DEMOKRASI HEMAT BERKUALITAS
Demokrasi Hemat dan Berkualitas!
Oleh: Philip Weking
Mata pelajaran PPKn yang dipelajari sewaktu SMA mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa melaksanakan demokrasi langsung karena wilayah yang sangat luas dan biayanya sangat mahal. Tapi kemudian, DPR dan Pemerintah malah mengesahkan Undang-Undang untuk melakukan pemilihan langsung atau demokrasi langsung, dimana legislatif, presiden dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kalau boleh jujur UU ini cukup konyol.
Kita seharusnya belajar dari Amerika Serikat yang merupakan kiblatnya demokrasi dunia, yang telah berpengalaman ratusan tahun, sampai saat ini tidak menerapkan demokrasi langsung seperti Indonesia saat ini. Itu bukan karena ketiadaan dana tapi sistem demokrasi secara perwakilan masih dianggap yang terbaik di Amerika, sehingga sistem ini masih dipertahankan hingga sekarang.
Namun demikian kita tidak bisa serta merta menyalahkan sistem ini, mengapa Indonesia saat ini memilih menjalankan sistem demokrasi langsung. Bisa jadi persoalan KKN yang sangat krusial di Indonesia menjadi jawabannya! Saat RUU ini kemudian disahkan menjadi UU itu, permasalahan KKN yang dilakukan pejabat publik di Negara ini menjadi pusat isu penyebab kebobrokan negeri ini. Akibatnya sistem pemilu pun sengaja diubah guna mendapatkan output pemilu yang lebih bermartabat.
Namun sesungguhnya masalah yang paling mendasar - kalau kita mau jujur - adalah masalah penegakkan hukum yang sangat lemah. Persoalan hukum di republik ini masih Tajam Ke Bawah Tumpul Ke Atas. Oleh karenanya hasil dari sistem demokrasi langsung yang diterapkan manjadi tidak mengubah negara ini menjadi lebih baik sesuai yang diharapkan. Jumlah pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang terlibat korupsi tidak mengalami penurunan malah terjadi peningkatan. Maka sistem demokrasi langsung boleh dibilang "telah gagal" menjawab permasalahan KKN tersebut. Demikian juga persoalan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih jauh dari harapan kita semua! Jurang antara kaya dan miskin semakin menganga!
Padahal pemilu atau pesta demokrasi rakyat yang dihelat pada setiap lima tahun tersebut bukanlah hal yang murah. Pesta demokrasi Indonesia menelan biaya yang sangat mahal. Namun demikian, kualitas hasilnya belum mampu menjamin negara ini akan menjadi lebih baik dibandingkan sebelum diberlakukan Pemilu secara langsung (demokrasi langsung). Sangat disayangkan sekali jika akhirnya orang-orang yang salah ternyata terpilih jadi pemimpin (Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota) dan mewakili rakyat (DPR RI - DPRD).
Dari persoalan ini kemudian muncul isu Golput!
Alasan pertama, bahwa KPU tidak menjamin legitimasi suara konstituen jika ternyata caleg dan capres-cawapres dan calon kepala daerah propinsi dan kabupaten/kota yang terpilih kemudian ternyata kinerjanya sangat tidak sesuai harapan konstituen. Yang terpilih cenderung mementingkan kepentingan parpol dan kelompok dari pada kepentingan rakyat! Namun konstituen tidak bisa berbuat apa2. Konstituen tidak bisa melakukan tindakan hukum untuk menghukum para calon terpilih. Jika menghukumnya dengan cara tidak memilihnya pada pemilu berikutnya maka itu adalah cara menghukum yang terlalu lemah.
Kedua, KPU tidak melakukan tes seleksi secara ketat bagi para calon yang pantas untuk menduduki legislatif dan eksekutif. PNS saja tes seleksinya begitu ketat, tapi para calon yang kedudukannya lebih power full dibandingkan PNS tidak ada sistem tesnya! Maka mengharapkan Indonesia lebih baik dengan sistem seperti ini, sepertinya sebuah omong kosong.
