PEMIKIRAN DASAR DEMOKRASI
ABSTRAK
Demokrasi modern, Demokrasi desa,
Kedaulatan rakyat Musyawarah, Sistem Perwakilan, Individualisme, Kolektivisme,
Federasi.
(E). Wajah demokrasi Indonesia
tercoreng, “dilucuti”, direkayasa, dan dimanipulasi. Kenyataan ini menggetarkan
nurani pada sebuah pertanyaan. Mengapa bangsa yang terbentuk dari figur-figur
demokrat justru lepas dari kendali demokrasi? Dengan bercermin pada Hatta
sebagai “Kompas” berdemokrasi saya ingin mengatakan bahwa, di tengah era
kegelisahan dan keresahan, pemikiran demokrasi Hatta masih sangat relevan untuk
kita. Hatta telah menjadi “Kompas” bagaimana cara berdemokrasi dan peranan
rakyat dalam berdemokrasi.
(F). Daftar Acuan: 13 (1953-2008)
(G). Prof. Dr. Franz Magnis Suseno.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Tempora mutantur et nos
mutamur in ilid. Waktu
berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Demikianlah pepatah Latin kuno yang
mau menggambarkan waktu sebagai entitas yang berjalan linear, aktualitas dan
kekinian manusia berjalan dalam realitas perubahan itu. Demikian juga kalau
saya mau berbicara tentang demokrasi menurut Bung Hatta. Apakah cetusan hati
demokrasi Bung Hatta masih relevan di era kegelisahan ini? Atau demokrasi Hatta
merupakan simbol, slogan atau bahkan kata yang sudah lama “dimuseumkan”?.
Demokrasi menurut Hatta, bukan
sekedar slogan penuh makna, tetapi lebih dari itu adalah kata penuh daya.
Demokrasi Hatta berdaya karena berakar dari nafas suara rakyat dan bukan suara
penguasa. Demokrasi Hatta adalah demokrasi yang mempunyai keberpihakkan pada
kaum lemah, miskin, dan kaum tak bersuara. Demokrasi Hatta adalah demokrasi
yang menekankan kedaulatan rakyat.
Semua yang saya gambarkan di atas
adalah cita-cita ideal Hatta sekaligus pergulatan, perjuangan, untuk membentuk
kerangka bangunan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdemokrasi. Namun
perasaan kegelisahan dan keprihatinan menyaksikan tercorengnya wajah demokrasi
Indonesia membuat saya terpanggil untuk menelaah problem yang sedang mendera
bangsa ini.
Ada fakta bahwa, cita-cita demokrasi
Hatta sering disempitkan menjadi cita-cita para pencari kekuasaan. Misalnya
saya akan mengulasnya dalam zaman Orde Baru, kedaulatan rakyat dimanipulasi
menjadi kedaulatan pemerintah dan penguasa, musyawarah mufakat dibelokkan
menjadi musyawarah demi kepentingan kelompok tertentu. Kebebasan berekspresi,
berpendapat, dan berorganisasi tidak mendapatkan tempat di masyarakat dan di
hati para pemimpin.
2.
Pokok Permasalahan
Demokrasi kita ibarat telur di ujung
tanduk, demokrasi kita stagnan, demokrasi kita degradasi. Itulah ungkapan yang
coba saya gambarkan ketika melihat fenomena hidup berdemokrasi kita di zaman
ini. Ungkapan-ungkapan ini juga menjadi keprihatinan terdalam saya, ketika
melihat dan mengalami sendiri bahwa bangsa Indonesia mengalami begitu banyak
cacat dalam pola hidup berdemokrasi. Lalu pertanyaan reflektif yang bisa
diajukan adalah : Apakah masih relevan berbicara tentang demokrasi Indonesia
ketika esensi demokrasi belum dapat dipahami secara baik dan benar, baik itu
dalam kata maupun dalam tindakan? Apakah masih relevan berbicara tentang
kedaulatan rakyat, ketika hak rakyat “dikebiri”, dipasung, atau bahkan
dimatikan oleh pemerintah dan penguasa?
Mencermati fenomena konkrit, bahwa
demokrasi kita telah “dilucuti dan dilacuri”, menjadi kurang berupa, maka
sebagai anak bangsa yang sedang berada dalam kekaraman perahu demokrasi itu,
saya dengan segala kekonyolan memberanikan diri mengupas demokrasi menurut Bung
Hatta.
3.
Tujuan Penulisan
Skripisi ini ditulis dengan tujuan,
mencari dan memahami dasar pemikiran Hatta tentang demokrasi, demokrasi menurut
Hatta tantangan dan perkembangan dari waktu ke waktu mulai dari zaman sebelum
kemerdekaan sampai dengan zaman sesudah kemerdekaan. Dan relevansi pemikiran
Hatta diterapkan pada situasi politik Indonesia.
4.
Metode Penulisan
Skripsi ini ditulis dan diolah
berdasarkan penelitian kepustakaan, saya mencari referensi dari tulisan-tulisan
Bung Hatta, pidato-pidato Hatta, dan juga tulisan-tulisan pribadi, pemikiran
visi dan misi Bung Hatta. Semua tulisan yang diambil merupakan suatu kumpulan
pemikiran Hatta sejak masa perjuangan, entah itu dalam masa-masa sulit
membebaskan diri dari kaum kolonial, kemudian beralih ke masa kemerdekaan, dan
masa mengisi kemerdekaan.
5.
Sistematisasi Penulisan
Skripsi ini terbagi dalam 5 Bab. Bab
I Pendahuluan, yang menjelaskan sekilas seluk beluk penulisan. Bab II Sosok
Politik Bung Hatta, yang menguraikan riwayat Hatta dan sedikit dasar pemikiran
Hatta. Bab III merupakan bab inti karangan saya yang membahas secara mendalam
keseluruhan pemikiran Hatta tentang demokrasi. Pada Bab IV, saya mengupas
tentang relevansi pandangan Hatta diterapkan dalam situasi politik Indonesia.
Dan Bab V merupakan Bab Penutup yang berisi rangkuman dari seluruh isi skripsi.
BAB II
RIWAYAT HIDUP HATTA
1.
Pengantar
Pada Bab ini, saya akan masuk dalam
uraian tentang riwayat hidup Hatta, dan sosok politik Hatta. Pada setiap sub
tema saya akan menggambarkan sepak terjang Hatta dalam pergulatan di
organisasi-organisasi kecil, kisah awal waktu di Sekolah MULO Padang. Kemudian
beralih ke Jakarta dan menjadi pengurus JSB (Jong Sumatera Bond), ketika Ia
bersekolah di Belanda, kembali ke Indonesia, mengalami masa-masa di penjara,
menjadi Wakil Presiden dan berhenti dari Wakil Presiden.
Nomen est Omen, nama mempunyai arti
atau identitas, sebutan Hatta adalah historisitas dari sebuah kultur Minang.
Menelusuri historisitas pemberian nama Hatta maka kita akan menemukan bahwa,
nama asli Hatta bukanlah Hatta. Beliau dilahirkan dengan nama “Attar” yang
berarti parfum, sufi yang disegani, yaitu Faridudin Al Aththar. Pola pengucapan
Minangkabau mengubah suara nama anak lelaki itu, dan dengan nama Hatta, anak
lelaki Haji Djamil dikenal sepanjang hayatnya”[1].
Sebuah pertanyaan substansial yang muncul ketika memasuki biografis Hatta
adalah : factor apa saja yang membentuk pribadi dan kehidupan Hatta? Dimensi
sosiologis seperti apa yang menggugah Hatta sehingga Hatta tumbuh sebagai A Man
For Others?. Lingkungan geografis seperti apa yang menempa Hatta menjadi
pribadi yang kukuh dalam pendirian dan tegas dalam keputusan? Dan factor
antropologis apa yang menjadi magnet kehidupan Hatta, sehingga Ia terlahir
dalam perpaduan harmonis antara kehidupan agama dan masyarakat?
Ketika saya mengarungi samudra
pemikiran Hatta, mencari ontology dari sebuah bangunan genealogi Hatta, maka
saya dapat menyimpulkan bahwa, eksistensi dan spiritualitas kehidupan seseorang
dalam masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sosialisasi yang dialami.
Kebertemuannya dengan masyarakat
dalam lingkungan Minang, Batavia, dan Belanda, kedisiplinannya dan ketekunannya
dalam sekolah serta kesalehannya, kejujurannya yang diperoleh dari keluarga
menjadi kepingan-kepingan mutiara kehidupan yang akhirnya membentuk sebuah
desaignkehidupan yang utuh. Mozaik yang tetap dikenang yakni Hatta Sang
Proklamator. Keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat merupakan
instrument-instrumen yang membentuk, membina dan menumbuhkan Hatta, ia
bertumbuh dalam nilai-nilai dan ia hidup dengan nilai-nilai itu.
Seperti yang saya gambarkan tadi,
bahwa Hatta bermula dari keluarga sebagai sekolah utama kehidupan kemudia ia
bersosialisasi dengan lingkungan sekolah yang mendidiknya. Di lingkungan
sekolah Hatta menyadari bahwa hanya dan melalui pendidikan seseorang akan
merdeka, dan di sana pula karakter seseorang dibentuk, dan setelah itu ketika ia terjun dalam lingkungan masyarakat
ia mensosialisasikan nilai-nilai yang telah dipelajarinya baik di keluarga
maupun di sekolah. Di lingkungan
masyarakat seseorang akan berinterksi dengan komunitas kehidupan yang lebih
luas, ia akan bergaul dengan beranekaragam orang. Ia akan berinteraksi dengan
orang dalam suatu organisasi, partai politik, kelompok keagamaan dan kelompok
social lainnya. Dengan bercermin pada proses kehidupan yang dilalui, maka
sebutan untuk Hatta sebagai seorang pejuang, pemikir, penata demokrasi dan guru
bangsa merupakan sebutan yang tepat untuk orang yang tepat. Artinya kualitas
pemberian nama tersebut persis kepada orang yang berkualitas. Hatta tidak hanya
berbicara tentang bagaimana berjuang,
berpikir, menata demokrasi, tetapi beliau sendiri berjuang, berpikir, dan
beliau juga adalah Sang Demokrat itu sendiri. Bung Hatta sedikit berbicara
tetapi banyak melakukan, Hatta minus wacana tetapi surplus tindakan. Semua yang
telah saya paparkan di atas adalah sebuah hasil dari sebuah proses yang matang
dan berkelanjutan, sebuah pendidikan tiada henti, ia mengalami sejak dari
lingkungan keluarga sampai pada pendidikannya di negeri Belanda, dan setelah kembali
dari negeri Belanda. Dengan demikian pada bagian-bagian berikutnya saya akan
mengajak kita untuk melihat secara detail langkah gerak perjuangan Hatta.
2.
Latar Belakang dan Riwayat Hidup
Hatta
Hatta dilahirkan di Aur
Tanjungkarang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Hatta
adalah anak kedua dari sebuah keluarga yang sederhana. Ayah Hatta bernama Haji
Muhammad Djamil, meninggal dunia dalam usia 30 tahun saat Hatta berusia 8
bulan. Ia berasal dari Batu Hampar kira-kira 16 km, dari Bukittinggi. Hatta
tinggal dekat Batu Hampar, suatu daerah terkenal memikat terutama dibawah
pimpinan datuk (kakek) dari Hatta yang bernama Syaikh Abdurrahman. Syaikh ini
terkenal juga dengan sebutan Syaikh nan tuo untuk membedakannya dengan salah
seorang paman Hatta yang mengikuti jejak ayahnya menjadi Syaikh pula, dengan
gelar Syaikh nan mudo. Suaru ini menjadi pusat pengajian tarikat (Nagsyabandi).[2]
“Dikisahkan bahwa Hatta mengalami
masa kecil yang cukup unik dalam keluarganya.
Kematian ayahnya sejak dini dan fakta Hatta merupakan satu-satunya anak
laki-laki dari enam bersaudara menyebabkan Hatta menjadi tumpuan kasih
saying dan harapan keluarga besarnya,
khususnya neneknya yang bersikap agak protektif yang tidak membolehkan Hatta
bermain-main seperti anak sebayanya.
Keunikan pengalaman ini yang akhirnya membekas dalam kepribadian Hatta
yang terbiasa murung dalam kesendirian”[3].
Karena kematian ayahnya, maka Hatta tidak pernah memperoleh kesempatan untuk
bisa mengenal ayahnya. Dalam mengingat rujukan keluarga atas kemiripan wajahnya
dengan wajah almarhum ayahnya, Hatta menulis : ketika saya masih anak-anak ada
kepercayaan di kalangan rakyat Minangkabau, bahwa jika seseorang anak lelaki menyerupai ayahnya, salah seseorang
di antaranya akan kalah dan meninggal cepat”[4]
Kematian ayahnya menarik Hatta dari pengaruh komunitas dan masuk dalam
lingkungan perkotaan. Bukittinggi tempat keluarga Ibunya menetap dan bekerja.
Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah kembali dengan Haji Ning, seorang
kenalan dagang kakek Hatta dari pihak
Ibu. Hatta menyatakan rasa sayang yang mendalam terhadap ayah tirinya,
mengomentari dalam memoarnya bahwa Haji
Ning memperlakukannya begitu baik sehingga mula-mula tidak menyadari bahwa ia
bukan ayah kandungnya.”[5].
Keluarga Hatta dari pihak Ibu merupakan keluarga pengusaha yang berhasil,
terlibat dalam berbagai perusahaan, termasuk ekspor kayu, bisnis angkutan dan
kontrak pos dengan pemerintah. Karena itu Hatta tumbuh dalam keluarga dimana
persoalan komersial merupakan perhatian utama. Nenek Hatta dikabarkan memainkan
peran penting dalam mengasuhnya. Ia merupakan seorang Ibu rumah yang khas
tradisional Minangkabau, yang tidak
hanya mengendalikan persoalan rumah tangga saja, melainkan juga mengurus bisnis
keluarga.
Umumnya diakui di kalangan keluarga,
bahwa Hatta paling dekat memenuhi model kesempurnaan ibunya, karena sang ibu
mungkin di dalam diri Hatta merupakan cermin dari kekuatan dan ketegasannya
sendiri. Namun dalam memoarnya, Hatta tidak begitu memuji neneknya. Sang nenek
dengan kepribadian mendominasi, jelas menjengkelkannya. Nenek itulah yang
terlalu melindungi (overprotective), membatasi kenikmatan anak sekolah bermain
seperti berenang di sungai, memanjat pohon, dan ikut bermain sepak bola.
Dikatakan bahwa sebagai satu-satunya anak laki-laki dari enam anak ibunya dari
dua kali pernikahan, Hatta tentulah mempunyai peran penting dalam keluarga,
sebagai calon yang potensial sebagai penghulu di masa mendatang.[6]
3.
Masa Sekolah di Indonesia
Non scholae sed vitae
discimus. Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk
hidup. Pepatah Latin Kuno ini kiranya sangat tepat jika dilekatkan pada
pribadi seorang Hatta. Kecintaannya pada buku, telah membentuk dirinya sebagai
figur yang cerdas pemikiran, luas wawasan dan tajam daya analisisnya. Untuk masuk
dalam terowongan pengetahuan yang dilalui Hatta maka pada bagian ini saya
uraikan pergulatannya dalam masa sekolah di Indonesia.
3.1
Masa Sekolah di Bukittingi dan Padang
Pribadi Hatta yang disiplin, cermat,
dan teguh dalam pendirian, tidak hanya kelihatan dalam keseharian hidupnya
dalam masyarakat dan keluarga. Tetapi hal itu pun sangat mewarnai hidupnya,
perlakuannya bahkan sampai pada proses untuk memilih sekolah.
Dikisahkan bahwa, keluarga ayahnya
menginginkan agar Hatta melanjutkan pelajaran agama bila telah menyelesaikan
sekolah rakyat 5 tahun, selanjutnya Ia akan ke Mekkah kemudian ke Mesir. Dan
kelurga sudah mempersiapkan segala hal untuk studi, namun kenyataan justru
berbicara lain. Hatta sekali lagi mau menunjukkan pilihan untuk studi adalah
pilihan bebas dari setiap pribadi. Hatta tidak mau didikte, ataupun dibujuk,
kendatipun bujukan itu datang dari orang tua sendiri. Setelah belajar dua tahun
di Sekolah Rakyat, Bukittinggi, Hatta pindah sekolah ke Europese Lagere School
(ELS- sekolah dasar untuk orang-orang kulit putih). Kemudian ke ELS Padang,
mulai kelas 5 sampai kelas 7. Kepindahan ke Padang yang terjadi pada tahun
1913, disebabkan karena keinginan dari keluarga Ibu agar Hatta memperoleh
pelajaran bahasa Perancis (di samping bahasa Belanda) yang mulai diajarkan di
kelas 5. Keteika di Bukittinggi Hatta mulai belajar bahasa Inggris secara
privat yang dipaksa berhenti karena gurunya pindah ke Jakarta. Setelah di ELS
diselesaikan Hatta tahun 1917, pada saat usianya 15 tahun, kemudian melanjutkan
ke MULO (Meerutgebreid Lager Onderwijs- setingkat sekolah menengah pertama) dan
tamat pada tahun 1919. Baik di Bukittinggi maupun ketika bersekolah di Padang,
Hatta di samping bersekolah di pagi hari, ia juga rajin mengaji. Guru ngajinya
wakti itu yakni: Muhammad Djamil Djambek (1860-1947) dan Haji Abdullah Ahmad
(1878-1933).[7] Masa
studi adalah masa pembentukan dan pematangan. Setiap pengalaman unik yang
ditempuh selama masa studi tentu sangat mempengaruhi kepribadian dan gerakan
perjuangan Hatta, sehingga tidak heran kalau Hatta disebut sebagai pemikir,
pejuang demokrasi. Untuk dapat meneropong secara tajam gerak langkah Hatta,
maka kita akan melihatnya bersama pada bagian berikut ini.
Kebertemuannya dengan para tokoh dan
kegemaran dalam membaca menjadikan Hatta sebagai salah seorang pemuda yang
potensial yang kelak dikenal sebagai Proklamator. Kalau kita mencoba menelusuri
sepak terjang Hatta, kita bisa menemukan bahwa, kecintaannya pada buku dan
organisasi sudah mulai terasa ketika Hatta tumbuh sebagai anak muda yang
berenergik, haus akan bacaan dan gemar untuk berdiskusi. Waktu Hatta masih
duduk di bangsu ELS, Hatta sudah bergabung dengan sebuah kelompok sepak bola
dan Hatta dipilih sebagai bendahara, dan kemudian dipilih sebagai sekertaris
dari klub itu. Di situ Hatta sungguh
memahami perannya, ia mencoba mengaktualisasikan potensinya demi kebaikan
bersama dalam klub itu.
Hal menarik yang perlu dicatat di
sini adalah bahwa meskipun Hatta asyik dengan kegiatannya di Klub Bola, Hatta
tidak pernah melupakan tugas utama sebagai pelajar yakni belajar. Hatta tidak
mengabaikan waktu pelajaran sekolahnya. Kedua hal itu bisa dijalankan dan
dinikmati, karena Hatta sudah terbiasa membagi waktunya dengan disiplin”.[8].
Setelah Hatta menyelesaikan pendidikannya di ELS, tahun 1917, Hatta melanjutkan
di MULO. Ada beberapa hal menarik yang perlu dicatat di sini adalah, selama
menjadi pelajar MULO, orgasme organisatorisnya mulai terbentuk. “meminjam
tulisan Zulfikri Suleman, bahwa selama menjadi pelajarMULO bukanlah aktifitas kurikuler
di sekolah menjadi perhatian utama, melainkan bagaimana ia memahami dan
menanggapi lingkungan barunya serta aktivitas pergaulannya yang lebih luas di
luar lingkungan sekolah. Hatta bertemu dengan para pemimpin dan aktif di
organisasi JSB. Pertemuan dengan H. Abdullah Ahmad (1878-1933) seorang guru
agama dan salah seorang dari tiga tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat.
Dua tokoh yang lain, H. Abdullah Ahmad adalah guru yang memberikan pelajaran
agama Islam untuk para pelajar MULO. Pandangan umum tokok-tokoh pembaharuan ini
mengerucut pada ajaran Islam harus sesuai dengan keadaan dunia modern dengan
cara memperkenalkan ilmu pengetahuan Barat. Hatta juga berkenalan dengan
tokoh-tokoh Minangkabau di Batavia, tokoh-tokoh itu adalah Nazir Datuk Pamundjak
yang berkunjung ke Padang pada bulan Januari 1918 sebagai wakil JSB Pusat, yang
dalam Sembilan bulan kemudian disusul oleh Abdul Muis, kunjungan Nazir ini
member dampak besar dalam menanamkan kesadaran pelajar-pelajar Minangkabau
supaya bangkit dan menyiapkan diri dalam mengambil peran yang lebih besar di
masa depan. Kunjungan ini berdampak pada pemilihan Hatta sebagai bendahara JSB
Cabang Padang.
Kalau mencermati para tokoh, kita
dapat melihat adannya perbedaan kehadiran Nazir Datuk Pamundjak dan Abdul Muis.
Karena Abdul Muis berasal dari Partai Serikat Islam, maka kehadirannya sangat
bernuansa politik. Diperkuat dengan kedudukan Abdul Muis sebagai anggota
Volksraad, Dewan Rakyat ciptaan pemerintah colonial yang dalam kenyataanya
lebih merupakan badan penasihat bagi Gubernur Jenderal. Hatta sebagai pelajar
waktu itu sangat mengagumi pidato Abdul Muis sehingga Hatta seringkali mengakui
dan lebih banyak diam, mendengarkan. Demikianlah aktivitas Hatta selama tiga
tahun menjadi pelajar MULO di Padang, pertemuannya dengan para tokoh, aktivitas
dialektika yang dilaluinya telah menceburkan dirinya untuk bergelut dan
bergulat dalam proses pembebasan manusia Indonesia. Ketertarikannya pada dunia
politik dan pergerakan perlahan-lahan terbentuk. Hatta mulai menemukan arah
gerakan dan sekaligus memfokuskan diri untuk memerdekakan manusia Indonesia
dari keterbelengguan ekonomi, sosial dan politik”.[9]
“Ada beberapa hal menarik yang yang
dirasakan oleh Hatta selama kunjungan para tokoh ke Sumatera dapat kita lihat
dalam ekspresi yang diungkapkan oleh Hatta: “Pada saat kedatangan Abdul Muis di
Sumatera Barat pada bulan Agustus atau September 1918. Ia datang sebagai
anggota Volksraad yang baru dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Suatu
Dewan Rakyat biasa, melainkan suatu badan yang akan memperdengarkan suara
rakyat, ia datang untuk meninjau
perasaan rakyat dari dekat. Dikatakan bahwa pada masa itu masalah rodi ramai
dibicarakan di dalam pers. Pers menanggapi rodi itu sebagai pajak “in natura”
yang dibayar dengan kerja. Pers Indonesia memandangnya sebagai suatu
sistem kerja wajib yang sudah ditinggalkan zaman. Sistem kerja
wajib semcam itu seharusnya sudah lama dihapuskan bersama-sama dengan “cultuurstelsel”.
