PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MASYARAKAT MALAMOI DI KABUPATEN SORONG
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi
bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang
sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan
meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai multiple
value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa
Indonesia untuk menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan
wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat.
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai
organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria yang
selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA
adalah :
1.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3.
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Oleh karena itu untuk dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
maka dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang merupakan bagian
dari sumber daya alam harus dilaksanakan secara bijaksana dan dalam
pengelolaannya diserahkan kepada negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan
sebutan UUPA secara ideologis mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan kaum petani Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak berlakunya UUPA,
secara yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk memfungsikan
hukum agraria nasional sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan masyarakat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur.
Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan,
tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah
merupakan salah satu sumber hidup dan kehidupan mereka. di samping itu
tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai kosmis-magis-religius.
Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga antar
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam
hubungan dengan hak ulayat.
Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah
memiliki fungsi yang sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya. Di negara seperti Indonesia fungsi tanah kian meningkat dan
mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Dari sekian banyak bidang
yang menyangkut tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas
manusia atas tanah. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia,
dimana pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang melaju
pesat.
Sering kali karena pentingnya peran tanah dalam kehidupan manusia,
tanah menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar
manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin
meningkat, namun persediaan tanah relatif tetap.
Sengketa tanah dalam masyaratkat setiap tahun semakin meningkat dan
terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di
pedesaan.
Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflik
kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain :1
1. Rakyat berhadapan dengan birokrasi
2. Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara
1 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas,
2005), hal 182
3. Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta
4. Konflik antara rakyat
Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang
terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan
dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama
ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non litigasi).
Dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah
memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum
terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil
terhadap kepemilikan tanah tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dan
tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan
melakukan gugatan ke pengadilan.
Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak
awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam
masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal,
memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit. Oleh karena itu
masyarakat berupaya menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non
litigasi.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan
keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru
yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di
antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah. Bila
harus mencari siapa yang benar dan yang salah tidak akan menghasilkan
keputusan yang menguntungkan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal
dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-
Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan
dalam media non litigasi yaitu merupakan konsep penyelesaian konflik atau
sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi
terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution. ADR
dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara
penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan.2
Meskipun permasalahan pertanahan dan penyelesaian yang timbul dari
permasalahan tersebut telah diatur sedemikian rupa, namun para pihak yang
terlibat di dalamnya mempunyai cara sendiri-sendiri yang mereka anggap
lebih baik atau lebih cocok dipakai untuk menyelesaikan permasalahan
pertanahan yang dialami. Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat
Malamoi yang ada di Kabupaten Sorong, Papua Barat dalam menyelesaikan
permasalahan atau sengketa atas tanah ulayat yang dimilikinya.
Masyarakat Malamoi yang merupakan suku asli dari Kabupaten Sorong
sebagian besar warganya bermata pencaharian di bidang pertanian dan
peternakan. Dengan bermata pencaharian tersebut, maka tanah bagi mereka
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya khususnya di
2 Rachamadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 4
bidang ekonomi yang pada akhirnya dalam pemanfaatannya sering atau
mudah terjadi benturan kepentingan antara pengguna tanah.
Secara umum daerah Kabupaten Sorong pada awalnya sebagian besar
merupakan kawasan hutan yang banyak ditumbuhi semak belukar yang
kemudian dibuka dan digarap oleh warga atau para perantau untuk ditanami
dengan tanaman pangan terutama tanaman umbi-umbian, sagu, buah-buahan
dan sebagainya. Masyarakat tersebut dapat mempunyai hak milik atas tanah
ini melalui pembukaan tanah hutan untuk dijadikan kebun. Pada mulanya
kebun merupakan usaha “Gelet/Keret” yang di dalamnya terdapat bagian
masing-masing keluarga yang dikerjakannya sendiri-sendiri, karena segala
sesuatu mengenai penyelenggaraan adat adalah milik “Gelet/Keret”, maka
kepala Gelet/Keret mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan,
penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah-tanah di wilayah
“Gelet/Keret”. Kepala Geletlah yang menentukan kapan dan di mana semua
warga secara bersama-sama membuka tanah untuk berkebun.
Di daerah Salawati di Kabupaten Sorong, tanah adalah milik Gelet atau
dalam bahasa setempat disebut “Ulisio”. Kepala Gelet yaitu “Ulisio”
membagi-bagikan tanahnya lagi kepada anggota pria yang sudah dewasa.
Tanah milik seorang ayah dibagikan kepada putra-putrinya bila mereka sudah
menikah atau bila sang ayah meninggal. Walaupun kebun tersebut
ditinggalkan oleh pemiliknya, tidak diurus karena pergi untuk beberapa lama,
tetapi menurut adat gelet ia tetap mempunyai hubungan hak dengan tanah
tersebut. Dalam pemahaman masyarakat terhadap tanah hak ulayat khususnya
di Kabupaten Sorong, adalah tanah adat terdiri atas tanah yang masih bersifat
komunal (dikuasai secara bersama) dan tanah adat yang sudah bersifat
perorangan yang cenderung penguasaannya dikuasai oleh Kepala Gelet.
Dengan berjalannya waktu pada tahun enam puluhan mulai banyak
orang yang berasal dari luar pulau Papua Barat yang berdatangan ke wilayah
dan kemudian mulai membuka serta membersihkan kawasan semak belukar
untuk dijadikan tempat berkebun/berladang bahkan dijadikan daerah
permukiman. Pada umumnya para perantau tersebut datang ke wilayah
tersebut secara berkelompok yang semuanya berasal dari berbagai daerah,
yang pada akhirnya mereka semua menetap di sana dan menjadi suatu
perkampungan.
Dengan berjalannya waktu demi memberikan kepastian status
kepemilikan atas bidang tanah yang digarapnya maka kepada penggarap tanah
diberikan surat tanda kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang
dibuat atau dikeluarkan oleh Kelurahan yang diketahui kepada Kepala Distrik
(Kecamatan), dan berfungsi sebagai surat tanda bukti kepemilikan tanah.
Akhir-akhir ini di daerah tersebut seringkali terjadi sengketa tanah dalam
hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di
daerah tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah
di antara warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketasengketa
tersebut bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak
ulayat. Di sisi lain pernah terjadinya sengketa perdata, sengketa antar
masyarakat adat dengan obyek tanah ulayat yaitu mengenai sengketa
pengadaan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Sorong.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut
mereka mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun
telah ada lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui
penyelesaian di luar pengadilan atau non litigasi.
Penyelesaian non litigasi dipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi
waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian
masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara
historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan
kosensus. Pengembangan ADR di Indonesia tampaknya lebih kuat
dibandingkan alasan ketidakefisien proses peradilan. Proses penyelesaian
melalui ADR bukanlah suatu yang baru dalam nilai-nilai budaya bangsa kita
yang berjiwa kooperatif.
Sehubungan dengan latar belakang di atas maka melalui karya tulis ini
akan penulis susun dalam bentuk penlisan hukum tesis yang berjudul
“PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MALAMOI DI
KABUPATEN SORONG”.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1.
Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh
Masyarakat Malamoi dalam rangka penyelesaian sengketa tanah?
2.
Hambatan-hambatan/kendala-kendala apa yang dihadapi dalam
penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Sorong?
3.
Apa manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh masyarakat malamoi?
3. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas dan
merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian, dan juga menunjukkan
kualitas dari penelitian tersebut. Berdasarkan permasaahan yang telah
dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah :
1.
Untuk mengetahui mengkaji dan mendeskripsikan proses penyelesaian
sengketa tanah yang dilakukan oleh masyarakat malamoi.
2.
Untuk mengetahui Hambatan-hambatan/kendala-kendala yang dihadapi
dalam penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Sorong.
3.
Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh masyarakat malamoi
4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara :
1.
Teoritis/Akademis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan dalam
memperbanyak referensi ilmu dibidang Hukum Agraria khususnya cara
penyelesaian sengketa pertanahan untuk tanah-tanah hak ulayat.
2.
Praktis
a.
Dapat memberi jalan keluar terhadap permasalahan yang timbul atau
yang dihadapi dalam masalah Hukum Agraria khususnya mengenai
cara penyelesaian sengketa pertanahan di Kabupaten Sorong.
b.
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan
sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah
agraria khususnya mengenai cara penyelesaian sengketa pertanahan di
Kabupaten Sorong.
5. Sistematika Penulisan
Bab I : Berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang Tinjauan Umum
tentang Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional;
Tinjauan tentang Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat;
Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan
dan Prosedur Penyelesaiannya yang terdiri dari Pengertian Konflik
atau Sengketa Pertanahan, Prosedur Penyelesaian Konflik atau
Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Melalui Instansi Badan
Pertanahan Nasional; Tinjuan Tentang Mediasi yang terdiri dari
Pengertian Mediasi, Peran Mediator dalam Mediasi, Tahap-Tahap
Mediasi dan Keunggulan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa;
Bab III :
Metode Penelitian terdiri dari Metode Pendekatannya, Spesifikasi
Penelitiannya, Lokasi Penelitiannya, Populasi dan Sampel, Jenis
dan Sumber Data, Teknik Pengolahan dan Analisa Data.
Bab IV :
Hasil dan Pembahasan, dalam hal ini akan diuraikan tentang hasil
penelitian mengenai gambaran umum Kabupaten Sorong yang
meliputi keadaan geografis, pemerintahan dan demografi, uraian
mengenai sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Sorong,
dan cara penyelesaiannya serta manfaat yang diperoleh dalam
menyelesaikan sengketa.
Bab V : Penutup, merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan terhadap permasalahan yang telah diuraikan, serta
saran dari penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional
1.1 Pengertian Hak Ulayat, Subyek dan Obyek Hak Ulayat
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G.
Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan
UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa ;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki
oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk
menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan
(kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.3
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas
merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat
yang bersangkutan sepanjang masa (Lebensraum). Kewenangan dan
kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang
masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam
bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas
tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan
3 G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-
Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), hal. 88
untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,
penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat.
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai
komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak
ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat
bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan.
Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut
merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang
memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para
leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi
kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang
kehidupan itu berlangsung.
Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat
dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.4 Ke dalam
berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar
dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya,
yang disebut “orang asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa
adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan
kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan
sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya., (Jakarta: Djambatan, 2005), hal 190
dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak
ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan
dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil
hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan
tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat persekutuan adat dalam
keseluruhannya, yakni seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak
ulayat tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan
masyarakat.5
Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan
(kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang
hidup bebas dalam hutan.6 Dengan demikian hak ulayat menunjukkan
hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan
tanah/wilayah tertentu (objek hak).7
Isi Hak Ulayat adalah :
a.
Kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak
ulayat itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buah-buahan yang
tumbuh di tanah tersebut
5 Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, (Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 1977)
6 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1983), hal 109
7Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, Juni 2001, hal. 56
b.
Orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali
setelah mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang
pengakuan
Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik
persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya
terdapat pengecualian-pengecualian. Pengecualian ini berkaitan dengan
kekuatan hak ulayat yang berlaku ke luar.
Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki
oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak
ada tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat
masyarakat hukum adat territorial tidak dapat ditentukan secara pasti.
Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya,
yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang.
Masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya
yang khusus. Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak
pakai, tetapi ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah
yang dibuka tersebut dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada
kenyataan apakah tanah dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus
ataukah hanya sementara saja.
Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat
atau kepala desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap
tanah itu terjadi hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religius
magis antara individu warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud.
Perbuatan hukum ini jelas menimbulkan hak bagi warga yang menggarap
tanah atau kemudian hak wenang atas tanah yang bersangkutan.
1.2 Terjadinya Hak Ulayat
Pada asal mulanya hak ulayat dijumpai di hampir seluruh wilayah
Indonesia. Hak ulayat dapat dikatakan sebagai hubungan hukum kongkret
dan hubungan hukum pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang
atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau
menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang
merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah
ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan
satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Selain diperoleh dari nenek
moyang bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu hak ulayat juga bisa
tercipta atau terjadi karena pemisahan dari masyarakat hukum adat
induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan
sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.
Tetapi dengan bertambah menjadi kuatnya hak-hak pribadi para
warga masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagianbagian
tanah ulayat yang dikuasainya, juga karena pengaruh faktor-faktor
ekstern, secara alamiah kekuatan hak ulayat pada masyarakat hukum adat
semakin melemah, hingga pada akhirnya tidak tampak lagi keberadannya.
Sehubungan dengan itu dewasa ini pada kenyataannya keadaan dan
perkembangan hak ulayat itu sangat beragam. Tidak dapat dikatakan
secara umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum
adatnya masih ada atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada
sama sekali. Namun demikian bahwa hak ulayat yang sudah tidak ada lagi
akan dihidupkan kembali, juga tidak akan dapat diciptakan hak ulayat baru
yang sebelumnya tidak pernah ada.
1.3 Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Hak ulayat aturannya terdapat di dalam hukum adat. Hal ini karena
penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat
dari masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada. Hal ini kemudian
menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya
pengaturannya berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan
keragaman dalam hukum adat yang secara tidak langsung berpengaruh
pula bagi hukum pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak
penguasaan atas tanah hak milik adat. Namun sering perkembangan ilmu
pengetahuan di segala bidang termasuk bidang pertanahan maka kemudian
lahirlah suatu produk hukum yang dipandang dapat mengakomodir
keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam negara kita
sehingga unifikasi hukum sebagai salah satu tujuan dikeluarkan produk
hukum ini dapat terwujud. Produk hukum itu adalah UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria. Lahirnya Undang-
Undang Pokok Agraria bukan berarti meniadakan keragaman yang ada
dalam hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih pada mengatur
ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga negara mengenai hukum
pertanahan Indonesia. Sehingga untuk hukum adat pengaturannya
diserahkan pada peraturan hukum yang berlaku di daerahnya masingmasing
dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan
kepentingan nasional serta tata peraturan yang lebih tinggi. Salah satunya
pengaturan mengenai hak ulayat. Walaupun tidak semua daerah atau
wilayah di Indonesia yang masing mengakui keberadaan hak ulayat bukan
berarti hak ulayat tidak diatur dalam UUPA sebagai hukum nasional. Hal
ini karena sebagian besar materi yang ada dalam UUPA diadopsi dari
hukum adat.
Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu
pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya.
Eksistensi/keberadaan hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat
mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi.
Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada
kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh
sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan
bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih
mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada
peraturan daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi
dari pengaturan tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang
dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan
pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat
masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :8
1.
Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang
serupa dari masyarakat hukum adat
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya
Masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah
hanya dapat diketahui dan dipastikan dari hasil tinjauan dan penelitian
setempat berdasarkan kenyataan, bahwa :9
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta :
Djambatan, 2004), hal. 57
9 Maris S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Buku
Kompas, 2005), hal. 68
1.
Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu
persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat
hukum adat
2.