Membangun negara ini tidak bisa diserahkan pada orang-orang yang tidak mengerti politik dan permasalahan yang ada dan dialami negara ini. Hal ini berlaku bukan hanya pada yang dipilih tetapi juga pada yang memilih. Para calon tentu wajib mempunyai kapasitas ilmu dan wawasan mengenai bidangnya (legislatif) dan kurang lebih berbagai bidang (eksekutif).
Demikian pula pemilih juga wajib memahami politik dan ketatanegaraan. Orang yang memilih dalam pemilu tetapi tidak paham dengan politik itu tidak lebih baik dari mereka yang golput. Orang yang asal pilih dalam pemilu karena tidak punya pengetahuan dan menyebabkan politisi korup dan berjiwa/berkarakter korup dan tidak pro rakyat terpilih maka mereka ikut andil pada permasalahan ini. Sampai di sini pemilu menjadi tidak berkualitas meski triliunan uang negara habis terkuras.
Melihat permasalahan ini sehingga kemudian agar dapat menepis niat konstituen untuk Golput, maka para wakil rakyat semestinya dituntut harus merancang model pemilu murah namun outputnya berkualitas.
Permasalahan pendidikan politik adalah hal yang sangat vital dalam berdemokrasi di negeri ini. Sudah semestinya orang yang pantas berpartisipasi dalam pemilu (jadi konstituen yang berhak memilih) adalah orang yang mengerti/melek dengan politik dan permasalahan negeri ini. Memberi kesempatan “orang buta” untuk memilih itu sama saja mengundi dadu terhadap nasib negara bangsa ini.
Pendidikan politik yang coba digagas sebagai berikut; mereka yang akan memilih dan dipilih itu harus dites terlebih dahulu mengenai wawasan mereka tentang kehidupan bernegera dan atau politik. Tidak semua orang yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah berhak memilih. Dengan begitu harapan untuk memunculkan orang yang berkualitas menjadi lebih masuk akal.
Sekarang pertanyaan, mana yang lebih banyak orang yang mengerti politik atau yang tidak mengerti politik? Faktanya bahwa masih sangat banyak orang yang tidak mengerti politik. Tingginya partisipasi pemilih bukan jaminan tingginya kesadaran politik. Politik uang yang masih menjamur menjadi salah satu faktor menggerakkan pemilih ke TPS.
Di daerah-daerah yang jauh dari kota, yang tidak terjangkau panwaslu atau bawaslu, politik uang sudah menjadi rahasia umum.
Bercermin dari hasil quick count, quick count bisa menyajikan hasil yang sangat mendekati dengan hitungan real pemilu hanya dengan mengambil beberapa sample.
Oleh karena itu sebenarnya tidak perlu semua orang harus ikut pemilu. Model quick count bisa dipakai dalam melaksanakan pemilu. Cukup dengan sistem rasio proporsional; misal 1:5 atau 1:10. Suara dari 5 orang konstituen cukup diwakili oleh suara satu orang konstituen atau suara 10 orang konstituen cukup diwakili oleh suara satu orang konstituen. Tentunya orang yang berhak mewakili rakyat konstituen adalah orang yang telah melewati proses tes atau uji wawasan bernegara dan politiknya.
Sampai di sini, tentunya akan muncul pertanyaan; adilkah sistem ini terkait hak politik seseorang?
Kalau prinsip dan tujuan adalah membangun sebuah sistem demokrasi Indonesia yang hemat namun lebih berkualitas maka sistem rasio proporsional bisa dikatakan adil! Dari pemberlakuan sistem ini tanpa disadari juga telah memberikan pemahaman (menyadarkan) setiap orang akan politik sesungguhnya! Seseorang akan dengan kesadarannya sendiri (bukan karena politik uang) ingin belajar memahami politik sesungguhnya karena ingin terlibat secara langsung mensukseskan pesta demokrasi Indonesia. Bagi yang kemudian tidak lulus tes wawasan pengetahuan dan pemahaman kehidupan bernegara (politik), dapat menjadikan kegagalan tes sebagai "cambuk" untuk belajar politik secara lebih sadar agar bisa ikut terlibat secara langsung dalam pesta demokrasi berikutnya!
Pertanyaan selanjutnya; bagaimana sesorang melakukan belajar politik yang lebih baik?