Sebagai seorang pemuka rakyat yang terkenal kedatangannya di Minangkabau
disambut oleh rakyat dengan sangat meriah. JSB Padang ikut diundang untuk
menyambut ke Teluk Bayur. Hussein dan Hatta yang mewakili JSB Cabang Padang.
Dikatakan bahwa sesungguhnya JSB perkumpulan anak sekolah menengah bawah, namun
atas usaha Engku Marah Sutan, mereka selalu dibawa serta. Satu hal yang menjadi
alasan kuat para siswa di bawa kemana-mana adalah: anggapan bahwa anak-anak
muda ini adalah harapan bangsa dan akan menjadi pemimpin rakyat di masa datang.
Perkataan inilah yang selalu menggembirakan dan member dorongan Hatta untuk
selalu bergiat”.[10]
3.1.1
Awal Kecintaannya pada Organisasi
Sekolah MULO di Padang mempunyai
perkumpulan sepak bola. Namanya Swallow.
Hatta memang gemar bermain sepak bola. Karena itu ia bergabung dalam
perkumpulan itu. Mula-mula Hatta hanya menjadi anggota biasa. Kemudian dipilih
menjadi bendahara. Teman-temannya tahu bahwa Hatta sangat tertibdalam hal
keuangan. Itulah pengalaman pertamanya dalam berorganisasi. Dalam bulan Januari
1918, Nazir Datuk Pamuncak tiba di Padang. Ia adalah utusan dari Jong
Sumatranen Bond (JSB). Perkumpulan ini berkedudukan di Jakarta. Nazir bertemu
dengan para pelajar di Padang. Nazir berpidato di depan pelajar-pelajar Padang.
Dikatakannya bahwa pemuda Jawa sudah lebih dulu maju daripada pemuda Sumatra.mereka
sudah lebih dahulu mendirikan organisasi. Namanya Jong jawa. JSB baru berdiri
pada akhir tahun 1917. Pemuda-pemuda Sumatra harus mengikuti jejak
pemuda-pemuda Jawa. Kita tidak boleh ketinggalan. Pemuda-pemuda Sumatra
mempunyai tugas yang berat. Kita harus memajukan masyarakat Sumatra. Di tangan
pemudalah letak nasib bangsa dan tanah air “kata Nazir Datuk Pamuncak”. Sesudah
itu diadakan pertemuan sekali lagi. Dalam pertemuan itu didirikan JSB cabang
Padang. Hatta dipilih menjadi bendahara. Ia dianggap sudah berpengalaman dalam
bidang keuangan. Lagipula ia seorang yang jujur. JSB lebih besar dari pada Swallow. Jumlah anggotanya pun lebih
banyak. Karena itu, tugas Hatta sebagai bendahara pun tambah berat. Ia harus
mencari uang untuk kegiatan perkumpulan. Uang itu diperoleh dari iuran anggota.
Selain itu adapula orang-orang yang menyumbang secara sukarela. Jumlah uang
iuran dan sumbangan itu tidak banyak. Karena itu, Hatta mencari akal untuk
menambahnya. Dikunjunginya orang-orang terkemuka di kota Padang. Hatta
menjelaskan kepada mereka yang menjadi tujuan JSB. Ia meminta supaya mereka beredia membantu
JSB. Kepandaian Hatta mencari uang diketahui oleh pengurus JSB Pusat di
Jakarta. Mereka kagum, Hatta mempunyai akal yang banyak. Karena itu, waktu Hatta
bersekolah di Jakarta ia dipilih menjadi bendahara JSB Pusat.[11]
Pada sub bagian berikut, saya akan
menguraikan bagaimana masa sekolah Hatta di Jakarta, kebertemuannya dengan
orang-orang, dan kecintaannya dalam berorganisasi di satu sisi.
3.2
Masa Sekolah di Jakarta
Menarik untuk mencermati aktifitas pergerakan Hatta
selama di Jakarta. Hampir tidak bedah jauh apa yang dilakukan Hatta waktu di
Padang dan apa yang nanti akan dilakukan selama berada di Jakarta. Kesibukannya
sebagai aktivis pergerakan tetap dijalankan, tetapi fokusnya pada studipun
semakin fokus dijalankan. Sebelum nanti saya masuk dalam pembahasan yang lebih
jauh, saya akan memaparkan sedikit kisah awal keberankatan Hatta ke Batavia.
Sebagaimana digambarkan oleh Hatta “sebelum aku berangkat aku perlu ziarah dulu
ke Batu Hampar minta restu kepada ayah Gaekku serta pamitan dengan keluarga
lainnya. Dari semulanya ayah Gaekku menginginkan sekali supaya sekolahku
diteruskan kepada jurusan agama, mula-mula di Mekkah kemudian ke Mesir. Beliau
agak masgul mendengar bahwa sekolahku akan diteruskan ke sekolah Barat dan dari
jurusan yang bukan jurusan agama. Tetapi sebagai seorang ahli Tarikat yang berpandangan luas, beliau
akhirnya menyerah pada tahkdir Allah. Jalan hidupku sudah ditentukan Allah
katanya, tetapi keyakinanku cukup kuat, bahwa engkau tidak akan menyimpang dari
jalan agama Islam dan Allah. Ditegaskan pula oleh beliau bahwa dalam Islam
ibadat dan amal tidak dapat dipisahkan. Kedua-duanya perlu dikerjakan sebagai
bekal kita dalam perjalanan ke akhirat, kea lam baka. Kalau sayang kepada Allah
hendaklah pula sayang kepada sesama mahkluk Allah. Kalau sunguh-sungguh kita
meminta kepada Tuhan dengan hati yang murni dan ikhlas, Tuhan akan mengabulkan
permintaan kita itu. Di kota besar seperti Betawi kata ayah Gaekku banyak
godaan bagi anak muda. Kalau teguh iman dan selalu berjalan di jalan Allah
Insyaallah, Hatta akan terpelihara dari godaan itu.
Dikisahkan bahwa
ada sebuah pengalaman menarik waktu Hatta berada di Jakarta yaitu:
pertemuannya dengan Ma’Etek Ayub, beliau adalah seorang saudagar besar,
beliaulah yang memperkenalkan Hatta ke tokoh buku dan membelikan beberapa buku untuk Hatta.
Untuk lebih jelas membacanya maka saya akan melampirkan sedikit komunikasi yang
dibangun antara Hatta dan Ma’Etek Ayub.
“Pada bulan agustus aku dapat datang ke kantor Ma’Etek Ayub
di Patekoan. Aku sampai di sana kira-kira jam 4 sore. Aku dipersilakan duduk,
setelah selesai pembicaraanya dengan seseorang via telepon ia katakan kepadaku:
sebentar lagi kita pergi ke took buku antiquariaat di sebelah societeit
“harmoni” untuk membeli beberapa buku yang barangkali berguna untuk Hatta.
Beliau juga yang akan mengurus segala uang kuliah dan biaya hidup Hatta.
Katanya uang sekolah dan uang biaya hidup di sini Ma’Etek yang tanggung. Jangan
menyusahkan bagi orang di rumah, kalau ada kiriman dari kampung simpan saja
pada bank tabungan pos. sesudah percakapan itu Hatta dibawah ke tokoh buku.
Tiga buku yang dibelikan oleh Ma’Etek buak Hatta adalah: N.G Pierson.
Staathuisheulkunde, H.P. Quack, De Socialisten, dan Bellamy, Het Jaar. Inilah
buku-buku yang semula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku, demikianlah
ungkap Hatta. Ma’Etek Ayub juga memberi Hatta uang 75 gulden per bulan, jumlah
yang besar pada waktu itu.”[12]
Ma’Etek juga membeli buku Carl May yang pada waktu itu banyak dibaca orang.
Setelah kembali dari perpustakaan malam itu itu juga buku-buku tersebut mulai
dibaca oleh Hatta. Bahkan Hatta sampai meluangkan waktu tidurnya untuk membaca
buku-buku tersebut. Kelihatan betul Hatta seorang yang gemar membaca. Meskipun
demikian Hatta sangat disiplin dalam membagi waktu belajarnya. Ungkapnya suatu
ketika “Biasanya buku-buku mengenai mata pelajaran aku pelajari pada malam
hari, buku-buku lain, buku roman, dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan
kubaca pada sore hari setelah pukul 4 atau 4:30.
Pengalaman
menarik lain sebagai bentuk pematangan, sekaligus proses belajar yang dialami
oleh Hatta adalah: “setiap akhir pekan Hatta bertemu dengan Bahder Johan,
sahabat lamanya yang sudah dikenalnya waktu masih di Bukittinggi dan Padang.
Mereka biasa naik sepeda ke tempat-tempat tertentu, nonton TV atau santai di
tempat tertentu sambil berdiskusi. Berbagai masalah yang menarik perhatian
mereka sebagai kaum nasionalis muda, kelihatan sekali Hatta sangat konsen
seputar masalah keadilan sosial terutama nasib kaum buruh yang tertindas.
Bahder Johan juga menyatakan bahwa hanya soal romantika hidup pemuda yang tidak
banyak mendapat perhatian Hatta waktu itu, sisi lain yang menarik untuk dikaji
adalah antara Hatta dan Bahder Johan pernah membicarakan kemungkinan penyatuan
dan kerjasama di antara organisasi-organisasi pemuda yang ada, yang bisa
disebut Jong Indie. Gagasan ini direspon oleh beberapa kawan dari Jong Java,
tetapi pemuda pada zaman it pun menyadari bahwa gagasan itu akan berbenturan
dengan semangat kedaerahan yang terlalu kuat mewarnai setiap organisasi
kedaerahaan pada waktu itu. Sampai di sini hal lain yang mau saya katakana
adalah bagaimana Hatta dan teman-teman yang masih sangat mudah mulai berpikir
soal kebangsaan, yang melampaui sekat-sekat suku, budaya dan agama. Suatu
kesadaran kolektif yang dahsyat yang menjadi pilar kebangsaan di tengah
keragaman suku, budaya dan agama.”[13]
“Ketika
Hatta dipilih menjadi bendahara JSB Pusat pada tahun 1920, sikap bijak yang
dibuat oleh Hatta waktu itu adalah: Hatta menerima dengan penuh tanggungjawab,
tetapi Hatta juga harus menyampaikan bahwa ia hanya menerima tugas dan
tanggungjawan yang diberikan kepadanya hanya satu tahun saja, sebab pada tahun
berikutnya Hatta harus mengikuti ujian akhir di PHS, tenti tidak banyak hal
yang dapat dicatat dalam waktu satu tahun itu, tetapi satu hal yang menonjol
adalah: upaya yang dilakukan untuk menghidupkan keuangan organisasi pada waktu
itu. Upaya Hatta ini nampaknya dan terkesan oleh beberapa orang setengah
memaksa tetapi cukup efektif.”[14].
Kemahiran Hatta dalam mengelolah keuangan dapat dilihat dalam otobiografi
Hatta, Dikatakan bahwa Hatta memiliki bakat alamiah dalam persoalan keuangan,
diakui oleh rekan-rekannya. Karena setibanya di Jakarta Hatta sekali lagi
diminta untuk menjabat sebagai bendahara. Dalam periode yang sangat singkat
keberadaannya cabang berhasil mengumpulkan utang sampai f. 1.000. untuk
menerbitkan majalahnya, Jong Sumatera.”[15]
Hatta bersikap keras dalam menarik langganan dari para anggota, jika ada di
antara mereka yang tidak membayar, maka ia memasang nama mereka pada daftar
hitam. Hatta juga meminta sumbangan dari orang-orang Sumatera yang ada di
Batavia, mendorong mereka supaya mendukung kelompok orang muda. Upayanya itu
meskipun dianggap keterlaluan oleh beberapa orang temannya, namun ia cukup
berhasil. Menjelang akhir satu tahun masa tugasnya, Hatta berhasil meningkatkan
saldo untuk bank kelompok tersebut dari “garis merah” dan membayar utang untuk
penerbitan. Seperti komentar Bahder Johan, seorang mahasiswa sekolah kedokteran
STOVIA; “Dengan tindakannya, JSB pada tahun ini menutup buku dengan lebih dari
f. 700 uang kontan. Suatu jumlah yang cukup besar pada masa itu.”[16]
Setelah tiga tahun menyelesaikan
pendidikan di MULO, Hatta sudah cukup dewasa. Ibunya tidak melarang lagi
bersekolah di Jakarta. Maka pada bulan Juni 1919 Hatta bertolak ke Betawi untuk
mendaftarkan diri pada Prins Hendrik School, Sekolah Tinggi Dagang. Di tempat
inilah Hatta berkenalan dengan cita-cita revolusi Perancis dan
pandangan-pandangan Marx. Hatta lulus dari Sekolah Tinggi Dagang pada bulam Mei
1921.[17] Setelah lulus dari Jakarta Hatta akan studi
ke Belanda.
3.3
Studi ke Negeri Belanda 1921-1932
Saya mengawali tulisan pada bagian
ini dengan mengutip yang ditulis oleh Deliar Noer sebagai berikut “Kepergian
Hatta ke negeri Belanda (tahun 1921) mengundang pertanyaan mengenai pendirian
hidupnya. Ia keturunan ulama dari pihak ayahnya; ia keturunan pengusaha dari
pihak ibunya. Ia turut mengikuti pergerakan nasional, mulanya sebagai peminat,
kemudian sebagai pemuda yang mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kemudian;
juga sebagai Hatta sungguh luar biasa, ia membentuk diri dalam kapasitas
sebagai seorang organisatoris yang handal, seorang pejuang dan aktivis yang
tekun dan ulet, Hatta tidak peduli kalau untuk suatu visi besar dan bangunan
keindonesiaan yang sedang dirintis, ia memilih untuk tidak popular. Hatta
sungguh seorang abdi bangsa, pahlawan revolusi dan pejuang demokrasi yang patut
dikenang. Diakui oleh Hatta bahwa salah satu keuntungan terbesar dengan menjadi
Jong Sumatranen Bond di Batavia ialah bahwa hal itu membuat Hatta memiliki
akses langsung kepada para pemimpin Serikat Islam orang-orang Minangkabau
seperti: Abdul Muis, dan haji Agus Salim, kedua tokoh ini di kalangan gerakan
nasionalis tersebuat sebagai “orang tua besar”. Meskipun Hatta mengakui bahwa
dalam banyak hal Hatta tidak setuju dengannya.
Haji Agus Salim memainkan peran yang
sangat penting dalam memajukan gerakan buruh, yang membawanya ke dalam konflik
dengan kelompok Marxis di dalam Serikat Islam. Dikatakan bahwa meskipun rantai
kegiatan nasionalis sendiri menarik,
Hatta tetap menyadari bahwa prioritasnya tetaplah kuliah”.[18].
Pada bulan Mei 1921 Hatta berhasil menamatkan pendidikannya di PHS. Setelah
selesai dari PHS beliau akan melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Namun
sayang, secara kebetulan Mak’Etek Ayub yang sejak semula sudah berjanji akan
membiayai pendidikannya di Rotterdam mengalami kebangkrutan dalam usaha dagangya. Di samping itu Hatta
juga sempat tergoda untuk mengisi lapangan kerja yang waktu itu terbuka dengan
gaji yang cukup menggiurkan untuk tamatan sekolah menengah. Dua hal ini membuat
Hatta menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan pendidikannya ke Rotterdam. Akhirnya
karena mendengar nasihat dan dukungan kuat dari bekas gurunya di PHS, Dr De
Kock, juga dari Mak’Etek Ayub sendiri dan jaminan akan memperoleh beasiswa dari
Van Deventer Stichting, Hatta akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat ke
negeri Belanda. Di sini nampaknya bahwa Hatta sudah cukup dewasa untuk
memutuskan, sehingga tidak perlu lagi harus menunggu persetujuan dan izin dari
orangtuanya yang ada di Bukittinggi.”[19]
seseorang yang ketika masih kecil
telah melihat dan merasakan perlakuan yang tidak adil dari pihak pemerintahan
Belanda terhadap pamannya dan terhadap orang banyak. Di masa kanak-kanaknya
persepsi tentang ketidakadilan Belanda itu telah tumbuh dalam diri
kawan-kawannya. Mengapa ia masih hendak pergi ke negeri Belanda juga? Apakah
tidak berpengaruh baginya nanti arus sekularisasi, westernisasi dan pengasingan
dari budaya bangsanya, sebagaimana merupakan kebijaksanaan Belanda antara lain
dengan mendirikan berbagai sekolah di Hindia”[20]
Semua asumsi di atas terbukti tidak
menepis niat Hatta untuk melanjutkan pendidikan ke negeri yang sedang
menjajahnya. Di sini kelihatan bahwa,
kecerdikan dan strategi politik yang dibangun Hatta melampaui “pemahaman normal
manusia”. Kekuatan Belanda dijadikan sekaligus sebagai kelemahan. Ia pandai
dalam berdiplomasi, tetapi ia cerdik juga dalam menentukan bagaimana cara
berdiplomasi. Ia menjalin komunikasi dengan pihak Belanda, tetapi ia menerapkan
pola non-kooperasi dengan pihak Belanda. Itulah sedikit gambaran tentang alasan
keputusan Hatta memilih studi ke negeri Belanda.
“Hatta meninggalkan pelabuhan Teluk
Bayur, Padang, Sumatra Barat, menuju pelabuhan Rotterdam Nederland pada Rabu, 3
Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama dengan yang biasa dibeli oleh pejabat
Pemerintah golongan tengah yang libur ke Belanda. Di kapal itu ia sekamar
dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan Mayor. Tidak hanya itu, ketika
berlabuh di Marseille, Prancis, Hatta berani turun ke darat berkat kemahirannya
berbahasa Prancis, dan jadi pemandu bagi suatu keluarga Belanda yang membayari
seluruh keperluan Hatta selama sama-sama menjelajahi kota itu. Tiba di
Rotterdam, Senin, 5 September 1921.”[21]
Banyak hal menarik yang dapat kita
petik dari kisah hidup Hatta selama berada di Belanda, sebagaimana kita ketahui
bahwa pengalaman hidup dan pengalaman bergaui dengan orang belanda sejak masa
kecil Hatta di Bukittinggi sampai dengan pendidikan menengah di Padang dan
Batavia telah menjadi suatu proses pengenalan yang dalam dengan budaya Belanda,
hal ini terbaca dengan kemudahan Hatta dalam berkomunikasi dan bersosialisasi
dengan orang Belanda sendiri. Hatta tidak mengalami goncanan budaya ataupun
keawaman untuk berinteraksi dengan orang Belanda. Hatta bergaul dan bertindak
begitu menyatu dengan warga Belanda. Saking memahami budaya Belanda dengan
lebih baik, maka cara berpakaian, bertingkahlaku, berpikir, sikap tertib dan
disiplin terhadap waktu menjadi bagian dari hidupnya. Model pembatinan
nilai-nilai Barat terhadap Hatta, dapat juga ditelusuri dari keberlanjutan
kehidupan Hatta ketika Hatta menjadi mahasiswa yang aktif di PI di negeri
Belanda. Dan ketika Hatta terpilih menjadi wakil Presiden, Perdana Menteri dan ketika Hatta mengisi hari-hari hidupnya
sebagai warga negara biasa, setelah
lepas dari jabatan public tersebut. Untuk mengkaji sosok Hatta sebagai pemikir,
pejuang demokrasi, maka tentu tidak terlepas pula untuk menapaki proses
perjuangan Hatta selama menjadi mahasiswa dan aktivis di negeri Belanda.
Sebagaimana diketahui bahwa kegemaran Hatta dalam membaca dan menulis, menjadi
senjata pergerakan Hatta. Melalui tulisan Hatta mempublikasikan bahwa ada
suatu pergumulan dari sebuah negeri yang
terbelenggu, terjajah, terpasung kebebasannya. Melalui tulisan dan pamflet
Hatta menyatakan bahwa akan lahir suatu bangsa yang akan disebut sebagai
Indonesia.
“Selama di negeri Belanda, Hatta
dapat memperlihatkan diri sebagai seorang pelajar dan penulis yang tekun,
sekaligus sebagai seorang pejuang nasionalis, Hatta membaca banyak buku ,
merasakan dan melihat banyak hal dan menuangkan dalam bentuk tulisan, semua
tulisan semata-mata untuk memperjuangkan perbaikan nasib bangsa Indonesia. Di
negeri Belanda Hatta dikenal sebagai pelajar yang rajin, serius dan tekun.
Dikatakan bahwa pada saat beberapa temannya memanfaatkan waktu luangnya dengan
mencari hiburan di luar, Hatta tetap tetap menyibukan diri dengan belajar di
kamarnya. Ketekunan dan keseriusan Hatta
sebagai pelajar yang menuangkan ide-ide cemerlang sudah amat dikenal dan diakui
oleh teman-temannya. Aboetari, rekan belajar Hatta di Rotterdam, mencatat,
waktu luang Hatta tidak dimanfaatkannya untuk menikmati hiburan seperti ikut
berdansa sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa temannya melainkan untuk
belajar menulis atau aktivitas politik
dalam perhimpunan Indonesia”.[22]
Fakta bahwa Hatta baru mampu
menyelesaikan studinya setelah melewatkan masa sebelas tahun sama sekali bukan
karena kegagalannya sebagai pelajar, melainkan karena keseriusan dan
totalitasnya dalam memperjuangkan dan memperkenalkan kemerdekaan nasional melalui
Perhimpunan Indonesia.”[23]
Kebiasaan Hatta membaca buku perlu
digarisbawahi. Hatta tidak hanya membaca buku-buku untuk kepentingan studi
formalnya di bidang eekonomi, melainkan juga menyibukkan diri dengan membaca
buku-buku pengetahuan lain seperti politik, dan sejarah bangsa-bangsa. Hatta
juga rutin membaca Koran-koran yang terbit di Belanda terutama yang
berpandangan sosialis. Sehingga tidak heran lagi kalau Hatta cukup terbiasa
dengan pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi dan politik ternama seperti: Adam
Smith, Maltus, Marx, Keynes, Richardo, Jhon Locke, Montesquie, Rousseau dan
yang lainnya. Melalui bacaan-bacaan yang cukup luas Hatta mampu menyelam pola
pikir masyarakat Barat, memahami kemajuan ekonomi Barat, teori-teori demokrasi
serta penerapannya. Hatta mampu memahami tetapi Hatta tidakj larut di dalamnya,
itulah komitmen dan konsistensi Hatta.
