PEMIKIRAN DASAR DEMOKRASI



ABSTRAK

Demokrasi modern, Demokrasi desa, Kedaulatan rakyat Musyawarah, Sistem Perwakilan, Individualisme, Kolektivisme, Federasi.
(E). Wajah demokrasi Indonesia tercoreng, “dilucuti”, direkayasa, dan dimanipulasi. Kenyataan ini menggetarkan nurani pada sebuah pertanyaan. Mengapa bangsa yang terbentuk dari figur-figur demokrat justru lepas dari kendali demokrasi? Dengan bercermin pada Hatta sebagai “Kompas” berdemokrasi saya ingin mengatakan bahwa, di tengah era kegelisahan dan keresahan, pemikiran demokrasi Hatta masih sangat relevan untuk kita. Hatta telah menjadi “Kompas” bagaimana cara berdemokrasi dan peranan rakyat dalam berdemokrasi.
(F). Daftar Acuan: 13 (1953-2008)
(G). Prof. Dr. Franz Magnis Suseno.

                                                                   BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Tempora mutantur et nos mutamur in ilid. Waktu berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Demikianlah pepatah Latin kuno yang mau menggambarkan waktu sebagai entitas yang berjalan linear, aktualitas dan kekinian manusia berjalan dalam realitas perubahan itu. Demikian juga kalau saya mau berbicara tentang demokrasi menurut Bung Hatta. Apakah cetusan hati demokrasi Bung Hatta masih relevan di era kegelisahan ini? Atau demokrasi Hatta merupakan simbol, slogan atau bahkan kata yang sudah lama “dimuseumkan”?.
Demokrasi menurut Hatta, bukan sekedar slogan penuh makna, tetapi lebih dari itu adalah kata penuh daya. Demokrasi Hatta berdaya karena berakar dari nafas suara rakyat dan bukan suara penguasa. Demokrasi Hatta adalah demokrasi yang mempunyai keberpihakkan pada kaum lemah, miskin, dan kaum tak bersuara. Demokrasi Hatta adalah demokrasi yang menekankan kedaulatan rakyat.
Semua yang saya gambarkan di atas adalah cita-cita ideal Hatta sekaligus pergulatan, perjuangan, untuk membentuk kerangka bangunan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdemokrasi. Namun perasaan kegelisahan dan keprihatinan menyaksikan tercorengnya wajah demokrasi Indonesia membuat saya terpanggil untuk menelaah problem yang sedang mendera bangsa ini.
Ada fakta bahwa, cita-cita demokrasi Hatta sering disempitkan menjadi cita-cita para pencari kekuasaan. Misalnya saya akan mengulasnya dalam zaman Orde Baru, kedaulatan rakyat dimanipulasi menjadi kedaulatan pemerintah dan penguasa, musyawarah mufakat dibelokkan menjadi musyawarah demi kepentingan kelompok tertentu. Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi tidak mendapatkan tempat di masyarakat dan di hati para pemimpin.
2.    Pokok Permasalahan
Demokrasi kita ibarat telur di ujung tanduk, demokrasi kita stagnan, demokrasi kita degradasi. Itulah ungkapan yang coba saya gambarkan ketika melihat fenomena hidup berdemokrasi kita di zaman ini. Ungkapan-ungkapan ini juga menjadi keprihatinan terdalam saya, ketika melihat dan mengalami sendiri bahwa bangsa Indonesia mengalami begitu banyak cacat dalam pola hidup berdemokrasi. Lalu pertanyaan reflektif yang bisa diajukan adalah : Apakah masih relevan berbicara tentang demokrasi Indonesia ketika esensi demokrasi belum dapat dipahami secara baik dan benar, baik itu dalam kata maupun dalam tindakan? Apakah masih relevan berbicara tentang kedaulatan rakyat, ketika hak rakyat “dikebiri”, dipasung, atau bahkan dimatikan oleh pemerintah dan penguasa?
Mencermati fenomena konkrit, bahwa demokrasi kita telah “dilucuti dan dilacuri”, menjadi kurang berupa, maka sebagai anak bangsa yang sedang berada dalam kekaraman perahu demokrasi itu, saya dengan segala kekonyolan memberanikan diri mengupas demokrasi menurut Bung Hatta.
3.    Tujuan Penulisan
Skripisi ini ditulis dengan tujuan, mencari dan memahami dasar pemikiran Hatta tentang demokrasi, demokrasi menurut Hatta tantangan dan perkembangan dari waktu ke waktu mulai dari zaman sebelum kemerdekaan sampai dengan zaman sesudah kemerdekaan. Dan relevansi pemikiran Hatta diterapkan pada situasi politik Indonesia.
4.    Metode Penulisan
Skripsi ini ditulis dan diolah berdasarkan penelitian kepustakaan, saya mencari referensi dari tulisan-tulisan Bung Hatta, pidato-pidato Hatta, dan juga tulisan-tulisan pribadi, pemikiran visi dan misi Bung Hatta. Semua tulisan yang diambil merupakan suatu kumpulan pemikiran Hatta sejak masa perjuangan, entah itu dalam masa-masa sulit membebaskan diri dari kaum kolonial, kemudian beralih ke masa kemerdekaan, dan masa mengisi kemerdekaan.
5.    Sistematisasi Penulisan
Skripsi ini terbagi dalam 5 Bab. Bab I Pendahuluan, yang menjelaskan sekilas seluk beluk penulisan. Bab II Sosok Politik Bung Hatta, yang menguraikan riwayat Hatta dan sedikit dasar pemikiran Hatta. Bab III merupakan bab inti karangan saya yang membahas secara mendalam keseluruhan pemikiran Hatta tentang demokrasi. Pada Bab IV, saya mengupas tentang relevansi pandangan Hatta diterapkan dalam situasi politik Indonesia. Dan Bab V merupakan Bab Penutup yang berisi rangkuman dari seluruh isi skripsi.



  BAB II
RIWAYAT HIDUP HATTA

1.    Pengantar
Pada Bab ini, saya akan masuk dalam uraian tentang riwayat hidup Hatta, dan sosok politik Hatta. Pada setiap sub tema saya akan menggambarkan sepak terjang Hatta dalam pergulatan di organisasi-organisasi kecil, kisah awal waktu di Sekolah MULO Padang. Kemudian beralih ke Jakarta dan menjadi pengurus JSB (Jong Sumatera Bond), ketika Ia bersekolah di Belanda, kembali ke Indonesia, mengalami masa-masa di penjara, menjadi Wakil Presiden dan berhenti dari Wakil Presiden.
Nomen est Omen, nama mempunyai arti atau identitas, sebutan Hatta adalah historisitas dari sebuah kultur Minang. Menelusuri historisitas pemberian nama Hatta maka kita akan menemukan bahwa, nama asli Hatta bukanlah Hatta. Beliau dilahirkan dengan nama “Attar” yang berarti parfum, sufi yang disegani, yaitu Faridudin Al Aththar. Pola pengucapan Minangkabau mengubah suara nama anak lelaki itu, dan dengan nama Hatta, anak lelaki Haji Djamil dikenal sepanjang hayatnya”[1]. Sebuah pertanyaan substansial yang muncul ketika memasuki biografis Hatta adalah : factor apa saja yang membentuk pribadi dan kehidupan Hatta? Dimensi sosiologis seperti apa yang menggugah Hatta sehingga Hatta tumbuh sebagai A Man For Others?. Lingkungan geografis seperti apa yang menempa Hatta menjadi pribadi yang kukuh dalam pendirian dan tegas dalam keputusan? Dan factor antropologis apa yang menjadi magnet kehidupan Hatta, sehingga Ia terlahir dalam perpaduan harmonis antara kehidupan agama dan masyarakat?
Ketika saya mengarungi samudra pemikiran Hatta, mencari ontology dari sebuah bangunan genealogi Hatta, maka saya dapat menyimpulkan bahwa, eksistensi dan spiritualitas kehidupan seseorang dalam masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sosialisasi yang dialami.
Kebertemuannya dengan masyarakat dalam lingkungan Minang, Batavia, dan Belanda, kedisiplinannya dan ketekunannya dalam sekolah serta kesalehannya, kejujurannya yang diperoleh dari keluarga menjadi kepingan-kepingan mutiara kehidupan yang akhirnya membentuk sebuah desaignkehidupan yang utuh. Mozaik yang tetap dikenang yakni Hatta Sang Proklamator. Keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat merupakan instrument-instrumen yang membentuk, membina dan menumbuhkan Hatta, ia bertumbuh dalam nilai-nilai dan ia hidup dengan nilai-nilai itu.
Seperti yang saya gambarkan tadi, bahwa Hatta bermula dari keluarga sebagai sekolah utama kehidupan kemudia ia bersosialisasi dengan lingkungan sekolah yang mendidiknya. Di lingkungan sekolah Hatta menyadari bahwa hanya dan melalui pendidikan seseorang akan merdeka, dan di sana pula karakter seseorang dibentuk, dan setelah itu  ketika ia terjun dalam lingkungan masyarakat ia mensosialisasikan nilai-nilai yang telah dipelajarinya baik di keluarga maupun di sekolah. Di  lingkungan masyarakat seseorang akan berinterksi dengan komunitas kehidupan yang lebih luas, ia akan bergaul dengan beranekaragam orang. Ia akan berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, partai politik, kelompok keagamaan dan kelompok social lainnya. Dengan bercermin pada proses kehidupan yang dilalui, maka sebutan untuk Hatta sebagai seorang pejuang, pemikir, penata demokrasi dan guru bangsa merupakan sebutan yang tepat untuk orang yang tepat. Artinya kualitas pemberian nama tersebut persis kepada orang yang berkualitas. Hatta tidak hanya berbicara  tentang bagaimana berjuang, berpikir, menata demokrasi, tetapi beliau sendiri berjuang, berpikir, dan beliau juga adalah Sang Demokrat itu sendiri. Bung Hatta sedikit berbicara tetapi banyak melakukan, Hatta minus wacana tetapi surplus tindakan. Semua yang telah saya paparkan di atas adalah sebuah hasil dari sebuah proses yang matang dan berkelanjutan, sebuah pendidikan tiada henti, ia mengalami sejak dari lingkungan keluarga sampai pada pendidikannya di negeri Belanda, dan setelah kembali dari negeri Belanda. Dengan demikian pada bagian-bagian berikutnya saya akan mengajak kita untuk melihat secara detail langkah gerak perjuangan Hatta.
2.    Latar Belakang dan Riwayat Hidup Hatta
Hatta dilahirkan di Aur Tanjungkarang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Hatta adalah anak kedua dari sebuah keluarga yang sederhana. Ayah Hatta bernama Haji Muhammad Djamil, meninggal dunia dalam usia 30 tahun saat Hatta berusia 8 bulan. Ia berasal dari Batu Hampar kira-kira 16 km, dari Bukittinggi. Hatta tinggal dekat Batu Hampar, suatu daerah terkenal memikat terutama dibawah pimpinan datuk (kakek) dari Hatta yang bernama Syaikh Abdurrahman. Syaikh ini terkenal juga dengan sebutan Syaikh nan tuo untuk membedakannya dengan salah seorang paman Hatta yang mengikuti jejak ayahnya menjadi Syaikh pula, dengan gelar Syaikh nan mudo. Suaru ini menjadi pusat pengajian tarikat (Nagsyabandi).[2]
“Dikisahkan bahwa Hatta mengalami masa kecil yang cukup unik dalam keluarganya.  Kematian ayahnya sejak dini dan fakta Hatta merupakan satu-satunya anak laki-laki dari enam bersaudara menyebabkan Hatta menjadi tumpuan kasih saying  dan harapan keluarga besarnya, khususnya neneknya yang bersikap agak protektif yang tidak membolehkan Hatta bermain-main seperti anak sebayanya.  Keunikan pengalaman ini yang akhirnya membekas dalam kepribadian Hatta yang terbiasa murung dalam kesendirian”[3]. Karena kematian ayahnya, maka Hatta tidak pernah memperoleh kesempatan untuk bisa mengenal ayahnya. Dalam mengingat rujukan keluarga atas kemiripan wajahnya dengan wajah almarhum ayahnya, Hatta menulis : ketika saya masih anak-anak ada kepercayaan di kalangan rakyat Minangkabau, bahwa jika seseorang  anak lelaki menyerupai ayahnya, salah seseorang di antaranya akan kalah dan meninggal cepat”[4] Kematian ayahnya menarik Hatta dari pengaruh komunitas dan masuk dalam lingkungan perkotaan. Bukittinggi tempat keluarga Ibunya menetap dan bekerja. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah kembali dengan Haji Ning, seorang kenalan dagang kakek  Hatta dari pihak Ibu. Hatta menyatakan rasa sayang yang mendalam terhadap ayah tirinya, mengomentari dalam memoarnya  bahwa Haji Ning memperlakukannya begitu baik sehingga mula-mula tidak menyadari bahwa ia bukan ayah kandungnya.”[5]. Keluarga Hatta dari pihak Ibu merupakan keluarga pengusaha yang berhasil, terlibat dalam berbagai perusahaan, termasuk ekspor kayu, bisnis angkutan dan kontrak pos dengan pemerintah. Karena itu Hatta tumbuh dalam keluarga dimana persoalan komersial merupakan perhatian utama. Nenek Hatta dikabarkan memainkan peran penting dalam mengasuhnya. Ia merupakan seorang Ibu rumah yang khas tradisional  Minangkabau, yang tidak hanya mengendalikan persoalan rumah tangga saja, melainkan juga mengurus bisnis keluarga.
Umumnya diakui di kalangan keluarga, bahwa Hatta paling dekat memenuhi model kesempurnaan ibunya, karena sang ibu mungkin di dalam diri Hatta merupakan cermin dari kekuatan dan ketegasannya sendiri. Namun dalam memoarnya, Hatta tidak begitu memuji neneknya. Sang nenek dengan kepribadian mendominasi, jelas menjengkelkannya. Nenek itulah yang terlalu melindungi (overprotective), membatasi kenikmatan anak sekolah bermain seperti berenang di sungai, memanjat pohon, dan ikut bermain sepak bola. Dikatakan bahwa sebagai satu-satunya anak laki-laki dari enam anak ibunya dari dua kali pernikahan, Hatta tentulah mempunyai peran penting dalam keluarga, sebagai calon yang potensial sebagai penghulu di masa mendatang.[6]
3.    Masa Sekolah di Indonesia
Non scholae sed vitae discimus. Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup. Pepatah Latin Kuno ini kiranya sangat tepat jika dilekatkan pada pribadi seorang Hatta. Kecintaannya pada buku, telah membentuk dirinya sebagai figur yang cerdas pemikiran, luas wawasan dan tajam daya analisisnya. Untuk masuk dalam terowongan pengetahuan yang dilalui Hatta maka pada bagian ini saya uraikan pergulatannya dalam masa sekolah di Indonesia.
3.1    Masa Sekolah di Bukittingi dan Padang
Pribadi Hatta yang disiplin, cermat, dan teguh dalam pendirian, tidak hanya kelihatan dalam keseharian hidupnya dalam masyarakat dan keluarga. Tetapi hal itu pun sangat mewarnai hidupnya, perlakuannya bahkan sampai pada proses untuk memilih sekolah.
Dikisahkan bahwa, keluarga ayahnya menginginkan agar Hatta melanjutkan pelajaran agama bila telah menyelesaikan sekolah rakyat 5 tahun, selanjutnya Ia akan ke Mekkah kemudian ke Mesir. Dan kelurga sudah mempersiapkan segala hal untuk studi, namun kenyataan justru berbicara lain. Hatta sekali lagi mau menunjukkan pilihan untuk studi adalah pilihan bebas dari setiap pribadi. Hatta tidak mau didikte, ataupun dibujuk, kendatipun bujukan itu datang dari orang tua sendiri. Setelah belajar dua tahun di Sekolah Rakyat, Bukittinggi, Hatta pindah sekolah ke Europese Lagere School (ELS- sekolah dasar untuk orang-orang kulit putih). Kemudian ke ELS Padang, mulai kelas 5 sampai kelas 7. Kepindahan ke Padang yang terjadi pada tahun 1913, disebabkan karena keinginan dari keluarga Ibu agar Hatta memperoleh pelajaran bahasa Perancis (di samping bahasa Belanda) yang mulai diajarkan di kelas 5. Keteika di Bukittinggi Hatta mulai belajar bahasa Inggris secara privat yang dipaksa berhenti karena gurunya pindah ke Jakarta. Setelah di ELS diselesaikan Hatta tahun 1917, pada saat usianya 15 tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (Meerutgebreid Lager Onderwijs- setingkat sekolah menengah pertama) dan tamat pada tahun 1919. Baik di Bukittinggi maupun ketika bersekolah di Padang, Hatta di samping bersekolah di pagi hari, ia juga rajin mengaji. Guru ngajinya wakti itu yakni: Muhammad Djamil Djambek (1860-1947) dan Haji Abdullah Ahmad (1878-1933).[7] Masa studi adalah masa pembentukan dan pematangan. Setiap pengalaman unik yang ditempuh selama masa studi tentu sangat mempengaruhi kepribadian dan gerakan perjuangan Hatta, sehingga tidak heran kalau Hatta disebut sebagai pemikir, pejuang demokrasi. Untuk dapat meneropong secara tajam gerak langkah Hatta, maka kita akan melihatnya bersama pada bagian berikut ini.
Kebertemuannya dengan para tokoh dan kegemaran dalam membaca menjadikan Hatta sebagai salah seorang pemuda yang potensial yang kelak dikenal sebagai Proklamator. Kalau kita mencoba menelusuri sepak terjang Hatta, kita bisa menemukan bahwa, kecintaannya pada buku dan organisasi sudah mulai terasa ketika Hatta tumbuh sebagai anak muda yang berenergik, haus akan bacaan dan gemar untuk berdiskusi. Waktu Hatta masih duduk di bangsu ELS, Hatta sudah bergabung dengan sebuah kelompok sepak bola dan Hatta dipilih sebagai bendahara, dan kemudian dipilih sebagai sekertaris dari klub itu.  Di situ Hatta sungguh memahami perannya, ia mencoba mengaktualisasikan potensinya demi kebaikan bersama dalam klub itu.
Hal menarik yang perlu dicatat di sini adalah bahwa meskipun Hatta asyik dengan kegiatannya di Klub Bola, Hatta tidak pernah melupakan tugas utama sebagai pelajar yakni belajar. Hatta tidak mengabaikan waktu pelajaran sekolahnya. Kedua hal itu bisa dijalankan dan dinikmati, karena Hatta sudah terbiasa membagi waktunya dengan disiplin”.[8]. Setelah Hatta menyelesaikan pendidikannya di ELS, tahun 1917, Hatta melanjutkan di MULO. Ada beberapa hal menarik yang perlu dicatat di sini adalah, selama menjadi pelajar MULO, orgasme organisatorisnya mulai terbentuk. “meminjam tulisan Zulfikri Suleman, bahwa selama menjadi pelajarMULO bukanlah aktifitas kurikuler di sekolah menjadi perhatian utama, melainkan bagaimana ia memahami dan menanggapi lingkungan barunya serta aktivitas pergaulannya yang lebih luas di luar lingkungan sekolah. Hatta bertemu dengan para pemimpin dan aktif di organisasi JSB. Pertemuan dengan H. Abdullah Ahmad (1878-1933) seorang guru agama dan salah seorang dari tiga tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat. Dua tokoh yang lain, H. Abdullah Ahmad adalah guru yang memberikan pelajaran agama Islam untuk para pelajar MULO. Pandangan umum tokok-tokoh pembaharuan ini mengerucut pada ajaran Islam harus sesuai dengan keadaan dunia modern dengan cara memperkenalkan ilmu pengetahuan Barat. Hatta juga berkenalan dengan tokoh-tokoh Minangkabau di Batavia, tokoh-tokoh itu adalah Nazir Datuk Pamundjak yang berkunjung ke Padang pada bulan Januari 1918 sebagai wakil JSB Pusat, yang dalam Sembilan bulan kemudian disusul oleh Abdul Muis, kunjungan Nazir ini member dampak besar dalam menanamkan kesadaran pelajar-pelajar Minangkabau supaya bangkit dan menyiapkan diri dalam mengambil peran yang lebih besar di masa depan. Kunjungan ini berdampak pada pemilihan Hatta sebagai bendahara JSB Cabang Padang.
Kalau mencermati para tokoh, kita dapat melihat adannya perbedaan kehadiran Nazir Datuk Pamundjak dan Abdul Muis. Karena Abdul Muis berasal dari Partai Serikat Islam, maka kehadirannya sangat bernuansa politik. Diperkuat dengan kedudukan Abdul Muis sebagai anggota Volksraad, Dewan Rakyat ciptaan pemerintah colonial yang dalam kenyataanya lebih merupakan badan penasihat bagi Gubernur Jenderal. Hatta sebagai pelajar waktu itu sangat mengagumi pidato Abdul Muis sehingga Hatta seringkali mengakui dan lebih banyak diam, mendengarkan. Demikianlah aktivitas Hatta selama tiga tahun menjadi pelajar MULO di Padang, pertemuannya dengan para tokoh, aktivitas dialektika yang dilaluinya telah menceburkan dirinya untuk bergelut dan bergulat dalam proses pembebasan manusia Indonesia. Ketertarikannya pada dunia politik dan pergerakan perlahan-lahan terbentuk. Hatta mulai menemukan arah gerakan dan sekaligus memfokuskan diri untuk memerdekakan manusia Indonesia dari keterbelengguan ekonomi, sosial dan politik”.[9]
“Ada beberapa hal menarik yang yang dirasakan oleh Hatta selama kunjungan para tokoh ke Sumatera dapat kita lihat dalam ekspresi yang diungkapkan oleh Hatta: “Pada saat kedatangan Abdul Muis di Sumatera Barat pada bulan Agustus atau September 1918. Ia datang sebagai anggota Volksraad yang baru dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Suatu Dewan Rakyat biasa, melainkan suatu badan yang akan memperdengarkan suara rakyat, ia datang untuk  meninjau perasaan rakyat dari dekat. Dikatakan bahwa pada masa itu masalah rodi ramai dibicarakan di dalam pers. Pers menanggapi rodi itu sebagai pajak “in natura” yang dibayar dengan kerja. Pers Indonesia memandangnya sebagai suatu sistem  kerja wajib  yang sudah ditinggalkan zaman. Sistem kerja wajib semcam itu seharusnya sudah lama dihapuskan bersama-sama dengan “cultuurstelsel”. Sebagai seorang pemuka rakyat yang terkenal kedatangannya di Minangkabau disambut oleh rakyat dengan sangat meriah. JSB Padang ikut diundang untuk menyambut ke Teluk Bayur. Hussein dan Hatta yang mewakili JSB Cabang Padang. Dikatakan bahwa sesungguhnya JSB perkumpulan anak sekolah menengah bawah, namun atas usaha Engku Marah Sutan, mereka selalu dibawa serta. Satu hal yang menjadi alasan kuat para siswa di bawa kemana-mana adalah: anggapan bahwa anak-anak muda ini adalah harapan bangsa dan akan menjadi pemimpin rakyat di masa datang. Perkataan inilah yang selalu menggembirakan dan member dorongan Hatta untuk selalu bergiat”.[10]
3.1.1   Awal Kecintaannya pada Organisasi
Sekolah MULO di Padang mempunyai perkumpulan sepak bola. Namanya Swallow. Hatta memang gemar bermain sepak bola. Karena itu ia bergabung dalam perkumpulan itu. Mula-mula Hatta hanya menjadi anggota biasa. Kemudian dipilih menjadi bendahara. Teman-temannya tahu bahwa Hatta sangat tertibdalam hal keuangan. Itulah pengalaman pertamanya dalam berorganisasi. Dalam bulan Januari 1918, Nazir Datuk Pamuncak tiba di Padang. Ia adalah utusan dari Jong Sumatranen Bond (JSB). Perkumpulan ini berkedudukan di Jakarta. Nazir bertemu dengan para pelajar di Padang. Nazir berpidato di depan pelajar-pelajar Padang. Dikatakannya bahwa pemuda Jawa sudah lebih dulu maju daripada pemuda Sumatra.mereka sudah lebih dahulu mendirikan organisasi. Namanya Jong jawa. JSB baru berdiri pada akhir tahun 1917. Pemuda-pemuda Sumatra harus mengikuti jejak pemuda-pemuda Jawa. Kita tidak boleh ketinggalan. Pemuda-pemuda Sumatra mempunyai tugas yang berat. Kita harus memajukan masyarakat Sumatra. Di tangan pemudalah letak nasib bangsa dan tanah air “kata Nazir Datuk Pamuncak”. Sesudah itu diadakan pertemuan sekali lagi. Dalam pertemuan itu didirikan JSB cabang Padang. Hatta dipilih menjadi bendahara. Ia dianggap sudah berpengalaman dalam bidang keuangan. Lagipula ia seorang yang jujur. JSB lebih besar dari pada Swallow. Jumlah anggotanya pun lebih banyak. Karena itu, tugas Hatta sebagai bendahara pun tambah berat. Ia harus mencari uang untuk kegiatan perkumpulan. Uang itu diperoleh dari iuran anggota. Selain itu adapula orang-orang yang menyumbang secara sukarela. Jumlah uang iuran dan sumbangan itu tidak banyak. Karena itu, Hatta mencari akal untuk menambahnya. Dikunjunginya orang-orang terkemuka di kota Padang. Hatta menjelaskan kepada mereka yang menjadi tujuan JSB.  Ia meminta supaya mereka beredia membantu JSB. Kepandaian Hatta mencari uang diketahui oleh pengurus JSB Pusat di Jakarta. Mereka kagum, Hatta mempunyai akal yang banyak. Karena itu, waktu Hatta bersekolah di Jakarta ia dipilih menjadi bendahara JSB Pusat.[11]
Pada sub bagian berikut, saya akan menguraikan bagaimana masa sekolah Hatta di Jakarta, kebertemuannya dengan orang-orang, dan kecintaannya dalam berorganisasi di satu sisi.
3.2    Masa Sekolah di Jakarta
Menarik untuk mencermati aktifitas pergerakan Hatta selama di Jakarta. Hampir tidak bedah jauh apa yang dilakukan Hatta waktu di Padang dan apa yang nanti akan dilakukan selama berada di Jakarta. Kesibukannya sebagai aktivis pergerakan tetap dijalankan, tetapi fokusnya pada studipun semakin fokus dijalankan. Sebelum nanti saya masuk dalam pembahasan yang lebih jauh, saya akan memaparkan sedikit kisah awal keberankatan Hatta ke Batavia. Sebagaimana digambarkan oleh Hatta “sebelum aku berangkat aku perlu ziarah dulu ke Batu Hampar minta restu kepada ayah Gaekku serta pamitan dengan keluarga lainnya. Dari semulanya ayah Gaekku menginginkan sekali supaya sekolahku diteruskan kepada jurusan agama, mula-mula di Mekkah kemudian ke Mesir. Beliau agak masgul mendengar bahwa sekolahku akan diteruskan ke sekolah Barat dan dari jurusan yang bukan jurusan agama. Tetapi sebagai seorang  ahli Tarikat yang berpandangan luas, beliau akhirnya menyerah pada tahkdir Allah. Jalan hidupku sudah ditentukan Allah katanya, tetapi keyakinanku cukup kuat, bahwa engkau tidak akan menyimpang dari jalan agama Islam dan Allah. Ditegaskan pula oleh beliau bahwa dalam Islam ibadat dan amal tidak dapat dipisahkan. Kedua-duanya perlu dikerjakan sebagai bekal kita dalam perjalanan ke akhirat, kea lam baka. Kalau sayang kepada Allah hendaklah pula sayang kepada sesama mahkluk Allah. Kalau sunguh-sungguh kita meminta kepada Tuhan dengan hati yang murni dan ikhlas, Tuhan akan mengabulkan permintaan kita itu. Di kota besar seperti Betawi kata ayah Gaekku banyak godaan bagi anak muda. Kalau teguh iman dan selalu berjalan di jalan Allah Insyaallah, Hatta akan terpelihara dari godaan itu.
Dikisahkan bahwa  ada sebuah pengalaman menarik waktu Hatta berada di Jakarta yaitu: pertemuannya dengan Ma’Etek Ayub, beliau adalah seorang saudagar besar, beliaulah yang memperkenalkan Hatta ke tokoh buku  dan membelikan beberapa buku untuk Hatta. Untuk lebih jelas membacanya maka saya akan melampirkan sedikit komunikasi yang dibangun antara Hatta dan Ma’Etek Ayub.
“Pada bulan agustus aku dapat datang ke kantor Ma’Etek Ayub di Patekoan. Aku sampai di sana kira-kira jam 4 sore. Aku dipersilakan duduk, setelah selesai pembicaraanya dengan seseorang via telepon ia katakan kepadaku: sebentar lagi kita pergi ke took buku antiquariaat di sebelah societeit “harmoni” untuk membeli beberapa buku yang barangkali berguna untuk Hatta. Beliau juga yang akan mengurus segala uang kuliah dan biaya hidup Hatta. Katanya uang sekolah dan uang biaya hidup di sini Ma’Etek yang tanggung. Jangan menyusahkan bagi orang di rumah, kalau ada kiriman dari kampung simpan saja pada bank tabungan pos. sesudah percakapan itu Hatta dibawah ke tokoh buku. Tiga buku yang dibelikan oleh Ma’Etek buak Hatta adalah: N.G Pierson. Staathuisheulkunde, H.P. Quack, De Socialisten, dan Bellamy, Het Jaar. Inilah buku-buku yang semula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku, demikianlah ungkap Hatta. Ma’Etek Ayub juga memberi Hatta uang 75 gulden per bulan, jumlah yang besar pada waktu itu.”[12] Ma’Etek juga membeli buku Carl May yang pada waktu itu banyak dibaca orang. Setelah kembali dari perpustakaan malam itu itu juga buku-buku tersebut mulai dibaca oleh Hatta. Bahkan Hatta sampai meluangkan waktu tidurnya untuk membaca buku-buku tersebut. Kelihatan betul Hatta seorang yang gemar membaca. Meskipun demikian Hatta sangat disiplin dalam membagi waktu belajarnya. Ungkapnya suatu ketika “Biasanya buku-buku mengenai mata pelajaran aku pelajari pada malam hari, buku-buku lain, buku roman, dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan kubaca pada sore hari setelah pukul 4 atau 4:30.
            Pengalaman menarik lain sebagai bentuk pematangan, sekaligus proses belajar yang dialami oleh Hatta adalah: “setiap akhir pekan Hatta bertemu dengan Bahder Johan, sahabat lamanya yang sudah dikenalnya waktu masih di Bukittinggi dan Padang. Mereka biasa naik sepeda ke tempat-tempat tertentu, nonton TV atau santai di tempat tertentu sambil berdiskusi. Berbagai masalah yang menarik perhatian mereka sebagai kaum nasionalis muda, kelihatan sekali Hatta sangat konsen seputar masalah keadilan sosial terutama nasib kaum buruh yang tertindas. Bahder Johan juga menyatakan bahwa hanya soal romantika hidup pemuda yang tidak banyak mendapat perhatian Hatta waktu itu, sisi lain yang menarik untuk dikaji adalah antara Hatta dan Bahder Johan pernah membicarakan kemungkinan penyatuan dan kerjasama di antara organisasi-organisasi pemuda yang ada, yang bisa disebut Jong Indie. Gagasan ini direspon oleh beberapa kawan dari Jong Java, tetapi pemuda pada zaman it pun menyadari bahwa gagasan itu akan berbenturan dengan semangat kedaerahan yang terlalu kuat mewarnai setiap organisasi kedaerahaan pada waktu itu. Sampai di sini hal lain yang mau saya katakana adalah bagaimana Hatta dan teman-teman yang masih sangat mudah mulai berpikir soal kebangsaan, yang melampaui sekat-sekat suku, budaya dan agama. Suatu kesadaran kolektif yang dahsyat yang menjadi pilar kebangsaan di tengah keragaman suku, budaya dan agama.”[13]
            “Ketika Hatta dipilih menjadi bendahara JSB Pusat pada tahun 1920, sikap bijak yang dibuat oleh Hatta waktu itu adalah: Hatta menerima dengan penuh tanggungjawab, tetapi Hatta juga harus menyampaikan bahwa ia hanya menerima tugas dan tanggungjawan yang diberikan kepadanya hanya satu tahun saja, sebab pada tahun berikutnya Hatta harus mengikuti ujian akhir di PHS, tenti tidak banyak hal yang dapat dicatat dalam waktu satu tahun itu, tetapi satu hal yang menonjol adalah: upaya yang dilakukan untuk menghidupkan keuangan organisasi pada waktu itu. Upaya Hatta ini nampaknya dan terkesan oleh beberapa orang setengah memaksa tetapi cukup efektif.”[14]. Kemahiran Hatta dalam mengelolah keuangan dapat dilihat dalam otobiografi Hatta, Dikatakan bahwa Hatta memiliki bakat alamiah dalam persoalan keuangan, diakui oleh rekan-rekannya. Karena setibanya di Jakarta Hatta sekali lagi diminta untuk menjabat sebagai bendahara. Dalam periode yang sangat singkat keberadaannya cabang berhasil mengumpulkan utang sampai f. 1.000. untuk menerbitkan majalahnya, Jong Sumatera.”[15] Hatta bersikap keras dalam menarik langganan dari para anggota, jika ada di antara mereka yang tidak membayar, maka ia memasang nama mereka pada daftar hitam. Hatta juga meminta sumbangan dari orang-orang Sumatera yang ada di Batavia, mendorong mereka supaya mendukung kelompok orang muda. Upayanya itu meskipun dianggap keterlaluan oleh beberapa orang temannya, namun ia cukup berhasil. Menjelang akhir satu tahun masa tugasnya, Hatta berhasil meningkatkan saldo untuk bank kelompok tersebut dari “garis merah” dan membayar utang untuk penerbitan. Seperti komentar Bahder Johan, seorang mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA; “Dengan tindakannya, JSB pada tahun ini menutup buku dengan lebih dari f. 700 uang kontan. Suatu jumlah yang cukup besar pada masa itu.”[16]
Setelah tiga tahun menyelesaikan pendidikan di MULO, Hatta sudah cukup dewasa. Ibunya tidak melarang lagi bersekolah di Jakarta. Maka pada bulan Juni 1919 Hatta bertolak ke Betawi untuk mendaftarkan diri pada Prins Hendrik School, Sekolah Tinggi Dagang. Di tempat inilah Hatta berkenalan dengan cita-cita revolusi Perancis dan pandangan-pandangan Marx. Hatta lulus dari Sekolah Tinggi Dagang pada bulam Mei 1921.[17]  Setelah lulus dari Jakarta Hatta akan studi ke Belanda.