Sistem pendidikan kita telah memiliki kurikulum yang didalamnya terdapat mata Pelajaran PPKN. Mata pelajaran PPKN dapat diformulasikan secara lebih utuh agar bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran siswa akan kehidupan bernegara yang semestinya. Ilmu politik dasar dapat dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan nasional sebagai mata pelajaran dari tingkat SMP. Hal ini penting agar calon konstituen benar2 memahami politik sejak dini (sebelum genap usia jadi konstituen sesuai peraturan perundangan yang berlaku-harus 17 tahun)!
Partai Politik juga diberikan tanggungjawab "penyadaran politik terhadap rakyat" sebagai keharusan dalam agenda kerja partai untuk memberikan pemahaman demokrasi dan ilmu politik kepada masyarakat secara rutin dan berkelanjutan tidak menunggu momentum pemilu saja! Sudah saatnya partai politik berubah menjadi sebuah organisasi yang benar-benar mampu membangun rakyat, bangsa dan negara ini sesuai cita-cita didirikan negara ini!
Selanjutnya sistem tes bagi calon konstituen yang layak memilih yang dilakukan juga di atur secara baik dan benar serta jujur dan dilakukan terbuka oleh Sekolah-Sekolah dan Kampus-Kampus diawasi langsung oleh KPU dan BANWASLU, tentunya pejabat Lembaga KPU dan BANWASLU adalah orang-orang yang memiliki kompetensi, kapasitas dan kapabilitas serta integritas yang benar-benar untuk demokrasi yang berkualitas!
Maka dengan sistem ini, pemilu bisa dilaksanakan lebih murah karena jumlah pemilih bisa ditekan menjadi seperlima atau sepersepuluhnya. Dan harapan pemilu yang lebih berkualitas pun bisa diwujudkan karena politik uang pun perlahan bisa dihilangkan.
Dengan begitu wakil rakyat yang terpih nantinya adalah wakil rakyat yang benar-benar dapat bekerja baik untuk rakayat, bangsa dan negara!
Demikian juga Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota yang terpilih lewat sistem ini pun adalah cermin cerdasnya pemih/konstituen yang tidak salah pilih!
Tabe!
Oleh: Philip Weking
Mata pelajaran PPKn yang dipelajari sewaktu SMA mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa melaksanakan demokrasi langsung karena wilayah yang sangat luas dan biayanya sangat mahal. Tapi kemudian, DPR dan Pemerintah malah mengesahkan Undang-Undang untuk melakukan pemilihan langsung atau demokrasi langsung, dimana legislatif, presiden dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kalau boleh jujur UU ini cukup konyol.
Kita seharusnya belajar dari Amerika Serikat yang merupakan kiblatnya demokrasi dunia, yang telah berpengalaman ratusan tahun, sampai saat ini tidak menerapkan demokrasi langsung seperti Indonesia saat ini. Itu bukan karena ketiadaan dana tapi sistem demokrasi secara perwakilan masih dianggap yang terbaik di Amerika, sehingga sistem ini masih dipertahankan hingga sekarang.
Namun demikian kita tidak bisa serta merta menyalahkan sistem ini, mengapa Indonesia saat ini memilih menjalankan sistem demokrasi langsung. Bisa jadi persoalan KKN yang sangat krusial di Indonesia menjadi jawabannya! Saat RUU ini kemudian disahkan menjadi UU itu, permasalahan KKN yang dilakukan pejabat publik di Negara ini menjadi pusat isu penyebab kebobrokan negeri ini. Akibatnya sistem pemilu pun sengaja diubah guna mendapatkan output pemilu yang lebih bermartabat.
Namun sesungguhnya masalah yang paling mendasar - kalau kita mau jujur - adalah masalah penegakkan hukum yang sangat lemah. Persoalan hukum di republik ini masih Tajam Ke Bawah Tumpul Ke Atas. Oleh karenanya hasil dari sistem demokrasi langsung yang diterapkan manjadi tidak mengubah negara ini menjadi lebih baik sesuai yang diharapkan. Jumlah pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang terlibat korupsi tidak mengalami penurunan malah terjadi peningkatan. Maka sistem demokrasi langsung boleh dibilang "telah gagal" menjawab permasalahan KKN tersebut. Demikian juga persoalan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat masih jauh dari harapan kita semua! Jurang antara kaya dan miskin semakin menganga!