Hatta pun mengekspansi gerakan kemerdekaan Indonesia melalui
artikel-artikel yang ditulisnya. Hatta mulai rajin menulis ketika tahun-tahun
awal keberadannya di Belanda. Hatta biasanya menulis di Koran Perhimpunan
Indonesia, Hindia Putra yang kemudian berganti nama menjadi Indonesia merdeka,
topic-topik yang biasanya ditulis oleh Hatta misalnya : hubungan antara bangsa,
politik, kolonialisme dan imperialism, serta arti penting kabangkitan bangsa
Indonesia.
Ada beberapa artikel penting yang
cukup mempengaruhi dinamika politik pada waktu itu yakni: tulisan Hatta tentang
“Indoensia dalam Masyarakat Dunia” dan Indonesia di Tengah-tengah Revolusi
Asia” kedua tulisan ini ditulis pada tahun 1923 bertepatan dengan 15 tahun
kelahiran Perhimpunan Indonesia, yang waktu itu masih bernama Indonesische
Vereniging, tulisan-tulisan itu cukup menghebohkan dan akhirnya menimbulkan
pandangan di kalangan Pemerintahan Belanda bahwa, pelajar Indonesia di Belanda
mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.”[24]
Sesuatu yang menggemparkan terjadi
pada tahun 1926, ketika Hatta menyampaikan pidatonya dengan tema “Tata Ekonomi
Dunia dan Pertarungan Kekuatan” Hatta menguraikan bahwa sejarah pertentangan di
antara negara-negara besar sejak abad ke-19. Wujud pertentangan ini adalah
dalam bentuk perlombaan untuk menjajah bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang
terutama dimotivasi oleh kepentingan ekonomi. Hatta menambahkan bahwa
pertentangan berdasarkan motivasi ekonomi yang tanpa batas kepuasan ini tidak
akan pernah berhenti dengan akibat penderitaan bagi bangsa-bangsa terjajah.
Oleh sebab itu upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan hanya dapat dicapai
melalui prinsip tanpa kompromi, non kooperasi, termasuk melalui jalan
kekerasan. Istilah “non kooperasi” kemudian menjadi terkenal dan dipakai
sebagai prinsip perjuangan Perhimpunan Indoensia di samping prinsip-prinsip
yang lain (persatuan dan percaya pada dir sendiri). Tulisan Hatta ini kemudian
membawa mereka ke Penjara. Hatta bersama ke-3 temannya terpaksa ditahan di
penjara. Tulisan ini merupakan pidato pembelaah Hatta di depan pengadilan di
Den Haag pada bulan Maret 1928, setelah Hatta bersama tiga temannya (Nazir
Datuk Pamundjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdulmadjid Djojohadininggrat). Mereka
bertiga ditahan dan dituduh berkomplot hendak menggulingkan Pemerintah
Nederland. Hatta mengemukakan sebab-sebab kebangkitan kesadaran nasionalisme
para pemuda Indonesia, Hatta dan kawan-kawannya memperjuangkan hak yang
bersifat universal. Dengan berargumentasi pada alasan-alasan ini Hatta hendak
mengemukakan bahwa, tuduhan terhadap dirinya dan kawan-kawannya tidak dapat
diterima. Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dari semua tuduhan.
Vonis bebas ini menimbulkan simpati yang besar, baik itu di tanah air maupun di
Belanda, di antara kawan-kawan Hatta di Perhimpunan Indonesia.”[25]
“Penilaian pengadilan menimbulkan
kesan yang mendalam bagi Hatta secara pribadi. Ia sebelumnya tidak berharap
akan dibebaskan mengingat penahanan massa di Hindia dengan tuduhan yang lebih
ringan. Bahwa pengadilan telah menindak setiap upaya apapun untuk digoyahkan
oleh salah satu kementerian yang paling berpengaruh dan bahwa suatu kelompok
penekan Eropa gagal melawan menghadapi segelintir mahasiswa Indonesia yang
tidak penting, merupakan sesuatu yang mencengangkan. Padahal dari sudut pandang
Belanda hubungan tersebut juga merupakan kemenangan bagi kaum sosialis melawan
kaum konservatif yang berkuasa. Pembebasan tersebut telah meyakinkan Hatta
tentang aspek positif dari sistem demokrasi Barat, yaitu jaminan yang fair dan
adil terhadap kedudukan individu di depan hukum.” [26]
Uraian-uraian di atas menggambarkan
bahwa aktifitas, pergulatan dan pergelutan Hatta dalam membaca, menulis dan berorganisasi
selama berada di negeri Belanda terutama ditujukan untuk menyerang politik
kolonial dan imperialism Belanda terhadap Hindia Belanda. Tentu hal ini sejalan
dengan kebijakan Perhimpunan Indonesia yang bertujuan untuk memupuk semangat
kebangsaan dan meningkatkan gerakan
kemerdekaan. Hal menarik yang dapat dipelajari menyangkut keberadaan Hatta selama 11 tahun di Belanda adalah aktifitasnya yang besar
sebagai propagandis untuk menyebarkan
semangat menentang kolonialisme dan imperialism di Belanda. SAMPAI DI SINI, TUNGGU LANJUTAN
3.3.1
Mahasiswa Yang Sadar Politik
“Di negeri Belanda Hatta segera
menerjunkan dirinya dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) yang dalam
tahun 1925 berubah menjadi perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereniging).
Organisasi yang mulanya bersifat sosial ini didirikan tahun 1908 sebagai forum
tempat bertemu orang-orang, termasuk pelajar Indonesia yang merantau ke negeri
Belanada. Indische Vereniging meluas wawasannya kepada persoalan Tanah Air
setelah tiga tokoh partai Hindia (Indische Partij) bermukim di negeri Belanda
tahun 1913 yaitu Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker dan
Tjipto Mangunkusumo. Organisasi tersebut memasuki bidang politik dalam hubungan
dengan perkembangan di tanah air ketika tambah banyak pelajar nasionalis yang
melanjutkan studinya di negeri Belanda, yaitu mereka yang di Indonesia
sebelumnya telah bergerak dalam Jong Jawa, Jong Sumatranen Bond, malah juga
Budi Utomo. Ia juga mengganti nama majalahnya, Hindia Putra (mulai terbit tahun
1916), menjadi Indonesia Merdeka, (1924)”[27]
Pada tahun 1926 pimpinan jatuh ke tangan Hatta
malah sampai 1930, hal yang menyebabkan ia terlambat menyelesaikan studi. PI di
bawah pimpinan Hatta memperlihatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak
memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia dengan memberikan
ulasan, saran, dan bila perlu kritik terhadap pergerakan tersebut. Dalam pidato
penerimaannya sebagai ketua PI pada 1926, Hatta mengemukakan bahwa penjajahan
merupakan cermin dari sifat serakah pihak Barat untuk menguasai negeri lain dan
memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut, di samping melempar kembali
hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan. Maka ia pun melihat PI sebagai
pihak oposisi yang harus aktif, termasuk berkorban menjadi Non-kooperasi, di
samping percaya diri sendiri dan membina persatuan. Namun, ia tidaklah melihat
kemerdekaan sebagai kemegahan bangsa, melainkan untuk kemanusiaan dan
peradaban.”[28]
Pada tahun 1927 Hatta bersama Ali
Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat,
ditangkap oleh penguasa Belanda. Mereka dituduh menjadi anggota partai
terlarang (agaknya dikaitkan dengan hubungannya dengan Semaun) terlibat dalam
pemberontakan (di Indonesia, tentu ini pemberontakan yang dilakukan oleh pihak
PKI pada tahun 1926 dan 1927), dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda.
Mereka dituntut tiga tahun penjara (Untuk Hatta), dua setengah tahun (untuk Ali
Sastroamidjojo dan Nazir Pamuntjak), dan dua tahun untuk Abdulmadjid
Djojoadiningrat). Tentu semua tuduhan tersebut ditolak Hatta dalam pembelaan
yang ia beri judul Indonesie Vrij
(Indonesia Merdeka). Hatta dan kawan-kawannya dibela oleh tiga orang pengacara
Belanda, seorang diantaranya anggota parlemen Belanda dari partai sosial
demokrat buruh (SDAP, Social-Demokratische Arbeiders Partij), Mr J.E W Duys yang memang bersimpati pada Hatta.
Setelah ditahan beberapa bulan, pada tahun berikutnya keempat tokoh pergerakan
Indonesia itu dibebaskan oleh pengadilan, karena tuduhan tidak dapat dibuktikan.”[29]
Selama di negeri Belanda, Hatta gemar
memperkenalkan perjuangan Indonesia ke Luar negeri. Pada tahun 1926 Hatta pergi
ke Bierville, Prancis sebagai wakil PI untuk turut serta dalam kongres
demokrasi Internasional yang dihadiri oleh para utusan dari 31 bangsa, sebagian
besar dari Asia. Kemudian pada tahun berikut (Februari 1927) Hatta bersama
beberapa rekannya dari PI dan seorang dari Mesir, Abdul Munaf, menghadiri
Kongres Internasional Menentang Kolonialisme di Brussels, Belgia. Dalam Kongres
itu Hatta berkenalan dengan Jawaharlal Nehru dari India, yang juga menjadi
utusan ke kongres itu. Pada kongres Liga ke-2 di Frankfurt pada tahun 1929,
Hatta berkenalan dengan lebih banyak tokoh-tokoh dunia. Upaya memperkenalkan
Indonesia ke luar negeri dilakukan juga melalui pidato. Misalnya, ia berpidato
tentang Indonesia pada Liga Wanita Internasional untuk perdamaian dan
kemerdekaan (International League of Women For Peace and Freedom) yang diadakan
di Gland, Swiss. Ia juga berpidato di hadapan para mahasiswa di Ultrech,
Belanda pada tahun 1931. Hatta mengemukakan penderitaan rakyat Indonesia karena
penjajahan, dan sebaliknya kemegahan kerajaan-kerajaan kuno Indonesia, juga
keperkasaan Aceh melawan Belanda pada abad ke-19. Pidato di Ultrech lebih
menjelaskan pergerakan nasional dalam masa modern, hambatan yang dialami dari
pihak Belanda dan cita-cita kemerdekaan.”[30]
3.4
Kembali ke Indonesia
3.4.1
Masa Pergerakan di Indonesia, antara
Jakarta, Digul dan Banda Naire 1932-1941
Hatta kembali ke negeri Belanda pada
tanggal 5 Juli 1932. Di Indonesia Hatta semakin menunjukan komitmennya dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. “Hatta selalu berusaha dalam
membangkitkan semangat pejuang pergerakan nasional di daerahnya, Minangkabau,
juga memberikan ceramah-ceramah termasuk di Islamic College.”[31].
“Hatta juga berkeliling ke Jawa. Namun usaha Hatta ini tetap mendapatkan
tantangan. Sebab tidak lam kemudian Hatta dan beberapa kawannya dari PNI Baru
termasuk Sjahrir ditahan. Mulanya di penjara Glodok, kemudian dibuang ke Digul.
Setahun lamanya kemudian dipindahkan ke tempat tahanan baru yaitu di Banda
Naire”[32].
“Ada hal menarik dari pribadi Hatta adalah bahwa ia membawa semua bukunya ke
tempat pembuangan, berpeti-peti banyaknya. Ia merasa perlu dekat dengan
buku-bukunya. Karena dengan buku ia bisa menghabiskan waktu dengan berguna.
Artikel-artikel terus ia tulis untuk koran Jakarta, Pemandangan dan untuk majalah di Medan, yakni Panji Islam. Artikelnya lebih menganalisis dengan disertai mendidik
pembaca. Pada tahun 1941 Perang Pasifik pecah. Hatta menulis artikel di Pemandangan agar rakyat Indonesia tidak
memihak dalam peperangan ini, baik ke pihak Barat, maupun fasisme Jepang. Yang
harus diperjuangkan adalah Indonesia Merdeka.
3.5
Penduduk Jepang 1942-1945
Setelah pecah Perang Pasifik, (Desember
1941) Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Sukabumi. Pada masa ini pun terjadi
Gerakan Tiga A yakni: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon
Pemimpin Asia. Gerakan ini dipimpin oleh Shimzu dari kantor propaganda. Tetapi
gerakan ini akhirnya hilang karena gerakan ini sebatas mengadakan arak-arakan
besar di Jakarta saja. Ada hal lain yang dibuat Hatta pada masa ini yakni, Ia
mengepalai sebuah Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Usaha Lama.
Anggota-anggotanya termasuk “Empat Serangkai” (Hatta, Soekarno, Ki Hadjar
Dewantara, K.H. Mas Mansur). Mereka terus mengusahakan cita-cita perwujudan
Indonesia Merdeka. Pada tanggal 8 Desember 1942 dalam rangka memperingati
pecahnya Perang Pasifik, Hatta dalam pidatonya mengatakan bahwa: Indonesia terlepas
dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan karena itu ia tidak ingin menjadi
jajahan kembali. Tua dan muda merasakan itu setajam-tajamnya. Bagi pemuda
Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada
mempunyainya sebagai jajahan orang kembali”[33].
“Perjuangan untuk kemerdekaan itu kemudian dipusatkan pada Pusat Tenaga Rakyat
(Poetera), didirikan pada 8 Maret 1943, suatu gerakan yang dipimpin oleh Empat
Serangkai: Soekarno sebagai pemimpin besar, Hatta sebagai direktur jendral, Ki
Hadjar Dewantara, kepala bagian pengajaran, dan
K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah sebagai kepala bagian keselamatan
masyarakyat. Poetera banyak berhasil manggalang perstuan sebagai bangsa, sambil
juga meningkatkan kemampuan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal
1 Maret 1944 pemerintah Jepang di Jawa mendirikan Jawa Hokokai (Himpunan
Kebaktian Rakyat Jawa) sebagai ganti Poetera. Pemerintah merasa perlu
menyelamatkan peperangan sehingga diperlukan di belakang garis peperangan suatu
organisasi yang kuat berdasar kepada persaudaraan antara segala golongan
penduduk di tanah Jawa, dan kepada rasa kebaktian rakyat seluruhnya. Jelas
sekali bahwa organisasi ini dimaksudkan untuk mengerahkan raktyat membantu
Jepang dalam perang. Dalam bulan April 1945, Hatta dipercaya untuk memimpin
Sekolah Tinggi Islam. Hatta memang memandang agama sebagai salah satu tiang
daripada kebudayaan bangsa. Ia melihat dalam hubungan ini Islam sebagai pelita
untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam persaudaraan dan tolong menolong. Pada
tahun 1946 Hatta memberikan kuliah pada Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta.”[34]
3.5.1
Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
“Badan ini dibuka pada 28 Mei 1945,
dan esoknya melangsungkan sidang pertama sampai tanggal 2 Juni. Badan ini
menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang dapat selesai pada 5 Juli 1945.
Orientasi pembentukan badan ini adalah pembentukan negara merdeka. Dalam
penyusunan rancangan ini, Hatta berperan dalam empat hal 1) Soal pembukaan yang
biasa dirujuk dengan piagam Jakarta. 2) soal bentuk negara. 3) soal hak asasi.
4) soal ekonomi. Dalam hal pertama Hatta tidak banyak bicara. Dalam soal bentuk
negara, Hatta dikenal sebagai pendukung negara serikat atau federasi. Dalam hal
aderah-daerah, Hatta mengemukakan perlunya otonomi luas bagi daerah. Apalagi
dengan ribuan pulau yang bertebaran, serta suku yang beragam, otonomi
diperlukan. Dalam soal ketiga, hak-hak asasi, ia berhadapan dengan pihak-pihak
yang tampaknya terpengaruh oleh perang dunia II khususnya yang menyangkut
Jepang dan Jerman. Pihak-pihak ini termasuk Soekarno dan Soepomo, tidak suka
dengan hak-hak asasi karena mengandung paham individualisme dan liberalisme.
Hatta dan Yamin bertahan bahwa hal-hal yang sangat dasar dari hak-hak asasi tersebut
perlu masuk ke dalam UUD, agar terjaga negeri kita dari apa yang ia sebut
“negara kekuasaan”. Hatta mengatakan bahwa “sudah dua puluh tahun berjuang
menentang individualisme, tetapi memasukkan hak-hak yang sangat mendasar itu
bukan individualisme. Pendapatnya ini akhirnya diterima sidang yang menjadi
pasal 27 UUD 1945”, dalam perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik itu Hatta
menguraikan bahwa kedudukan rakyat yang lemah menghendaki ekonomi disusun atas
dasar koperasi, kekeluargaan. Kekeluargaan di sini ia artikan sebagai rasa
solidaritas yang kuat, bukan menyebabkan
pribadi seseorang tenggelam dalam kebersamaan. Ia percaya pada diri
sendiri dan bersikap melaksanaan self-help.”[35]
3.5.2
Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI)
Pada awal Agustus 1945 PPKI dibentuk.
Hatta menjadi anggotanya, malah menjadi wakil ketua; ketuanya adalah Soekarno.
PPKI mencakup wakil-wakil dari Sumatra, Kalimanatan dan Indonesia Timur, di
samping dari Jawa. Sebagai Ketua dan wakil ketua disertai Radjiman
Wediodiningrat, Soekarno dan Hatta diutus ke Dalat kira-kira 300 km sebelah
utara Saigon, tempat kedudukan Jendral Terauchi Hisaichi, panglima angkatan
perang Jepang se Asia Tenggara. Pada
kesempatan itu dengan pidato singkat Jendral Terauchi menyampaikan keputusan
pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, Terauchi dan
stafnya mengucpakan selamat kepada ketiga utusan Indonesia itu. Hari itu
tanggal 12 Agustus, ulang tahun Hatta. Alangkah gembira dan bersyukurnya Hatta
dengan berita itu. Pengumuman kemerdekaan Indonesia itu pun terserah kepada
Panitia Persiapan. Demikian kata Jendral”[36].
3.6
Masa Kemerdekaan (1945-1949)
Tentu ini merupakan saat yang paling
dinantikan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kabar dari Terauchi tidak
hanya membawa kegembiaraan tetapi juga mewujudkan harapan dari para tokoh
Indonesia. Bahwa kemerdekaan Indonesia adalah impian bersama. “Tepatnya tanggal
17 agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, kira-kira pukul 10 pagi.
Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Sebagian kabar tentang kemerdekaan itu
diberitakan dari mulut ke mulut.”[37]
Menurut Hatta “Proklamasi
kemerdekaan baru merupakan “rencana” tentang adanya RI”[38].
3.6.1
Sebagai Perdana Menteri 1948-1949
Meskipun sudah merdeka, bangsa
Indonesia selalu berhadapan dengan tantangan dalam membangun demokrasi. Pada
tanggal 23 Januari 1948, kabinet Arif Sjarifuddin jatuh karena penolakan
masyarakat pada umumnya atas “Persetujuan Renville”[39].
Maka Hatta kemudian dipercaya untuk menjadi Perdana Menteri. Kegiatan Hatta
selama memimpin kabinet dari 29 Januari 1948 sampai terbentuknya RIS (Republik
Indonesia Serikat) dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949. Waktu hampir
dua tahun itu diselingi dengan penahanan terhadapnya bersama beberapa pemimpin
lain (termasuk Soekarno) oleh Belanda dari 18 Desember 1948 sampai mereka
kembali ke Yogyakarta 6 Juli 1949”[40].
Pada masa ini Hatta harus
berhadapan dengan berbagai peristiwa besar dalam sejarah Indonesia misalnya
Peristiwa PKI Madiun. Terhadap perkembangan pembinaan demokrasi, peristiwa Madiun
merupakan kemunduran. Bukan saja padi dan bibit habis terbakar, dan dendam
meningkat karena pembunuhan yang dilakukan oleh PKI terhadap lawan politiknya,
tetapi juga pemulihan demokrasi itu sendiri akan makan waktu. Hatta
mengingatkan bahwa terror (seperti pembunuhan kejam) yang dilancarkan PKI itu
memang merupakan “senjata diktatur” hanya ia bukan jalan untuk merdeka, tetapi
jalan kepada penghambaan rakyat”. System penghambaan tidak akan melahirkan
orang merdeka yang bersifat social”[41].
Lebih lanjut Hatta meenegaskan “Tujuan revolusi kita bukan semata-mata
kemerdekaan bangsa tapi lebih jauh lagi yaitu mencapai kemerdekaan manusia dari
segala tindasan”. Sebagaimana dikatakan oleh Deliar Noer bahwa kesulitan
memulihkan demokrasi juga dilihat Hatta, namun usaha harus dilakukan. Hatta
kemudian berkata
“Yang harus dikerjakan dewasa ini ialah memperbaiki kembali moral politik
yang rusak, didasarkan kembali kepada kejujuran. Jika partai politik tidak
berhasil dalam hal ini, sukarlah mencapai pendidikan politik kepada rakyat yang
didasarkan kepada tanggung jawab rakyat atas nasibnya”.[42]
Hatta selalu berjuang untuk
mengembalikan citra gerakan buruh, tani dan pemuda di tengah masyarakat yang
telah turut rusak dengan peristiwa Madiun. Tetapi Hatta tidak mempunyai kesempatan
membina hal-hal ini, karena pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan
aksi militernya yang ke-2. Ia ditangkap bersama-sama dengan para pemimpin lain,
dan diasingkan di Bangka”[43].