3.3    Studi ke Negeri Belanda 1921-1932
Saya mengawali tulisan pada bagian ini dengan mengutip yang ditulis oleh Deliar Noer sebagai berikut “Kepergian Hatta ke negeri Belanda (tahun 1921) mengundang pertanyaan mengenai pendirian hidupnya. Ia keturunan ulama dari pihak ayahnya; ia keturunan pengusaha dari pihak ibunya. Ia turut mengikuti pergerakan nasional, mulanya sebagai peminat, kemudian sebagai pemuda yang mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kemudian; juga sebagai Hatta sungguh luar biasa, ia membentuk diri dalam kapasitas sebagai seorang organisatoris yang handal, seorang pejuang dan aktivis yang tekun dan ulet, Hatta tidak peduli kalau untuk suatu visi besar dan bangunan keindonesiaan yang sedang dirintis, ia memilih untuk tidak popular. Hatta sungguh seorang abdi bangsa, pahlawan revolusi dan pejuang demokrasi yang patut dikenang. Diakui oleh Hatta bahwa salah satu keuntungan terbesar dengan menjadi Jong Sumatranen Bond di Batavia ialah bahwa hal itu membuat Hatta memiliki akses langsung kepada para pemimpin Serikat Islam orang-orang Minangkabau seperti: Abdul Muis, dan haji Agus Salim, kedua tokoh ini di kalangan gerakan nasionalis tersebuat sebagai “orang tua besar”. Meskipun Hatta mengakui bahwa dalam banyak hal Hatta tidak setuju dengannya.
Haji Agus Salim memainkan peran yang sangat penting dalam memajukan gerakan buruh, yang membawanya ke dalam konflik dengan kelompok Marxis di dalam Serikat Islam. Dikatakan bahwa meskipun rantai kegiatan  nasionalis sendiri menarik, Hatta tetap menyadari bahwa prioritasnya tetaplah kuliah”.[18]. Pada bulan Mei 1921 Hatta berhasil menamatkan pendidikannya di PHS. Setelah selesai dari PHS beliau akan melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Namun sayang, secara kebetulan Mak’Etek Ayub yang sejak semula sudah berjanji akan membiayai pendidikannya di Rotterdam mengalami kebangkrutan  dalam usaha dagangya. Di samping itu Hatta juga sempat tergoda untuk mengisi lapangan kerja yang waktu itu terbuka dengan gaji yang cukup menggiurkan untuk tamatan sekolah menengah. Dua hal ini membuat Hatta menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan pendidikannya ke Rotterdam. Akhirnya karena mendengar nasihat dan dukungan kuat dari bekas gurunya di PHS, Dr De Kock, juga dari Mak’Etek Ayub sendiri dan jaminan akan memperoleh beasiswa dari Van Deventer Stichting, Hatta akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat ke negeri Belanda. Di sini nampaknya bahwa Hatta sudah cukup dewasa untuk memutuskan, sehingga tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan dan izin dari orangtuanya yang ada di Bukittinggi.”[19]
seseorang yang ketika masih kecil telah melihat dan merasakan perlakuan yang tidak adil dari pihak pemerintahan Belanda terhadap pamannya dan terhadap orang banyak. Di masa kanak-kanaknya persepsi tentang ketidakadilan Belanda itu telah tumbuh dalam diri kawan-kawannya. Mengapa ia masih hendak pergi ke negeri Belanda juga? Apakah tidak berpengaruh baginya nanti arus sekularisasi, westernisasi dan pengasingan dari budaya bangsanya, sebagaimana merupakan kebijaksanaan Belanda antara lain dengan mendirikan berbagai sekolah di Hindia”[20]
Semua asumsi di atas terbukti tidak menepis niat Hatta untuk melanjutkan pendidikan ke negeri yang sedang menjajahnya.  Di sini kelihatan bahwa, kecerdikan dan strategi politik yang dibangun Hatta melampaui “pemahaman normal manusia”. Kekuatan Belanda dijadikan sekaligus sebagai kelemahan. Ia pandai dalam berdiplomasi, tetapi ia cerdik juga dalam menentukan bagaimana cara berdiplomasi. Ia menjalin komunikasi dengan pihak Belanda, tetapi ia menerapkan pola non-kooperasi dengan pihak Belanda. Itulah sedikit gambaran tentang alasan keputusan Hatta memilih studi ke negeri Belanda.
“Hatta meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat, menuju pelabuhan Rotterdam Nederland pada Rabu, 3 Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama dengan yang biasa dibeli oleh pejabat Pemerintah golongan tengah yang libur ke Belanda. Di kapal itu ia sekamar dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan Mayor. Tidak hanya itu, ketika berlabuh di Marseille, Prancis, Hatta berani turun ke darat berkat kemahirannya berbahasa Prancis, dan jadi pemandu bagi suatu keluarga Belanda yang membayari seluruh keperluan Hatta selama sama-sama menjelajahi kota itu. Tiba di Rotterdam, Senin, 5 September 1921.”[21]
Banyak hal menarik yang dapat kita petik dari kisah hidup Hatta selama berada di Belanda, sebagaimana kita ketahui bahwa pengalaman hidup dan pengalaman bergaui dengan orang belanda sejak masa kecil Hatta di Bukittinggi sampai dengan pendidikan menengah di Padang dan Batavia telah menjadi suatu proses pengenalan yang dalam dengan budaya Belanda, hal ini terbaca dengan kemudahan Hatta dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang Belanda sendiri. Hatta tidak mengalami goncanan budaya ataupun keawaman untuk berinteraksi dengan orang Belanda. Hatta bergaul dan bertindak begitu menyatu dengan warga Belanda. Saking memahami budaya Belanda dengan lebih baik, maka cara berpakaian, bertingkahlaku, berpikir, sikap tertib dan disiplin terhadap waktu menjadi bagian dari hidupnya. Model pembatinan nilai-nilai Barat terhadap Hatta, dapat juga ditelusuri dari keberlanjutan kehidupan Hatta ketika Hatta menjadi mahasiswa yang aktif di PI di negeri Belanda. Dan ketika Hatta terpilih menjadi wakil Presiden, Perdana Menteri  dan ketika Hatta mengisi hari-hari hidupnya sebagai warga  negara biasa, setelah lepas dari jabatan public tersebut. Untuk mengkaji sosok Hatta sebagai pemikir, pejuang demokrasi, maka tentu tidak terlepas pula untuk menapaki proses perjuangan Hatta selama menjadi mahasiswa dan aktivis di negeri Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa kegemaran Hatta dalam membaca dan menulis, menjadi senjata pergerakan Hatta. Melalui tulisan Hatta mempublikasikan bahwa ada suatu  pergumulan dari sebuah negeri yang terbelenggu, terjajah, terpasung kebebasannya. Melalui tulisan dan pamflet Hatta menyatakan bahwa akan lahir suatu bangsa yang akan disebut sebagai Indonesia.
“Selama di negeri Belanda, Hatta dapat memperlihatkan diri sebagai seorang pelajar dan penulis yang tekun, sekaligus sebagai seorang pejuang nasionalis, Hatta membaca banyak buku , merasakan dan melihat banyak hal dan menuangkan dalam bentuk tulisan, semua tulisan semata-mata untuk memperjuangkan perbaikan nasib bangsa Indonesia. Di negeri Belanda Hatta dikenal sebagai pelajar yang rajin, serius dan tekun. Dikatakan bahwa pada saat beberapa temannya memanfaatkan waktu luangnya dengan mencari hiburan di luar, Hatta tetap tetap menyibukan diri dengan belajar di kamarnya.  Ketekunan dan keseriusan Hatta sebagai pelajar yang menuangkan ide-ide cemerlang sudah amat dikenal dan diakui oleh teman-temannya. Aboetari, rekan belajar Hatta di Rotterdam, mencatat, waktu luang Hatta tidak dimanfaatkannya untuk menikmati hiburan seperti ikut berdansa sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa temannya melainkan untuk belajar menulis atau aktivitas politik  dalam perhimpunan Indonesia”.[22]
Fakta bahwa Hatta baru mampu menyelesaikan studinya setelah melewatkan masa sebelas tahun sama sekali bukan karena kegagalannya sebagai pelajar, melainkan karena keseriusan dan totalitasnya dalam memperjuangkan dan memperkenalkan kemerdekaan nasional melalui Perhimpunan Indonesia.”[23]
Kebiasaan Hatta membaca buku perlu digarisbawahi. Hatta tidak hanya membaca buku-buku untuk kepentingan studi formalnya di bidang eekonomi, melainkan juga menyibukkan diri dengan membaca buku-buku pengetahuan lain seperti politik, dan sejarah bangsa-bangsa. Hatta juga rutin membaca Koran-koran yang terbit di Belanda terutama yang berpandangan sosialis. Sehingga tidak heran lagi kalau Hatta cukup terbiasa dengan pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi dan politik ternama seperti: Adam Smith, Maltus, Marx, Keynes, Richardo, Jhon Locke, Montesquie, Rousseau dan yang lainnya. Melalui bacaan-bacaan yang cukup luas Hatta mampu menyelam pola pikir masyarakat Barat, memahami kemajuan ekonomi Barat, teori-teori demokrasi serta penerapannya. Hatta mampu memahami tetapi Hatta tidakj larut di dalamnya, itulah komitmen dan konsistensi Hatta.
Hatta pun mengekspansi  gerakan kemerdekaan Indonesia melalui artikel-artikel yang ditulisnya. Hatta mulai rajin menulis ketika tahun-tahun awal keberadannya di Belanda. Hatta biasanya menulis di Koran Perhimpunan Indonesia, Hindia Putra yang kemudian berganti nama menjadi Indonesia merdeka, topic-topik yang biasanya ditulis oleh Hatta misalnya : hubungan antara bangsa, politik, kolonialisme dan imperialism, serta arti penting kabangkitan bangsa Indonesia.
Ada beberapa artikel penting yang cukup mempengaruhi dinamika politik pada waktu itu yakni: tulisan Hatta tentang “Indoensia dalam Masyarakat Dunia” dan Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia” kedua tulisan ini ditulis pada tahun 1923 bertepatan dengan 15 tahun kelahiran Perhimpunan Indonesia, yang waktu itu masih bernama Indonesische Vereniging, tulisan-tulisan itu cukup menghebohkan dan akhirnya menimbulkan pandangan di kalangan Pemerintahan Belanda bahwa, pelajar Indonesia di Belanda mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.”[24]
Sesuatu yang menggemparkan terjadi pada tahun 1926, ketika Hatta menyampaikan pidatonya dengan tema “Tata Ekonomi Dunia dan Pertarungan Kekuatan” Hatta menguraikan bahwa sejarah pertentangan di antara negara-negara besar sejak abad ke-19. Wujud pertentangan ini adalah dalam bentuk perlombaan untuk menjajah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang terutama dimotivasi oleh kepentingan ekonomi. Hatta menambahkan bahwa pertentangan berdasarkan motivasi ekonomi yang tanpa batas kepuasan ini tidak akan pernah berhenti dengan akibat penderitaan bagi bangsa-bangsa terjajah. Oleh sebab itu upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui prinsip tanpa kompromi, non kooperasi, termasuk melalui jalan kekerasan. Istilah “non kooperasi” kemudian menjadi terkenal dan dipakai sebagai prinsip perjuangan Perhimpunan Indoensia di samping prinsip-prinsip yang lain (persatuan dan percaya pada dir sendiri). Tulisan Hatta ini kemudian membawa mereka ke Penjara. Hatta bersama ke-3 temannya terpaksa ditahan di penjara. Tulisan ini merupakan pidato pembelaah Hatta di depan pengadilan di Den Haag pada bulan Maret 1928, setelah Hatta bersama tiga temannya (Nazir Datuk Pamundjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdulmadjid Djojohadininggrat). Mereka bertiga ditahan dan dituduh berkomplot hendak menggulingkan Pemerintah Nederland. Hatta mengemukakan sebab-sebab kebangkitan kesadaran nasionalisme para pemuda Indonesia, Hatta dan kawan-kawannya memperjuangkan hak yang bersifat universal. Dengan berargumentasi pada alasan-alasan ini Hatta hendak mengemukakan bahwa, tuduhan terhadap dirinya dan kawan-kawannya tidak dapat diterima. Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dari semua tuduhan. Vonis bebas ini menimbulkan simpati yang besar, baik itu di tanah air maupun di Belanda, di antara kawan-kawan Hatta di Perhimpunan Indonesia.”[25]
“Penilaian pengadilan menimbulkan kesan yang mendalam bagi Hatta secara pribadi. Ia sebelumnya tidak berharap akan dibebaskan mengingat penahanan massa di Hindia dengan tuduhan yang lebih ringan. Bahwa pengadilan telah menindak setiap upaya apapun untuk digoyahkan oleh salah satu kementerian yang paling berpengaruh dan bahwa suatu kelompok penekan Eropa gagal melawan menghadapi segelintir mahasiswa Indonesia yang tidak penting, merupakan sesuatu yang mencengangkan. Padahal dari sudut pandang Belanda hubungan tersebut juga merupakan kemenangan bagi kaum sosialis melawan kaum konservatif yang berkuasa. Pembebasan tersebut telah meyakinkan Hatta tentang aspek positif dari sistem demokrasi Barat, yaitu jaminan yang fair dan adil terhadap kedudukan individu di depan hukum.” [26]
Uraian-uraian di atas menggambarkan bahwa aktifitas, pergulatan dan pergelutan Hatta dalam membaca, menulis dan berorganisasi selama berada di negeri Belanda terutama ditujukan untuk menyerang politik kolonial dan imperialism Belanda terhadap Hindia Belanda. Tentu hal ini sejalan dengan kebijakan Perhimpunan Indonesia yang bertujuan untuk memupuk semangat kebangsaan  dan meningkatkan gerakan kemerdekaan.  Hal menarik yang dapat  dipelajari menyangkut keberadaan  Hatta selama 11 tahun  di Belanda adalah aktifitasnya yang besar sebagai propagandis  untuk menyebarkan semangat menentang kolonialisme dan imperialism di Belanda. SAMPAI DI SINI, TUNGGU LANJUTAN