Masih adanya wilayah yang merupakan tanah ulayat masyarakat
hukum adat tersebut, yang didasari sebagai tanah kepunyaan bersama
para warganya
3.
Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui
oleh para warga mayarakat hukum adat yang bersangkutan,
melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara
kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat di atas akan ditugaskan
kepada Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya
mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat.
Hal lain yang diatur dalam PMNA/Ka.BPN No. 5 Tahun 1999
antara lain Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat
sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hukum
adat menurut ketentuan hukum adat setempat. Namun dalam Pasal 3
terdapat pengecualiannya yaitu pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat
dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 :
1.
Tanah tersebut sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan suatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
2.
Tanah tersebut merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh
atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Di dalam Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa :
1.
Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanak hak ulayat oleh
perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
a.
Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
penguasaan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, yang
apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA
b.
Oleh instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah
menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara
setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu
atau oleh warganya sesuai dengan ketantauan dan tata cara hukum
adat yang berlaku
2.
Penglepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak
Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu
tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan sehingga Hak
Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka
penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat
masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.
3.
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Hak Guna Usaha atau
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta
pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah
yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
2.
Masyarakat Hukum Adat
Menurut R. Supomo dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang
hukum adat dikatakan :
“Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam (agama)”. Hukum adat
itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan hakim, yang berisi
asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum
adat berurat-akar pada kebudayaan nasional. Hukum adat adalah hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Sedangkan pengertian hukum adat adalah sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.10
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri pokok dari masyarakat
hukum adat yaitu adanya kelompok manusia yang mempunyai batas wilayah
tertentu dan kewenangan tertentu serta memiliki norma-norma atau aturanaturan
yang dipenuhi oleh kelompok manusia dalam wilayah tersebut.
Selanjutnya Ter Haar mengatakan bahwa masyarakat Hukum terdiri
dari faktor territorial (daerah) dan genealogis (keturunan).11
Masyarakat hukum adat teritorial adalah masyarakat hukum berdasar
lingkungan daerah, keanggotaan persekutuan seseorang tergantung pada
tempat tinggalnya, apakah di dalam lingkungan daerah persekutuan atau tidak.
Sedangkan masyarakat hukum berdasarkan genealogis adalah persekutuan
masyarakat hukum berdasarkan suatu keturunan (keluarga). Keanggotaan
persekutuan seseorang bergantung pada apakah seseorang itu masuk dalam
satu keturunan yang sama atau tidak.
Terdapat 3 (tiga) jenis sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat
hukum adat Indonesia :
a.
Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum di mana anggotanya
menarik garis keturunan ke atas melalui bapak. Bapak dari bapak terus
ke atas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya.
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Pasal 1,
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, ayat 3,
Jakarta, Djambatan 2000.
11 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, 1979. Hal 8
b.
Sistem Matrilineal, yaitu suatu sistem di mana masyarakat tersebut
menarik garis keturunan ke atas melalui garis ibu, ibu dari ibu, terus ke
atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya
c.
Sistem Parental atau Bilateral adalah masyarakat hukum di mana para
anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan
garis ibu, sehingga dijumpai seorang laki-laki dan seorang wanita
sebagai moyangnya.12
3.
Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat
Konsepsi dan Sistem Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat
Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran
bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai
sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, maka
orang harus menyelami dasar-dasar pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia.
Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
adalah Hak Ulayat, sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang beraspek
hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek Hak Ulayat adalah
masyarakat hukum adat, baik territorial, genealogik, maupun genealogis
territorial sebagai bentuk bersama para warganya.
12 I.G.N. Sugangga, Hukum Adat Khusus, Hukum Adat Waris pada Masyarakat Hukum Adat yang Bersistem
Patrilineal di Indonesia, Semarang 1998, hal 17-18.
Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum
publik ada pada Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, sebagai pertugas
masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama
tersebut.
Hubungan Hak Ulayat dengan Hak-hak Peseorangan
Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan selalu ada pengaruh
timbal balik. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu
bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan
dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Dalam hal yang demikian
kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang. Tetapi menurut
hukumnya yang asli, bagaimanapun juga kuatnya, hak perseorangan atas
tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. Dalam pada itu di banyak daerah
hak-hak perseorangan sudah sedemikian kuatnya, hingga kekuatan hak
ulayat menurut kenyataannya sudah hilang atau hampir-hampir tak terasa
lagi. Tetapi dimana hak ulayat masih kuat, sewaktu-waktu hubungan orang
dengan tanahnya menjadi kendor, misalnya tidak diusahakan lagi, hak
ulayat menjadi kuat kembali, hingga tanahnya kembali kedalam kekuasaan
penuh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kalau sebidang tanah tidak diusahakan lagi hingga kembali
menjadi hutan atau tumbuh belukar di atasnya, hal itu bisa mengakibatkan
hilangnya hak atas tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut kemudian
boleh diusahakan oleh anggota masyarakat lainnya. Teranglah bahwa
Hukum Adat mengenal isi pengertian fungsi sosial dari hak-hak atas tanah.
Dalam konsepsi Hukum Adat hak ini yang merupakan perwujudan dari
“unsur kebersamaan”. Para warga masyarakat diberi kemungkinan untuk
membuka, menguasai dan menghaki tanah bukan sekedar untuk dipunyai,
melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan kebutuhan
mereka masing-masing, ini bertentangan dengan fungsi sosialnya kalau
tanah yang mestinya diusahakan dibiarkan dalam keadaan terlantar. Hak
atas tanah menurut Hukum Adat tidak hanya memberi wewenang, tetapi
juga meletakkan kewajiban kepada yang empunya untuk mengusahakan
tanah. Demikian sifat asli dari hak perorangan atas tanah menurut konsepsi
Hukum Adat.
Dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah
bersama tersebut oleh para warganya, secara alamiah kekuatan Hak Ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tambah lama menjadi tambah
melemah, hingga akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Oleh
karena itu pada kenyataannya perkembangannya sudah sangat beragam,
maka tidak mungkin dikatakan secara umum, bahwa di suatu daerah Hak
Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adatnya masih ada atau sudah tidak
ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali. Undang-Undang Pokok
Agraria dan Hukum Tanah Nasional tidak menghapus Hak Ulayat, tetapi
juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan
masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat
tersebut melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak
perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
4. Penyelesaian Sengketa dibidang Pertanahan dan Prosedur
Penyelesaiannya
Pengertian Konflik atau Sengketa Pertanahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertiakian atau
perbantahan.13 Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara
dalam pengadilan.14 Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya
perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan
yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki
seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun
sosial, demikian menurut Koentjaraningrat.15
Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris
sama dengan “conflict” atau “dispute”. 16 Keduanya mengandung
pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah
pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict”
dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik, sedangkan kosa kata
“dispute” diterjemahkan dengan kata sengketa.
13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta, 1990, hal 643
14 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2002, hal. 433.
15 Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982, hal 103.
16 John.M. Echlosdan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Penerbit Gramedia,
Jakarta, 1996, hal. 138
Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,
baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab
kerugian atau pihak lain.
Menurut Margono17 sengketa yang terjadi saat ini antara lain terdiri
atas: (1) sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan
tanah), (2) sengketa bisnis yang rumit serta erat dengan unsur keuangan,
perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemebuhan kontrak dan
sebagainya, (3) sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah
pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat-daerah dan (4)
sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi
Negara dan perhatian masyarakat internasional.
Konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun
dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada
masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :18
a.
Pemilikan/Penguasaan tanah yangtidak seimbang dan tidak merata;
b.
Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
c.
Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi
lemah;
d.
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah
(hak ulayat);
17 Suyud Margono.ADR (Alternative Dispute Resolution) Dan Arbitease Proses Pelembagaan Dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarat, 2000, hal 85.
18 Lutfi Nsution, Catatan Ringkas Tentang Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
Tanah, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, 24 Oktober 2001
e.
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.
Sengketa Tanah dan Permasalahannya
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim
dan keras dari persaingan. Konflik agraria ialah proses interaksi antara
dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, juga
udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Secara makro
sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan.
Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adaya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai
informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat
(teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat
pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.
Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang
tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang
tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang
berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.19
Menurut Maria. S.W. Sumardjono, secara garis besar peta
permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu :20
1.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan,
kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain;
2.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan
landreform;
3.
Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan
pembangunan;
4.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
5.
Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum
adat.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu
sengketa hukum tanah, antara lain :
1.
Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tana berstatus hak, atau atas tanah
yang belum ada haknya:
2.
Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak;
19 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Mandar Maju, Bandung 1991, hal.
20 Maris S.W Sumardjono, Puspita Serangkum Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hal.
3.
Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan
penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar
4.
Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial
praktis.
Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada
pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang
disengketakan. Oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap
sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang
diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu
sebelum diperoleh suatu keputusan.
Permasalahan tanah makin kompleks dari hari ke hari, sebagai
akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang. Oleh karena itu
pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria di
lapangan menjadi makin tidak sederhana. Persaingan mendapatkan
ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara vertikal maupun
horizontal yang makin menajam.21
Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan
sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai
alat produksi semata melainkan juga sebagai alat utuk berspekulasi
(ekonomi) sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat
komoditi perdagangan yang dapat dipertukarkan.
21 Lutfi Nasution. Catatan Ringkas tentang Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemnfaatan
Tanah., Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, 24 Oktober 2001.
Prosedur Penyelesaian Konflik atau Sengketa Pertanahan
Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di
dalam Pasal 2, mengenai Hak menguasai negara atas tanah telah diuraikan
bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah berupa: 22
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
b.
Menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
c.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Berdasarkan wewenang tersebut, walaupun secara tegas tidak
diatur, namun wewenang untuk menyelesaikan konflik atau sengketa
adalah ada pada Negara Republik Indonesia yang kewenangannya
diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan sebagai landasan
operasional dan berfungsi untuk penyelesaian sengketa hukum atas tanah
yaitu PP No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. PMNA No.3 Tahun 1999,
PMNA No. 9 Tahun 1999 serta dasar operasional dalam Peraturan
Presiden No.10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan nasional.
22 Rusmadi Murad.Op.cit, hal. 14
Pasal 2 Perpres No. 10 Tahun 2006 mengatur secara tegas tugas
dari BPN yang di dalamnya menyatakan bahwa BPN bertugas
melaksanakan pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,
regional dan sektoral. Pasal selanjutnya dalam peraturan tersebut
menyebutkan 21 fungsi dari BPN, dimana salah satu fungsinya yaitu
melakukan kegiatan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik di bidang pertanahan. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut maka dibentuk Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Konflik atas tanah ulayat adalah satu dari masalah konflik
pertanahan yang rumit untuk dicarikan solusinya. Dalam konflik
pertanahan ini, selain berdampak pada persoalan ekonomi juga dapat
menimbulkan persoalan sosial yang lebih luas.
Bentuk suatu penyelesaian sengketa merupakan serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan
menggunakan strategi untuk menyelesaikan sengketa. Menurut Nader dan
Todd dalam bukunya Sulastriyono23 para pihak dapat mengembangkan
beberapa strategi atau alternatif dalam menyelesaikan sengketa seperti :
a.
Lumping it atau membiarkan saja kasus itu berlalu dan mengangap
tidak perlu diperpanjang.
b.
Avoidance atau mengelak yaitu para pihak yang merasa dirugikan
memilih untuk tidak berhubungan lagi dengan pihak yang merugikan
23 Sulastriyono, Sengketa Penguasaan Tanah Timbul dan Proses Penyelesaiannya, Tesis S-2 Program Pasca
Sarjana UI, Jakarta 1997, hal. 47-49
c.
Coercion atau paksaan yaitu satu pihak memaksakan pemecahan
pada pihak lain, misalnya debt collector
d.
Negotiation atau negosiasi yaitu dua pihak berhadapan merupakan
cara pengambil keputusan
e.
Mediation atau mediasi adalah campur tangan dari pihak ketiga
untuk menyelesaikan sengketa tanpa memperdulikan bahwa kedua
belah pihak yang bersengketa meminta bantuan atau tidak. Orang
yang bertindak sebagai mediator seperti Kepala Desa/Camat, Kepala
Pemerintah dan Hakim dan sebagainya
f.
Arbitration atau arbiterasi yaitu jika kedua belah pihak ketiga yakni
arbitrator/arbiter untuk menyelesaikan sengketa dan sejak semula
sepakat aka menerima keputusan apapun dari arbitratos tersebut.
g.
Adjudication atau pengajuan sengketa ke pengadilan yaitu adanya
campur tangan dari pihak ketiga (pengadilan) untuk menyelesaikan
sengketa dan hasilnya ditaati oleh para pihak yang bersengketa.
Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah, dapat
juga dilakukan secara langsung oleh pihak-pihak yang bersengketa. Bisa
juga dengan perantara melalui wakil atau kuasa yang ditunjuk oleh
mereka masing-masing.
Menurut Harsono24 berbagai kasus-kasus pertanahan, dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pertama sebagai sengketa
24 Soni Harsono, Konflik Pertanahan dan Upaya-Upaya Penyelesaiannya, Studium Generale Disampaikan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Pada FH-UGM, Yogyakarta, 17 desember 1996,
hal. 14-15
yang terjadi di luar badan pengadilan, pada umumnya diusahakan untuk
dapat diselesaikan oleh aparat BPN. Dan kedua sengketa yang timbul
karena terjadinya sengketa perdata, atau terjadi sengketa Tata Usaha
Negara dan penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan negeri atau
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bertitik tolak dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa tidak
semua sengketa dapat diselesaikan dengan satu jenis pemecahan. Bentukbentuk
penyelesaian sengketa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok
utama yakni yang pertama dilakukan oleh salah satu pihak, kedua
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja, dan yang ketiga
melibatkan pihak ketiga.
Bentuk penyelesaian sengketa lainnya yang dilakukan oleh pihakpihak
yang bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian sengketa model ini
disebut penyelesaian diadik untuk menghasilkan suatu keputusan atau
kesepakatan tanpa campur tangan atau bantuan pihak ketiga. Biasanya
penyelesaian model ini tidak berdasarkan peraturan yang ada melainkan
berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri.
Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga
meliputi penyelesaian yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi.
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini mempunyai persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah bentuk penyelesaian ini bersifat triadic
karena melibatkan pihak ketiga, sedangkan perbedaannya adalah ajudikasi
merupakan penyelesaian yang dilakukan oeh pihak ketiga yang
mempunyai wewenang untuk campur tangan, dan ia dapat melaksanakan
keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan apa yang menjadi
kehendak para pihak. Berbeda dengan ajudikasi, arbitrase merupakan
penyelesaian sengketa yang dilakukan pihak ketiga dan keputusannya
disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi adalah
bentuk penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihakpihak
yang bersangkutan untuk mencapai persetujuan.