Padahal pemilu atau pesta demokrasi rakyat yang dihelat pada setiap lima tahun tersebut bukanlah hal yang murah. Pesta demokrasi Indonesia menelan biaya yang sangat mahal. Namun demikian, kualitas hasilnya belum mampu menjamin negara ini akan menjadi lebih baik dibandingkan sebelum diberlakukan Pemilu secara langsung (demokrasi langsung). Sangat disayangkan sekali jika akhirnya orang-orang yang salah ternyata terpilih jadi pemimpin (Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota) dan mewakili rakyat (DPR RI - DPRD).
Dari persoalan ini kemudian muncul isu Golput!
Alasan pertama, bahwa KPU tidak menjamin legitimasi suara konstituen jika ternyata caleg dan capres-cawapres dan calon kepala daerah propinsi dan kabupaten/kota yang terpilih kemudian ternyata kinerjanya sangat tidak sesuai harapan konstituen. Yang terpilih cenderung mementingkan kepentingan parpol dan kelompok dari pada kepentingan rakyat! Namun konstituen tidak bisa berbuat apa2. Konstituen tidak bisa melakukan tindakan hukum untuk menghukum para calon terpilih. Jika menghukumnya dengan cara tidak memilihnya pada pemilu berikutnya maka itu adalah cara menghukum yang terlalu lemah.
Kedua, KPU tidak melakukan tes seleksi secara ketat bagi para calon yang pantas untuk menduduki legislatif dan eksekutif. PNS saja tes seleksinya begitu ketat, tapi para calon yang kedudukannya lebih power full dibandingkan PNS tidak ada sistem tesnya! Maka mengharapkan Indonesia lebih baik dengan sistem seperti ini, sepertinya sebuah omong kosong.
Membangun negara ini tidak bisa diserahkan pada orang-orang yang tidak mengerti politik dan permasalahan yang ada dan dialami negara ini. Hal ini berlaku bukan hanya pada yang dipilih tetapi juga pada yang memilih. Para calon tentu wajib mempunyai kapasitas ilmu dan wawasan mengenai bidangnya (legislatif) dan kurang lebih berbagai bidang (eksekutif).
Demikian pula pemilih juga wajib memahami politik dan ketatanegaraan. Orang yang memilih dalam pemilu tetapi tidak paham dengan politik itu tidak lebih baik dari mereka yang golput. Orang yang asal pilih dalam pemilu karena tidak punya pengetahuan dan menyebabkan politisi korup dan berjiwa/berkarakter korup dan tidak pro rakyat terpilih maka mereka ikut andil pada permasalahan ini. Sampai di sini pemilu menjadi tidak berkualitas meski triliunan uang negara habis terkuras.
Melihat permasalahan ini sehingga kemudian agar dapat menepis niat konstituen untuk Golput, maka para wakil rakyat semestinya dituntut harus merancang model pemilu murah namun outputnya berkualitas.
Permasalahan pendidikan politik adalah hal yang sangat vital dalam berdemokrasi di negeri ini. Sudah semestinya orang yang pantas berpartisipasi dalam pemilu (jadi konstituen yang berhak memilih) adalah orang yang mengerti/melek dengan politik dan permasalahan negeri ini. Memberi kesempatan “orang buta” untuk memilih itu sama saja mengundi dadu terhadap nasib negara bangsa ini.
Pendidikan politik yang coba digagas sebagai berikut; mereka yang akan memilih dan dipilih itu harus dites terlebih dahulu mengenai wawasan mereka tentang kehidupan bernegera dan atau politik. Tidak semua orang yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah berhak memilih. Dengan begitu harapan untuk memunculkan orang yang berkualitas menjadi lebih masuk akal.
Sekarang pertanyaan, mana yang lebih banyak orang yang mengerti politik atau yang tidak mengerti politik? Faktanya bahwa masih sangat banyak orang yang tidak mengerti politik. Tingginya partisipasi pemilih bukan jaminan tingginya kesadaran politik. Politik uang yang masih menjamur menjadi salah satu faktor menggerakkan pemilih ke TPS.