Aktifitas lain yang dilakukan Hatta pada masa ini yakni: sebagai utusan dari RI
untuk mengikuti KMB (Konferensi Meja Bundar) dari tanggal 23 Agustus – 2
November 1949). Materi pokok yang dipersoalkan adalah persyaratan kedaulatan
dari Belanda kepada Indonesia. Hatta sukses dalam delegasi ini, karena pada
tanggal 27 Desember 1949 merupakan puncak penyerahan kedaulatan dari Belanda
kepada Indonesia”[44]
3.7
Hatta sebagai Wakil Presiden
1950-1956
Saya hanya ingin menegaskan bahwa
karena begitu solid dan erat relasi kerja antara Soekarno dan Hatta maka, kedua
tokoh ini pernah dijuluki sabagai Dwitunggal. Sebagaimana dikatakan bahwa
“mereka berdua erat sekali bekerjasama, praktis tidak ada perselisihan diantara
mereka. Sifat dan jalan pikiran keduanya pun isi-mengisi. Saling percaya
diantara mereka berdua pada waktu itupun sangat besar”[45]
Pada tanggal 17 Agustus 1950,
Indonesia kembali pada negara Kesatuan Republik Indonesia. Soekarno dikukuhkan
lagi sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada masa itu, Hatta
tidak aktif dalam mengatur pemerintahan. Ia sangat menjaga kedudukannya dalam
kabinet Parlementer itu, sehingga paling banyak Hatta hanya mengemukakan
nasehat atau saran yang pelaksanaannya bergantung pada pemerintahan
bersangkutan. Hubungan dengan Presiden Soekarno mulai 1950 sudah tampak kurang
sejalan. Banyak hal yang terjadi tidak sejalan dengan pemikiran Hatta. Hatta
tidak setuju kalau tanah masyarakat dikuasai oleh segelintir orang saja. Sebab
baginya tanah desa di negara kita merupakan milik kolektif desa atau orang
desa, oleh sebab itu tanah harus diusahakan secara bersama. Di samping soal
politik dan pemerintahan, Hatta juga sukar menerima pengabaian Soekarno
terhadap istrinya, Fatmawati. Apalagi Soekarno juga diam-diam nikah lagi dengan
Hartini. Hatta tidak bisa menerima ini. Dan Hatta kemudian berkata “Kalau di
dalam rumah tangga demikian, bagaimana pula dengan masalah negara”[46]. “Maka pada tanggal 1 Desember 1956,
Hatta mengundurkan diri disertai pemberian contoh, bagaimana seorang mantan
pejabat seharusnya bersikap sebagai warga negara biasa. Pengorbanannya untuk
bangsa, negara dan tanah air, benar-benar diuji dengan sikap dan tindakannya”[47].
3.8
Sebagai Warga Negara Biasa
“Setelah Hatta mengundurkan diri dari
Wakil Presiden, rakyat pada umumnya masih mengharapkan agar Dwitunggal dapat
dipulihkan”[48]. Tetapi
rupanya hal itu agak sulit apalagi pada tanggal 4 April 1957 Soekarno menunjuk
dirinya sebagai Formatur Kabintuget Djuanda, setelah kabinet Alisastroamidjojo
II jatuh. Dan ini berlawanan dengan konstitusi. Soekarno juga membentuk Dewan
Nasional yang ia ketuai sendiri yang tugasnya memberi arah bagi kebijakan
pemerintah. Semua kekuatan nasional termasuk komunisme, tercermin dalam Dewan
Nasional ini, yang tampaknya lebih berkuasa daripada DPR”[49].
Pemerintah yang semula otoriter, serta gagasan yang inkonstitusional semakin
menjauhkan relasi antara Soekarno dan Hatta. Ketika Soekarno menerapkan sistem
Demokrasi Terpimpin, relasi itu semakin jauh. Sebagaimana dikatakan bahwa
“gagasan Demokrasi Terpimpin semakin menghilangkan demokrasi dan menegakkan
terpimpinnya”[50]. “Apalagi
dengan dikeluarkan dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945 pada 5
Juli 1959 yang menjadikan Soekarno Presiden eksekutif. Sejak saat itu
perpecahan Soekarno dan Hatta benar-benar tidak dapat diperbaiki lagi”[51].
Selama masa-masa kritis itu, Hatta tetap memberikan saran dan kritik kepada
pemerintah, baik melalui tulisan atau surat kepada bekas kawan Dwitunggalnya.
Tetapi tiap suratnya yang ditulis, malah tidak dibalas, bahkan tulisan
berbentuk brosur Demokrasi Kita 1960
disensor dan diberangus”[52].
“Peristiwa 30 September 1965 membuat Hatta begitu sedih. Baginya peristiwa itu
merupakan tanggung jawab pemerintah semasa demokrasi terpimpin”. Jatuhnya
Soekarno dan naiknya Soeharto disambut Hatta dengan harapan besar untuk kembali
membangun Indonesia dengan tertib dan damai. Namun itu semua tidak terwujud.
Pemerintahan Soeharto malahan membuat banyak ketimpangan terhadap demokrasi.
Salah satu bentuk kekecewaannya adalah Hatta menilai negatif rancangan
pembangunan lima tahun Orde Baru yang dimulai dengan tahun 1965. Rancangan
meningkatkan kemampuan rakyat tertera dalam rumusan tetapi tidak dalam praktik.
Pengusaha baru terutama Cina maju ke depan akhirnya para konglomerat pun naik.
Hatta juga tidak menyetujui hak recall terhadap anggota DPR. Hal ini menurutnya
bertentangan dengan demokrasi. Malah ia anjurkan Pemilihan Umum tidak usah
diadakan kalau hak recall masih berlanjut”[53].
Pada tahun 1970, Hatta diangakat menjadi penasihat Presiden Soeharto dan
penasihat Komisi Empat untuk memberantas korupsi”[54].
Sejak tahun 1976, kesehatan Hatta mulai menurun. Ia sering sakit dan daya tahan
tubuhnya semakin hari semakin menurun. Tepatnya pada tanggal 14 Maret 1980
Hatta menutup mata untuk selama-lamanya.”[55]
BAB III
PANDANGAN HATTA TENTANG DEMOKRASI
1.
Pengantar
Pada Bab sebelumnya (Bab II) saya
sudah menguraikan riwayat hidup Bung Hatta, mulai dari masa kecilnya, masa-masa
studi dan pergerakan, masa menjabat sebagai Wakil Presiden, berhenti menjadi
Wakil Presiden, dan akhir meninggal sebagai Proklamator RI.
Sekarang saya akan
masuk dalam Bab III, yang merupakan Bab inti dari karangan
saya. Ada tiga pikiran utama yang akan saya bahas terkait dengan demokrasi. Pertama pengertian demokrasi. Kedua, Hatta dan demokrasi. Ketiga, sejarah perjalanan demokrasi
Indonesia. Pada bagian pertama saya akan bahas pengertian demokrasi. Pada
bagian kedua saya akan masuk dalam pembahasan mengenai prinsip dasar demokrasi,
Hatta dan model demokrasi Barat, Demokrasi modern dan desa, lalu saya akan
melihat demokrasi menurut Hatta dan Soekarno, sekaligus melihat debat hangat
antara kedua tokoh yang dikenal sebagai dwitunggal itu. Pada bagian ketiga,
saya akan bahas tentang bagaimana tantangan terhadap demokrasi itu berkembang
sekaligus bagaimana mempertahankan demokrasi dalam rangka menanggapi politik
Indonesia merdeka. Uraian saya pada bagian menanggapi politik Indonesia akan
saya bagi menurut urutan waktu. Bagaimana dan seperti apakah bentuk tanggapan
Hatta tentang demokrasi pada periode pendudukan Jepang di Indonesia, dan
periode Indonesia merdeka. Apa strategi Hatta untuk menanggapi situasi politik
setelah Indonesia merdeka.
2.
Hatta dan Demokrasi Barat
Sebagai seorang tokoh pergerakan yang
lama hidup dan tinggal di negeri Belanda, maka tidak dapat disangkali lagi
bahwa pikiran, pola berpikir dan cara bertindak Hatta pun dipengaruhi oleh
lingkungan di mana Hatta pernah tinggal. Pada bagian ini saya akan
menggambarkan bagaimana demokrasi Barat mempengaruhi Hatta dalam cara berpikir
dan bertindak.
Menurut Hatta “Demokrasi artinya
pemerintahan rakyat, yaitu rakyat memerintah diri sendiri”[56].
Dalam tulisan itu, Hatta mau menggambarkan model demokrasi itu secara umum,
maka Hatta menyinggung pula bahwa “Selain daripada demokrasi terdapat dalam
dunia pemerintahan negeri yang berdasar autokrasi, yaitu orang seorang yang
berkuasa, dan oligarkhi yaitu kekuasaan hanya di satu golongan kecil”[57].
Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh Monstesquie (sorang ahli Prancis) Hatta
mengatakan bahwa, “Pemerintahan demokrasi tidak dapat berlaku cepat seperti
pemerintahan autokrasi dan oligarkhi, karena senantiasa tidak ada mufakat
antara orang banyak. Sungguh pun demikian demokrasi lebih baik daripada
autokrasi atau oligarkhi, yang kemudian ini mudah menimbulkan revolusi. Dalam
demokrasi tidak ada revolusi, karena rakyat memerintah diri sendiri. Kepada
diri sendiri rakyat tidak dapat berontak”[58].
Demokrasi Barat sebagai demokrasi yang diminati oleh Hatta tentu bukanlah suatu
demokrasi yang sama selama-lamanya. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Hatta,
bahwa “adapun rupa demokrasi atau pemerintahan itu tidak sama selamanya”[59].
Demokrasi tua seperti di Athena dan di Rum berbeda dengan demokrasi sekarang
yang dilahirkan di Prancis”[60].
Hal yang menjadi perbedaan mendasar adalah tidak efisien dan sulit untuk
mengumpulkan massa sebegitu banyak dalam suatu tempat untuk mengadakan rapat.
Hatta dalam tulisannya mengatakannya bahwa, “Demokrasi rakyat itu mustahil
dilakukan oleh suatu kerajaan atau negara di zaman sekarang, karena
lingkungannya amat luas dan rakyat amat banyak”[61].
Maka, Demokrasi atau pemerintahan rakyat sekarang dilakukan dengan jalan
perwakilan. Rakyat yang banyak memilih wakil-wakilnya untuk bersidangdi dewan
rakyat, jadinya pemerintahan rakyat sekarang dilakukan dengan perantaraan Dewan
Rakyat atau Parlemen”[62].
Dengan demikian menjadi jelas bahwa parlemen merupakan penyambung suara rakyat,
dan parlemenlah yang menentukan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu suara
pemerintahan yang tidak disetujui oleh parlemen tentu bukan merupakan
pemerintahan yang sah. Sebagaimana dikatakan oleh Hatta bahwa:
“Suatu pemerintahan yang tidak
dipercayai oleh parlemen tentu tidak dapat hidup lama, karena Dewan Rakyat
dapat menewaskan dia setiap waktu dengan menerima mosi tanda tidak percaya atau
enggan menolak begroting yang
dipertimbangkan oleh pemerintahan kepada dia”[63].
Selanjutnya Hatta mengatakan bahwa,
“Jika sekiranya rakyat memilih mengutus kembali wakil-wakil lama ke dalam dewan
Rakyat yang baru itu, maka ini suatu tanda bagi Pemerintah, bahwa ia mesti
mundur, supaya digantikan oleh pemerintah yang baru”[64].
Oleh sebab itu menurut dasar demokrasi dasar sekarang keputusan yang paling
tinggi dalam hal urusan dan pemerintahan negeri ada pada rakyat dengan
perantaraan Badan Perwakilan, maka pemerintahan yang semacam itu, boleh dinamai
pemerintahan rakyat. Demokrasi ialah pemerintahan Rakyat”[65].
“Menurut dasar demokrasi itu, hak rakyat untuk menetukan nasibnya tidak saja
ada pada puncak pemerintah negeri, melainkan juga pada setiap tempat, di kota,
di desa, dan di daerah”[66].
Tiap-tiap golongan persekutuan mempunyai Badan Perwakilan sendiri. “dengan
keadaan yang demikian maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan
peraturan-peraturan sendiri)”[67].
Keadaan seperti ini penting karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri
tidak sama”[68]. Lebih
lanjut Hatta mengatakan bahwa:
“Inilah isi atau pokok demokrasi Barat, yang dinamai
orang juga Modern Demokrasi. Rakyat memerintah diri sendiri. Rakyat memerintah
diri sendiri dengan perantara badan-badan perwakilan yang susunannya dipilih
oleh rakyat sendiri. Akan tetapi melakukan azaz-azaz demokrasi berbeda-beda
dalam praktik, menurut keperluan golongan masing-masing. Sebab itu ada conservatieve demokratie, ada liberale demokratie dan ada pula sociale demokratie. Mana golongan yang
kuat atau berpengaruh besar, itulah yang memberi rupa kepada demokrasi tadi”[69].
Pada saat Hatta berbicara tentang
demokrasi ini, situasi di Barat berbeda dengan apa yang dicita-citakan. Kaum
kapitalis sedang berkuasa di Benua Barat. Oleh sebab itu demokrasi di sana
memakai rupa Kapitalisme Demokrasi. Dan cita-cita Modern demokrasi yang begitu
bagus pada dasar dan azasnya tidak berlaku lagi. Modern demokrasi berkehendak,
supaya rakyat dapat menetukan nasibnya sendiri! Tetapi yang demikian tidak
terdapat di dalam kapitalisme demokrasi di mana kaum kapitalis yang terkecil
golongannya menguasai penghidupan rakyat yang banyak. Menyimpang dari cita-cita
demokrasi asli yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat. Bentuk ideal dari
demokrasi Barat adalah pemerintahan yang rakyatnya dilibatkan dalam setiap
keputusan. Rakyat menjadi prioritas dalam pembangunan.
3.
Demokrasi Modern dan Demokrasi Desa
Apa sebenarnya yang dimaksudkan
dengan demokrasi modern dan demokrasi desa menurut Hatta? Pada pokok ini saya
akan mengulas essensi demokrasi modern dan demokrasi desa. Karena bagi saya
keseluruhan bangunan pemikiran Hatta tentang demokrasi Indonesia, merupakan
perpaduan antara kedua bentuk demokrasi ini. Meskipun saya dapat mengatakan
bahwa kedua model demokrasi ini di satu sisi saling menegasi tetapi di sisi
lain saling melengkapi.
Demokrasi modern dan demokrasi Barat
adalah demokrasi yang rakyatnya memerintah dirinya sendiri. Hatta dalam
karangannya mengatakan bahwa “Demokrasi modern, rakyat memerintah diri sendiri
dengan perantaraan Badan-Badan Perwakilan yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri”[70].
Hatta melihat justru karena rakyat mendapat tempat utama, dan keadilan menjadi
orientasi perjuangan yang ingin ditegakan dalam faham demokrasi Barat, maka Hatta
pun menerapkan demokrasi Barat itu di Indonesia. Dengan kematangan pengetahuan
dan keluasan pengalaman, Hatta yakin bahwa, demokrasi Barat akan dapat
berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sudah
membiasakan diri dalam kehidupan berdemokrasi seperti nilai gotong-royong,
musyawarah dan tolong menolong.
Menurut Hatta Indonesia berakar dalam
pengalaman demokrasi desa dengan tiga cirinya yaitu: Rapat, tempat rakyat
bermusyawarah dan mufakat, hak rakyat untuk mengadakan protes dan cita-cita
tolong menolong”[71]. Oleh
karena itu demokrasi desa dapat menjadi landasan bagi demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Namun ada hal yang perlu di pahami bahwa, menurut Hatta,
demokrasi desa tidak sama dengan demokrasi asli. Dalam satu karangan di tahun
1932, Hatta mengatakan bahwa demokrasi asli sebagai semboyan kosong tidak
berisi. Karena struktur kekuasaan politik tradisional bersifat feudal, di mana
rakyat hanya di pakai demi kepentingan raja.
Menanggapi pernyataan Hatta tentang
demokrasi asli dan demokrasi desa. Rm.Magnis dalam suatu tulisan di Tempo
menyatakan bahwa distingsi itu penting. Istilah demokrasi asli bisa memberi
kesan seakan-akan di wilayah Nusantara tentu selalu feodal dan otokritis, dan
rakyat hanya dipakai demi kepentingan raja. Hatta sangat anti feodalisme. Ia
mempersalahkan kaum ninggrat atas penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan ia
sangat khawatir jangan sampai kalau Indonesia sampai merdeka kekuasaan jatuh ke
dalam tangan kaum ninggrat. Dan dalam Indonesia yang merdeka seperti itu tidak
berarti rakyat merdeka! Implikasinya: bicara tentang demokrasi asli bisa
melegitimasi bentuk kedaulatan rakyat tempat rakyat lagi-lagi tidak berdaulat.
Lain halnya demokrasi desa. Demokrasi itu merupakan kenyataan dalam komunal
desa, yang terdiri atas tiga hal yakni: musyawarah dan mufakat, hak rakyat
untuk mengadakan protes, dan cita-cita tolong menolong. Demokrasi desa itu bagi
Hatta bukan sebuah model Negara demokratis seakan-akan daripadanya bisa
dibangun demokrasi yang lain daripada demokrasi Barat. Melainkan demokrasi desa
merupakan medan latihan untuk mengembangkan sikap-sikap demokratis. Dalam
demokrasi desa rakyat sudah biasa mengambil keputusan bersama, berkompromi,
berdebat dan akhirnya mendukung mufakat, jadi untuk mengembangkan sikap-sikap
yang memang diperlukan dalam demokrasi modern.
Jadi kedaulatan rakyat bagi Hatta
terwujud dalam demokrasi Barat. Menurut Hatta tidak ada demokrasi politik khas
Indonesia, lain daripada demokrasi-demokrasi lain di dunia. Yang menjadi
masalah adalah bahwa Barat membatasi kedaulatan rakyat pada dimensi politik.
Namun Hatta menegaskan bahwa rakyat tidak akan berdaulat betul-betul kecuali
juga berdaulat dalam bidang ekonomi. Di sinilah terletak keterbatasan paham
kedaulatan rakyat di Barat apabila perekonomian dikuasai oleh sebuah minoritas,
para pemilik modal, bagaimana rakyat dapat betul-betul berdaulat? Inilah kritik
paling mendasar Hatta terhadap pengertian masyarakat demokratis di Barat[72].
Bung Hatta dan Bung Karno merupakan Proklamator, mereka adalah Founding Fathers, keduanya dikenal juga
dengan sebutan Dwitunggal. Semua julukan yang diberikan kepada Hatta dan
Soekarno merupakan penghargaan yang patut diberikan kepada mereka. Karena
Republik ini berdiri berkat ketunggalan hati kedua tokoh ini dalam memperjuangkan
kemerdekaan.
Saya ingin mengatakan bahwa dalam
prinsip, aliran dan ideologi, Bung Hatta boleh berbeda dengan Bung Karno,
tetapi hal itu tidak berlaku apabila mengenai tujuan memperjuangkan kemerdekaan
dan mengisi kemerdekaan. Berikut ini saya akan memperlihatkan pandangan kedua
tokoh ini.
3.1
Demokrasi Menurut Hatta
Gagasan Hatta tentang demokrasi mempunyai landasan yang kuat dengan budaya
Indonesia. Sebagaimana Hatta sendiri mengatakan bahwa “Meskipun kaum ningrat,
kaum fasis dan komunis membenci kerakyatan, dan meskipun Mustafa Kemal kembali
dari demokrasi ke diktatur, namun kebangsaan dan kerakyatan kuat dan cocok
dengan keperluan pergerakan Indonesia di masa sekarang”[73].
Menurut Hatta kerakyatan itu sama dengan kedaulatan rakyat, akan tetapi kedaulatan
rakyat Indonesia tidak sama dengan kedaulatan rakyat Barat. Di manakah letak
perbedaannya? Dengan tajam Hatta menjelaskan bahwa “Kedaulatan rakyat Barat
terbatas pada dimensi politik, sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia juga
memuat bidang social dna ekonomi”[74].
Lebih lanjut Hatta memaparkan bahwa “Karena demokrasi di Barat dikembangkan
dalam rangka individualism seperti kelihatan dalam paham perjanjian Rousseau,
maka revolusi Prancis membatasi kedaulatan rakyat pada kenegaraan dengan akibat
bahwa ekonomi dikuasai oleh kaum kapitalis, yang jumlahnya sedikit, maka
konsekuensi logisnya demokrasi di Barat menjadi pincang, karena kaum kapitalis
yang terkecil golongannya yang menguasai kehidupan rakyat banyak jumlahnya”[75].
Sebaliknya hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Sebagaimana dalam uraian
Hatta bahwa “karena masyarakat Indonesia tidak Individualistik, melainkan
berdasar kepada rasa kebersamaan atau kolektivitet”[76].
Pandangan Hatta tentang demokrasi
sebagaimana dilihat oleh Rm Magnis dalam bukunya bahwa “karena rakyat Indonesia
berdasar kebersamaan, maka kedaulatan rakyat Indonesia juga menyangkut bidang
sosial dan ekonomi, penghayatan demokratis bangsa Indonesia menurut Hatta
berakar dalam pengalaman demokrasi desa dengan tiga cirinya yaitu: Rakyat, tempat
rakyat bermusyawarah dan mufakat, hak rakyat untuk mengadakan protes dan
cita-cita tolong menolong”[77].
Demokrasi desa dapat menjadi landasan bagi demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi. Lebih lanjut Rm Magnis menjelaskan bahwa “Ada satu hal yang penting
untkanuk memahami kedalaman keyakinan demokratis Hatta, yakni dalam satu
karangan di tahun 1932, Hatta menolak istilah demokrasi asli, sebagai semboyan
kosong yang tidak berisi. Karena struktur kekuasaan politik tradisional di
wilayah Indonesia bersifat feodal dan autokritis, dimana rakyat hanya dipakai
demi kepentingan raja. Maka Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional
Indonesia) Baru, yang menyadarkan kembali rakyat akan kedaulatan dan harga
dirinya, bentuk penolakan dan pencegahan Hatta terungkap dalam kalimatnya yang
berbunyi:
“Jangan sampai kalau Indonesia sampai
merdeka kekuasaan jatuh ke dalam tangan kaum ningrat, dan Indonesia yang
merdeka seperti itu tidak berarti rakyat merdeka”[78].