3.3.1   Mahasiswa Yang Sadar Politik
“Di negeri Belanda Hatta segera menerjunkan dirinya dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) yang dalam tahun 1925 berubah menjadi perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereniging). Organisasi yang mulanya bersifat sosial ini didirikan tahun 1908 sebagai forum tempat bertemu orang-orang, termasuk pelajar Indonesia yang merantau ke negeri Belanada. Indische Vereniging meluas wawasannya kepada persoalan Tanah Air setelah tiga tokoh partai Hindia (Indische Partij) bermukim di negeri Belanda tahun 1913 yaitu Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Organisasi tersebut memasuki bidang politik dalam hubungan dengan perkembangan di tanah air ketika tambah banyak pelajar nasionalis yang melanjutkan studinya di negeri Belanda, yaitu mereka yang di Indonesia sebelumnya telah bergerak dalam Jong Jawa, Jong Sumatranen Bond, malah juga Budi Utomo. Ia juga mengganti nama majalahnya, Hindia Putra (mulai terbit tahun 1916), menjadi Indonesia Merdeka, (1924)”[27]
 Pada tahun 1926 pimpinan jatuh ke tangan Hatta malah sampai 1930, hal yang menyebabkan ia terlambat menyelesaikan studi. PI di bawah pimpinan Hatta memperlihatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia dengan memberikan ulasan, saran, dan bila perlu kritik terhadap pergerakan tersebut. Dalam pidato penerimaannya sebagai ketua PI pada 1926, Hatta mengemukakan bahwa penjajahan merupakan cermin dari sifat serakah pihak Barat untuk menguasai negeri lain dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut, di samping melempar kembali hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan. Maka ia pun melihat PI sebagai pihak oposisi yang harus aktif, termasuk berkorban menjadi Non-kooperasi, di samping percaya diri sendiri dan membina persatuan. Namun, ia tidaklah melihat kemerdekaan sebagai kemegahan bangsa, melainkan untuk kemanusiaan dan peradaban.”[28]
Pada tahun 1927 Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat, ditangkap oleh penguasa Belanda. Mereka dituduh menjadi anggota partai terlarang (agaknya dikaitkan dengan hubungannya dengan Semaun) terlibat dalam pemberontakan (di Indonesia, tentu ini pemberontakan yang dilakukan oleh pihak PKI pada tahun 1926 dan 1927), dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Mereka dituntut tiga tahun penjara (Untuk Hatta), dua setengah tahun (untuk Ali Sastroamidjojo dan Nazir Pamuntjak), dan dua tahun untuk Abdulmadjid Djojoadiningrat). Tentu semua tuduhan tersebut ditolak Hatta dalam pembelaan yang ia beri judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Hatta dan kawan-kawannya dibela oleh tiga orang pengacara Belanda, seorang diantaranya anggota parlemen Belanda dari partai sosial demokrat buruh (SDAP, Social-Demokratische Arbeiders Partij), Mr J.E  W Duys yang memang bersimpati pada Hatta. Setelah ditahan beberapa bulan, pada tahun berikutnya keempat tokoh pergerakan Indonesia itu dibebaskan oleh pengadilan, karena tuduhan tidak dapat dibuktikan.”[29]
Selama di negeri Belanda, Hatta gemar memperkenalkan perjuangan Indonesia ke Luar negeri. Pada tahun 1926 Hatta pergi ke Bierville, Prancis sebagai wakil PI untuk turut serta dalam kongres demokrasi Internasional yang dihadiri oleh para utusan dari 31 bangsa, sebagian besar dari Asia. Kemudian pada tahun berikut (Februari 1927) Hatta bersama beberapa rekannya dari PI dan seorang dari Mesir, Abdul Munaf, menghadiri Kongres Internasional Menentang Kolonialisme di Brussels, Belgia. Dalam Kongres itu Hatta berkenalan dengan Jawaharlal Nehru dari India, yang juga menjadi utusan ke kongres itu. Pada kongres Liga ke-2 di Frankfurt pada tahun 1929, Hatta berkenalan dengan lebih banyak tokoh-tokoh dunia. Upaya memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dilakukan juga melalui pidato. Misalnya, ia berpidato tentang Indonesia pada Liga Wanita Internasional untuk perdamaian dan kemerdekaan (International League of Women For Peace and Freedom) yang diadakan di Gland, Swiss. Ia juga berpidato di hadapan para mahasiswa di Ultrech, Belanda pada tahun 1931. Hatta mengemukakan penderitaan rakyat Indonesia karena penjajahan, dan sebaliknya kemegahan kerajaan-kerajaan kuno Indonesia, juga keperkasaan Aceh melawan Belanda pada abad ke-19. Pidato di Ultrech lebih menjelaskan pergerakan nasional dalam masa modern, hambatan yang dialami dari pihak Belanda dan cita-cita kemerdekaan.”[30]



3.4    Kembali ke Indonesia
3.4.1        Masa Pergerakan di Indonesia, antara Jakarta, Digul dan Banda Naire 1932-1941
Hatta kembali ke negeri Belanda pada tanggal 5 Juli 1932. Di Indonesia Hatta semakin menunjukan komitmennya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. “Hatta selalu berusaha dalam membangkitkan semangat pejuang pergerakan nasional di daerahnya, Minangkabau, juga memberikan ceramah-ceramah termasuk di Islamic College.”[31]. “Hatta juga berkeliling ke Jawa. Namun usaha Hatta ini tetap mendapatkan tantangan. Sebab tidak lam kemudian Hatta dan beberapa kawannya dari PNI Baru termasuk Sjahrir ditahan. Mulanya di penjara Glodok, kemudian dibuang ke Digul. Setahun lamanya kemudian dipindahkan ke tempat tahanan baru yaitu di Banda Naire”[32]. “Ada hal menarik dari pribadi Hatta adalah bahwa ia membawa semua bukunya ke tempat pembuangan, berpeti-peti banyaknya. Ia merasa perlu dekat dengan buku-bukunya. Karena dengan buku ia bisa menghabiskan waktu dengan berguna. Artikel-artikel terus ia tulis untuk koran Jakarta, Pemandangan dan untuk majalah di Medan, yakni Panji Islam. Artikelnya lebih menganalisis dengan disertai mendidik pembaca. Pada tahun 1941 Perang Pasifik pecah. Hatta menulis artikel di Pemandangan agar rakyat Indonesia tidak memihak dalam peperangan ini, baik ke pihak Barat, maupun fasisme Jepang. Yang harus diperjuangkan adalah Indonesia Merdeka.

3.5    Penduduk Jepang 1942-1945
Setelah pecah Perang Pasifik, (Desember 1941) Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Sukabumi. Pada masa ini pun terjadi Gerakan Tiga A yakni: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Gerakan ini dipimpin oleh Shimzu dari kantor propaganda. Tetapi gerakan ini akhirnya hilang karena gerakan ini sebatas mengadakan arak-arakan besar di Jakarta saja. Ada hal lain yang dibuat Hatta pada masa ini yakni, Ia mengepalai sebuah Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Usaha Lama. Anggota-anggotanya termasuk “Empat Serangkai” (Hatta, Soekarno, Ki Hadjar Dewantara, K.H. Mas Mansur). Mereka terus mengusahakan cita-cita perwujudan Indonesia Merdeka. Pada tanggal 8 Desember 1942 dalam rangka memperingati pecahnya Perang Pasifik, Hatta dalam pidatonya mengatakan bahwa: Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan karena itu ia tidak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan itu setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali”[33]. “Perjuangan untuk kemerdekaan itu kemudian dipusatkan pada Pusat Tenaga Rakyat (Poetera), didirikan pada 8 Maret 1943, suatu gerakan yang dipimpin oleh Empat Serangkai: Soekarno sebagai pemimpin besar, Hatta sebagai direktur jendral, Ki Hadjar Dewantara, kepala bagian pengajaran, dan  K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah sebagai kepala bagian keselamatan masyarakyat. Poetera banyak berhasil manggalang perstuan sebagai bangsa, sambil juga meningkatkan kemampuan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1944 pemerintah Jepang di Jawa mendirikan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) sebagai ganti Poetera. Pemerintah merasa perlu menyelamatkan peperangan sehingga diperlukan di belakang garis peperangan suatu organisasi yang kuat berdasar kepada persaudaraan antara segala golongan penduduk di tanah Jawa, dan kepada rasa kebaktian rakyat seluruhnya. Jelas sekali bahwa organisasi ini dimaksudkan untuk mengerahkan raktyat membantu Jepang dalam perang. Dalam bulan April 1945, Hatta dipercaya untuk memimpin Sekolah Tinggi Islam. Hatta memang memandang agama sebagai salah satu tiang daripada kebudayaan bangsa. Ia melihat dalam hubungan ini Islam sebagai pelita untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam persaudaraan dan tolong menolong. Pada tahun 1946 Hatta memberikan kuliah pada Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.”[34]

3.5.1   Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
“Badan ini dibuka pada 28 Mei 1945, dan esoknya melangsungkan sidang pertama sampai tanggal 2 Juni. Badan ini menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang dapat selesai pada 5 Juli 1945. Orientasi pembentukan badan ini adalah pembentukan negara merdeka. Dalam penyusunan rancangan ini, Hatta berperan dalam empat hal 1) Soal pembukaan yang biasa dirujuk dengan piagam Jakarta. 2) soal bentuk negara. 3) soal hak asasi. 4) soal ekonomi. Dalam hal pertama Hatta tidak banyak bicara. Dalam soal bentuk negara, Hatta dikenal sebagai pendukung negara serikat atau federasi. Dalam hal aderah-daerah, Hatta mengemukakan perlunya otonomi luas bagi daerah. Apalagi dengan ribuan pulau yang bertebaran, serta suku yang beragam, otonomi diperlukan. Dalam soal ketiga, hak-hak asasi, ia berhadapan dengan pihak-pihak yang tampaknya terpengaruh oleh perang dunia II khususnya yang menyangkut Jepang dan Jerman. Pihak-pihak ini termasuk Soekarno dan Soepomo, tidak suka dengan hak-hak asasi karena mengandung paham individualisme dan liberalisme. Hatta dan Yamin bertahan bahwa hal-hal yang sangat dasar dari hak-hak asasi tersebut perlu masuk ke dalam UUD, agar terjaga negeri kita dari apa yang ia sebut “negara kekuasaan”. Hatta mengatakan bahwa “sudah dua puluh tahun berjuang menentang individualisme, tetapi memasukkan hak-hak yang sangat mendasar itu bukan individualisme. Pendapatnya ini akhirnya diterima sidang yang menjadi pasal 27 UUD 1945”, dalam perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik itu Hatta menguraikan bahwa kedudukan rakyat yang lemah menghendaki ekonomi disusun atas dasar koperasi, kekeluargaan. Kekeluargaan di sini ia artikan sebagai rasa solidaritas yang kuat, bukan menyebabkan  pribadi seseorang tenggelam dalam kebersamaan. Ia percaya pada diri sendiri dan bersikap melaksanaan self-help.”[35]




3.5.2   Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

Pada awal Agustus 1945 PPKI dibentuk. Hatta menjadi anggotanya, malah menjadi wakil ketua; ketuanya adalah Soekarno. PPKI mencakup wakil-wakil dari Sumatra, Kalimanatan dan Indonesia Timur, di samping dari Jawa. Sebagai Ketua dan wakil ketua disertai Radjiman Wediodiningrat, Soekarno dan Hatta diutus ke Dalat kira-kira 300 km sebelah utara Saigon, tempat kedudukan Jendral Terauchi Hisaichi, panglima angkatan perang Jepang  se Asia Tenggara. Pada kesempatan itu dengan pidato singkat Jendral Terauchi menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, Terauchi dan stafnya mengucpakan selamat kepada ketiga utusan Indonesia itu. Hari itu tanggal 12 Agustus, ulang tahun Hatta. Alangkah gembira dan bersyukurnya Hatta dengan berita itu. Pengumuman kemerdekaan Indonesia itu pun terserah kepada Panitia Persiapan. Demikian kata Jendral”[36].

3.6    Masa Kemerdekaan (1945-1949)
Tentu ini merupakan saat yang paling dinantikan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kabar dari Terauchi tidak hanya membawa kegembiaraan tetapi juga mewujudkan harapan dari para tokoh Indonesia. Bahwa kemerdekaan Indonesia adalah impian bersama. “Tepatnya tanggal 17 agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, kira-kira pukul 10 pagi. Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Sebagian kabar tentang kemerdekaan itu diberitakan dari mulut ke mulut.”[37]  Menurut Hatta “Proklamasi kemerdekaan baru merupakan “rencana” tentang adanya RI”[38].