Berikut ini digambarkan sejumlah karakteristik yang dimiliki
ajudikasi, arbitrase, mediasi dan negosiasi sebagai berikut :25
Karakteristik Ajudikasi Arbitrase Mediasi Negosiasi
Sukarela/tidak
sukarela
Tidak sukarela Sukarela Sukarela Sukarela
Pemutus Hakim Arbitrator Para pihak Para pihak
Banding: mengikat
dan tidak mengikat
Mengikat dengan
kemungkinan banding
Mengikat tetapi dapat
diuji untuk hal yang
sangat terbatas
Jika tercapai
kesepakatan
enforceable sebagai
kontrak
Jika tercapai
kesepakatan
enforceable
sebagai kontrak
Pihak ketiga Imposed: pihak ketiga
dan umumnya tidak
mempunyai keahlian
tertentu pada subyek
yang disengketakan
Dipilih para pihak dan
biasanya mempunyai
keahlian dibidang
subyek yang
disengketakan
Dipilih para pihak
dan bertindak
sebagai fasilisator
Tidak ada pihak
ketiga atau
fasilisator=
perundingan
secara langsung
oleh para pihak
yang
bersengketa
Derajat Formalitas Formal, sangat
terbatas pada struktur
dengan aturan yang
ketat sudah ditentukan
Tidak terlalu formal:
atuan main dan
hukum yang
digunakan disepakati
para pihak
Biasanya informal
dan tidak
terstruktur
Biasanya
informal dan
tidak terstruktur
Aturan Pembuktian Sangat formal dan
teknis
Informal dan tidak
teknis
Tidak ada
ditentukan
berdasarkan para
pihak
Tidak ada
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
para pihak
Hubungan para
pihak
Sikap saling
bermusuhan=
Antagonis
Sikap saling
bermusuhan=
antagonis
Kooperatif
kerjasama
Kooperatif
bersaing
Fokus penyelesaian Masa lalu Masa lalu Masa depan Masa kini
Proses penyelesaian Kesepakatan masingmasing
pihak
menyampaikan
pembuktian dan
argument
Kesepakatan masingmasing
pihak
menyampaikan bukti
dan argument
Presentasi buktibukti
dan argumen
kepentingankepentingan
Presentasi buktibukti
dan
argumen dan
kepentingakepentingan
Suasana emosional Emosi bergejolak Emosional Bebas emosional Bebas emosional
Hasil Principle decision,
yang didukung oleh
pendapat yang
Kadang-kadang sama
dengan ajudikasi,
kadang-kadang
Kesepakatan yang
diterima kedua
belah pihak: win-
Kesepakatan
yang diterima
kedua belah
25 Racmadi Usman, Op. Cit, hal 24-25
objektif kompromi tanpa ada
opini
win solution pihak: win-win
solution
Publikasi dan jangka
waktu
Publik=terbuka untuk
umum. jangka waktu
panjang (5-12 tahun)
Tidak terbuka untuk
umum=privat. Jangka
waktu agak panjang
(3-6 bulan)
Tidak terbuka
untuk
umum=privat
Jangka waktu
segera (3-6 minggu)
Tidak terbuka
untuk
umum=privatJa
ngka waktu
segera (3-6
minggu)
Ada beberapa tawaran yang justru menjadi daya tarik alternatif
penyelesaian sengketa yakni : pertama, dipercaya dapat menghasilkan win-
win solution bagi para pihak yang bersengketa. Kedua, apa yang
diharapkan para pihak yang bersengketa adalah cepat pemberian
keputusan, sehingga tidak berlarut-larut masalahnya. Ketiga, dalam hal
keadilan yang dicari oleh kedua belah pihak adalah rasa keadilan kedua
belah pihak dan bukan keadilan menurut hukum atau undang-undang
belaka.
Penyelesaian Melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional
Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya
pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.
Prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut,
para pihak dapat meminta bantuan kepada instansi BPN dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Pengaduan/Keberatan dari Masyarakat
Pengaduan tersebut diajukan karena mereka ingin mendapatkan
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi
serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan
untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara dibidang pertanahan (sertipikat/Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah), hanya ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Adapun sengketa hak atas tanah adalah meliputi beberapa
macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak,
bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar
pemberian hak atau pendaftaran dalam buku tanah dan sebagainya.
b. Penelitian dan Pengumpulan Data
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut
diatas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dengan
mengadakan penelitian terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari
hasil penelitian ini dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat.
Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap,
maka BPN akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran
ke para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang
disengketakan. Selanjutnya setelah lengkap data yang diperlukan,
kemudian diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang
diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur kewenangan dan
penerapan hukumnya.
c. Pencegahan Mutasi (Penetapan Status Quo)
Agar kepentingan orang atau Badan Hukum yang berhak atas
tanah yang disengketakan tersebut mendapatkan perlindungan
hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari
keyakinannya memang harus distatus quo-kan, dapat dilakukan
pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam
Surat Edaran Kepala BPN No. 110-150 perihal Pencabutan Instruksi
Dalam Negeri No. 16 Tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16
Tahun 1984, memang diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kakanwil BPN Propinsi
dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya
didalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya
dilakukan apabila ada CB dari Pengadilan.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa apabila Kepala
Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo
terhadap suatau Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan
(sertipikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan azas-azas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain azas kecermatan dan ketelitian,
azas keterbukaan (Fair Play), azas persamaan didalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersegketa.
d. Pelayanan secara Musyawarah
Terhadap sengketa hak atas tanah yang disampaikan ke BPN
untuk dimintakan penyelesaian, apabila bisa dipertemukan pihakpihak
yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui
cara musyawarah penyelesaian melalui cara ini seringkali BPN
diminta sebagai mediator didalam menyelesaikan sengketa hak atas
tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah
seperti ini, harus pula disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan,
yaitu dari Surat Pemberitahuan untuk para pihak, Bertita Acara Rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam
Akta Pernyataan Perdamaian yang bila perlu dihadapan Notaris
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
e. Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara
dibidang Pertanahan oleh Kepala BPN berdasarkan adanya
cacat hukum /administrasi di dalam penerbitannya
Yang menjadi dasar hukum kewenangan tersebut adalah :
1.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
2.
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
3.
Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Pembentukan BPN
(Pasal 16 sub. C)
4.
PMNA/Ka.BPN No. 3 Tahun 1999
Permohonan tersebut sebagian besar biasanya diajukan
langsung kepada Kepala BPN dan lainnya diajukan melalui Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kakanwil BPN Propinsi.
f. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Pengadilan
Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah antar
pihak yang bersangkutan tidak tercapai, demikian juga penyelesaian
secara sepihak dari Kepala BPN karena mengadakan peninjauan
kembali atas Keputusan Kepala Tata Usaha Negara yang telah
dikeluarkannya, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah diteliti lebih lanjut ternyata Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan oleh Pejabat BPN menurut hukum sudah
benar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala BPN
juga dapat mengeluarkan suatu Keputusan yang berisi menolak
tuntutan pihak ketiga atas Keputusan Tata Usaha Negara, sebagai
konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha
yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada
pihak lain yang mengajukan gugatan ke Pengadilan setempat.
Sementara menunggu Putusan Pengadilan, sampai adanya
Putusan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata
Usaha Negara yang terkait untuk mengadakan mutasi atas tanah yang
bersangkutan (status quo). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya masalah dikemudian hari yang menimbulkan kerugian
pihak ketiga, untuk itu Pejabat Tata Usaha Negara dibidang
Pertanahan yang terkait harus menerapkan azas-azas umum
pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang
berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kakanwil BPN Propinsi yang
bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan/pencabutan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dibidang Pertanahan yang telah
diputuskan tersebut diatas. Permohonan tersebut harus dilengkapi
dengan laporan mengenai semua data-data yang menyangkut subyek
dan beban-beban yang ada diatas tanah tersebut serta segala
permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif untuk mencabut/membatalkan suatu
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertipikat Hak
Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala BPN termasuk
langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan
adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non
eksekutable). Semua ini agar diserahkan kepada Kepala BPN untuk
menilainya dan mengambil keputusan lebih lanjut.
5. Tinjauan Mediasi
Pengertian Mediasi
Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “Mediation” yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah
atau penyelesaian sengketa secara menengahi. UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan
rumusan definisi/pengertian dari mediasi secara jelas dan tegas.
Dalam kaitannya dengan mediasi, Pasal 6 ayat (3) Undang-undang
Arbitrase menyatakan bahwa: “Dalam hal sengketa/beda pendapat
sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa/perbedaan pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang/lebih penasihat ahli/melalui seorang mediator.”
Christopher W. Moore26 memberikan batasan tentang pengertian
mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa/negosiasi oleh pihak
ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu
para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan
batasan bahwa : “Pengertian mediasi adalah suatu proses pengikutsertaan
26 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001, hal.67-68
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Dan
mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang
bersengketa itu”.27
Menurut Rachmadi Usman28 “Mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial)
kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh
pihak-pihak yang bersengketa”.
Dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah adalah
proses dimana pihak luar yang tidak memihak/impartial dan netral bekerja
dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka untuk
memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur mediasi
adalah sebagai berikut :
a. Penyelesaian sengketa sukarela
b. Intervensi/bantuan
c. Pihak ketiga tidak berpihak
d. Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsensus
e. Partisipasi
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur
paksaan antara para pihak dengan mediator, karena para pihak secara
sukarela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan
27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.hal.569
28 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal.82
konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu, mediator berkedudukan
sebagai pembantu, walaupun ada unsure intervensi dari pihak-pihak yang
sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, maka mediator harus bersifat
netral/tidak memihak sampai diperoleh keputusan yanghanya ditentukan
oleh para pihak dan berpartispasi aktif membantu para pihak untuk
menemukan perbedaan persepsi/pandangan.
Peran Mediator dalam Mediasi
Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga
yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan. Jadi mediator hanya bertindak sebagai fasilitator
saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian
masalah/sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan
dituangkan dalam kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak
berbeda ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.29
Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam
memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalanpersoalan
yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah
pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan
kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan
dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator
membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan
29 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 82
menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum.
Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi dan
mereka biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak
bersedia membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak,
mediator akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan
persoalan-persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu
menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu
perjanjian/ kesepakatan.
Dengan demikian seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai
penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan
pemimpin diskusi saja, tetapi juga harus membantu para pihak untuk
mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan
kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator juga harus memiliki
kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya
akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan
pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian
mediator juga akan membantu para pihak dalam menganalisis
sengketa/pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat mengemukakan
rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang
juga akan ditindak lanjuti secara bersama.
Tahap-Tahap Mediasi
Pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh mediator melalui
beberapa tahap. Penahapan proses pelaksanaan mediasi ini dilmaksudkan
untuk memberikan kemudahan kepada para pihak yang bersengketa
dengan bantuan mediator, agar dapat tercapai kesepakatan bersama yang
merupakan hasil akhir dari penyelesaian konflik melalui mediasi.
Gary Goodpaster membagi proses pelaksanaan mediasi itu
berlangsung melalui empat tahap yaitu :30
a.
Tahap Pertama : Menciptakan Forum
Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
mediator adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan pertemuan bersama
2.
Pernyataan pembukaan mediator
3.
Membimbing para pihak
4.
Menetapkan aturan dasar perundingan
5.
Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak
6.
Pernyataan-pernyataan para pihak
7.
Para pihak mengadakan/melakukan hearing dengan mediator
8.
Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi
informasi
9.
Menciptakan interaksi dan disiplin
b.
Tahap Kedua : Pengumpulan dan Pembagian Informasi
30 Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui
Negosiasi, Economic Law and Improved Procurement System (ELIPS) Project, Jakarta, 1993, hal 104
Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuan
pertemuan secara terpisah/dinamakan dengan causus-causus terpisah
guna :
1.
Mengembangkan informasi lanjutan
2.
Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai
keinginan/kepentingan para pihak
3.
Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan
4.
Membimbing para pihak dalam tawar menawar penyelesaian
masalah
c. Tahap Ketiga : Penyelesaian Masalah
Dalam tahap ini mediator dapat mengadakan pertemuan
bersama/causus-causus terpisah sebagai tambahan/kelanjutan dari
pertemuan sebelumnya dengan maksud untuk :
1.
Menyusun dan menetapkan agenda
2.
Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah
3.
Meningkatkan kerjasama
4.
Melakukan identifikasi dan klarifikasi masalah
5.
Mengadakan pilihan penyelesaian masalah
6.
Membantu melakukan pilihan penaksiran
7.
Membantu para pihak dalam menaksir, menilai dan membuat
prioritas kepentingan-kepentingan mereka
d. Tahap Keempat
Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan adalah : 31
1.
Mengadakan causus-causus dan pertemuan-pertemuan bersama
2.
Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para
pihak mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah
3.
Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan
4.
Mengkonfirmasikan dan mengklarifikasikan perjanjian
5.
Membantu para pihak untuk membandingkan proposal
penyelesaian masalah dengan pilihan diluar pengadilan
6.
Mendorong/mendesak para pihak untuk menghasilkan dan
menerima pemecahan masalah
7.
Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win dan
tidak hilang muka
8.
Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa
mereka
9.
Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.
Keunggulan Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Mediasi merupakan salah satu pilihan yang baik dalam
penyelesaian sengketa, karena dianggap lebih efektif. Menurut Moore
suatu proses perundingan melalui mediasi dikatakan karena memenuhi tiga
syarat kepuasan yaitu :32
31 Gary Goodpaster, Ibid, hal. 106.
32 Joni Emirzon, Op. Cit, Hal. 91
a.
Kepuasan substantif yaitu kepuasan yang berhubungan dengan
kepuasan khusus dari pihak-pihak yang besengketa.
b.
Kepuasan Prosedural, dimana para pihak mendapatkan kesempatan
yang sama dalam menyampaikan gagasan-gagasan selama proses
perundingan dan diwujudkan dalam sebuah perjanjian tertulis untuk
disepakati pelaksanaannya.
c.
Kepuasan Psikologis terjadi jika masing-masing pihak memiliki emosi
yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan dalam setiap
permasalahan.
Kedudukan mediasi sebagai langkah awal artinya mediasi tidak
menutup kemungkinan untuk mengajukan sengketa ke Pengadilan.
Sekiranya tidak tercapai kompromi, baru ditingkatkan penyelesaiannya
melalui mediasi, salah satu tidak mentaati pemenuhan secara sukarela,
berarti dia telah melakukan pengingkaran terhadap penyelesaian. Dalam
hal ini terbuka jalan untuk meminta penyelesaian kepada Pengadilan.
Mediasi tidak selalu sesuai bagi semua sengketa/konflik. Dalam
mediasi para pihak pada umumnya mewakili dirinya daripada
menggunakan pengacara. Mediator berusaha keras membantu para pihak
untuk memusyawarahkan tawar-menawar yang sama-sama
menguntungkan keduanya. Oleh karena itu para pihak harus dapat
memusyawarahkan apa yang mereka inginkan dengan tujuan untuk
memperoleh kesepakatan. Dengan demikian kompromi merupakan suatu
pemecahan dalam sengketa dan mediator dapat membantu para pihak
menyadari bahwa satu-satunya pemecahan yang ada adalah kompromi.