Menurut
Rm Magnis ada beberapa hal yang mencolok dari cita-cita, demokrasi Hatta. Pertama, Hatta sangat yakin akan
kecocokan demokrasi bagi Indonesia. Hatta erat mengaitkannya dengan kerakyatan,
dan yang akan berkuasa adalah kaum ningrat. Kedua,
Hatta membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi Barat. Di manakah letak
perbedaannya? Menurut Hatta bukan dalam pola demokrasi politik, seakan-akan
demokrasi Barat kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Melainkan bahwa di
Barat, karena individulismenya, demokrasi hanya ditegakan dalam bidang politik,
tetapi tidak dalam bidang ekonomi. Bidang ekonomi negara-negara Barat dikuasai
oleh kaum kapitalis, jadi tidak demokrastis, dan kekuasaan kapitalisme itu
menggagalkan maksud baik demokrasi politik. Jadi Hatta tidak membedakan bentuk
demokrasi politik khas Indonesia. Melainkan demokrasi Barat adalah individualik
karena kebersamaan politis di dalamnya digagalkan oleh individualisme nyata
dalam bidang ekonomi. Ketiga, acuan
pada demokrasi desa tidak dipakai Hatta untuk mencari semacam demokrasi politik
khas Indonesia, melainkan untuk memperlihatkan bahwa, pertama, cita-cita
demokratis mempunyai akar kuat dalam masyarakat Indonesia; dan kedua, bahwa
demokrasi di bidang politik harus dilengkapi dengan demokrasi di bidang
ekonomi. Keempat, sangat mencolok
semangat antifoedal Bung Hatta. sistem kekuasaan politik tradisional disebut
autokritik. Kekuasaan kaum ningratlah yang menurut Hatta mempermudahkan
penegakan kekuasaan kolonialisme. Dan Hatta khawatir bahwa kalau semangat
kedaulatan rakyat tidak dihidupkan kembali dalam masyarakat (untuk itu ia
mendirikan PNI Baru). “Indonesia akan tinggal tertindas karena kekuasaan tentu
jatuh ke dalam tangan kaum ningrat”[79]
3.2. Demokrasi di mata Soekarno.
Sebagai
suatu alasan mengapa saya merasa penting menempatkan Soekarno dan pemikirannya
tentang demokrasi dalam uraian tentang demokrasi menurut Hatta, karena Bung
Hatta dan Bung Karno adalah peletak dasar bangunan negara Indonesia yang
dikenal dengan nama demokrasi. Sebagaimana dengan Hatta yang melihat cita-cita
demokrasi Indonesia berakar dalam tradisi desa Indonesia, demikian juga dengan
Soekarno yang melihat hubungan erat antara demokrasi dan keadilan sosial”.[80] “Akan tetapi bagi Soekarno seluruh
perkembangan pola demokrasi sejak sesudah tanggal 18 Agustus 1945 merupakan
perjalanan yang sesat, sederetan gelombang yang jahat.”[81]
Sejak permulaan tahun 1956 Soekarno semakin menyerang adanya partai-partai dan
menuntut penciptaan sistem politik baru yang sesuai dengan tradisi Indonesia, Demokrasi Barat bukan demokrasi Indonesia, melainkan
demokrasi impor. Paham oposisi yang khas bagi demokrasi Barat telah menjadi
sumber ketidakpastian politik. Maka Indonesia hendaknya meninggalkan demokrasi
liberal dan kembali ke kepribadian Indonesia sendiri, dan hal-hal itu berarti
bahwa perlu dibentuk sebuah pemerintahan gotong royong, yang berarti tidak ada
tempat bagi oposisi, Kemudian Soekarno mengatakan bahwa :
"Sejak kita menanamkan gerakan nasional,
lebih-lebih lagi sesudah kita memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 memang kita selalu gandrung kepada demokrasi dan ing in
menyelenggarakan demokrasi itu, oleh k arena memang demokrasilah yang menjadi
api pembakar hati kita, api pewahyu segenap tindakan kita. Tapi menurut
keyakinan kita sebagai hasil pengalaman
yang sebelas tahun ini, demokrasi yang kita ambil, demokrasi yang kita pakai
adalah demokrasi yang tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Yaitu apa yang
kita namakan demokrasi Barat, suatu demokrasi import, demokrasi yang bukan
demokrasi Indonesia. Bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri.[82]
Dari uraian di atas saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Soekarno
tidak begitu setuju dengan pemerintahan demokrasi model Barat. la lebih suka
kalau sistem demokrasi di Indonesia tetap mengikuti kearifan
lokal sesuai dengan nilai-nilai
budaya Indonesia seperti semangat gotong royong dan kebersamaan.
3.3. Perdebatan
Antara Hatta dan Soekarno
Pada bagian ini saya ingin memaparkan sedikit perbedaan pandangan
antara Bung Hatta dan Bung Karno, karena justru dari perdebatan dan diskursus
inilah akhirnya melahirkan suatu negara yang bernafaskan demokrasi. Sebagaimana
saya katakan dalam kalimat-kalimat sebelumnya bahwa, Hatta dan Soekamo tidak mempunyai
perbedaan yang besar dalam memahami demokrasi. Namun apakah dengan demikian
berarti tidak adanya perbedaan antara keduanya? Hal yang saya mau kaji sebagai
suatu yang berbeda dari kedua tokoh ini adalah bagaimana demokrasi itu
ditetapkan? "Pada tanggal 15 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bersidang di Pejampon, terlibat
dalam debat panas;".[83] Haruskah kebebasan-kebebasan demokratis, hak
menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan
hak berserikat ditetapkan dalam undang-undang dasar atau tidak? Soekarno dan
Supomo menolak, sedangkan Hatta, Muhammad Yamin dan lain-lain mendukung
Soekarno menolak dengan alasan: Pertama, bahwa warga negara secara
individual memiliki hak-hak dasar tertentu sama dengan membuka pintu bagi
individualisme: "Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat bukan
kedaulatan individu"[84]
Kedua, menurut soekarno, rakyat memerlukan keadilan sosial, padahal
kebebasan-kebebasan itu tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati
kelaparan. Padahal Bung Karno sebagaimana dikomentari oleh Emil Salim bahwa
"hak kemerdekaan manusia sebagai individu di satu pihak dengan hak
kemerdekaan kedaulatan staat, menurut Bung Kamo, mengandung konflik yang
membuat dunia di Eropa dan Amerika Serikat menjadi dunia penuh konflik dan
goncangan dan pertikaian dan peperangan"[85]
lebih lanjut ditegaskan bahwa "Dasar falsafah individualisme inilah yang
menjadi sumber dari liberalisme ekonomi, yang kemudian memicu kelahiran
kapitalisme, imperialisme dan peperangan. Oleh karena itu dengan penuh
kesungguhan Bung Karno mengusulkan agar dibuang jauh-jauh paham individualisme
dan ditolak masuknya kemerdekaan tiap-tiap individu yang berhak atas
kemerdekaan, berhak memiliki rumah tangga, berhak bersidang dan berkumpul"[86]
Sebagai konsekuensi dari penolakan faham individualisme itu maka Bung Karno
menolak kedaulatan individu dan mengusulkan kedaulatan rakyat. Namun
sebagaimana tanggapan dan sikap Hatta ketika menyikapi argumen yang dikemukakan
oleh Bung Karno? Bung Hatta merasa perlu agar hak individu itu dimasukan dalam
Undang-Undang. Hatta menyakini ini dengan mernberikan pertimbangan sebagaimana
yang diungkapkan oleh Emil Salim dalam artikelnya bahwa "kelemahan faham
individualisme patut diberantas, namun dengan melenyapkan individualisme ini
jangan sampai kita masuk mulut buaya berupa negara kekuasaan. Janganlah kita
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara dan menjadikan Indonesia
merdeka yang kita bentuk itu suatu negara kekuasaan. Karena itu Bung Hatta
mengusulkan pasal mengenai hak warga negara agar jangan takut mengeluarkan
suara untuk berkumpul dan bersidang.[87]
Bung Hatta berpendapat bahwa kedaulatan rakyat bisa disalah gunakan oleh
negara. Apabila dalam UUD kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui majelis
permusyawaratan Rakyat dan kemudian menyerahkan kekuasaan kepada presiden.
Sehingga sangatlah penting agar presiden tidak diberikan peluang menimbulkan
negara kekuasaan. Untuk itu perlu ada jaminan yang diberikan kepada rakyat
berupa hak untuk merdeka berfikir, merdeka berpendapat dalam lisan dan tulisan
dan merdeka berorganisasi. "Bung Hatta mendapatkan dukungan dari Mohammad
Yamin menganggap hak warga negara untuk memiliki kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dari tulisan sehingga layak
memperoleh pasal tersendiri dalam UUD. Hal ini kemudian terkabul dan
tersalurkan melalui pasal 28 dalam Bab X Warga Negara".[88]
4. Masa Pendudukan
Jepang
Saya mengawali karangan ini dengan mengutip sebuah kalimat yang
diungkapkan oleh Hatta sendiri pada pidato tanggal 8 Desember 1942. "Bagi
pemuda Indonesia, saya lebih suka melihat Indonesia tenggelam dalam lautan
daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."[89]
Pidato Hatta yang di tujukan kepada pemuda Indonesia
ini mempunyai makna yang dalam. Hatta ingin memacu semangat kaum muda bahwa,di
pundak kaum muda harapan akan kemerdekaan akan terwujud. Bahwa sebagai kaum
muda kita tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan yang sedang terjadi,dan
tidak boleh membiarkan dijajah lagi oleh kaum kolonial.
Hatta dengan sangat jeli mengatakan bahwa, janganlah kita
sekali-kali menjadi budak dari bangsa asing. Perjuangkanlah kemerdekaan dan
menjadi cita-cita kemerdekaan untuk Indonesia. Kalau imperialisme (Barat)
menang dalam perang Timur Raya ini, niscaya Indonesia akan dijadikan jajahan
kembali, dan barangkali dikembalikan pada tuannya yang sama yakni
Belanda".[90]
Hatta sekali lagi ingin menyatakan bahwa jalan pembebasan untuk
melepaskan diri dari imperialisme adalah harga mati untuk Indonesia. Dengan
bersemanaat Hatta mengajak "Marilah kita berjuang bersama-sama, sehidup
dan semati untuk kebesaran Asia, tujuan perjuangan kita lebih jauh yaitu
menyempurnakan dasar kemanusiaan di atas dunia ini".[91]
Hatta memperlihatkan bahwa penjajahan dalam bentuk fisik bukan hanya
mengakibatkan sakitnya fisik manusia., tetapi juga merusaknya moral dan
martabat manusia. Dalam perjuangan itu optimisme terhadap kemerdekaan harus
menjiwai nurani manusia. Hatta ingin memperlihatkan bahwa keprihatinannya yang
besar adalah kalau rakyat Indonesia kehilangan spirit dalam perjuangan pembebasan
diri dari kolonialisme. Dengan semangat yang berkobar dan kerjasama yang solid
Hatta yakin bahwa dimasa yang akan datang Indonesia akan menjadi bangsa yang
bebas dari kolonialisme. Ketika Hatta berbicara tentang semangat kerjasama,
Hatta tidak hanya mengajak rakyat Indonesia untuk menguatkan solidaritas itu,
tetapi juga rakyat Indonesia harus menjalin kerjasama dengan bala tentara Dai
Nippon.
Harapan Indonesia akan tanah air yang mulia dan persekutuan
bangsa-bangsa sekelurga di Asia dengan dasar-dasar kemakmuran bersama hanya
tercapai, apabila didapat kemenangan akhir dalam peperangan Asia Timur Raya.
Sebab itu untuk mencapai kemenangan akhir, kita harus bekerja segiat-giatnya
bersama-sama dengan bala tenlara Dai Nippon".[92]
Hatta ingin menegaskan bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan itu perlu
adanya kerjasama. Nasib suatu bangsa bergantung pada kekuatan semangat
rakyatnya dan pada kernauan untuk membangunkan masyarakat baru yang berdasar
kepada kemanusiaan, keadilan dan kemakmuran bersama.[93]
"Dalam seluruh aktifitas dan perjuangan, Hatta selalu menempatkan nilai
kemanusiaan pada tempat yang utama, disamping itu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat mendapat tempat yang utama, karena bagi Hatta rakyat
adalah yang utama. Bukan individu atau kepentingan orang perorangan. Maka dapat
dilihat bagaimana Hatta menempatkan rakyat sebagai subyek dari suatu pergerakan
dan manusia lah yang menjadi tujuan dari setiap perjuangan. Rakyat Indonesia
bukan rakyat yang tahu minta terima kasih saja". la juga ingin ikut
berjuang mencapai cita-cita Asia Raya. Gerakan rakyat jangan dilihat sebagai
gerakan rakyat untuk bersidang dan berkumpul, tetapi harus dilihat sebagai
kewajiban untuk menyatukan semangat serta memperkuat tenaga rakyat, yang perlu
untuk kemenangan akhir dan pembangunan masyarakat baru yang berdasarkan
kemanusiaan, keadilan, dan kemakmuran. Kita bergerak melakukan pendidikan
rakyat dalam segala lapisan.” [94]
Dalam hal ini yang mau disoroti oleh Hatta adalah membongkar ideologi Barat
yang telah mempengaruhi masyarakat Indonesia yakni ideologi berdasarkan kepada
individualisme, yang mendahulukan orang perseorangan daripada rakyat
kebanyakan. Hal ini tentu akan menjadi landasan yang kuat bagi Hatta membangun
dalam demokrasi Indonesia kelak. Bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi
yang berdasarkan kepada kerakyatan.
Ada beberapa alasan yang di kemukaJcan Hatta
mengapa individualisme kurang hegitu cocok dengan masyarakat Indonesia?
1.
Faham individualisme lebih menekankan kepada bagian-bagian
daripada suatu keseluruhan. Hal ini tentu berbeda dengan kebiasaan masyarakat
Indonesia yang memang selalu menghidupkan kebiasaan untuk berkumpul dan gotong
royong.
2.
Menurut faham individualisme.orang seorang itu yang
dahulu,masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak, Jadi kesempatan masyarakat
tergantung dari orang seorang yang menjadi bahan susunannya".[95]
Saya melihat bahwa Hatta terlalu kuat memegang prinsip kebersamaan
karena ia melihat pada dasarnya manusia itu sudah terbiasa untuk hidup saling
tolong menolong. Maka ketika dalam pemikirannya tentang ekonomi dan koperasi
kita akan melihat bahwa, dasar tolong menolong dan usaha bersama itu akan
menjelma menjadi koperasi. Dengan semangat dan kerjasama berdasarkan semangat
gotong royong itu,maka tanggungjawab untuk membangun sebuah masyarakat yang
baru adalah tanggung jawab setiap orang.
“Mendidik rakyat supaya kuat kewajibannya serta tanggung jawabnya
dalam pembangunan masyarakat baru”[96]
Marilah kita berusaha dengan sekuat tenaga membangun masyarakat baru serta
melagukan syair yang di ciptakan oleh Rene De Clerk “Kanya satu tanah yang
bernama Tanah Airku,ia makmur karena usaha dan
usaha itu adalah usahaku”[97].
4.1. Persiapan Kemerdekaan
Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan gagasan Hatta dalam
persiapan kemerdekaan Indonesia. Kita akan melihat bahwa ada perbedaan pendapat
antara Hatta dan teman-teman seperjuangannya. Lalu hal menarik yang perlu
menjadi perhatian adalah dari setiap perdebatan itu ada kesepakatan dan
kesatuan ide. Hatta sebagai tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat
Indonesia tetap memberi perhatian pada nilai kemanusiaan. Maka baginya
kemerdekaan bukan hanya berarti rakyat terbebas dari tekanan fisik tetapi juga
bebas dari tekanan batin.
“Pada tanggal 15 Juli 1945, sidang pleno Badan
Penyidikan membahas masalah hak asasi”[98].
Pada saat itu terjadinya perdebatan Soekarno,Soepomo,dan Hatta. Untuk lebih
jelas melihat seperti apa perdebatan itu terjadi dan bagaimana hasil akhimya
saya akan mengutip sedikit tentang isi perdebatan para Bapa Pendiri Bangsa itu.
“Pada intinya Soekarno dan Soepamo tidak menyetujui untuk menegaskan hak-hak
tersebut dalam Undang-undang Dasar. Karena Soekamo Ketua Panitia Kecil tentang
Undang- Undang Dasar, dan Soepomo mempunyai wibawa dalam soal-soal hukum.
Alasan Soekarno dan Soepomo dalam penolakan ini ialah karena hak-hak tersebut
tumbuh dengan timbulnya individualisme di Barat seperti yang diperlihatkan oleh
masa-masa sekitar Revolusi Perancis.”[99]
“Tetapi Hatta menolak alasan yang dikemukakan oleh Soekarno
dan Soepomo. Hatta menegaskan bahwa perjuangannya telah dua puluh tahun
menentang individualisme, tetapi masalah hak-hak manusia yang penting-penting
perlu dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar”[100].
Hatta mempunyai keprihatinan bahwa, kalau hak rakyat untuk mengeluarkan
pendapat saja tidak dijamin, mungkin terjadi (nanti) suatu bentuk negara yang
tidak kita setujui. Mungkin timbul oleh kehampaan itu disiplin buta, asal ikut
memimpin saja. Menurut Hatta, negara yang ingin dibangun adalah negara yang
jangan menjadi negara kekuasaan.
Hatta mengatakan bahwa “Kita menghendaki negara pengurus,
kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar pada gotong-royong, usaha
bersama, tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi disamping itu
janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk
menjadikan negara baru itu suatu negara kekuasaan”.[101]
Dengan alasan ini, Hatta sebenarnya tidak menyatikan bahwa hak untuk berkumpul
dan bersidang adalah hak dasar setiap individu dan hak ini perlu dijamin oleh
Undang-Undang. Hatta ingin mencantumkan pernyataan negara terhadap hak-hak ini
“Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang
dan berkumpul diakui oleh negara dan ditentukan dengan Undang-Undang”[102]
4.2.
Masa Kemerdekaan (1945-1959)
Dinamika kehidupan demokrasi Indonesia selalu mendapat tantangan.
Hatta menyadari untuk dapat mengembangkan dan merawat demokrasi yang
ditanamkan, maka masyarakat Indonesia harus punya komitmen untuk bersatu, dalam
pidato tanggal 29 Agustus 1945 dengan tema Bulat Bersatu Menghadapi Masa Yang
Genting dihadapan pemuda dan masyarakat, Bung Hatta dengan lantang mengatakan
“Kita sudah menentukan nasib kita sebagai bangsa yang merdeka dan tidak mau
dijajah lagi”. Komite Nasional hendaklah dimana-mana menjadi pusat persatuan
rakyat, yang meliputi segala golongan dan aliran paham yang ada dalam
masyarakat kita. Sebab terhadap soal yang satu yaitu, kemustian atau keharusan
Indonesia merdeka tidak ada perselisihan paham sedikitpun di antara kita yang
mempunyai sifat manusia dan mempunyai rasa kebangsaan Indonesia. Tentang
caranya kita menyelenggarakan kemakmuran rakyat, tentang cara mencapai keadilan
sosial dan tentang cara mengatur pemerintahan Indonesia, kita mungkin
berbeda-beda paham. Akan tetapi tentang hak yang menjadi pokok, kemustian
Indonesia merdeka, tentang ini kita seiya-sekata, bulat dalam kemauan. Sebab
itu pula, maka Komite Nasional adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita
bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia, yang berdasarkan
kedaulatan rakyat”[103].
“Penghidupan yang akan kita bangunkan adalah penghidupan bangsa yang
berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kekuatan bangsa akan dalam jiwa rakyat
seluruhnya Rakyat itulah tiang bangsa, dan dalam rakyat itu terhimpun segala
kekuatan enaga rakyat. Semboyan perjuangan kita ialah: dengan rakyat dan untuk
rakyat kita membangun. Membangunkan negara republik Indonesia.”[104]
Gagasan Hatta tentang kedaulatan rakyat merupakan bagian yang
sangat penting di dalam demokrasi Indonesia. Dalam satu kesempatan pidato
tanggal 12 Desember 1945, yang secara khusus ditujukan kapada kaum muda
Indonesia, beliau mengatakan bahwa “pemuda boleh mendorong pemuda untuk
melakukan salah satu tindakan yang patut rasanya, tetapi segala keputusan
hendaklah diiakukan menurut dasar kedaulatan rakyat.
“Kedaulatan rakyat artinya: kekuasaan yang
dijalankan rakyat dengan secara mufakat. Kata mufakat mestilah ada, barulah
kedaulatan itu ada pada rakyat. Putusan yang diambil oleh seorang atau satu
golongan saja dengan tiada persetujuan rakyat, bukanlah kedaulatan rakyat.
Demikian juga kata mufakat yang dipaksakan kepada rakyat untuk melakukan
tindakan yang menentukan nasib orang banyak, hendaklah diputuskan oleh orang
banyak pula. Dan pemerintah yang senantiasa bertindak untuk keperluan rakyat,
bertanggungjawab senantiasa kepada rakyat, langsung atau kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Inilah pemerintahan yang berdasarkan kepada kedaulatan
rakyat.”[105]
4.3. Hatta Sebagai Wakil Presiden
Sebagai
wakil presiden, Hatta
selalu mengedepankan kedaulatan
rakyat Gagasan tcntang demokrasi semakin matangdan diimplementasikan
dalam kehidupan praktis.
Pada bagian ini saya akan mengupas, bagaimana relasi antara
Soekarno dan Hatta, sehingga keduanya disebut sebagai dwitunggal. “Kedudukan
Hatta sebagai Wakil Presiden erat sekali kaitannya dengan Soekarno sebagai
Presiden. Kata Dwitunggal mencerminkan hubungan dan kegiatan mereka. Mereka
saling mempercayai, apa yang dilakukan oleh seseorang turut
dipertanggungjawabkan oleh orang lain.”[106]
Dalam hal ini menegakkan
demokrasi adalah upaya yang berkesinambungan, dan
butuh komitmen, sebagaimana diungkapkan oleh Hatta bahwa “dalam mengisi
kemerdekaan, rakyat Indonesia perlu bekerja keras, jangan lupa tujuan bangsa
kita, tidak lain dan tidak bukan adalah mencapai suatu negara Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur, hanya Indonesia yang merdeka. berdaulat,
adil dan makmur, yang bisa memuaskan bangsa kita yang telah berjuang sekian
lamanya”[107].
Suasana politik sesudah Indonesia merdeka adalah
suasana yang dipenuhi dengan polemik dan pertentangan. Banyak hal yang perlu
dibenahi dan aneka persoalan yang perlu ditanggapi dengan sikap rasional. Hatta
sebagai tokoh yang berperan dalam upaya menanggapi kemerdekaan itu. Hal ini
karena perannya yang begitu penting mulai dan zaman perjuangan, dan Hatta juga
tokoh yang secara langsung terlibat dalam semua proses itu. Pada pidato tahun
1948 beliau mengatakan "Ada dua tiang yang terpenting dan demokrasi
Indonesia yang asli, yaitu rapat dan hak rakyat untuk mengadakan massa protes”.
Apalagi kedua-dua ini dikerjakan dan dihidupkan dengan cara yang bijaksana.
Maka demokrasi kita akan tumbuh dengan teratur dan akan merupakan pembentukan puhlike
opmic yang berdisiplin. Dengan demikian akan menjadi kekuatan rakyat yang
memberikan vitalitas kepada pembangunan negara dan masyarakat. Tetapi
sebaliknya, apabila rapat dan hak rakyat untuk mengadakan massa protes itu
dipengaruhi dengan hawa nafsu yang tidak terkuasai beserta dengan mempertajam
segala pertentangan, maka demokrasi kita yang sedang tumbuh akan rusak dan
masyarakat akan terpecah belah”.[108]
Tidak mudah memang, upaya mempertahankan
kemerdekaan ternyata jauh lebih sulit dari upaya memperjuangkan kemerdekaan.