3.6.1   Sebagai Perdana Menteri 1948-1949
Meskipun sudah merdeka, bangsa Indonesia selalu berhadapan dengan tantangan dalam membangun demokrasi. Pada tanggal 23 Januari 1948, kabinet Arif Sjarifuddin jatuh karena penolakan masyarakat pada umumnya atas “Persetujuan Renville”[39]. Maka Hatta kemudian dipercaya untuk menjadi Perdana Menteri. Kegiatan Hatta selama memimpin kabinet dari 29 Januari 1948 sampai terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949. Waktu hampir dua tahun itu diselingi dengan penahanan terhadapnya bersama beberapa pemimpin lain (termasuk Soekarno) oleh Belanda dari 18 Desember 1948 sampai mereka kembali ke Yogyakarta 6 Juli 1949”[40].  Pada masa ini Hatta harus berhadapan dengan berbagai peristiwa besar dalam sejarah Indonesia misalnya Peristiwa PKI Madiun. Terhadap perkembangan pembinaan demokrasi, peristiwa Madiun merupakan kemunduran. Bukan saja padi dan bibit habis terbakar, dan dendam meningkat karena pembunuhan yang dilakukan oleh PKI terhadap lawan politiknya, tetapi juga pemulihan demokrasi itu sendiri akan makan waktu. Hatta mengingatkan bahwa terror (seperti pembunuhan kejam) yang dilancarkan PKI itu memang merupakan “senjata diktatur” hanya ia bukan jalan untuk merdeka, tetapi jalan kepada penghambaan rakyat”. System penghambaan tidak akan melahirkan orang merdeka yang bersifat social”[41]. Lebih lanjut Hatta meenegaskan “Tujuan revolusi kita bukan semata-mata kemerdekaan bangsa tapi lebih jauh lagi yaitu mencapai kemerdekaan manusia dari segala tindasan”. Sebagaimana dikatakan oleh Deliar Noer bahwa kesulitan memulihkan demokrasi juga dilihat Hatta, namun usaha harus dilakukan. Hatta kemudian berkata
“Yang harus dikerjakan dewasa ini ialah memperbaiki kembali moral politik yang rusak, didasarkan kembali kepada kejujuran. Jika partai politik tidak berhasil dalam hal ini, sukarlah mencapai pendidikan politik kepada rakyat yang didasarkan kepada tanggung jawab rakyat atas nasibnya”.[42]

Hatta selalu berjuang untuk mengembalikan citra gerakan buruh, tani dan pemuda di tengah masyarakat yang telah turut rusak dengan peristiwa Madiun. Tetapi Hatta tidak mempunyai kesempatan membina hal-hal ini, karena pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan aksi militernya yang ke-2. Ia ditangkap bersama-sama dengan para pemimpin lain, dan diasingkan di Bangka”[43]. Aktifitas lain yang dilakukan Hatta pada masa ini yakni: sebagai utusan dari RI untuk mengikuti KMB (Konferensi Meja Bundar) dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949). Materi pokok yang dipersoalkan adalah persyaratan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Hatta sukses dalam delegasi ini, karena pada tanggal 27 Desember 1949 merupakan puncak penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia”[44]

3.7    Hatta sebagai Wakil Presiden 1950-1956
Saya hanya ingin menegaskan bahwa karena begitu solid dan erat relasi kerja antara Soekarno dan Hatta maka, kedua tokoh ini pernah dijuluki sabagai Dwitunggal. Sebagaimana dikatakan bahwa “mereka berdua erat sekali bekerjasama, praktis tidak ada perselisihan diantara mereka. Sifat dan jalan pikiran keduanya pun isi-mengisi. Saling percaya diantara mereka berdua pada waktu itupun sangat besar”[45]
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali pada negara Kesatuan Republik Indonesia. Soekarno dikukuhkan lagi sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada masa itu, Hatta tidak aktif dalam mengatur pemerintahan. Ia sangat menjaga kedudukannya dalam kabinet Parlementer itu, sehingga paling banyak Hatta hanya mengemukakan nasehat atau saran yang pelaksanaannya bergantung pada pemerintahan bersangkutan. Hubungan dengan Presiden Soekarno mulai 1950 sudah tampak kurang sejalan. Banyak hal yang terjadi tidak sejalan dengan pemikiran Hatta. Hatta tidak setuju kalau tanah masyarakat dikuasai oleh segelintir orang saja. Sebab baginya tanah desa di negara kita merupakan milik kolektif desa atau orang desa, oleh sebab itu tanah harus diusahakan secara bersama. Di samping soal politik dan pemerintahan, Hatta juga sukar menerima pengabaian Soekarno terhadap istrinya, Fatmawati. Apalagi Soekarno juga diam-diam nikah lagi dengan Hartini. Hatta tidak bisa menerima ini. Dan Hatta kemudian berkata “Kalau di dalam rumah tangga demikian, bagaimana pula dengan masalah negara”[46].  “Maka pada tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri disertai pemberian contoh, bagaimana seorang mantan pejabat seharusnya bersikap sebagai warga negara biasa. Pengorbanannya untuk bangsa, negara dan tanah air, benar-benar diuji dengan sikap dan tindakannya”[47].

3.8     Sebagai Warga Negara Biasa
“Setelah Hatta mengundurkan diri dari Wakil Presiden, rakyat pada umumnya masih mengharapkan agar Dwitunggal dapat dipulihkan”[48]. Tetapi rupanya hal itu agak sulit apalagi pada tanggal 4 April 1957 Soekarno menunjuk dirinya sebagai Formatur Kabintuget Djuanda, setelah kabinet Alisastroamidjojo II jatuh. Dan ini berlawanan dengan konstitusi. Soekarno juga membentuk Dewan Nasional yang ia ketuai sendiri yang tugasnya memberi arah bagi kebijakan pemerintah. Semua kekuatan nasional termasuk komunisme, tercermin dalam Dewan Nasional ini, yang tampaknya lebih berkuasa daripada DPR”[49]. Pemerintah yang semula otoriter, serta gagasan yang inkonstitusional semakin menjauhkan relasi antara Soekarno dan Hatta. Ketika Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, relasi itu semakin jauh. Sebagaimana dikatakan bahwa “gagasan Demokrasi Terpimpin semakin menghilangkan demokrasi dan menegakkan terpimpinnya”[50]. “Apalagi dengan dikeluarkan dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945 pada 5 Juli 1959 yang menjadikan Soekarno Presiden eksekutif. Sejak saat itu perpecahan Soekarno dan Hatta benar-benar tidak dapat diperbaiki lagi”[51]. Selama masa-masa kritis itu, Hatta tetap memberikan saran dan kritik kepada pemerintah, baik melalui tulisan atau surat kepada bekas kawan Dwitunggalnya. Tetapi tiap suratnya yang ditulis, malah tidak dibalas, bahkan tulisan berbentuk brosur Demokrasi Kita 1960 disensor dan diberangus”[52]. “Peristiwa 30 September 1965 membuat Hatta begitu sedih. Baginya peristiwa itu merupakan tanggung jawab pemerintah semasa demokrasi terpimpin”. Jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto disambut Hatta dengan harapan besar untuk kembali membangun Indonesia dengan tertib dan damai. Namun itu semua tidak terwujud. Pemerintahan Soeharto malahan membuat banyak ketimpangan terhadap demokrasi. Salah satu bentuk kekecewaannya adalah Hatta menilai negatif rancangan pembangunan lima tahun Orde Baru yang dimulai dengan tahun 1965. Rancangan meningkatkan kemampuan rakyat tertera dalam rumusan tetapi tidak dalam praktik. Pengusaha baru terutama Cina maju ke depan akhirnya para konglomerat pun naik. Hatta juga tidak menyetujui hak recall terhadap anggota DPR. Hal ini menurutnya bertentangan dengan demokrasi. Malah ia anjurkan Pemilihan Umum tidak usah diadakan kalau hak recall masih berlanjut”[53]. Pada tahun 1970, Hatta diangakat menjadi penasihat Presiden Soeharto dan penasihat Komisi Empat untuk memberantas korupsi”[54]. Sejak tahun 1976, kesehatan Hatta mulai menurun. Ia sering sakit dan daya tahan tubuhnya semakin hari semakin menurun. Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta menutup mata untuk selama-lamanya.”[55]



BAB III
PANDANGAN HATTA TENTANG DEMOKRASI

1.      Pengantar
Pada Bab sebelumnya (Bab II) saya sudah menguraikan riwayat hidup Bung Hatta, mulai dari masa kecilnya, masa-masa studi dan pergerakan, masa menjabat sebagai Wakil Presiden, berhenti menjadi Wakil Presiden, dan akhir meninggal sebagai Proklamator RI.
Sekarang saya akan masuk dalam Bab III, yang merupakan Bab inti dari karangan saya. Ada tiga pikiran utama yang akan saya bahas terkait dengan demokrasi. Pertama pengertian demokrasi. Kedua, Hatta dan demokrasi. Ketiga, sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Pada bagian pertama saya akan bahas pengertian demokrasi. Pada bagian kedua saya akan masuk dalam pembahasan mengenai prinsip dasar demokrasi, Hatta dan model demokrasi Barat, Demokrasi modern dan desa, lalu saya akan melihat demokrasi menurut Hatta dan Soekarno, sekaligus melihat debat hangat antara kedua tokoh yang dikenal sebagai dwitunggal itu. Pada bagian ketiga, saya akan bahas tentang bagaimana tantangan terhadap demokrasi itu berkembang sekaligus bagaimana mempertahankan demokrasi dalam rangka menanggapi politik Indonesia merdeka. Uraian saya pada bagian menanggapi politik Indonesia akan saya bagi menurut urutan waktu. Bagaimana dan seperti apakah bentuk tanggapan Hatta tentang demokrasi pada periode pendudukan Jepang di Indonesia, dan periode Indonesia merdeka. Apa strategi Hatta untuk menanggapi situasi politik setelah Indonesia merdeka.

2.      Hatta dan Demokrasi Barat
Sebagai seorang tokoh pergerakan yang lama hidup dan tinggal di negeri Belanda, maka tidak dapat disangkali lagi bahwa pikiran, pola berpikir dan cara bertindak Hatta pun dipengaruhi oleh lingkungan di mana Hatta pernah tinggal. Pada bagian ini saya akan menggambarkan bagaimana demokrasi Barat mempengaruhi Hatta dalam cara berpikir dan bertindak.
Menurut Hatta “Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri”[56]. Dalam tulisan itu, Hatta mau menggambarkan model demokrasi itu secara umum, maka Hatta menyinggung pula bahwa “Selain daripada demokrasi terdapat dalam dunia pemerintahan negeri yang berdasar autokrasi, yaitu orang seorang yang berkuasa, dan oligarkhi yaitu kekuasaan hanya di satu golongan kecil”[57]. Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh Monstesquie (sorang ahli Prancis) Hatta mengatakan bahwa, “Pemerintahan demokrasi tidak dapat berlaku cepat seperti pemerintahan autokrasi dan oligarkhi, karena senantiasa tidak ada mufakat antara orang banyak. Sungguh pun demikian demokrasi lebih baik daripada autokrasi atau oligarkhi, yang kemudian ini mudah menimbulkan revolusi. Dalam demokrasi tidak ada revolusi, karena rakyat memerintah diri sendiri. Kepada diri sendiri rakyat tidak dapat berontak”[58]. Demokrasi Barat sebagai demokrasi yang diminati oleh Hatta tentu bukanlah suatu demokrasi yang sama selama-lamanya. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Hatta, bahwa “adapun rupa demokrasi atau pemerintahan itu tidak sama selamanya”[59]. Demokrasi tua seperti di Athena dan di Rum berbeda dengan demokrasi sekarang yang dilahirkan di Prancis”[60]. Hal yang menjadi perbedaan mendasar adalah tidak efisien dan sulit untuk mengumpulkan massa sebegitu banyak dalam suatu tempat untuk mengadakan rapat. Hatta dalam tulisannya mengatakannya bahwa, “Demokrasi rakyat itu mustahil dilakukan oleh suatu kerajaan atau negara di zaman sekarang, karena lingkungannya amat luas dan rakyat amat banyak”[61]. Maka, Demokrasi atau pemerintahan rakyat sekarang dilakukan dengan jalan perwakilan. Rakyat yang banyak memilih wakil-wakilnya untuk bersidangdi dewan rakyat, jadinya pemerintahan rakyat sekarang dilakukan dengan perantaraan Dewan Rakyat atau Parlemen”[62]. Dengan demikian menjadi jelas bahwa parlemen merupakan penyambung suara rakyat, dan parlemenlah yang menentukan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu suara pemerintahan yang tidak disetujui oleh parlemen tentu bukan merupakan pemerintahan yang sah. Sebagaimana dikatakan oleh Hatta bahwa:
 “Suatu pemerintahan yang tidak dipercayai oleh parlemen tentu tidak dapat hidup lama, karena Dewan Rakyat dapat menewaskan dia setiap waktu dengan menerima mosi tanda tidak percaya atau enggan menolak begroting yang dipertimbangkan oleh pemerintahan kepada dia”[63].
Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa, “Jika sekiranya rakyat memilih mengutus kembali wakil-wakil lama ke dalam dewan Rakyat yang baru itu, maka ini suatu tanda bagi Pemerintah, bahwa ia mesti mundur, supaya digantikan oleh pemerintah yang baru”[64]. Oleh sebab itu menurut dasar demokrasi dasar sekarang keputusan yang paling tinggi dalam hal urusan dan pemerintahan negeri ada pada rakyat dengan perantaraan Badan Perwakilan, maka pemerintahan yang semacam itu, boleh dinamai pemerintahan rakyat. Demokrasi ialah pemerintahan Rakyat”[65]. “Menurut dasar demokrasi itu, hak rakyat untuk menetukan nasibnya tidak saja ada pada puncak pemerintah negeri, melainkan juga pada setiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah”[66]. Tiap-tiap golongan persekutuan mempunyai Badan Perwakilan sendiri. “dengan keadaan yang demikian maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri)”[67]. Keadaan seperti ini penting karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama”[68]. Lebih lanjut Hatta mengatakan bahwa:
“Inilah isi atau pokok demokrasi Barat, yang dinamai orang juga Modern Demokrasi. Rakyat memerintah diri sendiri. Rakyat memerintah diri sendiri dengan perantara badan-badan perwakilan yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri. Akan tetapi melakukan azaz-azaz demokrasi berbeda-beda dalam praktik, menurut keperluan golongan masing-masing. Sebab itu ada conservatieve demokratie, ada liberale demokratie dan ada pula sociale demokratie. Mana golongan yang kuat atau berpengaruh besar, itulah yang memberi rupa kepada demokrasi tadi”[69].
Pada saat Hatta berbicara tentang demokrasi ini, situasi di Barat berbeda dengan apa yang dicita-citakan. Kaum kapitalis sedang berkuasa di Benua Barat. Oleh sebab itu demokrasi di sana memakai rupa Kapitalisme Demokrasi. Dan cita-cita Modern demokrasi yang begitu bagus pada dasar dan azasnya tidak berlaku lagi. Modern demokrasi berkehendak, supaya rakyat dapat menetukan nasibnya sendiri! Tetapi yang demikian tidak terdapat di dalam kapitalisme demokrasi di mana kaum kapitalis yang terkecil golongannya menguasai penghidupan rakyat yang banyak. Menyimpang dari cita-cita demokrasi asli yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat. Bentuk ideal dari demokrasi Barat adalah pemerintahan yang rakyatnya dilibatkan dalam setiap keputusan. Rakyat menjadi prioritas dalam pembangunan.

3.      Demokrasi Modern dan Demokrasi Desa
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan demokrasi modern dan demokrasi desa menurut Hatta? Pada pokok ini saya akan mengulas essensi demokrasi modern dan demokrasi desa. Karena bagi saya keseluruhan bangunan pemikiran Hatta tentang demokrasi Indonesia, merupakan perpaduan antara kedua bentuk demokrasi ini. Meskipun saya dapat mengatakan bahwa kedua model demokrasi ini di satu sisi saling menegasi tetapi di sisi lain saling melengkapi.
Demokrasi modern dan demokrasi Barat adalah demokrasi yang rakyatnya memerintah dirinya sendiri. Hatta dalam karangannya mengatakan bahwa “Demokrasi modern, rakyat memerintah diri sendiri dengan perantaraan Badan-Badan Perwakilan yang  susunannya dipilih oleh rakyat sendiri”[70]. Hatta melihat justru karena rakyat mendapat tempat utama, dan keadilan menjadi orientasi perjuangan yang ingin ditegakan dalam faham demokrasi Barat, maka Hatta pun menerapkan demokrasi Barat itu di Indonesia. Dengan kematangan pengetahuan dan keluasan pengalaman, Hatta yakin bahwa, demokrasi Barat akan dapat berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sudah membiasakan diri dalam kehidupan berdemokrasi seperti nilai gotong-royong, musyawarah dan tolong menolong.
Menurut Hatta Indonesia berakar dalam pengalaman demokrasi desa dengan tiga cirinya yaitu: Rapat, tempat rakyat bermusyawarah dan mufakat, hak rakyat untuk mengadakan protes dan cita-cita tolong menolong”[71]. Oleh karena itu demokrasi desa dapat menjadi landasan bagi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Namun ada hal yang perlu di pahami bahwa, menurut Hatta, demokrasi desa tidak sama dengan demokrasi asli. Dalam satu karangan di tahun 1932, Hatta mengatakan bahwa demokrasi asli sebagai semboyan kosong tidak berisi. Karena struktur kekuasaan politik tradisional bersifat feudal, di mana rakyat hanya di pakai demi kepentingan raja.
Menanggapi pernyataan Hatta tentang demokrasi asli dan demokrasi desa. Rm.Magnis dalam suatu tulisan di Tempo menyatakan bahwa distingsi itu penting. Istilah demokrasi asli bisa memberi kesan seakan-akan di wilayah Nusantara tentu selalu feodal dan otokritis, dan rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja. Hatta sangat anti feodalisme. Ia mempersalahkan kaum ninggrat atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia sangat khawatir jangan sampai kalau Indonesia sampai merdeka kekuasaan jatuh ke dalam tangan kaum ninggrat. Dan dalam Indonesia yang merdeka seperti itu tidak berarti rakyat merdeka! Implikasinya: bicara tentang demokrasi asli bisa melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat tempat rakyat lagi-lagi tidak berdaulat. Lain halnya demokrasi desa. Demokrasi itu merupakan kenyataan dalam komunal desa, yang terdiri atas tiga hal yakni: musyawarah dan mufakat, hak rakyat untuk mengadakan protes, dan cita-cita tolong menolong. Demokrasi desa itu bagi Hatta bukan sebuah model Negara demokratis seakan-akan daripadanya bisa dibangun demokrasi yang lain daripada demokrasi Barat. Melainkan demokrasi desa merupakan medan latihan untuk mengembangkan sikap-sikap demokratis. Dalam demokrasi desa rakyat sudah biasa mengambil keputusan bersama, berkompromi, berdebat dan akhirnya mendukung mufakat, jadi untuk mengembangkan sikap-sikap yang memang diperlukan dalam demokrasi modern.
Jadi kedaulatan rakyat bagi Hatta terwujud dalam demokrasi Barat. Menurut Hatta tidak ada demokrasi politik khas Indonesia, lain daripada demokrasi-demokrasi lain di dunia. Yang menjadi masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat pada dimensi politik. Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak akan berdaulat betul-betul kecuali juga berdaulat dalam bidang ekonomi. Di sinilah terletak keterbatasan paham kedaulatan rakyat di Barat apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas, para pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah kritik paling mendasar Hatta terhadap pengertian masyarakat demokratis di Barat[72]. Bung Hatta dan Bung Karno merupakan Proklamator, mereka adalah Founding Fathers, keduanya dikenal juga dengan sebutan Dwitunggal. Semua julukan yang diberikan kepada Hatta dan Soekarno merupakan penghargaan yang patut diberikan kepada mereka. Karena Republik ini berdiri berkat ketunggalan hati kedua tokoh ini dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Saya ingin mengatakan bahwa dalam prinsip, aliran dan ideologi, Bung Hatta boleh berbeda dengan Bung Karno, tetapi hal itu tidak berlaku apabila mengenai tujuan memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Berikut ini saya akan memperlihatkan pandangan kedua tokoh ini.

3.1  Demokrasi Menurut Hatta
Gagasan Hatta tentang demokrasi mempunyai landasan yang kuat dengan budaya Indonesia. Sebagaimana Hatta sendiri mengatakan bahwa “Meskipun kaum ningrat, kaum fasis dan komunis membenci kerakyatan, dan meskipun Mustafa Kemal kembali dari demokrasi ke diktatur, namun kebangsaan dan kerakyatan kuat dan cocok dengan keperluan pergerakan Indonesia di masa sekarang”[73]. Menurut Hatta kerakyatan itu sama dengan kedaulatan rakyat, akan tetapi kedaulatan rakyat Indonesia tidak sama dengan kedaulatan rakyat Barat. Di manakah letak perbedaannya? Dengan tajam Hatta menjelaskan bahwa “Kedaulatan rakyat Barat terbatas pada dimensi politik, sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia juga memuat bidang social dna ekonomi”[74]. Lebih lanjut Hatta memaparkan bahwa “Karena demokrasi di Barat dikembangkan dalam rangka individualism seperti kelihatan dalam paham perjanjian Rousseau, maka revolusi Prancis membatasi kedaulatan rakyat pada kenegaraan dengan akibat bahwa ekonomi dikuasai oleh kaum kapitalis, yang jumlahnya sedikit, maka konsekuensi logisnya demokrasi di Barat menjadi pincang, karena kaum kapitalis yang terkecil golongannya yang menguasai kehidupan rakyat banyak jumlahnya”[75]. Sebaliknya hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Sebagaimana dalam uraian Hatta bahwa “karena masyarakat Indonesia tidak Individualistik, melainkan berdasar kepada rasa kebersamaan atau kolektivitet”[76].
Pandangan Hatta tentang demokrasi sebagaimana dilihat oleh Rm Magnis dalam bukunya bahwa “karena rakyat Indonesia berdasar kebersamaan, maka kedaulatan rakyat Indonesia juga menyangkut bidang sosial dan ekonomi, penghayatan demokratis bangsa Indonesia menurut Hatta berakar dalam pengalaman demokrasi desa dengan tiga cirinya yaitu: Rakyat, tempat rakyat bermusyawarah dan mufakat, hak rakyat untuk mengadakan protes dan cita-cita tolong menolong”[77]. Demokrasi desa dapat menjadi landasan bagi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Lebih lanjut Rm Magnis menjelaskan bahwa “Ada satu hal yang penting untkanuk memahami kedalaman keyakinan demokratis Hatta, yakni dalam satu karangan di tahun 1932, Hatta menolak istilah demokrasi asli, sebagai semboyan kosong yang tidak berisi. Karena struktur kekuasaan politik tradisional di wilayah Indonesia bersifat feodal dan autokritis, dimana rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja. Maka Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru, yang menyadarkan kembali rakyat akan kedaulatan dan harga dirinya, bentuk penolakan dan pencegahan Hatta terungkap dalam kalimatnya yang berbunyi:
“Jangan sampai kalau Indonesia sampai merdeka kekuasaan jatuh ke dalam tangan kaum ningrat, dan Indonesia yang merdeka seperti itu tidak berarti rakyat merdeka”[78].
Menurut Rm Magnis ada beberapa hal yang mencolok dari cita-cita, demokrasi Hatta. Pertama, Hatta sangat yakin akan kecocokan demokrasi bagi Indonesia. Hatta erat mengaitkannya dengan kerakyatan, dan yang akan berkuasa adalah kaum ningrat. Kedua, Hatta membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi Barat. Di manakah letak perbedaannya? Menurut Hatta bukan dalam pola demokrasi politik, seakan-akan demokrasi Barat kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Melainkan bahwa di Barat, karena individulismenya, demokrasi hanya ditegakan dalam bidang politik, tetapi tidak dalam bidang ekonomi. Bidang ekonomi negara-negara Barat dikuasai oleh kaum kapitalis, jadi tidak demokrastis, dan kekuasaan kapitalisme itu menggagalkan maksud baik demokrasi politik. Jadi Hatta tidak membedakan bentuk demokrasi politik khas Indonesia. Melainkan demokrasi Barat adalah individualik karena kebersamaan politis di dalamnya digagalkan oleh individualisme nyata dalam bidang ekonomi. Ketiga, acuan pada demokrasi desa tidak dipakai Hatta untuk mencari semacam demokrasi politik khas Indonesia, melainkan untuk memperlihatkan bahwa, pertama, cita-cita demokratis mempunyai akar kuat dalam masyarakat Indonesia; dan kedua, bahwa demokrasi di bidang politik harus dilengkapi dengan demokrasi di bidang ekonomi. Keempat, sangat mencolok semangat antifoedal Bung Hatta. sistem kekuasaan politik tradisional disebut autokritik. Kekuasaan kaum ningratlah yang menurut Hatta mempermudahkan penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan Hatta khawatir bahwa kalau semangat kedaulatan rakyat tidak dihidupkan kembali dalam masyarakat (untuk itu ia mendirikan PNI Baru). “Indonesia akan tinggal tertindas karena kekuasaan tentu jatuh ke dalam tangan kaum ningrat”[79]