Para pihak akan lebih memungkinkan mengambil kesimpulan sendiri
apabila mereka telah benar-benar dan dengan sewajarnya mempelajari
setiap pilihan yang ada, termasuk alternatif diluar kesepakatan.33
Dengan adanya proses mediasi, maka keuntungan yang didapat
menurut Moore dalam bukunya Joni Emirzon yaitu :34
1. Keputusan yang hemat
Jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui litigasi
yang berlarut-larut, mediasi hanya membutuhkan biaya yang lebih
murah.
2. Penyelesaian secara tepat
Penyelesaian sengketa melalui litigasi membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk selesai, misalnya jika kasus diteruskan menjadi
naik banding/kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding/bentuk lainnya.
3. Hasil-hasil yang memuaskan bagi para pihak
Para pihak yang bersengketa umumnya merasa puas dengan jalan
keluar yang telah disetujui bersama daripada harus menyetujui jalan
keluar yang sudah diputuskan dengan pengambilan keputusan oleh
pihak ketiga, seperti hakim wasit, kecuali dalam kasus criminal/tindak
pidana.
4. Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan customized
33 Gary Goodpaster, Op. Cit, hal. 211
34 Joni Emirzon, Op. Cit, hal. 91-94
Penyelesaian sengketa melalui mediasi bisa menyelesaikan
masalah hukum/yang diluar jangkauan hukum. Kesepakatan melalui
jalur mediasi seringkali mampu mencakup masalah prosedural dan
psikologis yang tidak mungkin diselesaikan melalui jalur hukum.
Pihak-pihak yang terlibat bisa menambal sulam cara-cara pemecahan
masalah sesuai dengan situasi mereka.
5. Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah
secara kreatif
Mediasi mengajarkan orang mengenai teknik-teknik penyelesaian
masalah secara praktis yang dapat digunakan untuk melestarikan
sengketa dimasa mendatang. Komponen pendidikan mediasi sangat
berbeda dengan prosedur-prosedur penyelesaian sengketa yang sangat
eksklusif berorientasi pada hasil keputusan, seperti misalnya keputusan
arbitrase/keputusan hukum.
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga
Para pihak yang menegosiasikan sendiri pilihan penyelesaia
sengketa mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap hasil-hasil
sengketa. Keuntungan dan kerugian menjadi lebih mudah diperkirakan
dalam suatu penyelesaian masalah negosiasi/mediasi daripada melalui
proses arbitrase dan pengadilan.
7.
Kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil
kompromi/prosedur menang kalah
Negosiasi yang dilakukan melalui mediasi berwawasan
kepentingan bisa menghasilkan pernyataan yang lebih memuaskan
bagi kedua belah pihak jika dibandingkan dengan keputusan
kompromi, dimana sebagian pihak menanggung kerugian dan sebagian
lagi menikmati keuntungan.
8.
Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu
Penyelesaian sengketa melalui mediasi cenderung bertahan
sepanjang masa dan jika akibat-akibat sengketa muncul kemudian,
pihak-pihak yang bersengketa cenderung untuk memanfaatkan sebuah
forum kerjasama untuk menyelesaikan masalah untuk mencari jalan
tengah perbedaan kepentingan mereka daripada mencoba
menyelesaikan masalah dengan pendekatan adversarial.35
Kelemahan-Kelemahan Mediasi
Disamping kelebihan-kelebihan dari pemilihan sengketa pilihan
berupa mediasi, maka dalam proses mediasi juga terdapat kelemahankelemahannya
yaitu: 36
1.
Bisa memakan waktu yang lama
2.
Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan hanya
seperti kekuatan suatu kontrak
3.
Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya sampai selesai
35 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 83-85
36 Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, hal.50-51
4.
Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi
dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya
5.
Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan
adanya fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada
mediator, sehingga keputusanya menjadi bias.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi Penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang
tepat melakukan sesuatu dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan, jadi
metodologi artinya cara untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan secara seksama untuk mencapai suatu
tujuan.
Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sesuatu hal sampai menyusun laporannya.37 Oleh
karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai nilai validitas yang tinggi
serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat juga diperlukan untuk
memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari dan memahami objek yang
diteliti. Sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan
yang telah direncanakan.
Di dalam penelitian termasuk penelitian hukum, dikenal berbagai macam
atau jenis dan tipe penelitian. Terjadinya perbedaan jenis penelitian itu
berdasarkan sudut pandang dan cara meninjaunya, dan pada umumnya suatu
penelitian sosial termasuk penelitian hukum dapat ditinjau dari segi sifat, bentuk,
tujuan dan penerapan dari sudut disiplin ilmu. Penentuan jenis atau macam
penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu
dengan sistematika dan metode serta analisa data yang harus dilakukan untuk
setiap penelitian. Hal demikian perlu dilakukan guna mencapai nilai validitas data
37 Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002), Hal. 1
yang tinggi, baik data yang dikumpulkan maupun hasil akhir penelitian yang
dilakukan.38
Menurut Maria S.W. Sumardjono penelitian merupakan suatu proses
penentuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang sistematis yang
berencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah. Seluruh proses penelitian
merupakan kegiatan terkait dan berkesinambungan. Ada suatu benang merah yang
dapat ditarik berawal dari pemilihan judul serta perumusan masalah yang harus
sinkron dengan tujuan penelitian. Dengan tinjauan pustaka yang dikemukakan
dapat dilihat kerangka berfikir yang berhubungan dan menunjang penelitian.
Kerangka berfikir ini tidak dapat diwujudkan tanpa merinci cara-cara melakukan
penelitian yang menerangkan tentang darimana serta bagaimana cara data
diperoleh, variable apa saja yang menjadi fokus penelitian, serta bagaimana data
yang trekumpul akan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian.39
Dengan demikian inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum
adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum harus
dilakukan. Disini penulis menentukan metode pendekatan apa yang akan
digunakan, spesifikasi/tipe penelitian yang dilakukan, metode populasi dan
sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan dan analisa data yang
dipergunakan.
1. Metode Pendekatan
38 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : SInar Grafika, 1991), hal. 7
39 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Umum, 1997) hal 27
Dalam penelitian untuk tesis ini digunakan metode pendekatan
yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang mengacu pada peraturanperaturan
tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat
sekunder, untuk melihat bagaimana penerapan/pelaksanaannya melalui
suatu penelitian lapangan yang dilakukan dengan sosiologis dan
wawancara, sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti.
Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya
adalah data sekunder, sebagaimana di atas untuk kemudian dilanjutkan
dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap
masyarakat atau para pihak yang terlibat dalam konflik. Dikatakan
sebagai data primer karena yang hendak diteliti adalah sebuah perilaku
hukum dari praktek penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi.
Metode pendekatan di atas digunakan karena mengingat bahwa
permasalahan yang diteliti berhubungan dengan cara penyelesaian
sengketa pertanahan yang terjadi, yang juga mencakup bidang yuridis
yaitu peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tata cara
pelaksanaannya dan penyelesaian sengketa yang timbul.
2.
Spesifikasi Penelitian
Pada umumnya suatu penelitian sosial termasuk penelitian hukum
ditinjau dari sifat penelitian dapat dibagi menjadi tiga yaitu :40
a.
Penelitian Eksploratoris yaitu penelitian penjelajahan, mencari
keterangan, penjelasan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.
40 Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986) hal 7-9
Penelitian ini dilakukan apabila pengetahuan tentang segala sesuatu
gejala yang akan diselidiki masih kurang sama sekali atau bahkan
tidak ada. Kadang-kadang penelitian semacam ini disebut feasibility
study yang bermaksud untuk memperoleh data awal.
b.
Penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menuliskan
tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.
Dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya, maksudnya agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama. Biasanya dalam
penelitian ini, peneliti sudah mempunyai atau mendapatkan gambaran
yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.
c.
Penelitian Eksplanatoris yaitu suatu penelitian yang menerangkan,
memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau
hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil penelitian yang ada.
Istilah analitis yaitu mengelompokkan, menggabungkan secara
sistematis untuk mendapatkan data atau informasi mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhinya, pelaksanaan berbagai aturan dengan penanganan
kasus serta bagaimana cara penyelesaiannya.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis
yaitu memberikan deskripsi tentang konflik yang timbul, menganalisa
secara sistematis untuk mendapatkan data/informasi mengenai faktorfaktor
penyebab konflik, pelaksanaan berbagai aturan yang berkaitan
dengan konflik serta bagaimana cara penyelesaian konflik tersebut.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Sorong, lokasi yang
ditunjuk secara porpusive sampling yaitu penentuan sample yang
didasarkan pada ciri-ciri tertentu dari wilayah yang bersangkutan.
Lokasi yang ditunjuk secara purposive tersebut merupakan tempat
yang sering terjadi sengketa pertanahan yaitu sengketa tanah ulayat,
dengan demikian diharapkan akan mudah untuk mengetahui dan mudah
memahami berbagai klasifikasi maupun kearifan masyarakat setempat
sebagai pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi.
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi atau universe adalah seluruh objek atau seluruh
individu atau gejala atau keseluruhan kejadian atau seluruh yang akan
diteliti. Populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka
kerapkali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu.41
Populasi dalam penelitian ini adalah para pihak anggota
masyarakat di Kabupaten Sorong yang pernah mengalami sengketa
dibidang pertanahan dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
penyelesaiannya sengketa pertanahan.
b. Sampel
41 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) hal.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Berikut macam-macam teknik
pemilihan sampel yaitu :
a.
Teknik random sampling, yaitu cara pengambilan sampel secara
random tanpa pilih bulu, sehingga setiap anggota dari seluruh
populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama
untuk dipilih menjadi anggota.
b.
Teknik non random sampling, yaitu cara pengambilan sampel di
mana semua populasinya tidak mempunyai kesempatan yang sama
untuk menjadi anggota sampel, jika hanya populasi tertentu yang
dijadikan sampel.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik non random sampling, dengan cara purposive
sampling karena sampel dalam penelitian ini mempunyai karakteristik
yang sama yaitu anggota masyarakat yang pernah mengalami
sengketa tanah ulayat. Cara non random sampling ini dilakukan
dengan cara semua populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama
untuk pengambilan sampel dengan teknik pengambilan subyek pada
tujuan tertentu.42 Hal ini dilakukan karena alasan-alasan tertentu yaitu
disebabkan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya sehingga
tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dan letaknya
42 Ronny H. Soemitro, Ibid, hal 47
yang jauh. Sampel dalam penelitian ini adalah warga masyarakat
Malamoi yang ada di Kabupaten Sorong.
Untuk melengkapi data, Peneliti akan melakukan wawancara
dengan nara sumber yang terkait yaitu :
1.
Ketua lembaga masyarakat adat
2.
Pejabat Camat Kabupaten Sorong
3.
Kepala Bagian Kasus dan Penyelesaian Sengketa Peratanahan di
Kantor BPN Kabupaten Sorong
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, termasuk penelitian hukum pengumpulan
data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian dan sifatnya
mutlak untuk dilakukan karena dari data yang diperoleh kita mendapatkan
gambaran yang jelas tentang obyek yang diteliti, sehingga akan
membantu kita untuk menarik suatu kesimpulan dari obyek atau
fenomena yang akan diteliti.
Untuk membantu penulis mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai fenomena yang diteliti, maka dibutuhkan data yang valid.
Sumber data dalam penelitian hukum empiris ini adalah data primer
sebagai data utama dan data sekunder yang berupa bahan hukum yang
dipakai sebagai pendukung.
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian
adalah :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden dan nara sumber tentang obyek yang diteliti. Data primer
dalam penelitian dapat dilakukan dengan metode wawancara, metode
kuesioner, dan observasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan dengan terhun langsung ke daerah penelitian
yaitu Kebupaten Sorong. Wawancara dilakukan dengan responden
dan narasumber yang telah diutaikan di atas, secara bebas terpimpin
dengan melakukan Tanya jawab dengan responden dan narasumber
yang telah ditentukan.
Penulis memilih teknik wawancara ini dengan beberapa
pertimbangan, bahwa teknik ini ternyata memberikan beberapa
keuntungan, antara lain :
a.
Dengan memperoleh informasi langsung dari obyeknya
diharapkan akan memperoleh suatu tingkat ketelitian yang relatif
tinggi
b.
Keterangan yang didapatkan tidak semata-mata dari hal-hal yang
bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan akan
tetapi dari perkembangan tanya jawab
c.
Ada kesempatan untuk mengecek jawaban secara langsung dan
bersifat pribadi
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data berupa bahan hukum primer yang
meliputi peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder
yang meliputi buku-buku, hasil penelitian dan karya ilmiah serta
bahan hukum lainnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakn adalah studi pustaka
dan studi dokumen. Studi pustaka merupakan suatu teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca, mempelajari dan
memahami buku-buku serta mendeskripsikan, mensistematisasikan,
menganalisis, menginterpretasikan dan menilai peraturan perundangundangan
dengan menggunakan penalaran hukum yang berhubungan
dengan penyelesaian sengketa tanah hak ulayat.
Data sekunder dalam tesis ini diperoleh dari :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan
hukum utama berupa peraturan perundang - undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan
dasar hukum yang terdiri dari :
a.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
c.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
d. Peraturan
Menteri Dalam Negara Agraria /Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
e.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan
f.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 tahun 1981
tentang Susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Direktorat
Agraria Propinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya
g. Surat Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 26
Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Ad Hoc Penanganan
Masalah Pertanahan Kepala Bandan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia
2.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
kejelasan bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku yang
membahas tentang penyelesaian sengketa, berbagai hasil seminar,
makalah, karya ilmiah, artikel yang berkaitan dengan materi tesis.
3.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder yang
terdiri dari kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut
penelitian.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara
deskriptif, dengan pengertian bahwa data-data yang dihasilkan akan
memberikan gambaran yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk
memperoleh gambaran yang dimaksud maka peneliti mengumpulkan data
yang bersifat kualitatif, karena data yang dikumpulkan hanya sedikit dan
data tersebut tidak dapat diklasifikasikan.
Dalam suatu penelitian untuk menarik kesimpulan dapat
menggunakan metode deduktif dan induktif, penarikan kesimpulan secara
deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menuju
hal yang bersifat khusus. Secara induktif adalah menarik kesimpulan
dengan cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang khusus
kemudian menilai suatu kejadian yang umum.
Penelitian ini menggunakan metode penarikan kesimpulan yang
deduktif yaitu menilai suatu kejadian yang bersifat umum menuju kesifat
khusus, yaitu permasalahan yang terjadi mengenai sengketa tanah ulayat
masyarakat Malamoi di Kabupaten Sorong.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.1 Keadaan Geografi
Secara geografis letak Kabupaten Sorong sangat strategis karena
berada di bagian barat propinsi Papua dan merupakan pintu gerbang
masuk ke Papua, baik melalui transportasi laut maupun udara. Kabupaten
Sorong terletak 130° BB-155° BT, 02° LU-01° LS dengan luas 17.970
Km². Kabupaten Sorong memiliki batas-batas wilayahnya sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Laut Pasifik
b. Sebelah Timur : Kabupaten Manokwari
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Fak-fak
d. Sebelah Barat : Propinsi Maluku
Iklim di wilayah kabupaten Sorong adalah tropis, dengan curah
hujan rata-rata 3.660 mm/th, dengan hari hujan 107-195 m/hari, curah
hujan 2500-3000 mm/th di bagian tengah distrik/kecamatan Sausapor,
sebagian Moraid, sebagian kecil Makbon, Sorong, dan sebagian Salawati.