Dalam kesempatan pidato kali ini, dihadapan publik dan kaum muda Pesundan
(Jabar) Hatta membicarakan persoalan pendudukan wilayah Jawa Barat oleh Belanda
“Saudara-saudara rakyat Pasundan, rakyat Jakarta Raya dalam pendudukan Belanda!
Saya dapat merasakan kesedihan hati saudara-saudara menghadapi suasana pada
waktu akhir-akhir ini”.[109]
Hal yang mau dikatakan oleh Hatta adalah bahwa saat itu,
wilayah Pasundan sedang dikuasai oleh Belanda. Dan Belanda dengan taktiknya
mencoba untuk membuat pemisahan supaya Jawa Barat berpisah dari republik
Indonesia. [110]
Menanggapi hal di atas Hatta segera berunding dengan Soekarno dan
mencoba mencari jalan keluar. Akhirnya mereka bisa membuat suatu keputusan
untuk mengadakan suatu persetujuan yang disebut dengan persetujuan Renville.
Dengan optimisme bahwa kemelut itu akan berakhir di meja perundingan, Hatta
mengatakan “Saudara-saudara, banyak baiangkali diantara saudara-saudara yang
tidak mengetahui benar maksudnya persetujuan Renville, bukan dengan maksud
menyerahkan daerah-daerah kita sebagian kepada Belanda, melainkan untuk
menyelesaikan persengketaan kita dengan Belanda melalui cara damai”[111]
Dalam persetujuan Renville ada jaminan, bahwa rakyat
sendirilah dalam republik yang diduduki Belanda itu, yang akan menentukan
nasibnya, apabila ia akan kembali ke dalam daerah Republik ataukah akan berdiri
di luar Republik dengan segala kelemahan yang akan dideritanya”[112].
“Berjuanglah saudara dengan giat menuntut demokrasi yang adil, menuntut haknya
rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri”[113].
Disini kita dapat melihat kegigihan seorang Hatta dalam membela demokrasi.
Demokrasi menurut Hatta berarti ada jaminan akan keadilan, dan hak rakyat untuk
menentukan nasibnya tidak boleh diperkosa oleh pihak lain. Tepatnya tanggal 17
Agustus 1948 dalam rangka 3 tahun kemerdekaan Negara republik Indonesia Bung
Hatta membuat sambutan tertulis dalam majalah mimbar Indonesia, kini kita
memasuki tahun ke-3 kemerdekaannya. Pada hari yang bersejarah ini semua
masyarakat merayakan dengan kegembiraan, walaupun tidak disangkal bahwa di
sana-sini masih ada rakyat yang menderita kelaparan, kemiskinan, sakit dan
lain-lain.
Di sinilah tantangan terhadap demokrasi, sebagai seorang
pemimpin bangsa Hatta ingin memberikan optimisme kepada masyarakat Indonesia.
Hatta mau menunjukkan bahwa merdeka tidak berarti terlepas dari tanggungjawab
untuk membangun bangsa sekalipun dalam keadaan sangat sulit. Merdeka berarti
berada di tengah-tengah tantangan, dan mencari jalan keluar dari tantangan yang
sedang kita hadapi. Dan Hatta menunjukkan itu. Dengan berbagai cara, baik
pidato, ceramah, tulisan, maupun surat-menyurat, Hatta menempa kesadaran
masyarakat supaya semakin memahami makna dan kemerdekaan dan tanggungjawab
sebagai warga negara yang merdeka. Dalam tulisannya di mimbar kali ini Hatta
menegaskan bahwa:
”Dasar kedaulatan rakyat adalah untuk melaksanakan pcmcrintahan
ncgcri dengan tujuan supaya tercapai persaudaraan sebagai orang sckeluarga di
antara rakyat Indonesia seluruhnya, dan tercapai keadilan serta kcsejahteraan
dan kemakmuran hidup”[114]
“Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada di tangan rakyat,
dilakukan dengan jalan bermusyawarah. Mempunyai kekuasaan berarti pula menerima
tanggungjawab yang sepadan dengan kekuasaan yang diperoleh. Oleh karena itu rakyat
seluruhnya bertanggungjawab atas nasibnya. Baik atau buruk nasib kita ada di
tangan rakyat”[115]
selanjutnya beliau menegaskan bahwa “Kedaulatan rakyat disebut juga demokrasi,
tetapi demokrasi kita berlainan coraknya dengan demokrasi Barat, yang terbatas
pada demokrasi politik. Cita-cita demokrasi kita lebih luas. la tidak saja
demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi, sebagaimana dijamin dalam
Undang-Undang Dasar negeri republik Indonesia, pasal 33 yang berbunyi:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. [116]
“Dengan adanya demokrasi ekonomi barulah dapat dijamin adanya
keadilan sosial, yang menjadi tiang kelima negara Republik Indonesia. Keadilan
sosial menghendaki kemakrnuran yang merata ke seluruh rakyat yang berdasarkan
cita-cita kemerdekaan yang keempat dari almarhum Roosevelt, freedom from want yaitu bebas dan kesengsaraan
hidup.[117]
Sudah kita tahun lebih bangsa Indonesia merdeka, namun cobaan
yang dialami masyarakat semakin besar. Guna menanggapi situasi sosial yang
sedang terjadi di tanah air misalnya: “Kekurangan bahan makanan, timbulnya
bahaya perusak dan dalam, paham dan keyakinan mendapat ujian. Semuanya
itu adalah cobaan untuk merdeka”.[118]
Maka dalam pidatonya Bung Hatta menegaskan kembali essensi dari demokrasi.
“Negara Republik Indonesia berdasar kepada demokrasi, dan kewajiban kita semua
ialah memupuk demokrasi kita yang sedang tumbuh itu. Tidak ada yang lebih
berbahaya bagi kembangnya demokrasi daripada diktatur yang disorongkan oleh
satu partai atau golongan, sekalipun partai atau golongan itu adalah golongan
yang terbesar”[119]
. “Demokrasi itu hidup dengan semangat sportif, satu sama lain harus toleran,
sabar dan saling menghargai paham dan pendirian yang berlainan. Hasutan dan
fitnah harus hilang. Sebab itu, betapa juga beda paham dalam politik dan
taktik, percaya mempercayai harus ada dan diperkuat. Perjuangan rakyat tetap
kita tegakan dengan persatuan kita”[120].
Komitmen Hatta pada penegasan tentang demokrasi diulangi lagi.
“Demokrasi sering disebut pemerintahan rakyat. Agaknya lebih tepat
apa yang dikatakan oleh pujangga besar Thorbeke dengan adagiumnya yang begitu
tersohor, bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan daripada yng diperintah.
Rakyat menerima perintah, akan tetapi pemerintahan yang didasarkan atas kemauan
rakyat. Dalam pemerintahan demokrasi rakyatlah pada akhirnya yang
bertanggungjawab untuk menentukan nasibnya bukan saja dalam hal menentukan
nasibnya sebagai bangsa yang bertanggungjawab, melainkan juga dalam hal-hal
yang mengenai urusan hidup serta perbaikan nasibnya sehari-hari. Hanya apabila
rakyat merasakan senantiasa tanggungjawabnya tentang urusan hidup bersama,
barulah hidup demokrasi. Karena itu, maka adalah kewajiban mutlak bagi kita
bersama untuk menghidupkan demokrasi yang sedang tumbuh sekarang dalam kalangan
rakyat”.[121]
“Demokrasi adalah dasar hidup bangsa kita”.
Kewajiban kita sekarang ialah menumbuhkan demokrasi yang sudah ada rumpunnya
itu menjadi pohon yang rindang, sehigga dapat memenuhi tuntutan hidup bangsa
kita di masa sekarang dan masa yang akan datang[122].
Nasibnya adalah dalam tangannya sendiri, rakyat berani mempertahankan dan
membela kemerdekaannya.[123]
5. Hatta dan Masa
Demokrasi Parlementer (1950-1957)
Gonjang-ganjing pemerintahan Indonesia sebagai negara yang
baru merdeka mendapat banyak tantangan. Pada sub tema ini saya akan membahas
bagaimana Indonesia di zaman demokrasi parlementer dan bagaimana Hatta berperan
di dalamnya. Ada beberapa pergolakan yang terjadi di masa demokrasi perlementer
yaitu: peralihan dari negara serikat atau federasi ke negara kesatuan,
bagaimana posisi Hatta dalam negara kesatuan 1950, dan sebagai wakil Presiden
Konstitusional 1950?
5.1. Hatta Dalam Negara Kesatuan
Sebagai pengawal hati nurani rakyat dan sebagai
pemimpin rasional, Hatta sangat hati-hati dalam mengambil setiap keputusan.
Sebelum mengambil keputusan Hatta selalu memikirkan secara matang, jangan
sampai keputusan yang diambilnya membawa akibat yang kurang baik terhadap
masyarakat secara khusus dan bangsa pada umumnya, atau jangan sampai keputusan
itu mencederai demokrasi yang sedang dibangunnya. Dan bagaimanakah sikap Hatta
dalam menentukan bentuk negara? Posisi Hatta sangat jelas. Hatta tidak hanya
mengajarkan bagaimana bentuk negara yang cocok dengan Indonesia dalam pidato
dan ceramah tetapi lebih dari itu Hatta menunjukkan dalam tindakan konkret.
Perilakunya sangat demokratis. Sebagaimana saya akan uraikan dalam kalimat
berikut bahwa “Hatta adalah pribadi yang terkenal sebagai seorang yang lebih
menyukai federasi daripacta negara kesatuan untuk negara seperti negara
Indonesia”. Tetapi ia juga tidak bersikeras dalam pendiriannya, dan
bersedia mengikuti pendapat terbanyak yaitu negara kesatuan[124].
Dalam keputusan yang diambil, saya dapat melihat dengan jelas bahwa prinsip
menghargai pendapat terbanyak dari masyarakat sangat kuat melekat dalam pribadi
Hatta. dan ini merupakan prinsip demokrasi yang mau dikembangkannya.
5.2. Sebagai Wakil Presiden Konstitusional
“Pada tanggal 17 agustus
1950, RIS resmi dinyatakan sebagai negara kesatuan kembali, dengan nama
yang sudah dipaterikan pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Hatta
dipilih kembali sebagai wakil Presiden Republik Indonesia.[125]
Pada masa itu pula Hatta berhenti sebagai Wakil Presiden.
6. Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1966)
Pada masa demokrasi terpimpin, tantangan terhadap
demokrasi semakin besar. Perjuangan Hatta untuk menegakan demokrasi pun semakin
gencar dilakukan. Pada bagian ini saya akan menjelaskan sedikit beberapa
peristiwa yang merupakan tantangan terhadap demokrasi Indonesia. Ada hal yang
menarik yang diungkapkan oleh Hatta ketika beliau melihat bahwa korupsi sedang
merajalela di Indonesia. Dengan nada lantang beliau mengatkan bahwa “Salah satu
sebab penting apa sebabnya saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden adalah
karena korupsi merajalela”[126]
Namun ada hal yang perlu dicatat bahwa “Berhentinya Hatta sebagai Wakil Presiden
membawa pengaruh yang tidak terduga sebelumnya”[127]
“Daerah terutama di Sumatera dan Sulawesi meningkatkan tuntutannya, malah ada
yang memisahkan diri dari pusat. Seperti Sumatera Utara di bawah pimpinan Panglima
Militer Kolonel M. Simbolon”[128].
Pada masa-masa kritis semacam itu juga, komitmen Hatta tentang demokrasi tetap
ditunjukan. Hal ini dapat dilihat bagaimana gagasan Hatta tentang demokrasi
itu, ingin dikembangkan. Lebih lanjut Hatta mengatakan bahwa, “Sekarang
tiap-tiap orang berlomba-lomba menyebut dirinya sosialis, dan katanya mau
membantu melaksanakan sosialisme Indonesia. Tapi saya sangsi apakah mereka tahu
apa sosialisme dan syarat-syarat ekonomi untuk melaksanakan suatu sosialisme!
Kemudian Hatta menyambungnya dengan berkata menjilat dan mengambil muka itulah
yang dijadikan dasar hidup sekarang, sehingga karakter hilang sama sekali.
Manusia yang berkarakter terpaksa berdiam diri.
Pada kesempatan lain ia berkata, “Negeri kita
sudah jadi negeri totaliter, dan negeri seperti mi menghidupkan manusia
penjilat, pendusta dan korup. Hanya negara demokrasi yang sebenar-benarnya
demokrasi yang melahirkan manusia yang berani membela kebenaian. Dan demokrasi
janganlah disamakan dengan liberalisme. Sungguh pun liberalisme
yang mula-mula mendorong timbulnya demokrasi”[129]. Mengutip apa yang dikatakan oleh Deliar Noer,
“dalam menilai demokrasi, Hatta sependapat dengan Soekarno bahwa, demokrasi
Barat tidak sesuai dengan Indonesia”[130].
Namun dalam penjabaran bagaimana demokrasi yang cocok untuk Indonesia itu
disusun, Hatta berbeda dengan Soekarno”[131].
Contoh
yang dapat dilihat
adalah bagaimana reaksi
Soekarno dengan
berdirinya banyak partai.
“Dalam bulan Oktober 1956, pada upacara peringatan Sumpah Pemuda, Soekarno
mengecam berdirinya banyak
partai di Indonesia yang katanya disebabkan oleh maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945. Maklumat ini merupakan salah satu kesalahan besar yang
pernah dibuat. Oleh sebab itu ia menganjurkan agar partai-partai dikuburkan
secara bersama-sama para pemimpinnya.[132].
Pendapat Deliar Noer tentang pertentangan ini sebagaimana dikutip dalam bukunya
bahwa “Hatta tidak melihat maklumat ini sebagai penyebab kesulitan kepartaian
di Indonesia. Bukan karena dirinya yang menandatangani maklumat itu, maka
dengan kritis Hatta mengatakan bahwa "isi maklumat itu sendiri merupakan
akibat dari sistem dan demokrasi yang dianut”[133].
Menurut Hatta, apa yang dilakukan ban yak partai pada tahun 1950 an tidak
sesuai dengan maksud makluma 3 Novenber 1945tadi. Maklumat tersebut menghendaki
partai-partai yang sedang bertangguigjawab atas kesejahteraan rakyat pada
umumnya, bukan partai-partai yang memikirkan dan bertindak untuk kepentingan
diri sendiri. Dengan keras Hatta berkata:
“Tiap-tiap golongan yang bekejar-kejar mencari rejeki. Golongan sendiri
yang dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme,
dalam praktik dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai
yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar
supaya rakyat dapat belajar merasakan tanggungjawabnya pemangku negara dan
anggota masyarakat partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”[134].
Lalu bagaimana dengan konsep musyawarah dalam negara
demokrasi? Berikut ini saya akan uraikan bagaimana musyawarah dalam gagasan Hatta.
dalam rangka mencari bentuk dan sifat demokrasi yang sesuai dengan Indonesia,
Hatta dapat menyetujui musyawarah, tetapi menolak sistem mufakat. Musyawarah
memang mutlak. Cara-cara ingin meriang sendiri, sikap otoritas atau
diktatorial, tetapi mufakat merupakan cara mengambil keputusan tanpa seseorang
atau beberapa orang menunjukkan perbedaannya. Karena itu, mufakat mudah
dilaksanakan di desa-desa, tetapi tidak pada pusat-pusat pemerintahan kerajaan”[135].
Hatta cenderung pada sistem mufakat, namun menurut Hatta sistem nuisyawarah
pada tradisi Indonesia perlu diterapkan dalam badan-badan perwakilan, dan ini
membedakan demokrasi yang diinginkannya dengan demokrasi Barat yang
individualistis. Sebaliknya dalam sistem totaliter, mufakat bisa terjadi, tetapi
ini juga berlawanan dengan demokrasi asli Indonesia. Dalam rezim totaliter,
musyawarah tidak berlangsung.
“Di dalam masyarakat yang demokratis, seperti di Indonesia,
mentalitet orang seorang berlainan dari dalam masyarakat individualis. Dalam
negara tindakan dan menyatakan pendapatnya, ia terutama dikemudikan oleh
kepentingan umum. Dalam keselamatan semuanya terletak kepentingan dirinya.
Sebab itu pada dasarnya mencapai kata sepakat lebih mudah. Sungguhpun orang
seorang dalam pikirannya dan dalam tindakannya keluar terikat kepada cita-cita
kepentingan umum, ia bukan objek semata-mata daripada kolektivitet, seperti
yang berlaku dalam negara totaliter. la tetap subjek yang mempunyai kemauan,
merdeka bergerak untuk mengadakan diferensiasi. Dalam perikatan masyarakat ia
tetap mempunyai cita-cita, mempunyai pikiran mencapai keselamatan umum”[136]
Dalam perkembangan selanjutnya, ide Hatta tentang demokrasi yang
berkembang saat itu sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer bahwa “Hatta menilai
apa yang berkembang di Indonesia pada tahun 1950an menjurus pada semangat
liberal demokrasi, padahal yang dicita-citakan adalah kolektivisme”[137].
Membangun demokrasi, di tengah-tengah situasi politik setelah Indonesia
merdeka, tentu bukan tidak mudah. Hatta sendiri menyadari itu, dan Hatta tentu
tidak tinggal diam. Baginya demokrasi harus tetap ditegakkan, meskipun kita
harus menderita sakit.
Pada bagian ini, saya akan mengupas sedikit bagaimana reaksi Hatta
ketika Soekarno menangkap beberapa orang tokoh Indonesia yang tidak sepaham aliran
politiknya atau yang tidak dapat menerima kebijaksanaan Soekarno. Kegelisahan
hati Hatta terungkap dalam suratnya kepada Soekarno sebagai berikut.
“Kegelisahan bermula dengan penangkapan beberapa orang dokter di Jakarta dan
Bogor atas laporan yang bukan-bukan, bahwa mereka tidak masuk dalam suatu
komplot bikinan Belanda untuk membunuh saudara. Malahan juga seorang pegawai
yang kerjanya terutama memimpin masuk kepolisian, saudara Sudjasmin, ditangkap.
Mereka itu dimasukan ke dalam tahanan begitu saja, seolah-olah negara kita
bukan negara hukum, melainkan negara kekuasaan semata-mata. Di antaranya
orang-orang yang tidak pernah berpolitik dan orang pensiunan yang sudah berumur
70 tahun”[138].
Ketika Hatta mengkaitkan peristiwa ini dengan Pancasila yang Soekarno dianggap
penggalinya. Maka dengan nada kesal Hatta mengungkapkan bahwa: Kita selalu
mengembor-gemborkan bahwa negara kita berdasarkan pancasila, tetapi dimana
keadilan, peri-kemanusiaan, demokrasi yang sebenamya. Adakah demokrasi, kalau
orang rata-rata merasa takut, harus tutup mulut, kritik tidak diperbolehkan,
sehingga berbagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berlaku leluasa.
Upaya menegakkan demokrasi merupakan upaya yang
berkesinambungan. Hatta sebagai Founding Father merasa mempunyai kewajiban
untuk itu. Pada pidato tang gal 27 September 1955, beliau mengatakan bahwa
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, dua hari lagi tanggal 29
September yang akan datang saudara-saudara akan melakukan suatu tugas yang
penting dalam sejarah tanah air kita. Saudara-saudara akan memilih wakil
saudara yang akan duduk nanti di parlemen yang baru, sebagai wakil rakyat
seluruh Indonesia.[139]
Dengan Pemilihan Umum tanggal 29 September yang akan datang ini,
bangsa kita meiakukan suatu langka yang tegas ke arah penyempumaan demokrasi
kita. Pemerintahan negara yang hams berdasarkan demokrasi, masih jauh dan
sempurna. Pemerintahan demokrasi berarti pemerintahan rakyat, rakyat memerintah
dirinya sendiri dengan Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilihnya sendiri
dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada dewan perwakilan itu”[140].
Undang- Undang Dasar (UUD sementara 1950) negara kita dalam pasal 1 menyebut
bahwa, Republik Indonesia Merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokratis dan berbentuk kesatuan. Kedaulatan Republik Indonesia adalah
ditangan rakyat, jadi tangan saudara-saudara sendiri dan dilakukan oleh
pemerintahan bersama-sama dengan DPR. Selanjutnya pada tanggal 11 Oktober 1957
di hadapan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen, Hatta sekali lagi menyinggung
soal demokrasi di Indonesia sebagai suatu anasir yang penting lagi di dalam
dasar Indonesia yang asli ialah demokrasi kolektif. “Segala hal mengenai hidup
bersama dan keperluan sedesa dibicarakan di dalam rapat desa dan diputuskan
dengan kata mufakat. Musyawarah dan mufakat beserta usaha gotong royong adalah
inti demokrasi asli Indonesia”[141].
“Demokrasi asli Indonesia tidaklah pincang seperti demokrasi Barat. Demokrasi
asli Indonesia mengandung di dalamnya pelaksanaan cita-cita demokrasi politik
dan ekonomi, pendek kata demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial.
Pada tanggal 25 Mei 1974 Hatta memberikan
sambutan pada musyawarah besar perintis kemerdekaan. Dengan judul, Tegakkan
Demokrasi dan Keadilan, Hatta mempertegas lagi bahwa, menjaga dan merawat
demokrasi yang sudah ditumbuhkan bukanlah pekerjaan mudah. Hatta
mengalami bahwa upaya mengisi kemerdekaan jauh lebih berat daripada upaya
memperjuangkan kemerdekaan. Sebagaimana Hatta mengatakan bahwa ”tujuan kita
adalah Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Indonesia
merdeka sudah kita miliki, sekarang hanya tinggal kita teruskan kepada generasi
muda untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”[142]
“Dan sekarangpun kita sudah tidak aktif lagi dalam bidang politik,
tetapi antara kita harus menunjukan sifat kita akan menegakkan keadilan,
menegakkan demokrasi”[143].
Hal-hal yang sederhana yang ingin ditunjukkan oleh Hatta dalam berdemokrasi
misalnya: sikap saling menghargai, dan jangan mau menang sendiri. Sebagaimana
diungkapkan bahwa: “Dalam musyawarah haruslah bertindak demokrasi, jangan
mempunyai sifat menang sendiri”[144].