Di daerah-daerah yang jauh dari kota, yang tidak terjangkau panwaslu atau bawaslu, politik uang sudah menjadi rahasia umum.
Bercermin dari hasil quick count, quick count bisa menyajikan hasil yang sangat mendekati dengan hitungan real pemilu hanya dengan mengambil beberapa sample.
Oleh karena itu sebenarnya tidak perlu semua orang harus ikut pemilu. Model quick count bisa dipakai dalam melaksanakan pemilu. Cukup dengan sistem rasio proporsional; misal 1:5 atau 1:10. Suara dari 5 orang konstituen cukup diwakili oleh suara satu orang konstituen atau suara 10 orang konstituen cukup diwakili oleh suara satu orang konstituen. Tentunya orang yang berhak mewakili rakyat konstituen adalah orang yang telah melewati proses tes atau uji wawasan bernegara dan politiknya.
Sampai di sini, tentunya akan muncul pertanyaan; adilkah sistem ini terkait hak politik seseorang?
Kalau prinsip dan tujuan adalah membangun sebuah sistem demokrasi Indonesia yang hemat namun lebih berkualitas maka sistem rasio proporsional bisa dikatakan adil! Dari pemberlakuan sistem ini tanpa disadari juga telah memberikan pemahaman (menyadarkan) setiap orang akan politik sesungguhnya! Seseorang akan dengan kesadarannya sendiri (bukan karena politik uang) ingin belajar memahami politik sesungguhnya karena ingin terlibat secara langsung mensukseskan pesta demokrasi Indonesia. Bagi yang kemudian tidak lulus tes wawasan pengetahuan dan pemahaman kehidupan bernegara (politik), dapat menjadikan kegagalan tes sebagai "cambuk" untuk belajar politik secara lebih sadar agar bisa ikut terlibat secara langsung dalam pesta demokrasi berikutnya!
Pertanyaan selanjutnya; bagaimana sesorang melakukan belajar politik yang lebih baik?
Sistem pendidikan kita telah memiliki kurikulum yang didalamnya terdapat mata Pelajaran PPKN. Mata pelajaran PPKN dapat diformulasikan secara lebih utuh agar bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran siswa akan kehidupan bernegara yang semestinya. Ilmu politik dasar dapat dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan nasional sebagai mata pelajaran dari tingkat SMP. Hal ini penting agar calon konstituen benar2 memahami politik sejak dini (sebelum genap usia jadi konstituen sesuai peraturan perundangan yang berlaku-harus 17 tahun)!
Partai Politik juga diberikan tanggungjawab "penyadaran politik terhadap rakyat" sebagai keharusan dalam agenda kerja partai untuk memberikan pemahaman demokrasi dan ilmu politik kepada masyarakat secara rutin dan berkelanjutan tidak menunggu momentum pemilu saja! Sudah saatnya partai politik berubah menjadi sebuah organisasi yang benar-benar mampu membangun rakyat, bangsa dan negara ini sesuai cita-cita didirikan negara ini!
Selanjutnya sistem tes bagi calon konstituen yang layak memilih yang dilakukan juga di atur secara baik dan benar serta jujur dan dilakukan terbuka oleh Sekolah-Sekolah dan Kampus-Kampus diawasi langsung oleh KPU dan BANWASLU, tentunya pejabat Lembaga KPU dan BANWASLU adalah orang-orang yang memiliki kompetensi, kapasitas dan kapabilitas serta integritas yang benar-benar untuk demokrasi yang berkualitas!
Maka dengan sistem ini, pemilu bisa dilaksanakan lebih murah karena jumlah pemilih bisa ditekan menjadi seperlima atau sepersepuluhnya. Dan harapan pemilu yang lebih berkualitas pun bisa diwujudkan karena politik uang pun perlahan bisa dihilangkan.
Dengan begitu wakil rakyat yang terpih nantinya adalah wakil rakyat yang benar-benar dapat bekerja baik untuk rakayat, bangsa dan negara!
Demikian juga Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota yang terpilih lewat sistem ini pun adalah cermin cerdasnya pemih/konstituen yang tidak salah pilih!
Tabe!
Komentar
Posting Komentar