Perbedaan musim hujan dan musim kering hampir tidak ada, karena
pengaruh angin.
Keadaan Demografi.
Selama periode 1998-1999, penduduk Kabupaten Sorong
menunjukkan laju pertumbuhan yang positif, dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 2,33 % per tahun. Banyaknya penduduk dalam dua
tahun tersebut adalah masing-masing sebanyak 141.535 jiwa dan 145.813
jiwa pada tahun 2004.
Dengan perkembangan selanjutnya tepatnya tahun 2003 dan tahun
2004, penduduk Kabupaten Sorong kembali menunjukkan pertambahan
yang positif, yaitu masing-masing tumbuh besar 2,92 % per tahun. Akan
tetapi, dengan adanya lagi pemekaran wilayah Kabupaten Sorong menjadi
Kabupaten Sorong sebagai induk dan Kabupaten Sorong Selatan dan
Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten pemekaran, penduduk
Kabupaten Sorong kembali mengalami penurunan sebesar 18,51 % atau
hanya sebanyak 120.052 jiwa.
Penduduk Kabupaten Sorong setelah diamati dari sisi
penyebarannya, ternyata pola penyebaran penduduk di 12 (dua belas)
Distrik/Kecamatan yang ada di Kabupaten Sorong tidak merata, di mana
lebih dari 40 % penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2003, tersebar di
dua Distrik/Kecamatan yaitu Distrik/Kecamatan Aimas (26,88 %) dan
Distrik/Kecamatan Salawati (16,44 %).
Keadaan Topografi
Topografi Kabupaten Sorong sangat bervariasi, mulai dari dataran
rendah dan berawa sampai dengan pegunungan seperti pegunungan
Tamrauw. Hampir 60% wilayah Kabupaten Sorong berupa pegunungan
dengan topografi yang agak bergelombang terdapat di bagian tengah
mengarah ke utara, sedangkan 25% merupakan dataran rendah yang
menyebar di bagian selatan.
Wilayah bagian selatan sampai ke barat Kabupaten Sorong
menunjukkan dataran rendah dan sebagian adalah daerah rawa-rawa,
sedangkan wilayah bagian tengah ke arah timur dan utara merupakan
daerah pegunungan dengan lereng-lereng yang curam dengan ketinggian
antara 100-3.000m/dpl, seperti pegunungan yang ada di Distrik/Kecamatan
Makbon, Distrik/Kecamatan Moraid, Distrik/Kecamatan Sausapor.
Wilayah dengan ketinggian di bawah 100 m/dpl umumnya terdapat pada
wilayah Kota Sorong, Distrik Seget dan Distrik Beraur. Wilayah dengan
ketinggian antara 100 m/dpl hingga 500 m/dpl terdapat di Ditrik Aimas.
Wilayah dengan ketinggian 500 m/dpl sampai dengan 2.000-2.500 m/dpl
terdapat di Distrik Sausapor.
Dari sekitar 3.193.007,18 Ha luas wilayah daratan Kabupaten
Sorong pada tahun 2002 sekitar 72,40 % (2.311.634,54 Ha) diperuntukkan
untuk lahan hutan. Luas lahan hutan Kabupaten Sorong tersebut,
berdasarkan peta padu serasi sekitar 60% adalah hutan produksi tetap dan
hutan produksi yang dapat dikonversikan. Peruntukkan lainnya yang
relative besar hanya untuk perkampungan/perumahan (7,87%) dan
tegalan/perkebunan (7,64%).
Wilayah Administratif
Secara administratif pada tahun 2005, Kabupaten Sorong terdiri
atas 16 Kecamatan/Distrik, 100 desa atau kampung dan kelurahan. Dari 16
Distrik yang ada, distrik yang paling luas di Kabupaten Sorong pada tahun
2003 adalah Distrik Klamono yaitu 3.600 Km² atau 20,30% dari luas
keseluruhan Kabupaten Sorong. Sementara distrik yang paling kecil
wilayahnya adalah Distrik Aimas, yaitu hanya 610 Km² atau 3,39% (Tabel
2.2). Di sisi lain, distrik yang memiliki kampung atau kelurahan yang
paling banyak adalah distrik aimas, yaitu sebanyak 15 kampung/kelurahan
disusul distrik salawati dan distrik beraur masing-masing sebanyak 10
kampung/kelurahan.
Tabel 1
Jumlah Distrik, Kampung/Kelurahan dan Luas Wilayah
Menurut Disrik di KabupatenSorong
No
.
Kecamatan Banyak Kampung/Kelurahan Wilayah
Kampung Kelurahan Jumlah Luas (Km²) %
1. Aimas 11 5 11 610 35,73,
2. Salawati 10 -10 330 3,69
3. Moraid 5 -5 1.582 9,92
4. Sausapor 7 -7 1.940 11,91
5. Beraur 11 -11 1.505 8,38
6. Makbon 6 -6 1.670 9,29
7. Seget 6 -6 520 5,73
8. Fef 5 -5 1.190 9,40
9. Klamono 7 -7 3.600 20,03
10. Segun 7 -7 640 3,56
11. Sayosa 6 -6 1.149 6,39
12. Abun 4 -4 1.191 8,30
13. Mayamuk 7 -7 342 -
14. Salawati Selatan 5 -5 510 -
15. Yembun 5 -5 750 -
16. Meyah 6 -6 600 -
Kabupaten Sorong 107 5 112 17.970 100,00 -
Sumber : Data Primer 2008
2. Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Persekutuan Hukum Adat Malamoi
Masyarakat hukum adat Malamoi termasuk dalam wilayah persekutuan
adat yang terletak di Kabupaten Sorong. Dalam wawancara dengan Lurah
Kelurahan Makbusun Kokmala Mayalibit, menjelaskan bahwa masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dilihat dari struktur masyarakatnya, pada
awalnya Suku Malamoi merupakan masyarakat hukum adat yang berstruktur
ganda43 . Sebutan Malamoi (Moi) diambil dari raja atau pemimpin mereka
yang bernama ”Fun Mo”. Fun atau Raja Mo merupakan pemimpin kerajaan
Sailolof yaitu suatu organisasi kekuasaan yang didirikan berdasarkan
”kesamaam teritorial” dari kelompok-kelompok yang ada di dalamnya. Dalam
lingkungan Suku Malamoi terdapat sejumlah sub-suku yang disebut ”Gelet
atau Keret” yaitu satu kesatuan masyarakat yang lebih kecil yang berada
dalam naungan suku malamoi. 44
Dalam pemahaman masyarakat terhadap tanah hak ulayat khususnya di
Kabupaten Sorong, tanah hak ulayat adalah tanah adat terdiri atas tanah yang
masih bersifat komunal (dikuasai secara bersama) dan tanah adat yang sudah
bersifat perorangan yang cenderung penguasaannya dikuasai oleh Kepala
Geret.
Masih berlaku dan tidaknya hak ulayat pada suatu wilayah persekutuan
masyarakat hukum adat antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Ada
wilayah persekutuan hukum adat yang hak ulayatnya masih dijalankan dan
berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya. Tetapi ada juga wilayah atau
daerah yang karena menguatnya sifat individualistis masyarakat dan
melemahnya sifat komunalistik menjadikan hak ulayat itu tidak berlaku
sepenuhnya atau memudar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini terbukti
43 Kokmala Mayalibit, Lurah Kelurahan Makbusun, Wawancara, 16 April 2008
44 Mansoben, Johszua Robert, Sistem Politik Tradisional Irian Jaya, (Jakarta: Lipi, 1995), hal 245
dalam wilayah persekutuan hukum adat di Kabupaten Sorong selain masih
terdapat tanah yang berstatus tanah hak ulayat tetapi ada juga tanah yang
sudah berstatus tanah hak milik dari masyarakat setempat secara individu
ataupun perorangan.
Dalam wawancara dengan pihak dari Kantor Pertanahan Kabupaten
Sorong yang diwakili oleh R. Ipik Perkesit sebagai Kasi Penyelesaian
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan, mengatakan bahwa di Kabupaten
Sorong pada awalnya sebagian besar merupakan kawasan hutan yang telah
ditebangi oleh para para pengusaha yang mempunyai Hak Pengelolaan hutan,
yang kemudian dibiarkan begitu saja dan pada akhirnya menjadi semak
belukar karena sudah tidak dikerjakan lagi.45
Tolak ukur yang digunakan untuk mengukur masih ada tidaknya
eksistensi masyarakat persekutuan hukum adat di Kabupaten Sorong dapat
diketahui dari wawancara dengan Lurah Kelurahan Makbusun Kokmala
Mayalibit46 , berdasarkan kenyataan seperti diatur dalam Pasal
PMNA/Ka.BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, bahwa :
a.
Masih Ada-tidaknya Warga Masyarakat dan Wilayah Ulayat
Persekutuan Hukum Adat Malamoi
Suku Malamoi mempunyai wilayah adat atau dapat disebut hak
ulayat yang batas-batasnya dapat ditelusuri dari wilayah kerajaan
Sailolof sebagai organisasi kekuasaan suku malamoi. Disamping hak
ulayat di tingkat suku malamoi, dalam sejarah suku ini dijumpai juga
adanya hak ulayat pada tingkat Gelet/Keret. Hak ulayat Gelet merupakan
wilayah adat yang nyata karena di dalamnya terdapat sumber daya alam
45 R. Ipik Perkesit, Kasi Penyelesaian Sengketa Konflik dan Perkara Pertanahan Kabupaten Sorong,
Wawancara, 15 April 2008
46 Kokmala Mayalibit, Lurah Kelurahan Makbusun, Wawancara, 16 April 2008
termasuk tanah yang menjadi sumber hidup dan tempat yang
menyediakan kebutuhan hidup bagi warga Gelet/Keret pengaturan
kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam itu dilaksanakan oleh
Ketua Gelet/Keret yang disebut ”Usilio”. Seorang usilio bertanggung
jawab baik ke luar maupun ke dalam, tanggung jawab keluar yaitu
berkaitan dengan kedudukannya sebagai pembantu Raja Sailolof.
Dengan mendasarkan pada tanggung jawab kedalam dari Ketua
Gelet (Ulisio) yaitu mengatur kepemilikan dan pemanfaatan sumber
daya alam di wilayah ulayatnya bagi kepentingan masing-masing
keluarga yang menjadi anggota geletnya menunjukkan bahwa pada
awalnya hak ulayat Gelet besifat publik. Hutan mana yang boleh dibuka
dan diusahakan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya dikoordinir
dan diatur oleh Ketua Gelet. Namun tampaknya dalam
perkembangannya karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal
terdapat kecenderungan semua tanah dan hutan bahkan termasuk
wilayah perairan tertentu dalam wilayah ulayat Gelet terbagi secara
habis kepada semua keluarga yang menjadi warga Gelet. Jika jumlah
keluarga bertambah, maka dilakukan pengaturan kembali kepemilikan
tanah di bawah koordinasi anak tertua dalam Gelet yang menjalankan
fungsi Ketua Gelet sehingga memungkinkan keluarga yang baru
mempunyai tanah. Sebaliknya jika jumlah keluarga semakin berkurang,
maka keluarga yang ada akan menata kembali pemilikan tanah kepada
keluarga yang ada.
Namun dengan seiringnya perkembangan waktu dan
berkembangnya pola peradaban manusia warga masyarakat yang tinggal
di Kabupaten Sorong pada saat ini tidak hanya penduduk asli yang
merupakan anggota masyarakat persekutuan hukum adat Malamoi, tetapi
juga terdiri dari para pendatang. Para pendatang ini kemudian saling
berinteraksi dengan melakukan perkawinan dengan para warga
masyarakat persekutuan adat Malamoi.
Perkawinan yang terjadi tidak hanya menyatukan individu yang
berbeda, tetapi antara satu dengan yang lainnya membawa dan menyerap
kebudayaan yang berbeda-beda. Dari perkawinan ini lahir generasi yang
merupakan percampuran dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang
berbeda ini berpengaruh pada keaslian pola kehidupan warga masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi. Dengan berjalannya waktu perbedaan
antara keaslian pola kehidupan warga masyarakat persekutuan hukum
adatnya dengan warga pendatang kian hari semakin tidak terlihat, karena
dipengaruhi pola kehidupan yang semakin modern yang menyebabkan
melemahnya ikatan ulayat antara warga masyarakat persekutuannya.
Keadaan inilah yang kemudian menyebabkan warga masyarakat hukum
adat Malamoi menjadi semakin pudar keberadaannya. Sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa warga masyarakat persekutuan hukum adat
Malamoi secara utuh masih ada.
Seiring dengan meningkatnya peradaban manusia dari waktu ke
waktu yang berdampak pada kehidupan masyarakat persekutuan hukum
adat Malamoi yang semula adalah wilayah persekutuan adat berubah
menjadi desa dan sampai sekarang menjadi satu kelurahan yang berada
di bawah naungan Distrik/Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong.
Perkembangan dalam bidang pembangunan ini juga membawa dampak
bagi perkembangan di bidang hukum, salah satunya bidang hukum
pertanahan. Sebagai satu kelurahan maka hampir sebagian besar
penduduknya sudah memiliki surat tanda bukti kepemilikan tanah ”alas
hak” yang di atasnya telah didirikan rumah tinggal mereka. Surat tanda
bukti kepemilikan tanah (alas hak) ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa tanah-tanah yang ada dalam wilayah Kabupaten
Sorong yang merupakan wilayah persekutuan hukum adatnya tidak
semua merupakan hak milik ulayat lagi.
Dari hasil penelitian, tanah yang masih berstatus tanah hak ulayat
adalah tanah-tanah yang dijadikan lahan untuk berkebun yang dahulu
oleh penguasa adat diberikan hak pengelolaan kepada penggarapnya.
Namun oleh penggarapnya tanah-tanah yang telah digarap secara terusmenerus
dalam kurun waktu lebih lama dari sepuluh tahun, belum
diterbitkan surat tanda bukti kepemilikan tanahnya. Indikasi yang seperti
ini kemudian menjadikan wilayah ulayat persekutuan hukum adat
Malamoi menjadi kabur dan tidak pasti.
b. Masih Ada-tidaknya Penguasa Adat serta Aktivitas dalam
Masyarakat Hukum Adat Malamoi
Penguasa adat suku Malamoi (Gelet) mempunyai tugas serta
kewenangan untuk mengatur, menyelenggarakan dan menjalankan
kehidupan ulayat masyarakat persekutuan hukum adatnya secara penuh.
