksi lebih spektakuler untuk menjaga stabilitas pribadinya,
ketika ciri-ciri tadi telah menjadi ketakutan public dalam masyarakat.
Aksi lanjutan yang spektakuler adalah ketika menaka kemudian pergi ke tempat-tempat yang dipandang masyarakat Kawaliwu sebagai tempat kramat. Dan ditempat itu menaka mengadakan polemaja kepada penjaga tempat kramat tadi. Tempat kramat dalam versi Lamaholot Kawaliwu disebut Duáng.
Dua adalah himpunan pepohonan besar yang dipercayai sebagai tempat
kramat, tempat tinggal para penjahat yang misterius. Duang, tempat yang
dilepas, hutan yang tidak boleh disentuh atau ditebang maupun dipotong.
Dan di Duá itu, menaka polemaja.
Polemaja
adalah aksi memanggil penjaga-penjaga tempat kramat itu untuk datang
kepadanya dan berdialog mistis, bekerjasama. Polemaja ini aksi semacam
semedi atau pertapa dalam bahasa Indonesia. Menaka datang ke tempat
kramat ini bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali, bisa saja sampai
tujuh kali. Artinya sampai si polemaja mendapatkan suatu kekuatan dari
tempat itu. Kekuatan yang didapat dari tempat kramat itu biasanya dengan
suatu perjanjian yang mistis dengan menggantikan nyawa orang. Nyawa
orang inilah yang harus didapat dari masyarakat sekitarnya. Kalau nyawa
orang lain tidak didapatinya, maka nyawa anggota keluarganya sendiri
menjadi taruhannya. Begitu sadis pola tindakan menaka!
Kritik atas Cara hidup Menaka dan membendung cara hidupnya
Si
polemaja, berani mempertaruhkan nyawa orang lain dan nyawa anggota
keluarganya untuk mendapat suatu kekuatan yang membentengi dirinya.
Kalau kita melihat pola aksi dan tindakan menaka yang demikian,
boleh kita katakan sebagai suatu cara hidup yang barbarisme, anarkisme,
sadisme bahkan dalam pemikiran kristiani, sikapnya merupakan sikap
setanisme. Dan tentu, pola ini sangat bertentangan dengan hidup yang
diberikan oleh Rera Wulan Tana Ekan.
Bagi
Hendrikus H. Liwun, sikap menaka yang demikian harus dilawan.
Masyarakat sekitarnya tidak boleh menyerah. Masyarakat harus bersikap
tegas atas apa yang dibuat menaka. Walaupun menaka bekerjanya secara
misterius, tetapi karena terlalu banyak merugikan orang lain, maka pada
suatu saat menaka ini akan ketahuan. Sikap dan pengalaman Hendrikus H.
Liwun ini telah dibuktikannya pada sekitar bulan Juni 1993.
Waktu itu di Kawaliwu, sekitar akhir bulan Mei 1993, Opu Regi Hurit
sakit. Sakit karena kena buah kepala yang jatuh dari pohonnya. Awalnya,
sakit itu suatu peristiwa yang biasa, naas. Opu Regi Hurit dibawa oleh
anak-anaknya ke RSU Larantuka. Selama berada di RSU Larantuka, setiap
malam Opu Regi Hurit didatangi dalam mimpinya beberapa orang secara
bergantian. Setiap kali beberapa orang itu datang, Opu Regi Hurit tidak
akan tidur nyenyak. Teriak dan menjerit. Karena peristiwa ini selalu
terulang lagi, anaknya Yosep Kesura Hurit
bertanya kepada bapaknya. “Pak, ada apa?” Bapaknya katakan ada orang
yang datang mengganggunya. Anaknya pun bertanya lagi, siapa orangnya dan
dari mana? Bapaknya menjawab, orang kita namanya…(maaf saya tidak menyebutnya di sini).
Keesokan
harinya, Yosep Kesura ke Kawaliwu. Dia bertemu dengan orang-orang yang
disebut bapaknya dalam mimpi yang mengganggu sakit bapaknya di RSU
Larantuka walaupun hanya dalam mimpi. Mungkin karena Yosep Kesura Hurit
mendapat respons yang kurang baik, ia pun langsung melaporkan kepada
Kepala Desa, Yosep Pulo Liwun (Kades) dan Sekdes, Agustinus Ratu Liwun.
Masalah ini kemudian muncul ke permukaan, ke masyarakat Kawaliwu. Ada
banyak masyarakat Kawaliwu yang merasa sakit hati terhadap beberapa
orangtua yang selama ini dekat dan bahkan menjadi “tuan raja” dalam
hukum adat Kawaliwu. Gerakan masyarakat anti menaka pun muncul. Seluruh pengakuan menaka atas perbuatan mereka selama ini tampil ke publik masyarakat Kawaliwu.