“Dan dengan bermusyawarah secara demokratis kita akan sampai pada garis lurus
cita-cita untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”[145]
Itulah
seorang Hatta, negerinya
tidak boleh dibiarkan
tetap berada dalam keterpurukan. Berbagai upaya akan
tetap dilakukan guna mengatasi krisis yang sedang terjadi. Seluruh gambaran
tentang keprihatinan bangsa adalah keprihatinan Hatta.
7. Rangkuman
Selelah melihat panjang lebar demokrasi menurut Hatta, dasar
pemikiran Hatta tentang demokrasi, upaya mempertahankan dan menumbuhkan
demokrasi. Maka pada bagian ini saya akan membuat sedikit rangkuman tentang
keseluruhan gagasan itu
Seluruh bangunan
pemikiran Hatta tentang demokrasi adalah suatu proses yang berjalan dalam
proses untuk menjadi. Hal ini saya katakan karena saya melihat dan memahami
bahwa demokrasi yang digagas oleh Hatta dalam perjalanannya berupaya untuk
menyempurnakan diri, dan ditempa dengan berbagai cobaan.
Hatta menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia bukan
demokrasi model Barat, tetapi Hatta juga mengakui bahwa demokrasi Barat
memberikan pengaruh untuk perkembangan demokrasi Indonesia. Demokrasi Barat
memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memerintah diri sendiri dengan
perantaraan badan-badan perwakilan, yang susunannya dipilih oleh rakyat
sendiri. Demokrasi Barat memberikan jaminan kepada rakyat untuk menentukan
nasibnya sendiri, rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang menentukan jalannya
pemerintahan. Karena komitmen kepada keadilan, kesejahteraan dan rakyat menjadi
subjek dalam pembangunan, maka Hatta pun menerapkan demokrasi Barat itu di
Indonesia. Kata kunci Hatta dalam menjelaskan tentang demokrasi Indonesia
adalah kedaulatan rakyat. Karena dalam demokrasi Indonesia kedaulatan rakyat
adalah mutlak. Namun perlu dilihat bahwa ada distingsi yang tegas antara
kedaulatan rakyat Barat dengan kedaulatan rakyat Indonesia Kedaulatan rakyat
Barat terbatas pada dimensi politik, sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia juga
memuat bidang sosial dan ekonomi.
Perjalanan demokrasi Indonesia ibarat perahu layar yang
terkadang lancar karena anginnya sepoi-sepoi, namun terkadang perahu demokrasi
Indonesia mengalami cobaan karena aiigin yang terlalu kencang. Debat hangat
antara Bung Hatta dan Bung Karno merupakai pertanda bahwa demokrasi sedang
dalam perjalanan menuju kematangan. Polemik kedua tokoh yang dikenal dengan
dwirunggal itu perlu menjadi bahan refleksi untuk para penggiat demokrasi
Indonesia. Terutama adalah kebesaran hati seorang Soekamo dalam menerima
masukan dari Hatta dan kebebasan individu itu perlu mendapat tempat dalam
masyarakat dan kalau perlu hak ini dimasukan dalam Undang-undang. Bung Kamo
yang dalam perdebatan itu dikisahkan sebagai individu yang kokoh mempertahankan
idenya supaya kedaulatan individu ditolak dan diganti dengan kedaulatan rakyat
akhirnya menerima masukan Hatta.
Dalam berbagai kesempatan Hatta selalu mengajak
segenap masyarakat Indonesia terus memperjuangkan tegaknya demokrasi. Bahkan ketika
demokrasi Indonesia mengalami cobaan dari Jepang, Hatta dengan tegas mengatakan
bahwa ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada
mempunyai sebagai jajahan orang kembali. Setelah Indonesia merdeka, upaya Hatta
untuk menanggapi politik Indonesia merdeka dengan payung demokrasi terus
dijalankan. Upaya pengembangan demokrasi lebih disahkan pada peningkatan
partisipasi rakyat dalam mengisi pembangunan, pengembangan kedaulatan rakyat
dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Peran serta rakyat menjadi prioritas,
rakyat adalah penentu kebijakan pemerintah.
Demokrasi dalam kabinet-kabinet, ternyata kabinet yang
dibentuk tidak serta merta menciptakan iklim demokrasi yang baik. Sekiranya hal
itu terjadi pada saat Indonesia mengalanii masa demokrasi Presidensil. Ujian
terhadap demokrasi yang digagas oleh Hatta semakin menguat, tetapi hal itu
tidak melemahkan semangat Hatta untuk terus bersuara bahwa demokrasi yang
berdasarkan kedaulatan rakyat harus tetap menjadi perhatian. Pendudukan pasukan
Belanda terhadap wilayah Pasundan yang menuntut supaya Pasundan memisahkan diri
dari Negara Indonesia merupakan cobaan berat bagi perkembangan demokrasi
Indonesia. Namun Hatta sekali lagi membuktikan bahwa hak rakyat untuk
menentul.an nasibnya adalah yang pertama. Maka ia segera mengajak pada
masyarakat untuk terus berjuang menuntut demokrasi yang adil dan
menetukan pilihan hidupnya sendiri. Goncangan maha dasyat terhadap demokrasi
terjadi pada waktu Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden RI. Ketika Bung
Karno menerapkan sistem pemerintahan Presidensil, Hatta melihat bahwa
pemerintahan yang sedang dijalankan Bung Kamo lelah keluar dari jalur
demokrasi. Wilayah Sumareta Utara mulai meningkatkan tuntutannya untuk
memisahkan diri dari pusat. Bagi Hatta persoalan semacam ini merupakan ancaman
terhadap demokrasi. Selanjutnya sebagai akibat dari sistem demokrasi yang
dianut, Hatta menilai bahwa sistem liberal demokrasi semakin berkembang,
padahal cita-cita Hatta adalah kolektivisme. Gangguan terhadap demokrasi juga
terjadi misalnya, pada tahun 1957, pengangkatan Soekarno oleh Soekarno sebagai
formator kabinet, dan pembubaran konstituante pada bulan Juli 1959 bersamaan
dilakukan dengan pendekritan UUD 1945. Semua cobaan terhadap demokrasi menjadi
warna dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Semakin besar cobaan, Hatta semakin
menunjukan komitmennya. Bahwa cobaan terhadap demokrasi adalah proses
perjalanan menuju kematangan demokrasi. Pada akhirnya dihadapan mahasiswa
Universitas Sun Yat Sen Hatta kembali menegaskan bahwa demokrasi kolektif
adalah demokrasi asli Indonesia, maka segala hal menyangkut kepentugan bersama
harus didiskusikan dan dicari kata mufakat. Lebih lanjut beliau menegaskan
bahwa: tujuan kita adalah Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Indonesia merdeka sudah kita miliki, sekarang hanya tinggal kita teruskan
kepada generasi muda untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Itulah
sedikit rangkuman tentang keseluruhan Bab ini. Pada Bab berikutnya saya akan
menulis tentang relevansi pemikiran Hatta tentang demokrasi dengan situasi
politik Indonesia.
BAB IV
RELEVANSI PEMIKIRAN
HATTA
1. Pengantar
Pada Bab sebelumnya (Bab III), saya telah menguraikan pandangan
Hatta tentang demokrasi. Maka pada Bab ini saya akan mengajak kita untuk melihat
bagaimana relevansi pemikiran Hatta tentang demokrasi dengan situasi politik
sekarang.
Saya akan menguraikan bagian relevansi ini dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut: Pertama saya akan memaparkan gagasan-gagasan Hatta
tentang demokrasi. Kedua, saya akan mengajak kita melihat beberapa
tantangan yang terjadi selama proses perjalanan demokrasi, dan khususnya saya
akan membahas pada masa Orde Baru dan akhimya pada bagian yang Ketiga, saya
akan mengajak kita melihat apakah pemikiran-pemikiran Hatta itu masih relevan
dengan situasi politik Indonesia sekarang.
2. Gagasan Hatta
Tentang Demokrasi
Ada beberapa gagasan penting yang menjadi substansi pemikiran
Hatta tentang demokrasi:
* Menurut Hatta “Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu
rakyat memerintah diri
sendiri”[146].
Esensi dari gagasan Hatta tentang demokrasi adalah kedaulatan
rakyat. Hal yang ditekankan oleh Hatta bahwa otoritas tertinggi dalam
pemerintahan berada di tangan rakyat. Rakyat menjadi pengendali berjalannya
pemerintahan. Demokrasi yang mau dikembangkan oleh Hatta di Indonesia adalah
demokrasi Barat atau yang biasa dikenal dengan nama moderen demokrasi. Isi
pokok demokrasi Barat adalah rakyat memerintah diri serdiri dengan perantaraan
Badan-badan perwakilan yang susunannya dipilih oleh rakyat sendiri.
Namun apakah dengan wewenang tertinggi berada di tangan
rakyat berarti pemerititahan berjalan tan pa ada tantangan? Berikut ini saya
akan memperlihatkan beberapa tantangan yang terjadi dalam proses perjalanan
demokrasi.
Pada saat Hatta berbicara tentang demokrasi ini situasi di Barat
berbeda dengan apa yang dicita-citakan. Kaum kapitalis sedang berkuasa di dunia
Barat, kaum kapitalis yang merupakan golongan terkecil menguasai perekonomian.
Pada tataran ini, konsep demokrasi yang didta-citakan oleh Hatta justru
mengalami cobaan. Cita-cita yang ingin dibangun berdasarkan kedaulatan rakyat
justru dikalahkan oleh sekelompok kecil yang menguasai perekonomian. Contoh ini
sebagai bukti bahwa demokrasi yang dicita-citakan oleh Hatta mengalami cobaan.
Demokrasi bukan lagi sebagai pemerintahan yang dipimpin oleh rakyat, melainkan
pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang.
3. Tantangan Demokrasi
Pada Zaman Orde Baru
Lalu bagaimana penerapan sistem demokrasi pada zaman Orde
Baru? Ada beberapa tantangan yang terjadi dalam proses demokrasi “Keruntuhan
Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960- an menandai
tumbuhnya harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik.
Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya akselerasi
pembangunan politik ke arah demokratisasi. Harapan akan tumbuhnya demokrasi di
awal Orde Baru dimiliki tidak saja oleh kalangan elite politik yang merasa
memperoleh peluang politik baru, namun juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain
secara luas. Studi Francois Raillon menunjukkan bahwa para mahasiswa
di kampus-kampus pada saat itu, memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya
suasana politik baru yang lebih segar dan demokratis”[147].
Harapan serupa juga diungkapkan oleh Hatta”[148]
. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang memiliki
dasar-dasar argumen empirik yang memadai, setidaknya menyangkut tiga hal
berikut. Pertama, berbeda dengan Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno yang
lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa
yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Kedua, rekrutmen elit
politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat
pembentukannya memperhatikan adanya gagasan Daniel Bell yang sangat popular
saat itu. Yaitu: "formulasi kebijakan-kebijakan politik tidak lagi
diserahkan pada peran politisi dan ideologi, melainkan kepada para teknokrat
yang ahli [149].
Perluasan dan reorientasi dalam rekrutmen politik
yang mengintegrasikan kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan mi
dianggap mengindikasikan akan terjadinya suatu reorientasi politik di kalangan
penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang , waktu itu dikenal
egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrasi ke dalam struktur
kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja Negara Orde Baru
dan kebijakan-kebijakannya sehingga lebih mementingkan proses politik yang bottom
up dan lebih berorientasi kepada publik. Ketiga, sejalan dengan
dasar empirik kedua di atas, mas a awal Orde
Baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di
dalam Negara dan masyarakat. Tiga pusat kekuasaan Orde Lama-yaitu Presiden,
Militer (Khususnya Angkatan Darat) dan PKI-digeser oleh pusat-pusat kekuasaan
baru: militerdan teknokrasi serta kemudian birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik
kemasyarakatan yang selama masa Orde Lama terhambat aktualisasinya juga muncul
kembali kepermukaan Sekalipun militer menjadi pilar utama kekuasaan, namun
kekuatan-kekuatan egalitar juga tumbuh saat itu, dan kemudian dikenali sebagai
terjadinya “bulan madu” yang singkat antara negara dengan kekuatan-kekuatan
kemasyarakatan Orde Baru.
Ketiga dasar empirik di atas, sekalipun masih bersifat
tentatif, namun dalam masa itu (Masa Orde Baru) amatlah memadai untuk menjadi
alasan tumbuhnya harapan demokratsasi. Lalu, bagaimanakah raut wajah demokrasi
Orde Baru dalam kenyataan kemudian? Apakah harapan tersebut tidak hanya menepuk
angin?
Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan
dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi sesaat atau
kontemporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya
kebebasan politik yang besar. Masa ini dikenal sebagai “bulan madu negara
dengan masyarakat”, atau disebut oleh Mochtar Lubis sebagai “musim semi
kebebasan”[150].
“Namun prototype demokrasi itu segera mengabur ketika bulan madu negara
masyarakat juga mulai menghambar dan berakhir. Titik akhirnya adalah kemenangan
Golkar dalam Pemilu 1971 dengan memperoleh suara mayoritas 62,8 %”.[151]
Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi militer memperoleh legitimasi
politik kcnkret melalui kemenangan ini, dan segera melakukan berbagai regulasi
ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat inilah kesenjangan antara negara
dan masyarakat mulai terbentuk, ditandai oleh maraknya gelombang demonstrasi dan
protes terhadap kinerja negara Orcie Baru dan kebijakannya, dan berpuncak pada
terjadinya Malapetaka Lima Belas Jannari ( Malari ). Para analis politik
melihat kecenderungan pengetahuan regulasi ekonomi clan politik yang dilakukan
Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar
dari krisis ekonomi dan politik warisan Orde Lama, serta oleh kebutuhan jangka
panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan
pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini kemudian diterjemahkan oleh Orde Baru
dengan lebih mengembangkan model rekayasa politik daripada model partisipatif “[152]
Perkembangan yang
terlihat kemudian adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara
dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang
kuat dan relatif otonom, sementara masyarakat semakin teralienasi dari
lingkaran kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini adalah hasil
penjumlahan dari berbiigai faktor : 1) Kemenangan mutlak demi kemenangan mutlak
Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik yang makin kuat kepada
negara; 2) Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi,
depolitisasi dan institusionalisasi; 3) Dipakainya pendekatan keamanan; 4)
Intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasan
kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; 5) Tersedianya
sumber pembiayaan pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta
dari komoditas non migas dan pajak domestik, maupun yang berasal dari bantuan
luar negeri, dan akhirnya 6) Sukses negara Orde Baru dalam menjalankan
kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak
masyarakat yang potensial muncul karena sebab struktural.
Dalam kerangka ini, raut wajah demokrasi Orde Baru bukanlah
sebuah raut wajah yang segar. Orde Baru sukses dalam pemacuan pertumbuhan
ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, namun sebagai biaya sosialnya, pemerataan
dan pembangunan demokrasi tidak berhasil dicapai secara mengesankan"[153].
Orde Baru ternyata bukan menjadi Orde yang membawa pembaharuan, tetapi lebih
dari itu Orde Baru adalah Orde yang membawa sejumlah peristiwa memilukan. Orde
Baru membuat wajah Indonesia semakin suram masa depannya. Sebagaimana dikatakan
oleh Kasiyanto bahwa “Orde Baru membawa RI mengahadapi krisis monoter, ekonomi
dan politik yang makin gawat. Pemiskinan dan PHK makin meningkat dan mencekik
rakyat. Beberapa pejabat Bulog menyelewengkan sembako yang seharusnya untuk
menanggulangi krisis. Beberapa pengusaha bank malah menyelewengkan dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI), usul-usul redistribusi aset merebak dan
kebanyakan berlatar belakang ingin menjarah secara halus. Semua itu menunjukkan
bahwa sistem pemerintahan Orde Baru baik yang menyangkut bidang keamanan,
politik, ekonomi dan keuangan memang sungguh-sungguh sudah tidak berdaya.
Kabinet dan sistem pemerintahan Orde Baru hakekatnya sudah gagal total”[154]
4.
Kedauiatan Rakyat Gagal
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menggariskan: Kedauiatan
di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Apakah ketentuan ini sudah tercapai?
Dengan tegas kita bisa menjawab : sama sekali belum tercapai sebab
kenyataannya dari 1000 orang anggota MPR yang ABRI, pejabat pemerintah, utusan
daerah dan golongan. Dari kelompok ini, yang semula dianggap hasil pilihan
rakyat adalah pemimpim “golongan”. Tetapi ternyata “pemimpin golongan” ini
proses pengangkatannya sering dicampuri pemerintah atau paling sedikit dimandulkan
segi demokrasinya dengan suatu “penunjukan” pemerintah itu. Artinya pihak
pemerintah bisa memilih mana pemimpin golongan yang sealiran atau mendukung
pemerintah”[155].
Lalu bagaimana dengan anggota DPR? Anggota DPR ( 50 % anggota MPR ) ternyata
juga tidak sepenuhnya pilihan rakyat, sebab kenyataannya rakyat bukan memilih
wakil rakyat. Jika indikasinya seperti yang telah tertulis di atas, maka akan
muncul pertanyaan. Di manakah model representasi dalam demokrasi sebagaimana
yang dicita-citakan oleh Hatta. Bukankah anggota Dewan adalah orang-orsrig
pilihan rakyat? Maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa rakyat menjadi pionir
dalam memilih Wakilnya untuk duduk di Dewan.
Tapi kenyataan justru berbeda dari apa yang dicita-citakan oleh
Hatta. Pemilihan anggota Dewan dengan ditunjuk oleh sekelompok orang, apalagi
dengan motif politik, merupakitn praktik kecurangan dan pelanggaran terhadap
proses demokrasi itu sendiri. Dengan berlandaskan pada kenyataan ini, maka saya
dapat mengatakan bahwa proses demokrasi pada zaman Orde Baru memasung proses
kedaulatan rakyat. Rakyat dibuat tidak berdaulat Hak rakyat untuk menentukan
pilihannya pun dibatasi. Hal lain yang ingin saya katakan adalah bahwa,
terpasungnya kedaulatan rakyat ini lalu ditutupi dengan istilah musyawarah dan
kesepakatan bulat. Ini semua
petunjuk bahwa kedaulatan itu belum terlaksana dengan benar, sebab belum bisa mengakumulasikan pendapat
rakyat, pilihan rakyat maupun keinginan
rakyat.
Sebagai akibat dari lemahnya
sistem pemilihan Wakil rakyat yang
menyimpang dari cita-cita Hatta,
maka dampak lain yang muncul sebagaimana dikatakan oleh MJ.Kasiyanto bahwa "Korupsi,
kolusi dan nepotisme akan merajalela di lembaga perwakilan rakyat.
Sehingga produk kader bangsa di bidang wakil rakyat juga amburadul. Yang diusahakan bukan bagaimana menyuarakan keinginan rakyat yang
diwakili namun bagaimana bisa menempel lengket seperti perangko pada para
pemimpin pemerintah, DPR, atau organisasi politiknya supaya kedudukannya sebagai
wakil rakyat itu bisa lestari”[156]
Dengan merebaknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme maka tidak dapat dipungkiri pula bahwa, cita-cita keadilan sosial dan pemerataan
ekonomi tidak bisa dipenuhi
dengan baik. Hak warga untuk
mendapatkan kesejahteraan justru telah disempitkan dan disalahgjnakan oleh Wakil rakyat hasil pilihan rakyat.
Maka sebagai
kesimpulan bisa dikatakan bahwa Orde Baru gagal dalam mewujudkan cita-cita
Hatta.
* Hatta juga memberi tekanan bahwa
demokrasi Indonesia berakar dalam pengalarnan desa dengan tiga cirinya yaitu: Rapat, Hak rakyat untuk mengadakan protes, dan Cita-cita
tolong-menolong.
Hatta tentu mempunyai suatu keyakinan bahwa, Rapat, hak
mengadakan protes,dan cita-cita tolong-menolong
adalah bagian integral dari
cita-cita demokrasinya. Dan Hatta ingin agar benih yang ditanamkan itu
dapat berkembang sesuai dengan cita-citanya. Namun kenyataan
yang terjadi justru berbeda jauh dari cita-citanya itu. Pada zaman Orde Baru,
rapat rnemang sering dilakukan. Tetapi rapat yang diselenggarakan tidak lebih
sebagai suatu ajang persekongkolan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Sementara hak untuk mengadakan protes lebih banyak dikebiri oleh pemerintahan
di bawah kendali tunggal Presiden Soeharto. Sebagai contoh, M. J. Kasiyanto,
dalam bukunya mengatakan bahwa “Bahkan di kalangan mass media pun terjadi
pembunuhan ide itu, kalau ada karangan yang mengkritik atau ada usul yang
melawan sistem penguasa segera tulisan itu disingkirkan”.[157].
Adnan Buyung Nasution dalam tulisannya mengatakan bahwa “Pers dan media
layaknya koor yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerimah. Suara sumbang
dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembreidelan. Kehidupan
kepolitikan dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan demokrasi seolah-olah.
Lawan-lawan politik dan ideologis penguasa diberi stigma sebagai musuh negara
dan diperlakukan layaknya sebagai warga negara kelas dua. Batas-batas
ditentukan dengan ketat dan upaya untuk melampauinya akan digolongkan sebagai
tmdakan subversif. Pendetnya Orde Baru telah melucuti hak-hak individu warga
negara.”[158]
Kenyataan yang terjadi mi merupakan peristiwa matinya demokrasi, Kenyataan
adanya larangan untuk mengkntik melalui mass media adalah bukti bahwa
pemerintahan Orde Baru menghambat berjalarmya proses demokrasi. Hal ini tentu
sangat berlawanan dengan cita-cita demokrasi Hatta. Karena beliau sangat
menekankan tentang kebebasan bersuara dan berekspresi. Karena hal ini merupakan
hak pokok yang dimiliki setiap manusia.
* Hatta juga mengatakan bahwa kedaulatan rakyat
akan terwujud dalam demokrasi Barat. Narnun hal yang perlu dibedakan adalah
bahwa kedaulatan di Barat terbatas pada bidang politik sementara kedaulatan di
Indonesia mencakup bidang politik dan ekonomi. Selanjutnya Hatta memberi
penekanan bahwa bentuk perekonomian yang cocok dengan Indonesia adalah koperasi.
Saya mengawali bagian ini dengan suatu pertanyaan sederhana.
Apakah Bangsa Indonesia mengalami kedaulatan dalam bidang politik dan ekonomi
pada zaman Orde Baru?. Sayamencoba menggali uraian bagian ini dengan melihat
pada penerapan Undang-undang Politik zaman Orde Baru.