3.2. Demokrasi di mata Soekarno.
Sebagai suatu alasan mengapa saya merasa penting menempatkan Soekarno dan pemikirannya tentang demokrasi dalam uraian tentang demokrasi menurut Hatta, karena Bung Hatta dan Bung Karno adalah peletak dasar bangunan negara Indonesia yang dikenal dengan nama demokrasi. Sebagaimana dengan Hatta yang melihat cita-cita demokrasi Indonesia berakar dalam tradisi desa Indonesia, demikian juga dengan Soekarno yang melihat hubungan erat antara demokrasi dan keadilan sosial”.[80]  “Akan tetapi bagi Soekarno seluruh perkembangan pola demokrasi sejak sesudah tanggal 18 Agustus 1945 merupakan perjalanan yang sesat, sederetan gelombang yang jahat.”[81] Sejak permulaan tahun 1956 Soekarno semakin menyerang adanya partai-partai dan menuntut penciptaan sistem politik baru yang sesuai dengan tradisi Indonesia, Demokrasi Barat bukan demokrasi Indonesia, melainkan demokrasi impor. Paham oposisi yang khas bagi demokrasi Barat telah menjadi sumber ketidakpastian politik. Maka Indonesia hendaknya meninggalkan demokrasi liberal dan kembali ke kepribadian Indonesia sendiri, dan hal-hal itu berarti bahwa perlu dibentuk sebuah pemerintahan gotong royong, yang berarti tidak ada tempat bagi oposisi, Kemudian Soekarno mengatakan bahwa :
"Sejak kita menanamkan gerakan nasional, lebih-lebih lagi sesudah kita memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang kita selalu gandrung kepada demokrasi dan ing in menyelenggarakan demokrasi itu, oleh k arena memang demokrasilah yang menjadi api pembakar hati kita, api pewahyu segenap tindakan kita. Tapi menurut keyakinan kita sebagai hasil  pengalaman yang sebelas tahun ini, demokrasi yang kita ambil, demokrasi yang kita pakai adalah demokrasi yang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Yaitu apa yang kita namakan demokrasi Barat, suatu demokrasi import, demokrasi yang bukan demokrasi Indonesia. Bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri.[82]

Dari uraian di atas saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Soekarno tidak begitu setuju dengan pemerintahan demokrasi model Barat. la lebih suka kalau sistem demokrasi di Indonesia tetap mengikuti  kearifan  lokal  sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia seperti semangat gotong royong dan kebersamaan.


3.3. Perdebatan Antara Hatta dan Soekarno
Pada bagian ini saya ingin memaparkan sedikit perbedaan pandangan antara Bung Hatta dan Bung Karno, karena justru dari perdebatan dan diskursus inilah akhirnya melahirkan suatu negara yang bernafaskan demokrasi. Sebagaimana saya katakan dalam kalimat-kalimat sebelumnya bahwa, Hatta dan Soekamo tidak mempunyai perbedaan yang besar dalam memahami demokrasi. Namun apakah dengan demikian berarti tidak adanya perbedaan antara keduanya? Hal yang saya mau kaji sebagai suatu yang berbeda dari kedua tokoh ini adalah bagaimana demokrasi itu ditetapkan? "Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bersidang di Pejampon, terlibat dalam debat panas;".[83]  Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis, hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan hak berserikat ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Soekarno dan Supomo menolak, sedangkan Hatta, Muhammad Yamin dan lain-lain mendukung Soekarno menolak dengan alasan: Pertama, bahwa warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu sama dengan membuka pintu bagi individualisme: "Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan individu"[84] Kedua, menurut soekarno, rakyat memerlukan keadilan sosial, padahal kebebasan-kebebasan itu tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Padahal Bung Karno sebagaimana dikomentari oleh Emil Salim bahwa "hak kemerdekaan manusia sebagai individu di satu pihak dengan hak kemerdekaan kedaulatan staat, menurut Bung Kamo, mengandung konflik yang membuat dunia di Eropa dan Amerika Serikat menjadi dunia penuh konflik dan goncangan dan pertikaian dan peperangan"[85] lebih lanjut ditegaskan bahwa "Dasar falsafah individualisme inilah yang menjadi sumber dari liberalisme ekonomi, yang kemudian memicu kelahiran kapitalisme, imperialisme dan peperangan. Oleh karena itu dengan penuh kesungguhan Bung Karno mengusulkan agar dibuang jauh-jauh paham individualisme dan ditolak masuknya kemerdekaan tiap-tiap individu yang berhak atas kemerdekaan, berhak memiliki rumah tangga, berhak bersidang dan berkumpul"[86] Sebagai konsekuensi dari penolakan faham individualisme itu maka Bung Karno menolak kedaulatan individu dan mengusulkan kedaulatan rakyat. Namun sebagaimana tanggapan dan sikap Hatta ketika menyikapi argumen yang dikemukakan oleh Bung Karno? Bung Hatta merasa perlu agar hak individu itu dimasukan dalam Undang-Undang. Hatta menyakini ini dengan mernberikan pertimbangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Emil Salim dalam artikelnya bahwa "kelemahan faham individualisme patut diberantas, namun dengan melenyapkan individualisme ini jangan sampai kita masuk mulut buaya berupa negara kekuasaan. Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara dan menjadikan Indonesia merdeka yang kita bentuk itu suatu negara kekuasaan. Karena itu Bung Hatta mengusulkan pasal mengenai hak warga negara agar jangan takut mengeluarkan suara untuk berkumpul dan bersidang.[87] Bung Hatta berpendapat bahwa kedaulatan rakyat bisa disalah gunakan oleh negara. Apabila dalam UUD kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui majelis permusyawaratan Rakyat dan kemudian menyerahkan kekuasaan kepada presiden. Sehingga sangatlah penting agar presiden tidak diberikan peluang menimbulkan negara kekuasaan. Untuk itu perlu ada jaminan yang diberikan kepada rakyat berupa hak untuk merdeka berfikir, merdeka berpendapat dalam lisan dan tulisan dan merdeka berorganisasi. "Bung Hatta mendapatkan dukungan dari Mohammad Yamin menganggap hak warga negara untuk memiliki kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dari tulisan sehingga layak memperoleh pasal tersendiri dalam UUD. Hal ini kemudian terkabul dan tersalurkan melalui pasal 28 dalam Bab X Warga Negara".[88]


4. Masa Pendudukan Jepang
Saya mengawali karangan ini dengan mengutip sebuah kalimat yang diungkapkan oleh Hatta sendiri pada pidato tanggal 8 Desember 1942. "Bagi pemuda Indonesia, saya lebih suka melihat Indonesia tenggelam dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."[89]
Pidato Hatta yang di tujukan kepada pemuda Indonesia ini mempunyai makna yang dalam. Hatta ingin memacu semangat kaum muda bahwa,di pundak kaum muda harapan akan kemerdekaan akan terwujud. Bahwa sebagai kaum muda kita tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan yang sedang terjadi,dan tidak boleh membiarkan dijajah lagi oleh kaum kolonial.
Hatta dengan sangat jeli mengatakan bahwa, janganlah kita sekali-kali menjadi budak dari bangsa asing. Perjuangkanlah kemerdekaan dan menjadi cita-cita kemerdekaan untuk Indonesia. Kalau imperialisme (Barat) menang dalam perang Timur Raya ini, niscaya Indonesia akan dijadikan jajahan kembali, dan barangkali dikembalikan pada tuannya yang sama yakni Belanda".[90]
Hatta sekali lagi ingin menyatakan bahwa jalan pembebasan untuk melepaskan diri dari imperialisme adalah harga mati untuk Indonesia. Dengan bersemanaat Hatta mengajak "Marilah kita berjuang bersama-sama, sehidup dan semati untuk kebesaran Asia, tujuan perjuangan kita lebih jauh yaitu menyempurnakan dasar kemanusiaan di atas dunia ini".[91] Hatta memperlihatkan bahwa penjajahan dalam bentuk fisik bukan hanya mengakibatkan sakitnya fisik manusia., tetapi juga merusaknya moral dan martabat manusia. Dalam perjuangan itu optimisme terhadap kemerdekaan harus menjiwai nurani manusia. Hatta ingin memperlihatkan bahwa keprihatinannya yang besar adalah kalau rakyat Indonesia kehilangan spirit dalam perjuangan pembebasan diri dari kolonialisme. Dengan semangat yang berkobar dan kerjasama yang solid Hatta yakin bahwa dimasa yang akan datang Indonesia akan menjadi bangsa yang bebas dari kolonialisme. Ketika Hatta berbicara tentang semangat kerjasama, Hatta tidak hanya mengajak rakyat Indonesia untuk menguatkan solidaritas itu, tetapi juga rakyat Indonesia harus menjalin kerjasama dengan bala tentara Dai Nippon.
Harapan Indonesia akan tanah air yang mulia dan persekutuan bangsa-bangsa sekelurga di Asia dengan dasar-dasar kemakmuran bersama hanya tercapai, apabila didapat kemenangan akhir dalam peperangan Asia Timur Raya. Sebab itu untuk mencapai kemenangan akhir, kita harus bekerja segiat-giatnya bersama-sama dengan bala tenlara Dai Nippon".[92] Hatta ingin menegaskan bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan itu perlu adanya kerjasama. Nasib suatu bangsa bergantung pada kekuatan semangat rakyatnya dan pada kernauan untuk membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada kemanusiaan, keadilan dan kemakmuran bersama.[93] "Dalam seluruh aktifitas dan perjuangan, Hatta selalu menempatkan nilai kemanusiaan pada tempat yang utama, disamping itu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat mendapat tempat yang utama, karena bagi Hatta rakyat adalah yang utama. Bukan individu atau kepentingan orang perorangan. Maka dapat dilihat bagaimana Hatta menempatkan rakyat sebagai subyek dari suatu pergerakan dan manusia lah yang menjadi tujuan dari setiap perjuangan. Rakyat Indonesia bukan rakyat yang tahu minta terima kasih saja". la juga ingin ikut berjuang mencapai cita-cita Asia Raya. Gerakan rakyat jangan dilihat sebagai gerakan rakyat untuk bersidang dan berkumpul, tetapi harus dilihat sebagai kewajiban untuk menyatukan semangat serta memperkuat tenaga rakyat, yang perlu untuk kemenangan akhir dan pembangunan masyarakat baru yang berdasarkan kemanusiaan, keadilan, dan kemakmuran. Kita bergerak melakukan pendidikan rakyat dalam segala lapisan.” [94] Dalam hal ini yang mau disoroti oleh Hatta adalah membongkar ideologi Barat yang telah mempengaruhi masyarakat Indonesia yakni ideologi berdasarkan kepada individualisme, yang mendahulukan orang perseorangan daripada rakyat kebanyakan. Hal ini tentu akan menjadi landasan yang kuat bagi Hatta membangun dalam demokrasi Indonesia kelak. Bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan kepada kerakyatan.
Ada beberapa alasan yang di kemukaJcan Hatta mengapa individualisme kurang hegitu cocok dengan masyarakat Indonesia?
1.                  Faham individualisme lebih menekankan kepada bagian-bagian daripada suatu keseluruhan. Hal ini tentu berbeda dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang memang selalu menghidupkan kebiasaan untuk berkumpul dan gotong royong.
2.                  Menurut faham individualisme.orang seorang itu yang dahulu,masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak, Jadi kesempatan masyarakat tergantung dari orang seorang yang menjadi bahan susunannya".[95]
Saya melihat bahwa Hatta terlalu kuat memegang prinsip kebersamaan karena ia melihat pada dasarnya manusia itu sudah terbiasa untuk hidup saling tolong menolong. Maka ketika dalam pemikirannya tentang ekonomi dan koperasi kita akan melihat bahwa, dasar tolong menolong dan usaha bersama itu akan menjelma menjadi koperasi. Dengan semangat dan kerjasama berdasarkan semangat gotong royong itu,maka tanggungjawab untuk membangun sebuah masyarakat yang baru adalah tanggung jawab setiap orang.
“Mendidik rakyat supaya kuat kewajibannya serta tanggung jawabnya dalam pembangunan masyarakat baru”[96] Marilah kita berusaha dengan sekuat tenaga membangun masyarakat baru serta melagukan syair yang di ciptakan oleh Rene De Clerk “Kanya satu tanah yang bernama Tanah Airku,ia makmur karena usaha dan
usaha itu adalah usahaku”[97].

4.1. Persiapan Kemerdekaan
Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan gagasan Hatta dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Kita akan melihat bahwa ada perbedaan pendapat antara Hatta dan teman-teman seperjuangannya. Lalu hal menarik yang perlu menjadi perhatian adalah dari setiap perdebatan itu ada kesepakatan dan kesatuan ide. Hatta sebagai tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia tetap memberi perhatian pada nilai kemanusiaan. Maka baginya kemerdekaan bukan hanya berarti rakyat terbebas dari tekanan fisik tetapi juga bebas dari tekanan batin.
“Pada tanggal 15 Juli 1945, sidang pleno Badan Penyidikan membahas masalah hak asasi”[98]. Pada saat itu terjadinya perdebatan Soekarno,Soepomo,dan Hatta. Untuk lebih jelas melihat seperti apa perdebatan itu terjadi dan bagaimana hasil akhimya saya akan mengutip sedikit tentang isi perdebatan para Bapa Pendiri Bangsa itu. “Pada intinya Soekarno dan Soepamo tidak menyetujui untuk menegaskan hak-hak tersebut dalam Undang-undang Dasar. Karena Soekamo Ketua Panitia Kecil tentang Undang- Undang Dasar, dan Soepomo mempunyai wibawa dalam soal-soal hukum. Alasan Soekarno dan Soepomo dalam penolakan ini ialah karena hak-hak tersebut tumbuh dengan timbulnya individualisme di Barat seperti yang diperlihatkan oleh masa-masa sekitar Revolusi Perancis.”[99]
“Tetapi Hatta menolak alasan yang dikemukakan oleh Soekarno dan Soepomo. Hatta menegaskan bahwa perjuangannya telah dua puluh tahun menentang individualisme, tetapi masalah hak-hak manusia yang penting-penting perlu dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar”[100]. Hatta mempunyai keprihatinan bahwa, kalau hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat saja tidak dijamin, mungkin terjadi (nanti) suatu bentuk negara yang tidak kita setujui. Mungkin timbul oleh kehampaan itu disiplin buta, asal ikut memimpin saja. Menurut Hatta, negara yang ingin dibangun adalah negara yang jangan menjadi negara kekuasaan.
Hatta mengatakan bahwa “Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar pada gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi disamping itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan negara baru itu suatu negara kekuasaan”.[101] Dengan alasan ini, Hatta sebenarnya tidak menyatikan bahwa hak untuk berkumpul dan bersidang adalah hak dasar setiap individu dan hak ini perlu dijamin oleh Undang-Undang. Hatta ingin mencantumkan pernyataan negara terhadap hak-hak ini “Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul diakui oleh negara dan ditentukan dengan Undang-Undang”[102]

4.2. Masa Kemerdekaan (1945-1959)
Dinamika kehidupan demokrasi Indonesia selalu mendapat tantangan. Hatta menyadari untuk dapat mengembangkan dan merawat demokrasi yang ditanamkan, maka masyarakat Indonesia harus punya komitmen untuk bersatu, dalam pidato tanggal 29 Agustus 1945 dengan tema Bulat Bersatu Menghadapi Masa Yang Genting dihadapan pemuda dan masyarakat, Bung Hatta dengan lantang mengatakan “Kita sudah menentukan nasib kita sebagai bangsa yang merdeka dan tidak mau dijajah lagi”. Komite Nasional hendaklah dimana-mana menjadi pusat persatuan rakyat, yang meliputi segala golongan dan aliran paham yang ada dalam masyarakat kita. Sebab terhadap soal yang satu yaitu, kemustian atau keharusan Indonesia merdeka tidak ada perselisihan paham sedikitpun di antara kita yang mempunyai sifat manusia dan mempunyai rasa kebangsaan Indonesia. Tentang caranya kita menyelenggarakan kemakmuran rakyat, tentang cara mencapai keadilan sosial dan tentang cara mengatur pemerintahan Indonesia, kita mungkin berbeda-beda paham. Akan tetapi tentang hak yang menjadi pokok, kemustian Indonesia merdeka, tentang ini kita seiya-sekata, bulat dalam kemauan. Sebab itu pula, maka Komite Nasional adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia, yang berdasarkan kedaulatan rakyat”[103]. “Penghidupan yang akan kita bangunkan adalah penghidupan bangsa yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kekuatan bangsa akan dalam jiwa rakyat seluruhnya Rakyat itulah tiang bangsa, dan dalam rakyat itu terhimpun segala kekuatan enaga rakyat. Semboyan perjuangan kita ialah: dengan rakyat dan untuk rakyat kita membangun. Membangunkan negara republik Indonesia.”[104]
Gagasan Hatta tentang kedaulatan rakyat merupakan bagian yang sangat penting di dalam demokrasi Indonesia. Dalam satu kesempatan pidato tanggal 12 Desember 1945, yang secara khusus ditujukan kapada kaum muda Indonesia, beliau mengatakan bahwa “pemuda boleh mendorong pemuda untuk melakukan salah satu tindakan yang patut rasanya, tetapi segala keputusan hendaklah diiakukan menurut dasar kedaulatan rakyat.
“Kedaulatan rakyat artinya: kekuasaan yang dijalankan rakyat dengan secara mufakat. Kata mufakat mestilah ada, barulah kedaulatan itu ada pada rakyat. Putusan yang diambil oleh seorang atau satu golongan saja dengan tiada persetujuan rakyat, bukanlah kedaulatan rakyat. Demikian juga kata mufakat yang dipaksakan kepada rakyat untuk melakukan tindakan yang menentukan nasib orang banyak, hendaklah diputuskan oleh orang banyak pula. Dan pemerintah yang senantiasa bertindak untuk keperluan rakyat, bertanggungjawab senantiasa kepada rakyat, langsung atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Inilah pemerintahan yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat.”[105]