Tetapi seiring dengan perubahan dari wilayah persekutuan hukum adat
menjadi satu kelurahan maka peran dari para penguasa adatnya menjadi
berkurang karena berbenturan dengan peran pemerintah setempat. Tugas
dan kewenangan mereka hanya terbatas pada pengaturan upacara adat
dan masalah yang menyangkut tanah yang berstatus tanah hak ulayat.
Sejalan dengan perkembangan waktu keberadaan Gelet terjadi juga
perubahan status hak penguasaan atas tanah dari sifat penguasaan yang
bersifat publik (hak ulayat) menjadi hak yang bersifat keperdataan
karena adanya kecenderungan untuk membagi secara habis dalam
wilayah ulayat Gelet kepada semua keluarga yang ada. Pembagian yang
demikian itu menyebabkan melemahnya keberadaan hak ulayat Gelet.
Perubahan menjadi hak yang bersifat keperdataan itu masih ada
seperti perubahan menjadi Hak Milik Kolektif, artinya tanah yang
semula berstatus sebagai hak ulayat Gelet telah berubah menjadi hak
milik bersama dari seluruh warga Gelet. Perubahan menjadi Hak Milik
Kolektif dapat dicermati dari kenyataan yaitu : 1.) tanah-tanah
kepunyaan Gelet dapat diwariskan kepada masing-masing anggota
keluarga dalam Gelet yang bersangkutan dengan bagian-bagian yang
pasti; 2.) bagian-bagian dari tanah Gelet yang sudah dikuasai oleh
masing-masing keluarga dapat dijual kepada orang lain baik warga dari
Gelet itu sendri maupun orang luar .
Yang perlu dipahami bahwa Hak Milik Kolektif tetap menjadi bagian
dari tanah adat karena adanya koordinasi, pengaturan penguasaan dan
pemanfaatan serta peralihan oleh anak laki-laki yang menjalankan fungsi
Gelet.
Batas wilayah tanah ulayat masing-masing Gelet dapat dipahami
oleh masing-masing anggotanya, meskipun tandanya berupa batas alam
seperti batu, sungai, gunung, dan pohon-pohon. Hal-hal itulah yang
menjadi pemicu/potensi konflik terutama jika melihat pada
perkembangan yang mendorong warga masyarakat adat semakin
memandang tanah dari nilai ekonomisnya. Di antara tanah hak ulayat
dalam pengertian hak milik kolektif itu seperti di atas ada yang berubah
menjadi hak milik perorangan terutama dalam Gelet yang sudah tidak
terdapat lagi orang yang menjalankan fungsi ketua Gelet. Sebagai hak
milik perorangan, penggunaan dan peralihan tanah sepenuhnya berada
dalam kewenangan keluarga yang memiliki.
Keadaan ini kemudian menimbulkan keraguan masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dan masyarakat lainnya tentang
kedaulatan dari para suku penguasa adat ini masih berlaku atau tidak.
Ketiga unsur di atas harus terpenuhi secara kumulatif agar suatu
masyarakat persekutuan hukum adat Malamoi diakui eksistensinya. Jika
salah satu dari unsur tersebut tidak terpenuhi maka eksistensi masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dapat dinyatakan tidak berlaku lagi.47
Dari uraian di atas dicermati bahwa eksistensi hak ulayat masyarakat
hukum adat Malamoi tidak dapat dikatakan berlaku sepenuhnya bahkan
boleh dibilang semakin melemah dan tidak pasti. Hal ini dipengaruhi
berbagai faktor diantaranya ; percampuran kebudayaan, peningkatan
peradaban manusia, dan pembangunan yang sudah ada pada tanah-tanah
masyarakat Malamoi yang telah di terbitkan sertipikat Hak Milik atas
nama perorangan.
3.
Gambaran Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Persekutuan Hukum
Adat Malamoi
3.1
Sengketa Tanah Ulayat antar Masyarakat Malamoi dengan
Pemerintah Kabupaten Sorong
Hak ulayat masyarakat hukum adat diartikan sebagai “kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh kelompok masyarakat tertentu
atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk
tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup warganya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun
dan tidak terputus antara warga dengan warga dan warga dengan
wilayahnya tersebut.”
47 Maria S.W.Sumardjono, Kebjakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, ( Jakarta: Buku Kompas,
2005), Hal.67
Salah satu sengketa antara masyarakat adat Malamoi dengan
Pemerintah dari hasil penelitian yaitu sengketa tanah Kantor Pemda
Kabupaten Sorong, tanah sengketa terletak di Distrik/Kecamatan Aimas
yang melibatkan 3 (tiga) Gelet yaitu Osok Tilipia, Kauso dan Klawen
dengan pihak Pemeritah Kabupaten Sorong. Konflik berawal dari
terjadinya pelepasan tanah untuk permukiman transmigrasi terutama
tanah ulayat yang terletak di sebelah kanan jalan Sorong-Klamono mulai
dari kilometer 18,5 sampai dengan kilometer 22,5. Sebagian tanah yang
disengketakan tersebut pada saat sekarang digunakan sebagai lokasi
Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Konflik ini berlangsung
setelah era reformasi. Areal tanah yang telah dipergunakan untuk
fasilitas umum, diperjual belikan kepada pihak ketiga, oleh masyarakat
adat (yaitu bekas pemilik tanah tersebut) dengan alasan bahwa tanah
tersebut dibiarkan dalam keadaan kosong dan tidak dimanfaatkan oleh
Pemerintah Kabupaten Sorong. Perbuatan jual beli oleh masyarakat
adatpun terjadi pada areal lahan transmigrasi yang sudah bersertipikat
yang tidak dimanfaatkan oleh warga transmigrasi karena lahan tanahnya
kurang subur.
Menurut Hukum Tanah Nasional, hubungan antar tanah dengan
pemiliknya merupakan hubungan yang bersifat sakral (magis-religius)
dan timbulnya suatu mitos bahwa tanah yang terdapat di dalam
lingkungan wilayah tanah ulayat masyarakat hukum adat merupakan
tanah tumpah darah. Tanah-tanah di Kabupaten Sorong sebagian besar
merupakan milik masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya, atau
dengan kata lain sistem pemilikan tanah masih bersifat
komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat, dan masih sedikit
yang kepemilikannya bersifat perorangan.
Menurut masyarakat adat/pemilik tanah semula, bahwa tanah-tanah
adat yang sudah pernah dilakukan pelepasan hak oleh pemiliknya dahulu
direclaiming atau diminta kembali oleh para ahli warisnya (keturunan
terdahulu) dengan dalih bahwa mereka tidak pernah tahu adanya
pelepasan hak atas tanah tersebut dan dari luas tanah yang dilepaskan
ternyata termasuk bagian dari tanah miliknya.
Dengan dilakukannya aksi ”pemalangan” oleh masyarakat adat
Malamoi atas tanah-tanahnya yang telah dilepaskan oleh Pemda Sorong,
dengan ini Pemda Sorong mengambil suatu cara untuk menyelesaikan
sengketa tersebut agar sengketa tidak berlarut-larut. Maka dilakukannya
proses musyawarah (non litigasi) antar Pemda Sorong dengan
masyarakat adat Malamoi dengan perantara lembaga masyarakat adat
dan Kantor BPN. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu kesepakatan
bersama yaitu diberikannya ganti rugi uang sirih pinang kepada
masyarakat adat Malamoi.
3.2 Sengketa Tanah Ulayat antar Masyarakat Malamoi dengan
Masyarakat Pendatang
Pada mulanya hampir semua tanah di wilayah Kabupaten Sorong
penguasaannya adalah merupakan tanah marga atau tanah milik
masyarakat adat Gelet/Keret, termasuk di daerah Salawati. Kepala Gelet
membagi-bagikan tanahnya kepada anggota masyarakat adat, dapat juga
seorang ayah yang sudah mendapatkan bagian tanah dari Kepala
Gelet/Keret kemudian membagikan kepada putra-putrinya yang sudah
menikah apabila sang ayah meninggal.
Menurut adat Gelet, meskipun tanah atau kebun yang sudah
diberikan kepada warga dan tanah tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya,
tidak diurus dan pergi untuk beberapa lama, ia tetap mempunyai
hubungan hukum keperdataan terhadap tanah tersebut. Pihak luar yang
bukan anggota warga masyarakat hukum adat, dapat menguasai tanah di
wilayah tanah ulayat masyarakat hukum adat setelah mendapat ijin dari
kepala gelet/keret sebatas dengan ”Hak Pakai”. Konsekuensinya, apabila
pihak luar yang bukan anggota warga masyarakat hukum adat
meninggal, pindah atau meninggalkan lokasi tanah yang telah dikuasai
tersebut, maka tanah kembali dalam penguasaan masyarakat hukum adat.
Pada tahun enam puluhan mulai banyak orang yang berasal dari
luar pulau Papua Barat yang berdatangan ke wilayah dan kemudian
mulai membuka serta membersihkan kawasan semak belukar tersebut
untuk dijadikan tempat berkebun/berladang bahkan dijadikan daerah
permukiman. Pada umumnya para perantau tersebut datang ke wilayah
tersebut secara berkelompok yang semuanya berasal dari berbagai
daerah, yang pada akhirnya mereka semua menetap di sana dan menjadi
suatu perkampungan.
Pada mulanya dalam hal penguasaan tanah oleh warganya
didasarkan pada siapa di antara mereka yang pertama kali membuka
kawasan tersebut dan menggarapnya, begitu pula dalam hal menentukan
batas tanah yang dikuasai hanya didasarkan pada patokan pohon yang
sifatnya tahunan atau patokan lainnya berupa petak-petak tanah ataupun
sawah yang dapat dikerjakannya. Batas-batas penguasaan tanah ulayat
dari masyarakat hukum adat sulit dikenal oleh pihak luar, karena mereka
menganut luas tanah yang dipunyai hanya dibatasi oleh alam yang
mereka sendiri kenal/ketahui. Penetapan batas secara ulayat/adat sering
tumpang tindih antara suku, marga, dan geret/keret yang satu dengan
yang lainnya dan mereka mengaku selaku pihak yang lebih berhak
memiliki tanah-tanah tersebut
Demi memberikan kepastian status kepemilikan atas bidang tanah
yang digarapnya maka kepada penggarap tanah diberikan surat tanda
kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang dibuat atau
dikeluarkan oleh Kelurahan yang diketahui kepada Kepala
Distrik/Kecamatan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti
kepemilikan tanah.
Alas hak (bukti kepemlikan tanah) yang dikeluarkan oleh
Kelurahan yang diketahui kepada Kepala Distrik/Kecamatan setempat
sebenarnya hanya memberikan hak untuk menggarap saja kepada
pemiliknya bukan hak milik, sehingga dengan demikian tanah tersebut
tetap merupakan milik adat. Sehingga apabila sewaktu-waktu
masyarakat adat membutuhkan tanah tersebut kembali, maka masyarakat
adat berhak untuk meminta warga sekitarnya untuk meninggalkan tanah
yang telah mereka garap tersebut.
Hal ini menimbulkan permasalahan di lapangan, dan ini dapat
dibuktikan dengan adanya permasalahan baik antar warga dalam satu
gelet/keret maupun terhadap warga diluar gelet/keret atau dengan kata
lain adanya sengketa permasalahan tanah dengan keret berbatasan,
sengketa mengenai tanah juga sering terjadi dengan pihak diluar adat
(pihak ketiga) atau pihak diluar gelet/keret yang membeli tanah adat
tersebut, permasalahan juga timbul disebabkan dari ketidakstabilan
masyarakat menjunjung tinggi dan menghormati keputusan adat yang
dibuat oleh pendahulunya.
Dengan semakin meningkatnya nilai ekonomis tanah sehingga
menimbulkan perubahan pola pikir masyarakat, yang tadinya masyarakat
agraris berubah menjadi masyrakat ekonomis, dan dengan meningkatnya
nilai tanah mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya kepada pihak
lain daripada mengolah tanah tersebut. Faktor ini yang mendorong bagi
masyarakat adat Malamoi untuk merubah bentuk tanah yang semula
dikuasai dengan hak ulayat menjadi tanah hak milik peorangan sehingga
menyebabkan fungsi tanah itu menjadi berubah dari tanah ulayat
menjadi tanah perseorangan/individu dan kedudukan ketua adat yang
selama ini begitu dominan bagi masyarakat adat Malamoi menjadi
semakin memudar pengaruhnya.
Penggunaan tanah dan pengaturannya yang semula dipercayakan
kepada ketua adat, dengan berubahnya status tanah tersebut dari hak
ulayat menjadi hak milik perorangan maka saat ini tidak lagi diatur oleh
ketua adat, namun diatur sesuai Hukum Tanah Nasional untuk itulah
pada perkembangannya banyak terjadi jual beli tanah secara langsung
oleh pemilik tanah kepada pihak lain di luar lingkungan adat atau
masyarakat pendatang tanpa persetujuan dari ketua adat hal inilah yang
menjadi salah satu pemicu yang kedua dengan tidak dilibatkannya ketua
adat dalam proses jual beli tersebut menyebabkan banyak hal yang tidak
diketahui oleh pembeli mengenai status tanah maupun sejarah
kepemilikan tanah tersebut misalnya apakah tanah tersebut diperoleh
dari pewarisan atau sebenarnya dimiliki oleh pembeli saja ataupun ada
orang/pihak lain yang turut memiliki hak atas tanah tersebut juga
menjadi pemicu timbulnya masalah sengketa tanah di Kabupaten
Sorong.
Di samping itu juga orang-orang dari masyarakat adat yang sudah
terlibat dalam suatu transaksi tanah (sudah menjual tanahnya) dapat
dengan mudah membatalkan atau mengingkari perbuatannya dengan
dalih waktu itu hanya menandatangani, tidak mengetahui isinya, dipaksa
dan lain-lain. Kemudian ada anggapan dari masyarakat dengan
dimilikinya “alas hak” atas penguasaan tanah mereka menganggap
bahwa tanah yang selama ini ia garap ada anggapan hubungan antara
tanah dengan masyarakat adat memiliki keterikatan secara emosional,
sehingga berdasarkan kepemilikannya ”alas hak” sebagai dasar
kepemilikan tanah dianggap sebagai pengakuan atas kepamilikan tanah
yang dikuasainya dengan Hak Milik.
Selain itu, masyarakat adat sulit untuk diajak menyelesaikan
permasalahannya melalui lembaga peradilan (litigasi), sehingga mereka
memilih aksi pemalangan/pendudukan dan intimidasi untuk
menyelesaikan masalah tersebut, masyarakat adat memilih dengan
”pengaduan/mengadu” kepada Kepala Lembaga Masyarakat Hukum
Adat mengenai sengketa yang timbul di antara masyarakat tersebut. Dan
lembaga tersebut yang menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
4. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kabupaten Sorong
4.1
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat
Malamoi
Dari selang kurun waktu sampai dengan tahun 2007 di Kabupaten
Sorong ditemukan telah terjadi 38 (tiga puluh delapan) kasus sengketa
tanah baik sengketa tanah antar masyarakat Malamoi dengan pendatang
dan masyarakat adat Malamoi dengan Pemda Sorong. Berikut ini adalah
tabel pemecahan jenis-jenis sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten
Sorong adalah sebagai berikut :
Tabel 2.