Gerakan anti menaka
dimulai dari kelompok penatua adat. Kelompok yang selama ini menjadi
“sang terhormat” hancur lebur karena didalam kelompok tidak ada yang
bekerja secara tidak etis dan anti moral masyarakat. Hukuman adat yang
diambil, mengusir beberapa orang itu harus keluar dari Kawaliwu. Mereka
kemudian diantar ke ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga, Waiklibang. Entah
bagaimana, mereka itu dibawah pulang lagi. Karena diantara mereka ada
keluarga yang anggota tentara. Mereka kemudian dipulangkan ke dalam
keluarga masing-masing. Secara adat Kawaliwu, tidak ada upacara
penerimaan, yang terpenting mereka telah ditolak secara massa dan adat
Kawaliwu. Satu hal yang patut dicatat disini adalah dengan persoalan menaka ini, penatua adat serta struktur adat dalam masyarakat Kawaliwu menjadi hancur. Mosi tidak percaya dari berbagai suku muncul.
Dalam
situasi seperti itu, adat (knape, mara beng dan nuke huke), hanya
dijalankan oleh suku Liwun Molaluwun dan Liwun, Baeluwun. Kedua marga
ini mulai menata baru struktur adat dan berbagai upacara adat dalam
masyarakat Kawaliwu. Bagi Hendrikus H. Liwun ini merupakan suatu
pengalaman pahit. Pengalaman yang paling buruk. Hendrikus H. Liwun,
salah satu tokoh penatua adat yang paling keras kepala melawan untuk
menerima menaka. Sikap perlawanannya adalah sikap tegas untuk mengusir beberapa orang yang dikatakan menaka.
Bukan hanya usir, tetapi sikap keras kepalanya nampak dalam setiap pola
hidupnya untuk tidak memberikan ruang dan waktu lagi untuk beberapa
orang itu dalam setiap peran “penatua adat.” Bahkan sampai sekarang,
dalam hatinya masih merasa jengkel dan selalu mengutuk sikap jahat menaka.
Dari
sikap jengkel dan mengutuk beberapa orang itu, Hendrikus H. Liwun
bergabung dengan anggota keluarga Liwun, Bae Luwun, Hoga Liwun di
kampong lama, untuk mulai menata dan merehap rumah besar, rumah tempat
para penatua, nenek moyang mereka. Tepat bulan Juni sampai Oktober 2000,
kedua marga ini membangun Lango Bele dan Korke. Lango
Bele dan Korke dibangun dan direhap dalam bentuk moderen, yaitu dengan
berfondasi semen dan batu hutan serta beratap seng. Inilah bentuk
membentengi kejahatan dan menyelamatkan masyarakat Kawaliwu.
Manusia: gembala tradisi dan nabi masa depan
Dari Hendrikus H. Liwun di atas, kita boleh mengatakan bahwa, menaka atau suanggi,
adalah orang bukan misterius tetapi riil ada disekitar kita, dapat kita
ketahui dari ciri-ciri dan cara hidup yang sudah disebut tadi.
Sebagai anak, sikap Hendrikus H. Liwun terhadap menaka,
sangat terpuji. Dan inilah juga menjadi sikap saya. Dalam sikap
Hendrikus H. Liwun yang demikian, beliau telah menjalankan sikapnya
sebagai manusia yang berimaan. Hendrikus telah menjadi gembala tradisi.
Artinya, Hendrikus berani meluruskan sikapnya dan menunjukkan kepada
banyak orang Kawaliwu bahwa menaka adalah orang yang jahat karena
itu harus ditolak dan dikutuk. Sebagai gembala tradisi, ia mengambil
sikap tegas bersama Hoga Liwun untuk membangun dan merehap kembali Lango
Bele dan Korke Bale. Dengan membangun kembali kedua rumah ini, berarti
mereka memulai dan membersihkan diri dan sekaligus membentengi
masyarakat Kawaliwu dari kejahatan.
Dengan
sikap Hendrikus H. Liwun, beliau telah menjadi seorang nabi di masa
depan. Artinya, ia telah menunjukkan sikap tegas dan memberikan
pemikiran yang tajam bagi generasi Kawaliwu di masa depan bahwa menaka
adalah sesuatu yang jahat karena itu tidak perlu diterima. Dengan
sikapnya sebagai nabi di masa depan, ia telah memberikan tonggak sejarah
baru bagi keturunannya dan generasi baru bahwa hidup bukan harus
dirusaki tetapi dipelihara dan dihargai serta dihormati. Hidup itu
mulia. Idup itu pemberian Rera Wulan Tana Ekan. Dengan kita menghidup hidup yang diberikan Rera Wulan Tana Ekan, kita menghidup Rera Wulan di Tana Ekan.
Pola Pandang Gereja terhadap Menaka.
Melihat cara hidup dan ciri menaka, Gereja pasti akan menolak. Bahkan Gereja akan mengutuk sikap dan pola hidup menaka. Sikap Gereja yang demikian karena kehadiran menaka sama dengan cara dan ciri setan. Kalau setan dan musuh paguyuban Gereja dan dunia, maka jelas menaka pun demikian.
Gereja
sangat menyayangi umatnya yang selama ini hidup etis dan baik dalam
kumpulan umat tetapi hatinya tersayat dan memiliki niat jahat. Kalau
ditilik ke-12 rasul Yesus, Yudas lah yang menjadi penjual Yesus. Maka
Yudas disebut pengkianat. Menaka, sama dengan Yudas. Menaka pengkianat
Yesus, Gereja dan sesama umatnya.
Komentar
Posting Komentar