Orde Baru telah meluncurkan beberapa undang-undang yang
mengatur kehidupan politik RI misalnya UU Susunan dan Kedudukan DPR dan MPR, UU
Organisasi massa, UU Pemilu, UU Pokok Pers dan lain-lain yang semuanya
bersumber dalam rangka melaksanakan UUD 45. Sayang kajian UUD1945 ini
menunjukkan bahwa UUD ini gampang dimaniputir. Maka banyaknya manipulasi atas
pelaksanaan UUD 45 inilah yang menyebalkan UU politik itu hakekatnya malahan
mematikan demokrasi.
Kasiyanto dalam bukunya mengatakan bahwa
"Contoh UU Pemilu yang menentukan bahwa pemilih hanya mencoblos tanda
gambar yang disediakan maka hakekatnya wakil rakyat, anggota DPR dan MPR itu
bukan dipilih oleh rakyat namun dipilih oleh pengurus Partai dan Golkar. Jadi,
kalau para pengurus Golkar dan partai bermain KKN maka hasilnya antara lain
satu keluarga bisa menjadi anggota DPR dan MPR (suami-isteri, anak-anak, adik,
keponakan, dan lain-lain)"[159].
Sementara dalam bidang ekonomi, sebagaimana dikatakan oleh Sjahrir bahwa.
"Dalam proses perubahan sifat dan karaktenstik suatu perencanaan di
masa Soeharto, tidak pernah ada tanda-tanda sedikitpun bahwa pikiran Mohammad
Hatta pernah secara sungguh-sungguh dipertimbangkan, kendati para teknokrat
pada awalnya amat berkuasa. Dari awal, seluruh proses kebijaksanaan ekonorni
menggunakan proses yang mengutamakan besarnya peranan bantuan luar negeri
sebagairnana itu diawali dengan penjadualan utang pemerintah Indonesia melalui
International Monetary Fund (IMF)."[160].
Dari kenyataan yang dialami oleh bangsa Indonesia
baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi, saya bisa mengambarkan
suatu kesimpulan bahwa penerapan sistem demokrasi politik dan ekonomi
"sesuai dengan cita-cita Hatta pada massa Orde Baru belum terlaksana
dengan baik.
5. Relevankah Pemikiran
Hatta dalam Konteks Kekinian
Bung Hatta adalah pejuang besar bagi bangsa Indonesia, founding
fathers, dan peletak dasar ekonomi kerakyatan yang kemudian lahirlah
Koperasi di Indonesia.
Namun seiring perjalanan bangsa, hiruk pikuk
percaturan politik dan polemik multi krisis yang dialami bangsa ini, masih
adakah pemikiran-pemikiran beliau yang relevan untuk republik yang “akut” dalam konteks
gagasan dan nilai-nilai kebangsaan. Mungkinkah penyakit bangsa ini bertambah
dengan penyakit “lupa” atau penyakit itu benar-benar “akut”. Bung Hatta adalah
tokoh yang berani menolak saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan. Sebuah
kenyataan yang sulit untuk bisa kita lihat pada bapak dan ibu kita masa kini.
Kalau saya masuk dalam alam pemikiran, maka
pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah pemikiran Hatta masih relevan dengan
situasi politik Indonesia sekarang ini? Untuk bisa melihat secara jelas dan
menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, maka bagian ini, saya akan
memperlihatkan wajah terkini Indonesia, kemudian memperbandingkan dengan
pemikiran-pemikiran Hatta. Tentu saya akan membahas dan menunjukkan cita-cita
Hatta dan realitas yang terjadi. Persolalan relevan dan tidak relevan
tergantung pada subjek yang menilai. Bahwa pembaca boleh berbeda pendapat
dengan penulis, atau pembaca setuju dengan penulis. Itu merupakan persoalan
subjek. Dalam salah satu karangannya di tahun 1957 Hatta menulis demikian:
"Revolusi kita menang dalam menegakkan
negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah
dalam melaksanakan cita-cita sosialnya, krisis ini dapat diatasi dengan
memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis
ini merupakan krisis demokrasi, maka periulah hidup politik diperbaiki,
partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi
harus diberantas sampai pada akar-akarya, dengan tidak memandang bulu. Jika
tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi
yang mulai menjadi pcnyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur
dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan
nasib."[161]
Setelah saya membaca, mencermati dan mencoba untuk memahami
sepenggalan kalimat Hatta di atas, maka saya dapat menemukan sebuah pengertian
baru bahwa: gagasan Hatta yang ditulis pada tahun 1957 adalah suatu bentuk
keprihatinan. Hatta merasakan bahwa secara formal konstitusipnal bangsa
Indonesia telah merdeka tetapi hal itu belum cukup. Karena bangsa Indonesia
belum merasakan hakekat kebebasan dan kemerdekaan itu sendiri.
Misalnya bebas dari tekanan, bebas dari kemiskinan, knsis makanan, pakaian,
perumahan, bebas dari perilaku korupsi para pemimpin bangsa, intinya bebas dan
perilaku pengkhianatan terhadap sendi-sendi pokok demokrasi.
Kalau kita membaca kembali sepak terjang seorang Hatta dalam
masa-masa perjuangan menegakan demokrasi tentu akan membantu kita dalam
memahami sejauh mana komitmen Hatta dalam menegakan demokrasi itu sendiri.
Hatta adalah pribadi yang sangat konsisten. la sangat konsisten dalam kata dan
perilaku. la adalah pribadi yang berbicara banyak tentang demokrasi dan
melakukan atau mewujudkan apa yang dibicarakan.
Semua gagasan Hatta yang saya cantumkan di atas masih sangat
relevan dengan situasi bangsa Indonesia sekarang ini. Hanya hal yang perlu saya
tekankan adalah bahwa, pemahaman orang akan nilai-nilai, dan cita-cita
demokrasi Hatta masih sebatas pada teori. Oleh karena itu, sekiranya tidak
terlalu mengherankan apabila terjadi banyak penyimpangan dalam proses
perjalanan demokrasi. Di dalam demokrasi rakyat menjadi pemegang kekuasaan
tertinggi atau rakyat yang memerintah diri sendiri. Apakah situasi politik
bidonesia sekarang masih relevan dengan konsep ini?
Saya tidak bermaksud untuk menuduh siapa yang paling
bertanggungjawab terhadap keruhnya situasi politik Indonesia sekarang ini,
tetapi lebih dari itu sebagai suatu bentuk otokritik dari anak bangsa yang
tidak tega melihat bangsanya dililit oleh berbagai krisis. Maka atas dasar itu saya
memberanikan diri untuk mengatakan bahwa, pemerintah kita
sekarang berjalan tidak sesuai dengan konsep demokrasi yang dicita-citakan oleh
Hatta. Sebagai contoh, dalam bidang politik, banyak kebijakan yang diambil oleh
pemerintah tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Rakyat menjadi korban dan
kekuasaan. Daulat rakyat diubah menjadi daulat pemerintah. Pada konteks semacam
ini, saya dapat melihat bahwa esensi politik untuk rakyat telah dibelokan
menjadi politik untuk penguasa. Dengan
mengutip apa yang dikatakan oleh Dony Kleden bahwa : "Bung Hatta adalah pemimpin
inspirasi bagi politisi yang mau berpihak kepada rakyat, bukan pada diri
kelompok atau golongan tertentu. Komitmennya untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat menjadikannya sebagai pemimpin
dan pahlawan besar dalam sejarah Indonesia. la mundur dari wakil Presiden saat
merasa posisi itu tidak membuatnya mampu menyuarakan dan memperjuangkan
kepentingan rakyat. Bung Hatta mewariskan ketulusan politik untuk membangun
suatu bangsa."[162]
Dalam suatu diskusi bertemakan "Refleksi 63 Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia, Problema dan Solusinya." pada tanggal 20
Juli 2008, Kwik Kian Gie, tokoh cendikiawan Budha Indonesia berkomentar sebagai
berikut "Hingga memasuki usia ke-63 tahun kemerdekaan Indonesia, kondisi
rakyat dan bangsa justru semakin terpuruk dalam berbagai bidang demokratisasi
yang dilakukan sejak sepuluh tahun lalu justru membuat bangsa mi makm
kehilangan kedaulatannya dalam politik, ekonomi dan budaya. Dalam bidang
politik, pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat justru secara nyata
mengkhianati kepercayaan yang diberikan rakyat. Kebijakan yang dibuat
pemerintah yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat kenyataannya justru
semakin menyengsarakan rakyat. Dalam bidang ekonomi, sebagian besar aset dan
potensi ekonomi bangsa telah diserahkan kepada pihak asing.
Jika membuka catatan sejarah, sebelum tahun 1932 Bung Hatta
mencetuskan sitilah “Kedaulatan Rakyat” yang pada saat itu dikenal dengan
Volkssouvereiniteit. Istilah tersebut dimuat secara tegas oleh majalah Daulat
Rakyat. Konsep ini berbeda dengan paham serupa di dunia Barat yang hanyalah
memberikan ruang pengertian demokrasi politik semata. Kedaulatan Rakyat versi
Bung Hatta melihat demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi di dalamnya.
Dimana kedaulatan rakyat di Indonesia bersumber dari sifat-sifat dan sikap
hidup bangsa Indonesia sendiri. Menjelang Indonesia merdeka, konsep Kedaulatan
Rakyat kembali dipertegas oleh Bung Hatta. “kalau Indonesia sampai merdeka,
mestilah ia menjadi Kerajaan Rakyat, berdasarkan kemauan rakyat”. Asas
kerakyatan ini mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum
(recht, peraturan-peraturan negeri) wajib berpegang pada keadilan dan kebenaran
yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna
dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralaskan kedaulatan rakyat. Asas
kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan segala jenis manusia yang
beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Pendeknya cara mengatur Pemerintahan Negara, cara menyusun perekonomian rakyat,
semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu
daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang
pandai atau golongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa,
melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat. Inilah dasar demokrasi
atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan
juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi, keputusan dengan mufakat
rakyat yang banyak. Begitu indahnya jika satu konsep pemikiran ini bisa
tertular dalam benak pengambil kebijakan di negeri ini. Mungkin perubahan
zaman, terlebih di masa multikrisis seperti ini, sense of crisis para pemimpin
masih sangat rendah. Masih sulit untuk dimengerti ketika masih ada pejabat
tinggi negara yang mau-maunya menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi
semata. Perbedaan perlakuan pemerintahan terhadap para pemodal besar dan
investor asing dengan para pengusaha kecil dan lokal, pengusiran dan
penggusuran pedagang kaki lima tanpa ada solusi yang pasti semakin memperjelas
hilangnya rasa toleransi dan rusaknya tatanan demokrasi ekonomi yang
dicita-citakan Bung Hatta. Beliau lebih memilih untuk menyusun strategi,
melakukan negosiasi dan menulis berbagai artikel bahkan kritikan pedas untuk
memperjuangkan nasib bangsa daripada melawan menggunakan kekerasan. Berpacunya
kehendak untuk memiliki kebebasan tanpa batas dan keinginan mematikan arti
suatu kritik pada orang lain mengakibatkan perbedaan pendapat lebih dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima. Putusnya harapan terhadap demokrasi
karena penyelewengan terhadap fungsi demokrasi mengakibatkan kegagalan
terciptanya pemerintahan yang kuat dan efektif. Hancurnya perekonomian sebagai
akibat carut-marutnya birokrasi, kekerasan dan intimidasi berkepanjangan
disertai dengan kurangnya dukungan terhadap penjual kecil dan keberpihakan pada
pemilik modal besar menyebabkan sulit berkembangnya usaha kecil dan bertambah
kompleksnya masalah di Indonesia. Kemampuan untuk meletakkan dasar-dasar
pemikiran layaknya Hatta mulai jarang ditemukan, bahkan konsep ekonomi rakyat
yang diusung oleh Bung Hatta yang kemudian secara formalnya termaktub dalam UUD
1945 dalam pasal 33 mulai bergoyang. Bung Hatta berpendapat, kemandirian
ekonomi suatu bangsa hanya akan dapat tercapai apabila seluruh mesin kegiatan
ekonomi digerakkan oleh kekuatan rakyat yang ke semua itu sangat relevan da
terulang kembali di masa sekarang. Dimana kapitalis dan sosialis muncul dengan
baju baru tetapi tetap dengan paradigma yang sama. Baik kiranya menjaga
pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang ternyata masih relevan dengan situasi saat
ini. Dan alangkah lebih baiknya semangat dan pemikiran tersebut kita gelorakan
kembali.
6. Rangkuman
Demikianlah sekilas tentang relevansi pemikiran
Hatta dengan situasi politik Indonesia sekarang. Ada begitu banyak kenyataan
pelik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Semua yang kita hadapi merupakan
tantangan terhadap demokrasi yang sedang kita jalani. Pada bab terkahir yakni
Bab V, saya akan membuat rangkuman dari seluruh isi skripsi saya.
BAB V
PENUTUP
Uraian pada Bab-bab sebelumnya, misalnya pada Bab II menielaskar
bagaimana riwayat hidup Hatta, sosok politik dan jejak awal perjalanan
politiknya. Pada bab itu saya mencoba mengajak kita untuk melihat secara utuh
pergulatan, petualangan dan dasar perjuangan Hatta untuk membebaskan Indonesia,
membangun, mengarahkan cita-cita dan hasrat untuk membentuk Indonesia menjadi
suatu negara yang demokrasi. Selanjutnya pada Bab III, uraian saya mengerucut
pada esensi dasar pemikiran Hatta tentang demokrasi. Di situ saya
memperlihatkan apa sebenarnya demokrasi menurut Hatta, dan sedikit menyinggung
sepak terjang perjalanan demokrasi. Kemudian pada Bab IV, saya menjelaskan
tentang relevansi pemikiran Hatta, fokus uraian bab ini lebih pada melihat
relevansi pemikiran Hatta dengan situasi Indonesia. Apakah pemikiran-pemikiran
Hatta masih memberi warna pada iklim demokrasi Indonesia? Seperti apa
aktualisasi demokrasi Hatta pada zaman Orde Baru? Bentuk-bentuk penyimpangan
demokrasi seperti apa yang terjadi dalam proses perjalanan demokrasi? Dan
seperti apakah wajah demokrasi Indonesia dalam konteks kekinian? Lalu yang
terakhir adalah Bab V, bab ini merupakan bab penutup dari seluruh karangan
saya.
Apa yang dapat saya simpulkan dari seluruh uraian
tentang demokrasi
menurut Hatta? Menurut saya ada beberapa hal yang dapat dilihat
sebagai kesimpulan menyeluruh demokrasi Hatta.
Menurut Hatta, demokrasi adalah "pemerintahan rakyat, yaitu
rakyat memerintah diri sendiri. Esensi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat.
Rakyat yang berdaulat dan rakyat adalah/pemegang otontas tertmggi dalam
pemerintahan. Demokrasi yang hendak droangun di Indonesia adalah demokrasi
Barat atau yang biasa dikenal dengan moderen demokrasi. Ciri khas dari moderen
demokrasi adalah rakyat dilibatkan dalam pemerintahan, misalnya: dalam rapat
atau musyawarah. Namun konsep ini perlu dilihat.
Dengan kondisi geografis, bentuk pemerintahan dan juga jumlah
penduduk. Dengan demikian dalam konteks Indonesia Hatta cenderung menjalankan
sistem demkrasi dengan sistem perwakilan. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk
duduk di dewan. Kinerja kerja para dewan dikontrol oleh rakyat. Disini jelas
bahwa, kalau rakyat melihat dan mengalami bahwa pemerintah tidak berjalan
dengan baik, misalnya: memberi jaminan kesejahteraan, membela yang lemah dan
terpinggirkan, maka pemerintah itu harus mundur. Karena rakyat merasa bahwa
suara mereka tidak didengarkan dan kepentingan mereka tidak terwakilkan. Rakyat
bisa mengajukan mosi tidak percaya, tanda rakyat tidak percaya pada dewan
terpilih yang sedang memegang jabatan.
Namun demikian, pertanyaan yang ingin saya ajukan apakah selama
ini praktik demokrasi seperti tersebut di atas berjalan baik? Bukankah
kenyataan justru sebaliknya?
Kenyataan yang dapat kita lihat adalah demokrasi modern pun
pincang karena substansinya, yakni dari rakyat kebanyakan untuk rakyat telah
dibelokan menjadi dari kelompokan kecil rakyat untuk sekelompok rakyat kecil pula.
Hatta juga memberi penekanan bahwa, meskipun Indonesia mengadopsi demokrasi
Barat untuk diterapkan di Indonesia, teatapi hal itu tidak berarti Indonesia
tidak mempuyai demokrasi sendiri. Semangat gotong royong masyarakat dan hak
rakyat untuk mengadakan protes adalah cermin dari demokrasi. Musyawarah dan hak
untuk mengadakan protes adalah cermin dari demokrasi. Pada saat orang diberi
kebebasan untuk protes dan berpendapat, pada saat itu pula ia menjalankan
substansi dasar dari demokrasi. Dan itulah ciri khas dari demokrasi Indonesia.
Ada hal lain yang perlu dilihat yakni, ketika Hatta berbicara
demokrasi Barat dan Indonesia, Hatta sangat jeli untuk melihatnya. Determinasi
yang tegas dibuat oleh Hatta adalah bahwa Barat membatasi diri pada dimensi
politik, sementara Indonesia menerapkan demokrasi baik dalam politik maupun
dalam ekonomi. Disinilah Hatta melihat perbedaan itu menjadi tegas. Demokrasi
di Barat juga dikembangkan dalam rangka individualisme, maka sebagai akibatnya
ekonomi dikuasai oleh kaum kapital yang sedikit jumlahnya. Maka konsekuensinya
jelas, demokrasi di Barat pincang karena hanya segelintir orang yang menguasai
ekonomi. Lebih lanjut Hatta menegaskan mengapa paham individualisme kuarang
begitu cocok dengan Indonesia? Ada beberapa alasan pokok:
· Karena faham
individualisme lebih menekankan pada individu atau bagian daripada keseluruhan.
· Karena faham
individualisme memprioritaskan pada orang perorangan dan mengabaikan masyarakat
kebanyakan, maka hal ini sangat berlawanan dengan substansi demokrasi, yakni
dari rakyat untuk rakyat.
Karena konsistensi Hatta dalam membangun
Indonesia yang berdemokrasi, maka dimensi yang dikembangkan pun berpedoman pada
semangat kebersamaan. Dalam bidang ekonomi, Hatta menekankan agar ekonomi
disusun atas dasar koperasi, dan semangat kekeluargaan. Apakah semua gagasan
dan cita-cita Hatta masih relevan dan terwujud dalam konteks demokrasi di
Indonesia? Pada bagian ini saya tidak ingin menguraikan secara panjang lebar,
bagaimana pemahaman akan demokrasi dan bagaimana demokrasi itu dijalankan di
Indonesia, namun saya hanya mau mempertegas kembali beberapa hal yang kelihatan
sangat menonjol berkaitan dengan praktik demokrasi itu sendiri.
Secara umum, saya mengatakan bahwa
demokrasi Hatta masih relevan dengan situasi politik bangsa Indonesia saat ini,
dalam konteks ini saya perlu membuat suatu pertanyaan tegas bahwa di satu sisi
demokrasi Hatta dijalankan tetapi di lain sisi ada kegagalan atau tantangan
selalu saja kita hadapi. Dalam kaitan dengan ini, saya pun tentu ingin
mengatakan bahwa demokrasi Hatta itu belum dipahami oleh sebagian besar warga
Indonesia. Baik itu pemahaman dalam arti memahami cita-cita teoritis Hatta
maupun pemahaman itu terwujud dalam tindakan. Dengan demikian berarti bahwa,
sebenarnya kita tidak gagal total dalam menjalankan demokrasi Hatta. Saya
mengambil contoh sederhana, bahwa masyarakat Indonesia di kampung-kampung
sering mengadakan gotong royong dalam pembangunan rumah, atau dalam kerja
bhakti, masyarakat Indonesia sering mengadakan rapat untuk mengambil suatu
keputusan. Namun di sisi lain, praktik kecurangan dan penyimpangan terhadap
demokrasi juga terjadi pada level yang lain. Misalnya ada musyawarah dan
mufakat yang terjadi tidak diimbangi dengan ketajaman atau kejernihan dalam
berpikir. Musyawarah atau mufakat mengabaikan kebenaran hakiki. Orang tidak
lagi mengutamakan nilai kebenaran itu sendiri melainkan atas dasar kepentingan
golongan atau kelompok. Di sinilah letak kegagalan demokrasi yang mau dibangun.
Pada bagian terakhir tetapi bukan berarti
tidak penting saya mau mengajukan sebuah pertanyaan reflektif untuk
direfleksikan bersama. Jika kita ingin membangun demokrasi di Indonesia maka
mari mencermati dan menjadikan cita-cita demokrasi Hatta, tidak sebatas pada
tataran teoritik tetapi harus melampaui tataran teoritik, formalitas, dan
seremonial. Membumikan teori ke dalam praktik. Dan mempraktikan dalam hidup
sehari-hari. Dengan demikian gagasan Hatta tentang demokrasi akan tetap
relevan, baik untuk zaman sekarang maupun untuk zaman yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
PUSTAKA
PRIMER
(1)
Noer, Deliar, 1990, Biografi
Politik Mohammad Hatta, Jakarta, LP3ES.
(2) Noer, Deliar, 2002, Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa,
Jakarta: Penerbit Djambatan.
PUSTAKA
SEKUNDER
(3) Fatah, Saefulloh, 2000, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
(4) Hatta, Mohammad, 1953, Kumpulan Karangan Jilid I, Jakarta:
Bulan Bintang.
(5) Hatta, Mohammad, 1981, Kumpulan Pidato, Jakarta, Yayasan Idayu.
(6) Ingleson, Jhon, 1975,
Perhimpunan Indonesia And the Indonesian Nationalist Movement, Melbourne:
Monash University.
(7) Imran, Amrin, 1981, Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia
biasa, Jakarta Mutiara.
(8) Kasiyanto, J.M. 1999, Mengapa Orde Baru Gagal?, Jakarta,
Yayasan Tri Mawar.
(9) Magnis – Suseno Franz,
1995, Mencari Sosok Demokrasi,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
(10) Risalah Sidang BPUPKI
1992
(11) Swasono, Edi, 1980, Bung Hatta kita Dalam Pandangan Masyarakat,
Jakarta: Yayasan Idayu.
(12) Salim, Emil, 2002, Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat,
Jakarta: Kompas.
(13) Sjahrir, 2002, Ideal, Tapi Masih Relevankah, Jakarta:
Kompas.
Komentar
Posting Komentar