4.3. Hatta Sebagai Wakil Presiden
Sebagai   wakil   presiden,   Hatta  selalu   mengedepankan   kedaulatan   rakyat Gagasan tcntang demokrasi semakin matangdan diimplementasikan dalam kehidupan praktis.
Pada bagian ini saya akan mengupas, bagaimana relasi antara Soekarno dan Hatta, sehingga keduanya disebut sebagai dwitunggal. “Kedudukan Hatta sebagai Wakil Presiden erat sekali kaitannya dengan Soekarno sebagai Presiden. Kata Dwitunggal mencerminkan hubungan dan kegiatan mereka. Mereka saling mempercayai, apa yang dilakukan oleh seseorang turut dipertanggungjawabkan oleh orang lain.”[106] Dalam hal ini menegakkan demokrasi adalah upaya yang berkesinambungan, dan butuh komitmen, sebagaimana diungkapkan oleh Hatta bahwa “dalam mengisi kemerdekaan, rakyat Indonesia perlu bekerja keras, jangan lupa tujuan bangsa kita, tidak lain dan tidak bukan adalah mencapai suatu negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, hanya Indonesia yang merdeka. berdaulat, adil dan makmur, yang bisa memuaskan bangsa kita yang telah berjuang sekian lamanya”[107].
Suasana politik sesudah Indonesia merdeka adalah suasana yang dipenuhi dengan polemik dan pertentangan. Banyak hal yang perlu dibenahi dan aneka persoalan yang perlu ditanggapi dengan sikap rasional. Hatta sebagai tokoh yang berperan dalam upaya menanggapi kemerdekaan itu. Hal ini karena perannya yang begitu penting mulai dan zaman perjuangan, dan Hatta juga tokoh yang secara langsung terlibat dalam semua proses itu. Pada pidato tahun 1948 beliau mengatakan "Ada dua tiang yang terpenting dan demokrasi Indonesia yang asli, yaitu rapat dan hak rakyat untuk mengadakan massa protes”. Apalagi kedua-dua ini dikerjakan dan dihidupkan dengan cara yang bijaksana. Maka demokrasi kita akan tumbuh dengan teratur dan akan merupakan pembentukan puhlike opmic yang berdisiplin. Dengan demikian akan menjadi kekuatan rakyat yang memberikan vitalitas kepada pembangunan negara dan masyarakat. Tetapi sebaliknya, apabila rapat dan hak rakyat untuk mengadakan massa protes itu dipengaruhi dengan hawa nafsu yang tidak terkuasai beserta dengan mempertajam segala pertentangan, maka demokrasi kita yang sedang tumbuh akan rusak dan masyarakat akan terpecah belah”.[108]
Tidak mudah memang, upaya mempertahankan kemerdekaan ternyata jauh lebih sulit dari upaya memperjuangkan kemerdekaan. Dalam kesempatan pidato kali ini, dihadapan publik dan kaum muda Pesundan (Jabar) Hatta membicarakan persoalan pendudukan wilayah Jawa Barat oleh Belanda “Saudara-saudara rakyat Pasundan, rakyat Jakarta Raya dalam pendudukan Belanda! Saya dapat merasakan kesedihan hati saudara-saudara menghadapi suasana pada waktu akhir-akhir ini”.[109]
Hal yang mau dikatakan oleh Hatta adalah bahwa saat itu, wilayah Pasundan sedang dikuasai oleh Belanda. Dan Belanda dengan taktiknya mencoba untuk membuat pemisahan supaya Jawa Barat berpisah dari republik Indonesia. [110]
Menanggapi hal di atas Hatta segera berunding dengan Soekarno dan mencoba mencari jalan keluar. Akhirnya mereka bisa membuat suatu keputusan untuk mengadakan suatu persetujuan yang disebut dengan persetujuan Renville. Dengan optimisme bahwa kemelut itu akan berakhir di meja perundingan, Hatta mengatakan “Saudara-saudara, banyak baiangkali diantara saudara-saudara yang tidak mengetahui benar maksudnya persetujuan Renville, bukan dengan maksud menyerahkan daerah-daerah kita sebagian kepada Belanda, melainkan untuk menyelesaikan persengketaan kita dengan Belanda melalui cara damai”[111]
Dalam persetujuan Renville ada jaminan, bahwa rakyat sendirilah dalam republik yang diduduki Belanda itu, yang akan menentukan nasibnya, apabila ia akan kembali ke dalam daerah Republik ataukah akan berdiri di luar Republik dengan segala kelemahan yang akan dideritanya”[112]. “Berjuanglah saudara dengan giat menuntut demokrasi yang adil, menuntut haknya rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri”[113]. Disini kita dapat melihat kegigihan seorang Hatta dalam membela demokrasi. Demokrasi menurut Hatta berarti ada jaminan akan keadilan, dan hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak boleh diperkosa oleh pihak lain. Tepatnya tanggal 17 Agustus 1948 dalam rangka 3 tahun kemerdekaan Negara republik Indonesia Bung Hatta membuat sambutan tertulis dalam majalah mimbar Indonesia, kini kita memasuki tahun ke-3 kemerdekaannya. Pada hari yang bersejarah ini semua masyarakat merayakan dengan kegembiraan, walaupun tidak disangkal bahwa di sana-sini masih ada rakyat yang menderita kelaparan, kemiskinan, sakit dan lain-lain.
Di sinilah tantangan terhadap demokrasi, sebagai seorang pemimpin bangsa Hatta ingin memberikan optimisme kepada masyarakat Indonesia. Hatta mau menunjukkan bahwa merdeka tidak berarti terlepas dari tanggungjawab untuk membangun bangsa sekalipun dalam keadaan sangat sulit. Merdeka berarti berada di tengah-tengah tantangan, dan mencari jalan keluar dari tantangan yang sedang kita hadapi. Dan Hatta menunjukkan itu. Dengan berbagai cara, baik pidato, ceramah, tulisan, maupun surat-menyurat, Hatta menempa kesadaran masyarakat supaya semakin memahami makna dan kemerdekaan dan tanggungjawab sebagai warga negara yang merdeka. Dalam tulisannya di mimbar kali ini Hatta menegaskan bahwa:

”Dasar kedaulatan rakyat adalah untuk melaksanakan pcmcrintahan ncgcri dengan tujuan supaya tercapai persaudaraan sebagai orang sckeluarga di antara rakyat Indonesia seluruhnya, dan tercapai keadilan serta kcsejahteraan dan kemakmuran hidup”[114]
“Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada di tangan rakyat, dilakukan dengan jalan bermusyawarah. Mempunyai kekuasaan berarti pula menerima tanggungjawab yang sepadan dengan kekuasaan yang diperoleh. Oleh karena itu rakyat seluruhnya bertanggungjawab atas nasibnya. Baik atau buruk nasib kita ada di tangan rakyat”[115] selanjutnya beliau menegaskan bahwa “Kedaulatan rakyat disebut juga demokrasi, tetapi demokrasi kita berlainan coraknya dengan demokrasi Barat, yang terbatas pada demokrasi politik. Cita-cita demokrasi kita lebih luas. la tidak saja demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar negeri republik Indonesia, pasal 33 yang berbunyi: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. [116]
“Dengan adanya demokrasi ekonomi barulah dapat dijamin adanya keadilan sosial, yang menjadi tiang kelima negara Republik Indonesia. Keadilan sosial menghendaki kemakrnuran yang merata ke seluruh rakyat yang berdasarkan cita-cita kemerdekaan yang keempat dari almarhum Roosevelt,  freedom from want yaitu bebas dan kesengsaraan hidup.[117]
Sudah kita tahun lebih bangsa Indonesia merdeka, namun cobaan yang dialami masyarakat semakin besar. Guna menanggapi situasi sosial yang sedang terjadi di tanah air misalnya: “Kekurangan bahan makanan, timbulnya bahaya perusak dan dalam, paham dan keyakinan mendapat ujian. Semuanya itu adalah cobaan untuk merdeka”.[118] Maka dalam pidatonya Bung Hatta menegaskan kembali essensi dari demokrasi. “Negara Republik Indonesia berdasar kepada demokrasi, dan kewajiban kita semua ialah memupuk demokrasi kita yang sedang tumbuh itu. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi kembangnya demokrasi daripada diktatur yang disorongkan oleh satu partai atau golongan, sekalipun partai atau golongan itu adalah golongan yang terbesar”[119] . “Demokrasi itu hidup dengan semangat sportif, satu sama lain harus toleran, sabar dan saling menghargai paham dan pendirian yang berlainan. Hasutan dan fitnah harus hilang. Sebab itu, betapa juga beda paham dalam politik dan taktik, percaya mempercayai harus ada dan diperkuat. Perjuangan rakyat tetap kita tegakan dengan persatuan kita”[120]. Komitmen Hatta pada penegasan tentang demokrasi diulangi lagi.
“Demokrasi sering disebut pemerintahan rakyat. Agaknya lebih tepat apa yang dikatakan oleh pujangga besar Thorbeke dengan adagiumnya yang begitu tersohor, bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan daripada yng diperintah. Rakyat menerima perintah, akan tetapi pemerintahan yang didasarkan atas kemauan rakyat. Dalam pemerintahan demokrasi rakyatlah pada akhirnya yang bertanggungjawab untuk menentukan nasibnya bukan saja dalam hal menentukan nasibnya sebagai bangsa yang bertanggungjawab, melainkan juga dalam hal-hal yang mengenai urusan hidup serta perbaikan nasibnya sehari-hari. Hanya apabila rakyat merasakan senantiasa tanggungjawabnya tentang urusan hidup bersama, barulah hidup demokrasi. Karena itu, maka adalah kewajiban mutlak bagi kita bersama untuk menghidupkan demokrasi yang sedang tumbuh sekarang dalam kalangan rakyat”.[121]
“Demokrasi adalah dasar hidup bangsa kita”. Kewajiban kita sekarang ialah menumbuhkan demokrasi yang sudah ada rumpunnya itu menjadi pohon yang rindang, sehigga dapat memenuhi tuntutan hidup bangsa kita di masa sekarang dan masa yang akan datang[122]. Nasibnya adalah dalam tangannya sendiri, rakyat berani mempertahankan dan membela kemerdekaannya.[123]

5. Hatta dan Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957)
Gonjang-ganjing pemerintahan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka mendapat banyak tantangan. Pada sub tema ini saya akan membahas bagaimana Indonesia di zaman demokrasi parlementer dan bagaimana Hatta berperan di dalamnya. Ada beberapa pergolakan yang terjadi di masa demokrasi perlementer yaitu: peralihan dari negara serikat atau federasi ke negara kesatuan, bagaimana posisi Hatta dalam negara kesatuan 1950, dan sebagai wakil Presiden Konstitusional 1950?

5.1. Hatta Dalam Negara Kesatuan
Sebagai pengawal hati nurani rakyat dan sebagai pemimpin rasional, Hatta sangat hati-hati dalam mengambil setiap keputusan. Sebelum mengambil keputusan Hatta selalu memikirkan secara matang, jangan sampai keputusan yang diambilnya membawa akibat yang kurang baik terhadap masyarakat secara khusus dan bangsa pada umumnya, atau jangan sampai keputusan itu mencederai demokrasi yang sedang dibangunnya. Dan bagaimanakah sikap Hatta dalam menentukan bentuk negara? Posisi Hatta sangat jelas. Hatta tidak hanya mengajarkan bagaimana bentuk negara yang cocok dengan Indonesia dalam pidato dan ceramah tetapi lebih dari itu Hatta menunjukkan dalam tindakan konkret. Perilakunya sangat demokratis. Sebagaimana saya akan uraikan dalam kalimat berikut bahwa “Hatta adalah pribadi yang terkenal sebagai seorang yang lebih menyukai federasi daripacta negara kesatuan untuk negara seperti negara Indonesia”. Tetapi ia juga tidak bersikeras dalam pendiriannya, dan bersedia mengikuti pendapat terbanyak yaitu negara kesatuan[124]. Dalam keputusan yang diambil, saya dapat melihat dengan jelas bahwa prinsip menghargai pendapat terbanyak dari masyarakat sangat kuat melekat dalam pribadi Hatta. dan ini merupakan prinsip demokrasi yang mau dikembangkannya.

5.2. Sebagai Wakil Presiden Konstitusional
“Pada tanggal 17 agustus  1950, RIS resmi dinyatakan sebagai negara kesatuan kembali, dengan nama yang sudah dipaterikan pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Hatta dipilih kembali sebagai wakil Presiden Republik Indonesia.[125] Pada masa itu pula Hatta berhenti sebagai Wakil Presiden.

6. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada masa demokrasi terpimpin, tantangan terhadap demokrasi semakin besar. Perjuangan Hatta untuk menegakan demokrasi pun semakin gencar dilakukan. Pada bagian ini saya akan menjelaskan sedikit beberapa peristiwa yang merupakan tantangan terhadap demokrasi Indonesia. Ada hal yang menarik yang diungkapkan oleh Hatta ketika beliau melihat bahwa korupsi sedang merajalela di Indonesia. Dengan nada lantang beliau mengatkan bahwa “Salah satu sebab penting apa sebabnya saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden adalah karena korupsi merajalela”[126] Namun ada hal yang perlu dicatat bahwa “Berhentinya Hatta sebagai Wakil Presiden membawa pengaruh yang tidak terduga sebelumnya”[127] “Daerah terutama di Sumatera dan Sulawesi meningkatkan tuntutannya, malah ada yang memisahkan diri dari pusat. Seperti Sumatera Utara di bawah pimpinan Panglima Militer Kolonel M. Simbolon”[128]. Pada masa-masa kritis semacam itu juga, komitmen Hatta tentang demokrasi tetap ditunjukan. Hal ini dapat dilihat bagaimana gagasan Hatta tentang demokrasi itu, ingin dikembangkan. Lebih lanjut Hatta mengatakan bahwa, “Sekarang tiap-tiap orang berlomba-lomba menyebut dirinya sosialis, dan katanya mau membantu melaksanakan sosialisme Indonesia. Tapi saya sangsi apakah mereka tahu apa sosialisme dan syarat-syarat ekonomi untuk melaksanakan suatu sosialisme! Kemudian Hatta menyambungnya dengan berkata menjilat dan mengambil muka itulah yang dijadikan dasar hidup sekarang, sehingga karakter hilang sama sekali. Manusia yang berkarakter terpaksa berdiam diri.
Pada kesempatan lain ia berkata, “Negeri kita sudah jadi negeri totaliter, dan negeri seperti mi menghidupkan manusia penjilat, pendusta dan korup. Hanya negara demokrasi yang sebenar-benarnya demokrasi yang melahirkan manusia yang berani membela kebenaian. Dan demokrasi janganlah disamakan dengan liberalisme. Sungguh pun liberalisme yang mula-mula mendorong timbulnya demokrasi”[129].  Mengutip apa yang dikatakan oleh Deliar Noer, “dalam menilai demokrasi, Hatta sependapat dengan Soekarno bahwa, demokrasi Barat tidak sesuai dengan Indonesia”[130]. Namun dalam penjabaran bagaimana demokrasi yang cocok untuk Indonesia itu disusun, Hatta berbeda dengan Soekarno”[131]. Contoh  yang  dapat  dilihat  adalah  bagaimana  reaksi   Soekarno  dengan
berdirinya banyak partai. “Dalam bulan Oktober 1956, pada upacara peringatan Sumpah Pemuda,   Soekarno   mengecam  berdirinya  banyak  partai   di Indonesia yang  katanya disebabkan oleh maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945. Maklumat ini merupakan salah satu kesalahan besar yang pernah dibuat. Oleh sebab itu ia menganjurkan agar partai-partai dikuburkan secara bersama-sama para pemimpinnya.[132]. Pendapat Deliar Noer tentang pertentangan ini sebagaimana dikutip dalam bukunya bahwa “Hatta tidak melihat maklumat ini sebagai penyebab kesulitan kepartaian di Indonesia. Bukan karena dirinya yang menandatangani maklumat itu, maka dengan kritis Hatta mengatakan bahwa "isi maklumat itu sendiri merupakan akibat dari sistem dan demokrasi yang dianut”[133]. Menurut Hatta, apa yang dilakukan ban yak partai pada tahun 1950 an tidak sesuai dengan maksud makluma 3 Novenber 1945tadi. Maklumat tersebut menghendaki partai-partai yang sedang bertangguigjawab atas kesejahteraan rakyat pada umumnya, bukan partai-partai yang memikirkan dan bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Dengan keras Hatta berkata:
“Tiap-tiap golongan yang bekejar-kejar mencari rejeki. Golongan sendiri yang dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme, dalam praktik dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat dapat belajar merasakan tanggungjawabnya pemangku negara dan anggota masyarakat partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”[134].
Lalu bagaimana dengan konsep musyawarah dalam negara demokrasi? Berikut ini saya akan uraikan bagaimana musyawarah dalam gagasan Hatta. dalam rangka mencari bentuk dan sifat demokrasi yang sesuai dengan Indonesia, Hatta dapat menyetujui musyawarah, tetapi menolak sistem mufakat. Musyawarah memang mutlak. Cara-cara ingin meriang sendiri, sikap otoritas atau diktatorial, tetapi mufakat merupakan cara mengambil keputusan tanpa seseorang atau beberapa orang menunjukkan perbedaannya. Karena itu, mufakat mudah dilaksanakan di desa-desa, tetapi tidak pada pusat-pusat pemerintahan kerajaan”[135]. Hatta cenderung pada sistem mufakat, namun menurut Hatta sistem nuisyawarah pada tradisi Indonesia perlu diterapkan dalam badan-badan perwakilan, dan ini membedakan demokrasi yang diinginkannya dengan demokrasi Barat yang individualistis. Sebaliknya dalam sistem totaliter, mufakat bisa terjadi, tetapi ini juga berlawanan dengan demokrasi asli Indonesia. Dalam rezim totaliter, musyawarah tidak berlangsung.
“Di dalam masyarakat yang demokratis, seperti di Indonesia, mentalitet orang seorang berlainan dari dalam masyarakat individualis. Dalam negara tindakan dan menyatakan pendapatnya, ia terutama dikemudikan oleh kepentingan umum. Dalam keselamatan semuanya terletak kepentingan dirinya. Sebab itu pada dasarnya mencapai kata sepakat lebih mudah. Sungguhpun orang seorang dalam pikirannya dan dalam tindakannya keluar terikat kepada cita-cita kepentingan umum, ia bukan objek semata-mata daripada kolektivitet, seperti yang berlaku dalam negara totaliter. la tetap subjek yang mempunyai kemauan, merdeka bergerak untuk mengadakan diferensiasi. Dalam perikatan masyarakat ia tetap mempunyai cita-cita, mempunyai pikiran mencapai keselamatan umum”[136]
Dalam perkembangan selanjutnya, ide Hatta tentang demokrasi yang berkembang saat itu sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer bahwa “Hatta menilai apa yang berkembang di Indonesia pada tahun 1950an menjurus pada semangat liberal demokrasi, padahal yang dicita-citakan adalah kolektivisme”[137]. Membangun demokrasi, di tengah-tengah situasi politik setelah Indonesia merdeka, tentu bukan tidak mudah. Hatta sendiri menyadari itu, dan Hatta tentu tidak tinggal diam. Baginya demokrasi harus tetap ditegakkan, meskipun kita harus menderita sakit.
Pada bagian ini, saya akan mengupas sedikit bagaimana reaksi Hatta ketika Soekarno menangkap beberapa orang tokoh Indonesia yang tidak sepaham aliran politiknya atau yang tidak dapat menerima kebijaksanaan Soekarno. Kegelisahan hati Hatta terungkap dalam suratnya kepada Soekarno sebagai berikut. “Kegelisahan bermula dengan penangkapan beberapa orang dokter di Jakarta dan Bogor atas laporan yang bukan-bukan, bahwa mereka tidak masuk dalam suatu komplot bikinan Belanda untuk membunuh saudara. Malahan juga seorang pegawai yang kerjanya terutama memimpin masuk kepolisian, saudara Sudjasmin, ditangkap. Mereka itu dimasukan ke dalam tahanan begitu saja, seolah-olah negara kita bukan negara hukum, melainkan negara kekuasaan semata-mata. Di antaranya orang-orang yang tidak pernah berpolitik dan orang pensiunan yang sudah berumur 70 tahun”[138]. Ketika Hatta mengkaitkan peristiwa ini dengan Pancasila yang Soekarno dianggap penggalinya. Maka dengan nada kesal Hatta mengungkapkan bahwa: Kita selalu mengembor-gemborkan bahwa negara kita berdasarkan pancasila, tetapi dimana keadilan, peri-kemanusiaan, demokrasi yang sebenamya. Adakah demokrasi, kalau orang rata-rata merasa takut, harus tutup mulut, kritik tidak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berlaku leluasa.
Upaya menegakkan demokrasi merupakan upaya yang berkesinambungan. Hatta sebagai Founding Father merasa mempunyai kewajiban untuk itu. Pada pidato tang gal 27 September 1955, beliau mengatakan bahwa "Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, dua hari lagi tanggal 29 September yang akan datang saudara-saudara akan melakukan suatu tugas yang penting dalam sejarah tanah air kita. Saudara-saudara akan memilih wakil saudara yang akan duduk nanti di parlemen yang baru, sebagai wakil rakyat seluruh Indonesia.[139]
Dengan Pemilihan Umum tanggal 29 September yang akan datang ini, bangsa kita meiakukan suatu langka yang tegas ke arah penyempumaan demokrasi kita. Pemerintahan negara yang hams berdasarkan demokrasi, masih jauh dan sempurna. Pemerintahan demokrasi berarti pemerintahan rakyat, rakyat memerintah dirinya sendiri dengan Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilihnya sendiri dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada dewan perwakilan itu”[140]. Undang- Undang Dasar (UUD sementara 1950) negara kita dalam pasal 1 menyebut bahwa, Republik Indonesia Merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan rakyat, jadi tangan saudara-saudara sendiri dan dilakukan oleh pemerintahan bersama-sama dengan DPR. Selanjutnya pada tanggal 11 Oktober 1957 di hadapan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen, Hatta sekali lagi menyinggung soal demokrasi di Indonesia sebagai suatu anasir yang penting lagi di dalam dasar Indonesia yang asli ialah demokrasi kolektif. “Segala hal mengenai hidup bersama dan keperluan sedesa dibicarakan di dalam rapat desa dan diputuskan dengan kata mufakat. Musyawarah dan mufakat beserta usaha gotong royong adalah inti demokrasi asli Indonesia”[141]. “Demokrasi asli Indonesia tidaklah pincang seperti demokrasi Barat. Demokrasi asli Indonesia mengandung di dalamnya pelaksanaan cita-cita demokrasi politik dan ekonomi, pendek kata demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial.
Pada tanggal 25 Mei 1974 Hatta memberikan sambutan pada musyawarah besar perintis kemerdekaan. Dengan judul, Tegakkan Demokrasi dan Keadilan, Hatta mempertegas lagi bahwa, menjaga dan merawat demokrasi yang sudah ditumbuhkan bukanlah pekerjaan mudah. Hatta mengalami bahwa upaya mengisi kemerdekaan jauh lebih berat daripada upaya memperjuangkan kemerdekaan. Sebagaimana Hatta mengatakan bahwa ”tujuan kita adalah Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Indonesia merdeka sudah kita miliki, sekarang hanya tinggal kita teruskan kepada generasi muda untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”[142]
“Dan sekarangpun kita sudah tidak aktif lagi dalam bidang politik, tetapi antara kita harus menunjukan sifat kita akan menegakkan keadilan, menegakkan demokrasi”[143]. Hal-hal yang sederhana yang ingin ditunjukkan oleh Hatta dalam berdemokrasi misalnya: sikap saling menghargai, dan jangan mau menang sendiri. Sebagaimana diungkapkan bahwa: “Dalam musyawarah haruslah bertindak demokrasi, jangan mempunyai sifat menang sendiri”[144]. “Dan dengan bermusyawarah secara demokratis kita akan sampai pada garis lurus cita-cita untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”[145]
Itulah   seorang   Hatta,   negerinya   tidak   boleh   dibiarkan   tetap   berada   dalam keterpurukan. Berbagai upaya akan tetap dilakukan guna mengatasi krisis yang sedang terjadi. Seluruh gambaran tentang keprihatinan bangsa adalah keprihatinan Hatta.