Jenis sengketa yang pernah terjadi dan penyelesaiannya
No. Jenis Sengketa Jumlah Cara Penyelesaian
1. Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah 15 11 dengan ADR dan
4 melalui pengadilan
2. Masalah Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah 11 Semua dengan ADR
3. Masalah mengenai Batas Bidang Tanah 3 Semua dengan ADR
4. Masalah Tanah Ulayat 5 Semua dengan ADR
5. Masalah Pembebasan/Pengadaan Tanah 4 Semua dengan ADR
JUMLAH 38
Sumber Data : Data Primer 2007
Dari kasus-kasus tersebut ada beberapa kasus yang diselesaikan
melalui jalur litigasi yang sampai dengan sekarang tidak diketahui
bagaimana putusan yang dihasilkan oleh pengadilan yang
menanganinya. Sedangkan kebanyakan kasus lainnya diselesaikan
melalui jalur perdamaian di luar pengadilan (non litigasi/alternatif).
Berdasarkan data yang diketahui bahwa Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Kabupaten Sorong dalam kenyataannya masih eksis dan
menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi setiap warga masyarakat.
Sebagai contoh dalam hal penyelesaian sengketa tanah ulayat antara
Pemerintah Kabupaten Sorong dengan masyarakat adat Malamoi
mengenai pengadaan tanah untuk permukiman transmigrasi, dengan
perantara mediator BPN dan Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat
Malamoi (Lemasa) diadakan musyawarah yang telah dicapai kata
sepakat bahwa Pemerintah Kabupaten Sorong dapat memperoleh ijin
membuka lahan untuk permukiman trasmigrasi di tanah tersebut dengan
memberikan ganti rugi kepada masyarakat adat Malamoi.
Berdasarkan uraian di atas juga menunjukkan bahwa lembaga
pengadilan yang diciptakan oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat khususnya bagi
mereka yang berperkara, sebenarnya oleh warga/masyarakat adat belum
dapat memenuhi kebutuhan warga/masyarakat untuk menciptakan
keadilan.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan cara non litigasi atau
ADR sebenarnya merupakan model penyelesaian sengketa yang sangat
cocok dengan karakter dan cara hidup masyarakat yang bersifat
kekeluargaan, dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui
lembaga pengadilan yang cenderung bersifat konfrontatif, lebih
memperhitungkan menang dan kalah, lebih memperhitungkan aspek
yang bersifat materalistik dan mengabaikan unsur sosial dalam
masyarakat yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan para tokoh
masyarakat setempat, diperoleh informasi yang sama mengenai alasan
mengapa penyelesaian dengan cara alternatif dipilih masyarakat adat
Malamoi. Mereka juga menyampaikan bahwa penyelesaian secara
alternatif yaitu musyawarah akan lebih mereka tawarkan lebih dahulu
kepada mereka yang bersengketa sebelum menempuh jalur hukum.48
48 Abdoel Morek Warwei, Tokoh Masyarakat, Wawancara, tanggal 17 April 2008
Penyelesaian sengketa secara alternative/non litigasi di daerah
Salawati di Kabupaten Sorong relatif lebih mengutamakan harmonisasi
dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu penyelesaian dengan cara
ini juga lebih mengedepankan aspek kekeluargaan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan yang ada dalam
masyarakat yang heterogen, yang mana hal ini identik dengan sifat
masyarakat adat yang digambarkan sebagai masyarakat yang
mengedepankan sisi rasa tanpa mengesampingkan sisi rasional, sifat
komunalistik, hubungan satu terhadap lainnya yang cenderung tanpa
pamrih karena mereka merupakan kelompok masyarakat adat yang
dalam interaksi sosialnya didasarkan pada kesukarelaan yang tinggi
dalam berkorban terhadap anggota masyarakat lainnya. Berbeda dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dimana penyelesaian dengan
cara ini memerlukan biaya yang relatif besar dan memerlukan waktu
yang relarif lama karena prosesnya yang cukup panjang dalam beracara.
Karena alasan tersebutlah sehingga masyarakat menghindari
penyelesaian melalui pengadilan. Selain alasan tersebut masyarakat juga
telah tertanam pikiran bahwa penyelesaian melalui pengadilan hanya
akan mewujudkan keadilan bagi mereka yang mempunyai kekuasaan
dan memiliki materi yang relatif tinggi/mapan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini
penulis tidak memilah-milah penyelesaian sengketa dengan mendasarkan
pada jenis-jenis sengketa lainnya, akan tetapi didasarkan pada
keterangan yang diperoleh dari para responden yang mana mereka
memberikan keterangan yang relatif sama dimana mereka menyatakan
bahwa penyelesaian setiap jenis sengketa digunakan penyelesaian yang
relatif sama.
Terdapat dasar aturan dalam proses penyelesaian sengketa, yang
menyangkut proses beracaranya maupun hukum materiil yang berlaku
dan menjadi dasar dalam pelaksanaan sengketa alternatif. Landasan
aturan penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat adat di
Kabupaten Sorong tidak semata-mata bersifat formalistik.
4.2 Penentuan Mediator atau Juru Penengah
Keberadaan mediator atau juru penengah dalam penyelesaan
sengketa alternatif (ADR) memegang peranan yang sangat penting.
Mediator atau juru penengah biasanya merupakan orang atau lembaga
masyarakat adat yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat mampu
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, sehingga diharapkan
kesepakatan yang akan dihasilkan dapat memberikan keadilan bagi para
pihak yang bersengketa.
Menurut R. Ipik Perkesit,SH49 selaku kasi penyelesaian sengketa
konflik pertanahan di kantor Pertanahan Kabupaten Sorong, yang
biasanya ditunjuk sebagai juru penengah atau mediator adalah :
1. Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat (LEMASA)
2. Tokoh Pemerintahan setempat (Kelurahan atau Kecamatan)
49 R.Ipik Perkesit,Wawancara tanggal 19 April 2008
3. Fungsionaris Pemerintah (TIGA TUNGKU)
4. Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong
Penunjukan seseorang atau suatu lembaga musyawarah masyarakat
hukum adat sebagai mediator atau juru penengah tidak didasarkan pada
spesialisasi tertentu, akan tetapi lebih mengutamakan dan
memperhatikan pada sisi pengetahuan, kompetensi sosialnya dalam
masyarakat serta pengamatannya dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang pernah terjadi.
Seorang mediator atau juru penengah dalam kenyataannya sangat
mengerti tentang hukum, mengerti mengenai hal eksistensi tanah serta
sejarah tanah yang ada di daerah Kabupaten Sorong. Pengetahuan yang
cukup luas dari seseorang mediator atau juru penengah yang seperti ini
yang akan membuat juru penengah atau mediator dapat menjalankan
tugas secara efektif dan praktis.
Pihak-pihak yang ditunjuk sebagai mediator atau juru penengah
tersebut oleh masyarakat dipilih berdasarkan tingkat kepercayaan yang
berbeda-beda dalam kemampuannya untuk menyelesaikan sengketa
tanah yang terjadi. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada masingmasing
tokoh ditentukan oleh tipe masyarakat dan kerumitan sengketa
tanah yang terjadi.
Kepercayaan masyarakat di Kabupaten Sorong diberikan kepada
lembaga musyawarah masyarakat hukum adat karena adanya peran
tokoh masyarakat adat setempat dalam lembaga tersebut seperti yang
telah disebutkan di atas. Secara umum masyarakat cenderung
memberikan kepercayaannya untuk menyelesaikan sengketa tanah yang
terjadi kepada lembaga musyawarah masyarakat hukum adat dari pihakpihak
yang bersengketa dan benar-benar mengetahui sejarah pertanahan
di daerah tersebut.
Dalam hal ini mereka akan berusaha untuk menyelesaikan sengketa
tanah yang terjadi berdasarkan pengetahuannya dan pengalamannya
dengan memberikan solusi-solusi yang pernah diberikan pada sengketasengketa
yang telah terjadi sebelumnya yang telah biasa digunakan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator atau juru penengah,
terdapat beberapa tahap yang dilakukan oleh seorang juru penengah
yaitu:50
1.
Menentukan penyimpangan-penyimpangan
Pada tahap ini juru penengah berkewajiban untuk memilah dengan
mendasarkan pada aspek-aspek dalam masyarakat bentuk-bentuk
penyimpangan yang telah dilakukan oleh para pihak yang berkaitan
langsung dengan sengketa tanah yang terjadi.
2.
Mengkualifikasikan karakteristik sengketa
Tahap ini mengandung makna bahwa dalam hal ini juru penengah
akan mengkualifkasikan karakteristik dari sengketa tanah yang
terjadi dan kemudian membandingkannya dengan sengketa tanah
lainnya.
50 Husen Nurdin,Wawancara tanggal 19 April 2008
3.
Mencari jalan keluarnya
Pada tahap ini juru penengah akan berusaha mencari jalan keluar
untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi. Jalan keluar
yang ditawarkan merupakan alternatif.
4.3 Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kabupaten Sorong
Sengketa tanah terjadi apabila adanya benturan kepentingan di antara
dua pihak atau lebih yang merasa mempunyai hak yang sama atau suatu
bidang tanah yang sama. Dalam hal ini biasanya masyarakat Malamoi
melakukan aksi pemalangan/pendudukan tanah tersebut para pihak juga
melakukan segala usaha untuk membuktikan bahwa dirinya yang paling
berhak, sehingga tidak jarang dalam kondisi seperti ini maka akan
banyak pihak yang dirugikan dan menimbulkan gangguan bagi
masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh karena maka para pihak akan
berusaha untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Cara penyelesaian
sengketa yang akan mereka tempuh pertama kali adalah secara damai
dengan cara non litigasi atau alternatif.
Dalam penyelesaian sengketa alternatif ada beberapa tahapan dalam
proses penyelesaiannya. Proses penyelesaian sengketa tanah melalui cara
non litigasi atau alternatif secara umum di bagi dalam 3 (tiga) tahap
yaitu :
1.
Tahap Musyawarah
Pada tahap ini di dalamnya terdapat tiga proses yang harus dilalui
oleh para pihak yang terlibat. Prosesnya antara lain :
a.
Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini
akan ditentukan siapa yang akan menjadi juru penengah atau
mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan
pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat
penyelesaian, waktu, dan pihak-pihak lain yang akan
dilibatkan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung
musyawarah.
b.
Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini
akan diperoleh keterangan-keterangan dari pihak
pemohon/penggugat dan pihak termohon/tergugat berkaitan
dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksisaksi
yang berasal dari penggugat atau tergugat.
c.
Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan
pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian,
penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang
bersengketa (bila sudah disepakati), saksi dan penutupan
musyawarah.
2.
Tahap Pelaksanaan Hasil Musyawarah
Pada tahap ini maka para pihak akan melaksanakan kesepakatan
yang telah dicapai dalam musyawarah secara sukarela, sehingga
pelaksanaannya relatif murah.
3.
Tahap Penutupan Musyawarah
Setelah kesepakatan dicapai, maka musyawarah akan ditutup oleh
pihak yang berkompeten untuk melakukannya dan biasanya
dilakukan oleh pemimpin musyawarah.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari para responden, penulis
memperoleh informasi bahwa adanya pengaduan dari masyarakat
Malamoi yang diajukan kepada lembaga musyawarah adat (Lemasa).
Berdasarkan pengaduan permohonan itu maka ketua Lemasa akan
mempelajari sengketa yang terjadi dan mencoba untuk mencari jalan
keluarnya. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah sengketa yang terjadi
memerlukan seorang mediator/juru penengah yaitu lembaga masyarakat
adat/dewan adat.
Apabila sengketa tanahnya cukup rumit, kemungkinan para pihak
yang dipilih sebagai mediator tidak cukup hanya salah satu orang saja
dan akan dilakukan musyawarah dengan segenap para pihak yang
berkepentingan. Bila kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tanah
yang terjadi tidak juga dapat diselesaikan pada tingkat ini, maka
penyelesaian sengketa akan diteruskan ke Kantor Kelurahan atau
Kecamatan/Distrik.
Sengketa tanah yang belum diselesaikan oleh Lemasa tersebut akan
diajukan kepada Kelurahan dalam bentuk tertulis. Berdasarkan laporan
tersebut maka pejabat kelurahan akan berwenang untuk menanganinya
akan menerima laporan tersebut dan akan mengumpulkan informasi
yang diperlukan yang berkaitan dengan sengketa tanah yang terjadi.
Selanjutnya ditunjuk pejabat Kelurahan sebagai mediator atau
dibentuknya team mediator apabila sengketa dianggap rumit.
Oleh karena terdapat banyak kepentingan yang harus diperhatikan
dalam musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi dan
menghargai kepercayaan yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa kepada mediator atau juru penengah, maka sebelum
memulai musyawarah dengan para pihak yang bersengketa juru
penengah/mediator harus mempelajari, mengelompokkan dan
memahami betul sengketa tanah yang terjadi sehingga dapat
memfokuskan apa yang menjadi sengketanya dan mengetahui faktorfaktor
apa yang mendorong sehingga sengketa tanah tersebut muncul.
Berdasarkan keterangan yang ada dari para pihak maka mediator
atau juru penengah akan mengetahui secara benar apa yang menjadi
sebab munculnya masalah/sengketa, apa yang menjadi tuntutan para
pihak serta sarana dan prasarana apa yang diperlukan untuk memperoleh
titik temu atau kesepakatan di antara para pihak. Dari usaha yang yang
dilakukan oleh mediator/juru penengah dalam menyelesaikan sengketa
akan diketahui apa yang menjadi motivasi kedua belah pihak yaitu
terselesainya sengketa tanah secara terpadu, kembalinya kondisi yang
harmonis dalam masyarakat karena banyaknya kepentingan pihak
lainnya.
Untuk membantu mediator/juru penengah dalam menyelesaikan
sengketa tanah yang terjadi, maka dibutuhkan data yang dapat
memberikan informasi mengenai status tanah maupun asal-usul tanah
yang menjadi sengketa. Data tersebut diperoleh dari para pihak yang
dapat dipercaya sebagai sumber informasi. Informasi tersebut dapat
berbentuk tertulis maupun secara lisan dan harus dipelajari secara
keseluruhan. Karena banyaknya hal yang harus dipelajari, maka
dibutuhkan waktu yang tidak cepat.
Setelah mempelajari, mengelompokkan dan memahami sengketa
tanah yang terjadi, juru penengah akan menentukan tempat yang paling
netral. Tempat yang biasanya dipilih untuk proses musyarawah adalah
Balai pertemuan Kelurahan atau Kecamatan/Distrik.