7. Rangkuman
Selelah melihat panjang lebar demokrasi menurut Hatta, dasar pemikiran Hatta tentang demokrasi, upaya mempertahankan dan menumbuhkan demokrasi. Maka pada bagian ini saya akan membuat sedikit rangkuman tentang keseluruhan gagasan itu

Seluruh bangunan pemikiran Hatta tentang demokrasi adalah suatu proses yang berjalan dalam proses untuk menjadi. Hal ini saya katakan karena saya melihat dan memahami bahwa demokrasi yang digagas oleh Hatta dalam perjalanannya berupaya untuk menyempurnakan diri, dan ditempa dengan berbagai cobaan.
Hatta menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia bukan demokrasi model Barat, tetapi Hatta juga mengakui bahwa demokrasi Barat memberikan pengaruh untuk perkembangan demokrasi Indonesia. Demokrasi Barat memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memerintah diri sendiri dengan perantaraan badan-badan perwakilan, yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri. Demokrasi Barat memberikan jaminan kepada rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang menentukan jalannya pemerintahan. Karena komitmen kepada keadilan, kesejahteraan dan rakyat menjadi subjek dalam pembangunan, maka Hatta pun menerapkan demokrasi Barat itu di Indonesia. Kata kunci Hatta dalam menjelaskan tentang demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat. Karena dalam demokrasi Indonesia kedaulatan rakyat adalah mutlak. Namun perlu dilihat bahwa ada distingsi yang tegas antara kedaulatan rakyat Barat dengan kedaulatan rakyat Indonesia Kedaulatan rakyat Barat terbatas pada dimensi politik, sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia juga memuat bidang sosial dan ekonomi.
Perjalanan demokrasi Indonesia ibarat perahu layar yang terkadang lancar karena anginnya sepoi-sepoi, namun terkadang perahu demokrasi Indonesia mengalami cobaan karena aiigin yang terlalu kencang. Debat hangat antara Bung Hatta dan Bung Karno merupakai pertanda bahwa demokrasi sedang dalam perjalanan menuju kematangan. Polemik kedua tokoh yang dikenal dengan dwirunggal itu perlu menjadi bahan refleksi untuk para penggiat demokrasi Indonesia. Terutama adalah kebesaran hati seorang Soekamo dalam menerima masukan dari Hatta dan kebebasan individu itu perlu mendapat tempat dalam masyarakat dan kalau perlu hak ini dimasukan dalam Undang-undang. Bung Kamo yang dalam perdebatan itu dikisahkan sebagai individu yang kokoh mempertahankan idenya supaya kedaulatan individu ditolak dan diganti dengan kedaulatan rakyat akhirnya menerima masukan Hatta.
Dalam berbagai kesempatan Hatta selalu mengajak segenap masyarakat Indonesia terus memperjuangkan tegaknya demokrasi. Bahkan ketika demokrasi Indonesia mengalami cobaan dari Jepang, Hatta dengan tegas mengatakan bahwa ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada mempunyai sebagai jajahan orang kembali. Setelah Indonesia merdeka, upaya Hatta untuk menanggapi politik Indonesia merdeka dengan payung demokrasi terus dijalankan. Upaya pengembangan demokrasi lebih disahkan pada peningkatan partisipasi rakyat dalam mengisi pembangunan, pengembangan kedaulatan rakyat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Peran serta rakyat menjadi prioritas, rakyat adalah penentu kebijakan pemerintah.
Demokrasi dalam kabinet-kabinet, ternyata kabinet yang dibentuk tidak serta merta menciptakan iklim demokrasi yang baik. Sekiranya hal itu terjadi pada saat Indonesia mengalanii masa demokrasi Presidensil. Ujian terhadap demokrasi yang digagas oleh Hatta semakin menguat, tetapi hal itu tidak melemahkan semangat Hatta untuk terus bersuara bahwa demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat harus tetap menjadi perhatian. Pendudukan pasukan Belanda terhadap wilayah Pasundan yang menuntut supaya Pasundan memisahkan diri dari Negara Indonesia merupakan cobaan berat bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Namun Hatta sekali lagi membuktikan bahwa hak rakyat untuk menentul.an nasibnya adalah yang pertama. Maka ia segera mengajak pada masyarakat untuk terus berjuang menuntut demokrasi yang adil dan menetukan pilihan hidupnya sendiri. Goncangan maha dasyat terhadap demokrasi terjadi pada waktu Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden RI. Ketika Bung Karno menerapkan sistem pemerintahan Presidensil, Hatta melihat bahwa pemerintahan yang sedang dijalankan Bung Kamo lelah keluar dari jalur demokrasi. Wilayah Sumareta Utara mulai meningkatkan tuntutannya untuk memisahkan diri dari pusat. Bagi Hatta persoalan semacam ini merupakan ancaman terhadap demokrasi. Selanjutnya sebagai akibat dari sistem demokrasi yang dianut, Hatta menilai bahwa sistem liberal demokrasi semakin berkembang, padahal cita-cita Hatta adalah kolektivisme. Gangguan terhadap demokrasi juga terjadi misalnya, pada tahun 1957, pengangkatan Soekarno oleh Soekarno sebagai formator kabinet, dan pembubaran konstituante pada bulan Juli 1959 bersamaan dilakukan dengan pendekritan UUD 1945. Semua cobaan terhadap demokrasi menjadi warna dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Semakin besar cobaan, Hatta semakin menunjukan komitmennya. Bahwa cobaan terhadap demokrasi adalah proses perjalanan menuju kematangan demokrasi. Pada akhirnya dihadapan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen Hatta kembali menegaskan bahwa demokrasi kolektif adalah demokrasi asli Indonesia, maka segala hal menyangkut kepentugan bersama harus didiskusikan dan dicari kata mufakat. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa: tujuan kita adalah Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Indonesia merdeka sudah kita miliki, sekarang hanya tinggal kita teruskan kepada generasi muda untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Itulah sedikit rangkuman tentang keseluruhan Bab ini. Pada Bab berikutnya saya akan menulis tentang relevansi pemikiran Hatta tentang demokrasi dengan situasi politik Indonesia.
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN HATTA
1. Pengantar
Pada Bab sebelumnya (Bab III), saya telah menguraikan pandangan Hatta tentang demokrasi. Maka pada Bab ini saya akan mengajak kita untuk melihat bagaimana relevansi pemikiran Hatta tentang demokrasi dengan situasi politik sekarang.
Saya akan menguraikan bagian relevansi ini dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Pertama saya akan memaparkan gagasan-gagasan Hatta tentang demokrasi. Kedua, saya akan mengajak kita melihat beberapa tantangan yang terjadi selama proses perjalanan demokrasi, dan khususnya saya akan membahas pada masa Orde Baru dan akhimya pada bagian yang Ketiga, saya akan mengajak kita melihat apakah pemikiran-pemikiran Hatta itu masih relevan dengan situasi politik Indonesia sekarang.


2. Gagasan Hatta Tentang Demokrasi
Ada beberapa gagasan penting yang menjadi substansi pemikiran Hatta tentang demokrasi:
* Menurut Hatta “Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri”[146].
Esensi dari gagasan Hatta tentang demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Hal yang ditekankan oleh Hatta bahwa otoritas tertinggi dalam pemerintahan berada di tangan rakyat. Rakyat menjadi pengendali berjalannya pemerintahan. Demokrasi yang mau dikembangkan oleh Hatta di Indonesia adalah demokrasi Barat atau yang biasa dikenal dengan nama moderen demokrasi. Isi pokok demokrasi Barat adalah rakyat memerintah diri serdiri dengan perantaraan Badan-badan perwakilan yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri.
Namun apakah dengan wewenang tertinggi berada di tangan rakyat berarti pemerititahan berjalan tan pa ada tantangan? Berikut ini saya akan memperlihatkan beberapa tantangan yang terjadi dalam proses perjalanan demokrasi.
Pada saat Hatta berbicara tentang demokrasi ini situasi di Barat berbeda dengan apa yang dicita-citakan. Kaum kapitalis sedang berkuasa di dunia Barat, kaum kapitalis yang merupakan golongan terkecil menguasai perekonomian. Pada tataran ini, konsep demokrasi yang didta-citakan oleh Hatta justru mengalami cobaan. Cita-cita yang ingin dibangun berdasarkan kedaulatan rakyat justru dikalahkan oleh sekelompok kecil yang menguasai perekonomian. Contoh ini sebagai bukti bahwa demokrasi yang dicita-citakan oleh Hatta mengalami cobaan. Demokrasi bukan lagi sebagai pemerintahan yang dipimpin oleh rakyat, melainkan pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang.

3. Tantangan Demokrasi Pada Zaman Orde Baru
Lalu bagaimana penerapan sistem demokrasi pada zaman Orde Baru? Ada beberapa tantangan yang terjadi dalam proses demokrasi “Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960- an menandai tumbuhnya harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokratisasi. Harapan akan tumbuhnya demokrasi di awal Orde Baru dimiliki tidak saja oleh kalangan elite politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, namun juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Studi Francois Raillon menunjukkan bahwa para mahasiswa di kampus-kampus pada saat itu, memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik baru yang lebih segar dan demokratis”[147]. Harapan serupa juga diungkapkan oleh Hatta”[148] . Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang memiliki dasar-dasar argumen empirik yang memadai, setidaknya menyangkut tiga hal berikut. Pertama, berbeda dengan Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Kedua, rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperhatikan adanya gagasan Daniel Bell yang sangat popular saat itu. Yaitu: "formulasi kebijakan-kebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan ideologi, melainkan kepada para teknokrat yang ahli [149].
Perluasan dan reorientasi dalam rekrutmen politik yang mengintegrasikan kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan mi dianggap mengindikasikan akan terjadinya suatu reorientasi politik di kalangan penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang , waktu itu dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrasi ke dalam struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja Negara Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga lebih mementingkan proses politik yang bottom up dan lebih berorientasi kepada publik. Ketiga, sejalan dengan dasar empirik kedua di atas, mas a awal Orde Baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam Negara dan masyarakat. Tiga pusat kekuasaan Orde Lama-yaitu Presiden, Militer (Khususnya Angkatan Darat) dan PKI-digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru: militerdan teknokrasi serta kemudian birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik kemasyarakatan yang selama masa Orde Lama terhambat aktualisasinya juga muncul kembali kepermukaan Sekalipun militer menjadi pilar utama kekuasaan, namun kekuatan-kekuatan egalitar juga tumbuh saat itu, dan kemudian dikenali sebagai terjadinya “bulan madu” yang singkat antara negara dengan kekuatan-kekuatan kemasyarakatan Orde Baru.
Ketiga dasar empirik di atas, sekalipun masih bersifat tentatif, namun dalam masa itu (Masa Orde Baru) amatlah memadai untuk menjadi alasan tumbuhnya harapan demokratsasi. Lalu, bagaimanakah raut wajah demokrasi Orde Baru dalam kenyataan kemudian? Apakah harapan tersebut tidak hanya menepuk angin?
Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi sesaat atau kontemporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Masa ini dikenal sebagai “bulan madu negara dengan masyarakat”, atau disebut oleh Mochtar Lubis sebagai “musim semi kebebasan”[150]. “Namun prototype demokrasi itu segera mengabur ketika bulan madu negara masyarakat juga mulai menghambar dan berakhir. Titik akhirnya adalah kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 dengan memperoleh suara mayoritas 62,8 %”.[151] Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi militer memperoleh legitimasi politik kcnkret melalui kemenangan ini, dan segera melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat inilah kesenjangan antara negara dan masyarakat mulai terbentuk, ditandai oleh maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja negara Orcie Baru dan kebijakannya, dan berpuncak pada terjadinya Malapetaka Lima Belas Jannari ( Malari ). Para analis politik melihat kecenderungan pengetahuan regulasi ekonomi clan politik yang dilakukan Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan Orde Lama, serta oleh kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini kemudian diterjemahkan oleh Orde Baru dengan lebih mengembangkan model rekayasa politik daripada model partisipatif “[152]
Perkembangan yang terlihat kemudian adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkaran kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini adalah hasil penjumlahan dari berbiigai faktor : 1) Kemenangan mutlak demi kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yang makin kuat kepada negara; 2) Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi, depolitisasi dan institusionalisasi; 3) Dipakainya pendekatan keamanan; 4) Intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasan kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; 5) Tersedianya sumber pembiayaan pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas non migas dan pajak domestik, maupun yang berasal dari bantuan luar negeri, dan akhirnya 6) Sukses negara Orde Baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensial muncul karena sebab struktural.
Dalam kerangka ini, raut wajah demokrasi Orde Baru bukanlah sebuah raut wajah yang segar. Orde Baru sukses dalam pemacuan pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, namun sebagai biaya sosialnya, pemerataan dan pembangunan demokrasi tidak berhasil dicapai secara mengesankan"[153]. Orde Baru ternyata bukan menjadi Orde yang membawa pembaharuan, tetapi lebih dari itu Orde Baru adalah Orde yang membawa sejumlah peristiwa memilukan. Orde Baru membuat wajah Indonesia semakin suram masa depannya. Sebagaimana dikatakan oleh Kasiyanto bahwa “Orde Baru membawa RI mengahadapi krisis monoter, ekonomi dan politik yang makin gawat. Pemiskinan dan PHK makin meningkat dan mencekik rakyat. Beberapa pejabat Bulog menyelewengkan sembako yang seharusnya untuk menanggulangi krisis. Beberapa pengusaha bank malah menyelewengkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI), usul-usul redistribusi aset merebak dan kebanyakan berlatar belakang ingin menjarah secara halus. Semua itu menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Orde Baru baik yang menyangkut bidang keamanan, politik, ekonomi dan keuangan memang sungguh-sungguh sudah tidak berdaya. Kabinet dan sistem pemerintahan Orde Baru hakekatnya sudah gagal total”[154]


4. Kedauiatan Rakyat Gagal
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menggariskan: Kedauiatan di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apakah ketentuan ini sudah tercapai?
Dengan tegas kita bisa menjawab : sama sekali belum tercapai sebab kenyataannya dari 1000 orang anggota MPR yang ABRI, pejabat pemerintah, utusan daerah dan golongan. Dari kelompok ini, yang semula dianggap hasil pilihan rakyat adalah pemimpim “golongan”. Tetapi ternyata “pemimpin golongan” ini proses pengangkatannya sering dicampuri pemerintah atau paling sedikit dimandulkan segi demokrasinya dengan suatu “penunjukan” pemerintah itu. Artinya pihak pemerintah bisa memilih mana pemimpin golongan yang sealiran atau mendukung pemerintah”[155]. Lalu bagaimana dengan anggota DPR? Anggota DPR ( 50 % anggota MPR ) ternyata juga tidak sepenuhnya pilihan rakyat, sebab kenyataannya rakyat bukan memilih wakil rakyat. Jika indikasinya seperti yang telah tertulis di atas, maka akan muncul pertanyaan. Di manakah model representasi dalam demokrasi sebagaimana yang dicita-citakan oleh Hatta. Bukankah anggota Dewan adalah orang-orsrig pilihan rakyat? Maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa rakyat menjadi pionir dalam memilih Wakilnya untuk duduk di Dewan.
Tapi kenyataan justru berbeda dari apa yang dicita-citakan oleh Hatta. Pemilihan anggota Dewan dengan ditunjuk oleh sekelompok orang, apalagi dengan motif politik, merupakitn praktik kecurangan dan pelanggaran terhadap proses demokrasi itu sendiri. Dengan berlandaskan pada kenyataan ini, maka saya dapat mengatakan bahwa proses demokrasi pada zaman Orde Baru memasung proses kedaulatan rakyat. Rakyat dibuat tidak berdaulat Hak rakyat untuk menentukan pilihannya pun dibatasi. Hal lain yang ingin saya katakan adalah bahwa, terpasungnya kedaulatan rakyat ini lalu ditutupi dengan istilah musyawarah dan kesepakatan bulat. Ini semua petunjuk bahwa kedaulatan itu belum terlaksana dengan benar, sebab belum bisa mengakumulasikan pendapat rakyat, pilihan rakyat maupun keinginan rakyat.
Sebagai akibat dari lemahnya sistem pemilihan Wakil rakyat yang menyimpang dari cita-cita Hatta, maka dampak lain yang muncul sebagaimana dikatakan oleh MJ.Kasiyanto bahwa "Korupsi, kolusi dan nepotisme akan merajalela di lembaga perwakilan rakyat. Sehingga produk kader bangsa di bidang wakil rakyat juga amburadul. Yang diusahakan bukan bagaimana menyuarakan keinginan rakyat yang diwakili namun bagaimana bisa menempel lengket seperti perangko pada para pemimpin pemerintah, DPR, atau organisasi politiknya supaya kedudukannya sebagai wakil rakyat itu bisa lestari”[156]
Dengan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme maka tidak dapat dipungkiri pula bahwa, cita-cita keadilan sosial dan pemerataan ekonomi tidak bisa dipenuhi dengan baik. Hak warga untuk mendapatkan kesejahteraan justru telah disempitkan dan disalahgjnakan oleh Wakil rakyat hasil pilihan rakyat.
Maka sebagai kesimpulan bisa dikatakan bahwa Orde Baru gagal dalam mewujudkan cita-cita Hatta.
* Hatta juga memberi tekanan bahwa demokrasi Indonesia berakar dalam pengalarnan desa dengan tiga cirinya yaitu: Rapat, Hak rakyat untuk mengadakan protes, dan Cita-cita tolong-menolong.
Hatta tentu mempunyai suatu keyakinan bahwa, Rapat, hak mengadakan protes,dan cita-cita tolong-menolong adalah bagian integral dari cita-cita demokrasinya. Dan Hatta ingin agar benih yang ditanamkan itu dapat berkembang sesuai dengan cita-citanya. Namun kenyataan yang terjadi justru berbeda jauh dari cita-citanya itu. Pada zaman Orde Baru, rapat rnemang sering dilakukan. Tetapi rapat yang diselenggarakan tidak lebih sebagai suatu ajang persekongkolan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan. Sementara hak untuk mengadakan protes lebih banyak dikebiri oleh pemerintahan di bawah kendali tunggal Presiden Soeharto. Sebagai contoh, M. J. Kasiyanto, dalam bukunya mengatakan bahwa “Bahkan di kalangan mass media pun terjadi pembunuhan ide itu, kalau ada karangan yang mengkritik atau ada usul yang melawan sistem penguasa segera tulisan itu disingkirkan”.[157]. Adnan Buyung Nasution dalam tulisannya mengatakan bahwa “Pers dan media layaknya koor yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerimah. Suara sumbang dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembreidelan. Kehidupan kepolitikan dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan demokrasi seolah-olah. Lawan-lawan politik dan ideologis penguasa diberi stigma sebagai musuh negara dan diperlakukan layaknya sebagai warga negara kelas dua. Batas-batas ditentukan dengan ketat dan upaya untuk melampauinya akan digolongkan sebagai tmdakan subversif. Pendetnya Orde Baru telah melucuti hak-hak individu warga negara.”[158] Kenyataan yang terjadi mi merupakan peristiwa matinya demokrasi, Kenyataan adanya larangan untuk mengkntik melalui mass media adalah bukti bahwa pemerintahan Orde Baru menghambat berjalarmya proses demokrasi. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan cita-cita demokrasi Hatta. Karena beliau sangat menekankan tentang kebebasan bersuara dan berekspresi. Karena hal ini merupakan hak pokok yang dimiliki setiap manusia.
* Hatta juga mengatakan bahwa kedaulatan rakyat akan terwujud dalam demokrasi Barat. Narnun hal yang perlu dibedakan adalah bahwa kedaulatan di Barat terbatas pada bidang politik sementara kedaulatan di Indonesia mencakup bidang politik dan ekonomi. Selanjutnya Hatta memberi penekanan bahwa bentuk perekonomian yang cocok dengan Indonesia adalah koperasi.
Saya mengawali bagian ini dengan suatu pertanyaan sederhana. Apakah Bangsa Indonesia mengalami kedaulatan dalam bidang politik dan ekonomi pada zaman Orde Baru?. Sayamencoba menggali uraian bagian ini dengan melihat pada penerapan Undang-undang Politik zaman Orde Baru.
Orde Baru telah meluncurkan beberapa undang-undang yang mengatur kehidupan politik RI misalnya UU Susunan dan Kedudukan DPR dan MPR, UU Organisasi massa, UU Pemilu, UU Pokok Pers dan lain-lain yang semuanya bersumber dalam rangka melaksanakan UUD 45. Sayang kajian UUD1945 ini menunjukkan bahwa UUD ini gampang dimaniputir. Maka banyaknya manipulasi atas pelaksanaan UUD 45 inilah yang menyebalkan UU politik itu hakekatnya malahan mematikan demokrasi.
Kasiyanto dalam bukunya mengatakan bahwa "Contoh UU Pemilu yang menentukan bahwa pemilih hanya mencoblos tanda gambar yang disediakan maka hakekatnya wakil rakyat, anggota DPR dan MPR itu bukan dipilih oleh rakyat namun dipilih oleh pengurus Partai dan Golkar. Jadi, kalau para pengurus Golkar dan partai bermain KKN maka hasilnya antara lain satu keluarga bisa menjadi anggota DPR dan MPR (suami-isteri, anak-anak, adik, keponakan, dan lain-lain)"[159]. Sementara dalam bidang ekonomi, sebagaimana dikatakan oleh Sjahrir bahwa. "Dalam proses perubahan sifat dan karaktenstik suatu perencanaan di masa Soeharto, tidak pernah ada tanda-tanda sedikitpun bahwa pikiran Mohammad Hatta pernah secara sungguh-sungguh dipertimbangkan, kendati para teknokrat pada awalnya amat berkuasa. Dari awal, seluruh proses kebijaksanaan ekonorni menggunakan proses yang mengutamakan besarnya peranan bantuan luar negeri sebagairnana itu diawali dengan penjadualan utang pemerintah Indonesia melalui International Monetary Fund (IMF)."[160].
Dari kenyataan yang dialami oleh bangsa Indonesia baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi, saya bisa mengambarkan suatu kesimpulan bahwa penerapan sistem demokrasi politik dan ekonomi "sesuai dengan cita-cita Hatta pada massa Orde Baru belum terlaksana dengan baik.

5. Relevankah Pemikiran Hatta dalam Konteks Kekinian
Bung Hatta adalah pejuang besar bagi bangsa Indonesia, founding fathers, dan peletak dasar ekonomi kerakyatan yang kemudian lahirlah Koperasi di Indonesia.
Namun seiring perjalanan bangsa, hiruk pikuk percaturan politik dan polemik multi krisis yang dialami bangsa ini, masih adakah pemikiran-pemikiran beliau yang relevan untuk republik yang “akut” dalam konteks gagasan dan nilai-nilai kebangsaan. Mungkinkah penyakit bangsa ini bertambah dengan penyakit “lupa” atau penyakit itu benar-benar “akut”. Bung Hatta adalah tokoh yang berani menolak saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan. Sebuah kenyataan yang sulit untuk bisa kita lihat pada bapak dan ibu kita masa kini.
Kalau saya masuk dalam alam pemikiran, maka pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah pemikiran Hatta masih relevan dengan situasi politik Indonesia sekarang ini? Untuk bisa melihat secara jelas dan menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, maka bagian ini, saya akan memperlihatkan wajah terkini Indonesia, kemudian memperbandingkan dengan pemikiran-pemikiran Hatta. Tentu saya akan membahas dan menunjukkan cita-cita Hatta dan realitas yang terjadi. Persolalan relevan dan tidak relevan tergantung pada subjek yang menilai. Bahwa pembaca boleh berbeda pendapat dengan penulis, atau pembaca setuju dengan penulis. Itu merupakan persoalan subjek. Dalam salah satu karangannya di tahun 1957 Hatta menulis demikian:
"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya, krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka periulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi pcnyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib."[161]
Setelah saya membaca, mencermati dan mencoba untuk memahami sepenggalan kalimat Hatta di atas, maka saya dapat menemukan sebuah pengertian baru bahwa: gagasan Hatta yang ditulis pada tahun 1957 adalah suatu bentuk keprihatinan. Hatta merasakan bahwa secara formal konstitusipnal bangsa Indonesia telah merdeka tetapi hal itu belum cukup. Karena bangsa Indonesia belum merasakan hakekat kebebasan dan kemerdekaan itu sendiri. Misalnya bebas dari tekanan, bebas dari kemiskinan, knsis makanan, pakaian, perumahan, bebas dari perilaku korupsi para pemimpin bangsa, intinya bebas dan perilaku pengkhianatan terhadap sendi-sendi pokok demokrasi.
Kalau kita membaca kembali sepak terjang seorang Hatta dalam masa-masa perjuangan menegakan demokrasi tentu akan membantu kita dalam memahami sejauh mana komitmen Hatta dalam menegakan demokrasi itu sendiri. Hatta adalah pribadi yang sangat konsisten. la sangat konsisten dalam kata dan perilaku. la adalah pribadi yang berbicara banyak tentang demokrasi dan melakukan atau mewujudkan apa yang dibicarakan.
Semua gagasan Hatta yang saya cantumkan di atas masih sangat relevan dengan situasi bangsa Indonesia sekarang ini. Hanya hal yang perlu saya tekankan adalah bahwa, pemahaman orang akan nilai-nilai, dan cita-cita demokrasi Hatta masih sebatas pada teori. Oleh karena itu, sekiranya tidak terlalu mengherankan apabila terjadi banyak penyimpangan dalam proses perjalanan demokrasi. Di dalam demokrasi rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi atau rakyat yang memerintah diri sendiri. Apakah situasi politik bidonesia sekarang masih relevan dengan konsep ini?
Saya tidak bermaksud untuk menuduh siapa yang paling bertanggungjawab terhadap keruhnya situasi politik Indonesia sekarang ini, tetapi lebih dari itu sebagai suatu bentuk otokritik dari anak bangsa yang tidak tega melihat bangsanya dililit oleh berbagai krisis. Maka atas dasar itu saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa, pemerintah kita sekarang berjalan tidak sesuai dengan konsep demokrasi yang dicita-citakan oleh Hatta. Sebagai contoh, dalam bidang politik, banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Rakyat menjadi korban dan kekuasaan. Daulat rakyat diubah menjadi daulat pemerintah. Pada konteks semacam ini, saya dapat melihat bahwa esensi politik untuk rakyat telah dibelokan menjadi politik untuk penguasa. Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh Dony Kleden bahwa : "Bung Hatta adalah pemimpin inspirasi bagi politisi yang mau berpihak kepada rakyat, bukan pada diri kelompok atau golongan tertentu. Komitmennya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat menjadikannya sebagai pemimpin dan pahlawan besar dalam sejarah Indonesia. la mundur dari wakil Presiden saat merasa posisi itu tidak membuatnya mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bung Hatta mewariskan ketulusan politik untuk membangun suatu bangsa."[162]
Dalam suatu diskusi bertemakan "Refleksi 63 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Problema dan Solusinya." pada tanggal 20 Juli 2008, Kwik Kian Gie, tokoh cendikiawan Budha Indonesia berkomentar sebagai berikut "Hingga memasuki usia ke-63 tahun kemerdekaan Indonesia, kondisi rakyat dan bangsa justru semakin terpuruk dalam berbagai bidang demokratisasi yang dilakukan sejak sepuluh tahun lalu justru membuat bangsa mi makm kehilangan kedaulatannya dalam politik, ekonomi dan budaya. Dalam bidang politik, pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat justru secara nyata mengkhianati kepercayaan yang diberikan rakyat. Kebijakan yang dibuat pemerintah yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat kenyataannya justru semakin menyengsarakan rakyat. Dalam bidang ekonomi, sebagian besar aset dan potensi ekonomi bangsa telah diserahkan kepada pihak asing.
Jika membuka catatan sejarah, sebelum tahun 1932 Bung Hatta mencetuskan sitilah “Kedaulatan Rakyat” yang pada saat itu dikenal dengan Volkssouvereiniteit. Istilah tersebut dimuat secara tegas oleh majalah Daulat Rakyat. Konsep ini berbeda dengan paham serupa di dunia Barat yang hanyalah memberikan ruang pengertian demokrasi politik semata. Kedaulatan Rakyat versi Bung Hatta melihat demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi di dalamnya. Dimana kedaulatan rakyat di Indonesia bersumber dari sifat-sifat dan sikap hidup bangsa Indonesia sendiri. Menjelang Indonesia merdeka, konsep Kedaulatan Rakyat kembali dipertegas oleh Bung Hatta. “kalau Indonesia sampai merdeka, mestilah ia menjadi Kerajaan Rakyat, berdasarkan kemauan rakyat”. Asas kerakyatan ini mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum (recht, peraturan-peraturan negeri) wajib berpegang pada keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralaskan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan segala jenis manusia yang beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Pendeknya cara mengatur Pemerintahan Negara, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau golongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat. Inilah dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi, keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak. Begitu indahnya jika satu konsep pemikiran ini bisa tertular dalam benak pengambil kebijakan di negeri ini. Mungkin perubahan zaman, terlebih di masa multikrisis seperti ini, sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Masih sulit untuk dimengerti ketika masih ada pejabat tinggi negara yang mau-maunya menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi semata. Perbedaan perlakuan pemerintahan terhadap para pemodal besar dan investor asing dengan para pengusaha kecil dan lokal, pengusiran dan penggusuran pedagang kaki lima tanpa ada solusi yang pasti semakin memperjelas hilangnya rasa toleransi dan rusaknya tatanan demokrasi ekonomi yang dicita-citakan Bung Hatta. Beliau lebih memilih untuk menyusun strategi, melakukan negosiasi dan menulis berbagai artikel bahkan kritikan pedas untuk memperjuangkan nasib bangsa daripada melawan menggunakan kekerasan. Berpacunya kehendak untuk memiliki kebebasan tanpa batas dan keinginan mematikan arti suatu kritik pada orang lain mengakibatkan perbedaan pendapat lebih dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima. Putusnya harapan terhadap demokrasi karena penyelewengan terhadap fungsi demokrasi mengakibatkan kegagalan terciptanya pemerintahan yang kuat dan efektif. Hancurnya perekonomian sebagai akibat carut-marutnya birokrasi, kekerasan dan intimidasi berkepanjangan disertai dengan kurangnya dukungan terhadap penjual kecil dan keberpihakan pada pemilik modal besar menyebabkan sulit berkembangnya usaha kecil dan bertambah kompleksnya masalah di Indonesia. Kemampuan untuk meletakkan dasar-dasar pemikiran layaknya Hatta mulai jarang ditemukan, bahkan konsep ekonomi rakyat yang diusung oleh Bung Hatta yang kemudian secara formalnya termaktub dalam UUD 1945 dalam pasal 33 mulai bergoyang. Bung Hatta berpendapat, kemandirian ekonomi suatu bangsa hanya akan dapat tercapai apabila seluruh mesin kegiatan ekonomi digerakkan oleh kekuatan rakyat yang ke semua itu sangat relevan da terulang kembali di masa sekarang. Dimana kapitalis dan sosialis muncul dengan baju baru tetapi tetap dengan paradigma yang sama. Baik kiranya menjaga pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang ternyata masih relevan dengan situasi saat ini. Dan alangkah lebih baiknya semangat dan pemikiran tersebut kita gelorakan kembali.
6. Rangkuman
Demikianlah sekilas tentang relevansi pemikiran Hatta dengan situasi politik Indonesia sekarang. Ada begitu banyak kenyataan pelik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Semua yang kita hadapi merupakan tantangan terhadap demokrasi yang sedang kita jalani. Pada bab terkahir yakni Bab V, saya akan membuat rangkuman dari seluruh isi skripsi saya.


BAB V
PENUTUP

Uraian pada Bab-bab sebelumnya, misalnya pada Bab II menielaskar bagaimana riwayat hidup Hatta, sosok politik dan jejak awal perjalanan politiknya. Pada bab itu saya mencoba mengajak kita untuk melihat secara utuh pergulatan, petualangan dan dasar perjuangan Hatta untuk membebaskan Indonesia, membangun, mengarahkan cita-cita dan hasrat untuk membentuk Indonesia menjadi suatu negara yang demokrasi. Selanjutnya pada Bab III, uraian saya mengerucut pada esensi dasar pemikiran Hatta tentang demokrasi. Di situ saya memperlihatkan apa sebenarnya demokrasi menurut Hatta, dan sedikit menyinggung sepak terjang perjalanan demokrasi. Kemudian pada Bab IV, saya menjelaskan tentang relevansi pemikiran Hatta, fokus uraian bab ini lebih pada melihat relevansi pemikiran Hatta dengan situasi Indonesia. Apakah pemikiran-pemikiran Hatta masih memberi warna pada iklim demokrasi Indonesia? Seperti apa aktualisasi demokrasi Hatta pada zaman Orde Baru? Bentuk-bentuk penyimpangan demokrasi seperti apa yang terjadi dalam proses perjalanan demokrasi? Dan seperti apakah wajah demokrasi Indonesia dalam konteks kekinian? Lalu yang terakhir adalah Bab V, bab ini merupakan bab penutup dari seluruh karangan saya.
Apa yang dapat saya simpulkan dari seluruh uraian tentang demokrasi
menurut Hatta? Menurut saya ada beberapa hal yang dapat dilihat sebagai kesimpulan menyeluruh demokrasi Hatta.
Menurut Hatta, demokrasi adalah "pemerintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri. Esensi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat dan rakyat adalah/pemegang otontas tertmggi dalam pemerintahan. Demokrasi yang hendak droangun di Indonesia adalah demokrasi Barat atau yang biasa dikenal dengan moderen demokrasi. Ciri khas dari moderen demokrasi adalah rakyat dilibatkan dalam pemerintahan, misalnya: dalam rapat atau musyawarah. Namun konsep ini perlu dilihat.
Dengan kondisi geografis, bentuk pemerintahan dan juga jumlah penduduk. Dengan demikian dalam konteks Indonesia Hatta cenderung menjalankan sistem demkrasi dengan sistem perwakilan. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di dewan. Kinerja kerja para dewan dikontrol oleh rakyat. Disini jelas bahwa, kalau rakyat melihat dan mengalami bahwa pemerintah tidak berjalan dengan baik, misalnya: memberi jaminan kesejahteraan, membela yang lemah dan terpinggirkan, maka pemerintah itu harus mundur. Karena rakyat merasa bahwa suara mereka tidak didengarkan dan kepentingan mereka tidak terwakilkan. Rakyat bisa mengajukan mosi tidak percaya, tanda rakyat tidak percaya pada dewan terpilih yang sedang memegang jabatan.
Namun demikian, pertanyaan yang ingin saya ajukan apakah selama ini praktik demokrasi seperti tersebut di atas berjalan baik? Bukankah kenyataan justru sebaliknya?
Kenyataan yang dapat kita lihat adalah demokrasi modern pun pincang karena substansinya, yakni dari rakyat kebanyakan untuk rakyat telah dibelokan menjadi dari kelompokan kecil rakyat untuk sekelompok rakyat kecil pula. Hatta juga memberi penekanan bahwa, meskipun Indonesia mengadopsi demokrasi Barat untuk diterapkan di Indonesia, teatapi hal itu tidak berarti Indonesia tidak mempuyai demokrasi sendiri. Semangat gotong royong masyarakat dan hak rakyat untuk mengadakan protes adalah cermin dari demokrasi. Musyawarah dan hak untuk mengadakan protes adalah cermin dari demokrasi. Pada saat orang diberi kebebasan untuk protes dan berpendapat, pada saat itu pula ia menjalankan substansi dasar dari demokrasi. Dan itulah ciri khas dari demokrasi Indonesia.
Ada hal lain yang perlu dilihat yakni, ketika Hatta berbicara demokrasi Barat dan Indonesia, Hatta sangat jeli untuk melihatnya. Determinasi yang tegas dibuat oleh Hatta adalah bahwa Barat membatasi diri pada dimensi politik, sementara Indonesia menerapkan demokrasi baik dalam politik maupun dalam ekonomi. Disinilah Hatta melihat perbedaan itu menjadi tegas. Demokrasi di Barat juga dikembangkan dalam rangka individualisme, maka sebagai akibatnya ekonomi dikuasai oleh kaum kapital yang sedikit jumlahnya. Maka konsekuensinya jelas, demokrasi di Barat pincang karena hanya segelintir orang yang menguasai ekonomi. Lebih lanjut Hatta menegaskan mengapa paham individualisme kuarang begitu cocok dengan Indonesia? Ada beberapa alasan pokok:
·      Karena faham individualisme lebih menekankan pada individu atau bagian daripada keseluruhan.
·      Karena faham individualisme memprioritaskan pada orang perorangan dan mengabaikan masyarakat kebanyakan, maka hal ini sangat berlawanan dengan substansi demokrasi, yakni dari rakyat untuk rakyat.
Karena konsistensi Hatta dalam membangun Indonesia yang berdemokrasi, maka dimensi yang dikembangkan pun berpedoman pada semangat kebersamaan. Dalam bidang ekonomi, Hatta menekankan agar ekonomi disusun atas dasar koperasi, dan semangat kekeluargaan. Apakah semua gagasan dan cita-cita Hatta masih relevan dan terwujud dalam konteks demokrasi di Indonesia? Pada bagian ini saya tidak ingin menguraikan secara panjang lebar, bagaimana pemahaman akan demokrasi dan bagaimana demokrasi itu dijalankan di Indonesia, namun saya hanya mau mempertegas kembali beberapa hal yang kelihatan sangat menonjol berkaitan dengan praktik demokrasi itu sendiri.
Secara umum, saya mengatakan bahwa demokrasi Hatta masih relevan dengan situasi politik bangsa Indonesia saat ini, dalam konteks ini saya perlu membuat suatu pertanyaan tegas bahwa di satu sisi demokrasi Hatta dijalankan tetapi di lain sisi ada kegagalan atau tantangan selalu saja kita hadapi. Dalam kaitan dengan ini, saya pun tentu ingin mengatakan bahwa demokrasi Hatta itu belum dipahami oleh sebagian besar warga Indonesia. Baik itu pemahaman dalam arti memahami cita-cita teoritis Hatta maupun pemahaman itu terwujud dalam tindakan. Dengan demikian berarti bahwa, sebenarnya kita tidak gagal total dalam menjalankan demokrasi Hatta. Saya mengambil contoh sederhana, bahwa masyarakat Indonesia di kampung-kampung sering mengadakan gotong royong dalam pembangunan rumah, atau dalam kerja bhakti, masyarakat Indonesia sering mengadakan rapat untuk mengambil suatu keputusan. Namun di sisi lain, praktik kecurangan dan penyimpangan terhadap demokrasi juga terjadi pada level yang lain. Misalnya ada musyawarah dan mufakat yang terjadi tidak diimbangi dengan ketajaman atau kejernihan dalam berpikir. Musyawarah atau mufakat mengabaikan kebenaran hakiki. Orang tidak lagi mengutamakan nilai kebenaran itu sendiri melainkan atas dasar kepentingan golongan atau kelompok. Di sinilah letak kegagalan demokrasi yang mau dibangun.
Pada bagian terakhir tetapi bukan berarti tidak penting saya mau mengajukan sebuah pertanyaan reflektif untuk direfleksikan bersama. Jika kita ingin membangun demokrasi di Indonesia maka mari mencermati dan menjadikan cita-cita demokrasi Hatta, tidak sebatas pada tataran teoritik tetapi harus melampaui tataran teoritik, formalitas, dan seremonial. Membumikan teori ke dalam praktik. Dan mempraktikan dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian gagasan Hatta tentang demokrasi akan tetap relevan, baik untuk zaman sekarang maupun untuk zaman yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
PUSTAKA PRIMER
(1)      Noer, Deliar, 1990, Biografi Politik Mohammad Hatta, Jakarta, LP3ES.
(2)     Noer, Deliar, 2002, Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, Jakarta: Penerbit Djambatan.

PUSTAKA SEKUNDER
(3)     Fatah, Saefulloh, 2000, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
(4)     Hatta, Mohammad, 1953, Kumpulan Karangan Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang.
(5)     Hatta, Mohammad, 1981, Kumpulan Pidato, Jakarta, Yayasan Idayu.
(6)     Ingleson, Jhon, 1975, Perhimpunan Indonesia And the Indonesian Nationalist Movement, Melbourne: Monash University.
(7)     Imran, Amrin, 1981, Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia biasa, Jakarta Mutiara.
(8)     Kasiyanto, J.M. 1999, Mengapa Orde Baru Gagal?, Jakarta, Yayasan Tri Mawar.
(9)     Magnis – Suseno Franz, 1995, Mencari Sosok Demokrasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
(10) Risalah Sidang BPUPKI 1992
(11) Swasono, Edi, 1980, Bung Hatta kita Dalam Pandangan Masyarakat, Jakarta: Yayasan Idayu.
(12) Salim, Emil, 2002, Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Kompas.
(13) Sjahrir, 2002, Ideal, Tapi Masih Relevankah, Jakarta: Kompas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

KILAS BALIK MASYARAKAT BORUK TANA BOJANG