Musyawarah yang diadakan tersebut harus dihadiri oleh semua pihak
yang terlibat yaitu para pihak yang bersengketa, saksi-saksi dan
mediator/juru penengah. Agar semua pihak dapat hadir ke musyawarah
yang diadakan, maka sebelumnya mediator/juru penengah harus
mengundang semua pihak. Undangan tersebut tidak harus dalam bentuk
formal ataupun tertulis, akan tetapi dapat juga disampaikan dalam bentuk
lisan saja.
Selanjutnya juru penengah/mediator juga akan menyampaikan
harapannya agar setiap peserta musyawarah dalam pelaksanaan
musyawarah dapat tetap memperhatikan dan mentaati peraturanperaturan
yang berlaku dan nilai-nilai sosial yang hidup di dalam
masyarakat yang meliputi nilai kekeluargaan, nilai agama, nilai
kesopanan, dan sebagainya. Karena meskipun sengketa tanah yang
dimusyawarahkan dianggap sederhana, tentunya akan tetap berkaitan
dengan segala aspek yang ada dalam masyarakat dimana segala aspek
tersebut dijadikan dasar dalam menyelesaikan sengketa tanah yang
terjadi.
Mediator/juru penengah beranggapan bahwa para peserta
musyawarah telah memahami maksud dan tujuan diadakannya
musyawarah tersebut dan peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam
musyawarah tersebut, maka juru penengah akan memberikan
kesempatan bahwa para pihak yang bersengketa yaitu tergugat dan
penggugat secara bergantian untuk menyampaikan hal-hal dan menjadi
alasan kepentingannya masing-masing yang berupa fakta-fakta yang
menjadi dasar sahnya kepemilikan/penguasaan atas bidang tanah yang
menjadi objek sengketa.
Biasanya dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi, para
pihak yang bersengketa akan bertindak sendiri dan tidak memberikan
kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya sehingga dengan demikian
permasalan tidak akan melebar karena kepentingan dan permasalahan
dari para pihak akan dapat dengan mudah diketahui oleh juru penengah
dan pihak lain yang berkepentingan selain itu para pihak dapat dengan
mudah menyampaikan apa yang diinginkannya langsung kepada pihak
lainnya dan juga pada juru penengah.
Hal ini berbeda apabila kita beracara di pengadilan, dimana biasanya
para pihak bertindak diwakili oleh kuasa hukumnya karena mereka lebih
memahami mengenai tata cara beracara di pengadilan. Tata cara beracara
seperti sebagaimana yang telah disebutkan yang terkadang menyebabkan
masyarakat tidak mau menyelesaikan sengketa tanah yang dialaminya
melalui jalur pengadilan, karena dianggap masyarakat kurang efektif
disamping alasan-alasan lain seperti lamanya proses beracaranya, biaya
yang mahal dan sebagainya.
Setelah para pihak merasa cukup untuk menyampaikan segala
kepentingannya dan permasalahan yang disengketakan maka, juru
penengah akan memberikan kesempatan lagi kepada para pihak untuk
memberikan penawaran solusinya masing-masing terhadap sengketa
tanah yang sedang dimusyawarahkan.
Berdasarkan hasil penelitian dan juga berdasarkan informasi yang
diperoleh dari pihak yang terlibat sengketa diketahui jenis solusi yang
seringkali digunakan untuk menyelesaikan sengketa yaitu uang sirih
pinang, pemberian ganti rugi dalam bentuk uang. Penyelesaian dengan
cara uang sirih pinang biasanya digunakan apabila terjadi sengketa
dalam hal tanah ulayat yang dipergunakan oleh pemerintah untuk
keperluan fasilitas umum (pemukiman transmigrasi) yang digugat oleh
masyarakat hukum Malamoi. Sedangkan penyelesaian antara masyarakat
sendiri ataupun pihak-pihak di luar anggota masyarakat hukum adat
Malamoi yaitu dengan pendekatan sosial budaya melalui musyawarah
yang biasanya dilakukan oleh masyarakat hukum adat Malamoi dalam
menyelesaikan sengketa tanahnya melalui non litigasi yaitu dengan
sebutan “Liurai” dengan melibatkan Lembaga Masyarakat Hukum Adat
(Lemasa), Tokoh Agama dan Fungsionaris Pemerintah (Tiga Tungku).
Tata cara “Liurai” dilakukan dengan cara upacara adat yaitu dengan
sebutan “Bakar batu”. Adapun syarat-syarat yang dibutuhkan dalam
upacara adat dengan menyediakan 2 (dua ekor) binatang ternak seperti
(sapi, kerbau atau babi) serta ganti rugi dalam bentuk uang (uang sirih
pinang) yang diberikan dari pihak pendatang kepada masyarakat adat.
Dengan dipenuhinya syarat upacara adat tersebut maka diperoleh
kesepakatan antara kedua belah pihak dalam penyelesaian sengketa antar
warga masyarakat. Kegiatan Upacara adat saat ini sudah jarang
dilakukan karena memudarnya peran Gelet sehingga masyarakat lebih
memilih bentuk ganti ruginya berupa uang sirih pinang saja, karena
menurut masyarakat Malamoi dengan melakukan upacara adat kurang
praktis memakan waktu yang lama. 51
Penyelesaian sengketa alternatif oleh masyarakat adat Malamoi
digunakan untuk menyesaikan sengketa tanah ulayat dengan maksud
mencari penyesaian secara win win solution yaitu suatu bentuk
penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa
karena tidak ada yang menang atau kalah, keduanya mempunyai
kedudukan yang sama. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui
51 Abdoel Morek Warwei, Tokoh Masyarakat, Wawancara, tanggal 17 April 2008
pengadilan yang mana di dalamnya tidak ada penawaran pilihan lainnya.
Pihak yang bersengketa hanya mempunyai dua pilihan yaitu menang
atau kalah, meskipun masih diberikan kesempatan lain untuk
mengajukan upaya hukum, akan tetapi pada akhirnya pilihan itu juga
tetap sama yaitu menang atau kalah.
Tahap akhir dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah.
Pada tahap ini juru penengah/mediator akan menyimpulkan apa yang
telah dibicarakan sebelumnya dalam musyawarah. Apabila dalam
musyawarah tersebut telah diperoleh kesepakatan mengenai solusi bagi
sengketa tanah yang terjadi, maka kesempatan tersebut akan dibuatkan
draftnya terlebih dahulu untuk kemudian dituangkan dalam bentuk
kesepakatan secara tertulis yang akan ditandatangani oleh para pihak
yang bersengketa dan saksi-saksi. Akan tetapi bila pada musyawarah
tersebut solusi yang ditawarkan oleh juru penengah/mediator belum
dapat diterima oleh para pihak sehingga tidak dicapai kesepakatan, maka
juru penengah akan menganjurkan untuk mengajukan musyawarah lagi.
Bila anjuran tersebebut diterima oleh para pihak juru penengah akan
menjadwalkan lagi musyawarah selanjutnya, tetapi bila para pihak
menolak untuk musyawarah lagi maka mediator akan menganjurkan para
pihak menyelesaikan cara lain yang lebih formal yaitu melalui jalur
hukum.
Bedasarkan uraian mengenai proses penyelesaian sengketa tanah
yang ada di Kabupaten Sorong, menurut analisis penulis dalam hal
penyelesaian sengketa secara alternatif antara masyarakat Malamoi
dengan para pendatang dengan musyawarah dicapai kesepakatan antara
kedua belah pihak. Dalam musyawarah tersebut diberikannya ganti rugi
uang sirih pinang, hal tersebut apabila tidak dituangkan dalam surat
otentik bukti-bukti yang ada kurang kuat, misalnya dibuat Berita Acara
atau Surat Perjanjian Perdamaian yang dibuat dihadapan Pejabat yang
berwenang. Dengan tidak dilakukannya suatu perbuatan hukum atau
dibuatnya surat yang otentik maka hal ini memungkinkan akan
timbulnya sengketa dikemudian hari dikarenakan para pewaris atau
keturunan mereka tidak mengetahuinya sehingga mereka menuntut
kembali tanah tersebut. Dalam hal ini para pendatang mempunyai bukti
yang kuat untuk pemilikan tanah-tanah yang ada di Kabupaten Sorong
dan diharapkan sengketa-sengketa yang ada tidak timbul kembali.
5. Kendala atau Faktor-faktor Penghambat dalam Proses Penyelesaian
Sengketa
Pada setiap sengketa tanah masing-masing mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya
dalam setiap penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi atau non litigasi
di dalamnya terdapat hal-hal yang menghambat jalannya musyawarah ataupun
pelaksanaan hasil musyawarahnya.
Secara umum hambatan-hambatan dalam musyawarah tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal yang berasal dari para
pihak yang bersengketa dan pada obyek yang disengketakan dan faktor-faktor
eksternal yang berasal dari pihak lainnya.
Faktor internal yang menghambat proses penyelesaian sengketa antara
lain dapat disebabkan oleh :
1.
Temperamen
Para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor
yang menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan
temperamen mereka. Temperamen masyarakat adat dalam proses
musyawarah sangat berpengaruh dalam proses musyawarah.
Musyawarah kadang tidak dapat berjalan dengan lancar karena salah
satu pihak atau kedua belah pihak lebih menggunakan emosi daripada
logikanya dalam bermusyawarah dan tidak mau mendengarkan pendapat
dari pihak lainnya dan lebih menganggap dirinya yang paling benar.
Dengan sikap seperti inilah yang membuat musyawarah menjadi tidak
kondusif karena tidak ada pihak yang mau mengalah.
2.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat adat juga terkadang menjadi faktor
penghambat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian
besar dari para responden (masyarakat adat) yang merupakan pihak yang
bersengketa hanya mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Sehingga mereka terkadang mengalami kesulitan untuk memahami hal
yang menjadi fokus dari sengketa yang dimusyawarahkan dan
menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit untuk diselesaikan.
3. Kedisiplinan
Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaiana sengketa juga
menjadi salah satu faktor penghambat. Tidak jarang terjadi pada saat
akan dilakukan penandatanganan kesepakatan, salah satu pihak menolak
untuk melakukannya dengan alasan mereka tidak mengerti maksudnya
karena tidak dapat membaca sebelumnya telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
4. Ketidakjelasan Batas-batas Tanah
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari R.Ipik Perkesit,SH
selaku pejabat Kantor Pertanahan di Kabupaten Sorong52, tanah-tanah
sebagai obyek sengketa juga dapat menjadi penyebab penghambat
jalannya proses musyawarah. Sebagai contoh dalam hal penentuan batas
tanah, karena dari semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya
tidak jelas. Hal ini dikarenakan dahulu pada awal penguasaan tanah oleh
masyarakat adat sebagian besar penentuan batas tanah seperti sungai,
batu, pohon-pohon dan lainnya, sehingga dalam hal ini para pihak
mengalami kesulitan untuk menunjukkan batasnya.
Faktor eksternal yang menghambat musyawarah merupakan faktor
lain yang tidak bersumber dari subyek maupun obyek sengketa yang
dapat disebabkan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sengketa tanah
adalah pihak lain selain para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini
biasanya adalah keluarga dari masyarakat adat yang ikut campur tangan
52 Husein Nurdin, Wawancara tanggal 19 April 2008
yang terkadang mempengaruhi salah satu pihak yang bersengketa, dan
biasanya juga karena faktor ganti rugi uang sirih pinang yang kurang.
Pada dasarnya kelancaran jalannya penyelesaian sengketa tanah
baik pada saat proses musyawarahnya maupun pada saat pelaksanaannya
hasil musyawarahnya sangat dipengaruhi oleh kesadaran semua pihak
untuk memahami arti penting dari musyawarah tersebut bagi
terselesainya sengketa. Selain itu diperlukan peran aktif dari semua
pihak untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi sehingga
akan diperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua pihak.
6. Manfaat yang diperoleh dari Pilihan Penyelesaian Sengketa yang
dilakukan oleh Masyarakat Malamoi
Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah
ulayat yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi yaitu dilakukan dengan cara
upacara adat ”Bakar Batu” (Liurai/non litigasi) tersebut sangat
menguntungkan masyarakat adat suku Malamoi karena biaya yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif lebih murah dan waktu
yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga adanya ganti rugi (uang
sirih pinang) yang diberikan kepada masyarakat adat Malamoi oleh
pemerintah setempat, serta pemberian binatang ternak untuk penggantian
tanah-tanah yang diduduki oleh perantau kepada masyarakat adat Malamoi
walaupun saat ini kegiatan upacara adat sudah jarang dilakukan karena kurang
praktis sehingga mereka hanya memilih uang sirih pinang saja.
Ada berbagai alasan yang mendorong masyarakat adat malamoi lebih
memilih penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui cara non litigasi/alternaif.
Alasan tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian dari 37 responden yang
ditunjukkan pada table berikut :
Tabel 3
Alasan yang mendorong masyarakat memilih cara non litigasi/alternative
No. Alasan responden Jumlah Presentase (%)
1. Biayanya murah 16 44,2 %
2. Kebiasaan 12 32,6 %
3. Waktunya cepat 9 20,9 %
Jumlah 37 100 %
Sumber data : data primer 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat diuraikan Kelebihan-kelebihan
penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif adalah sebagai berikut :
1.
Penyelesaiaan sengketa secara alternatif lebih dipilih oleh masyarakat
adat malamoi karena penyelesaian dengan cara ini biayanya lebih
murah bahkan cuma-cuma. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin
mereka menyelesaikan sengketa tanahnya melalui jalur hukum karena
biayanya yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.
2.
Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara
alternatif, karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan
mereka dimana setiap terjadi sengketa dalam masyarakat akan
diselesaikan secara musyawarah di antara mereka. Cara seperti ini
telah berlangsung secara turun temurun.
3.
Waktu penyelesaian yang relatif singkat juga menjadi alasan yang
mendorong responden lebih memilih penyelesaian secara alternatif.
Untuk menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya membutuhkan
waktu beberapa minggu saja. Berbeda dengan penyelesaian melalui
pengadilan yang membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu
berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Kelemahan-kelemahan penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif :
1.
Dikarenakan penyelesaian secara non litigasi/alternatif merupakan
suatu kebiasaan maka hasil kesepakatan digantungkan dari itikad baik
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sehingga terkadang
menimbulkan kericuhan antar kedua belah pihak dikarenakan
temperaman mereka yang labil.
2.
Tidak ada kepastian hukum karena biasanya tidak dituangkan dalam
suatu bukti tertulis (bukti otentik) namun hanya memberikan ganti rugi
uang sirih pinang dengan dasar kesepakatan antara kedua belah pihak.
3.
Jika informasi tidak cukup diberikan kepada masyarakat adat Malamoi
dan apabila tidak ada bukti otentik yang kuat bagi para pemilik tanah
(pendatang), kemungkinan akan timbul lagi tuntutan balik dari
keturunan/pewaris yang terdahulu dikarenakan kurangnya pengetahuan
yang dimiliki masyarakat adat Malamoi mengenai pertanahan.
4.
Penyelesaian sengketa secara alternatif yang memakai upacara adat
biasanya kendalanya biaya sehingga rakyat tidak efisisen lagi karena
masyarakat yang nota bene hanya bermatapencaharian rendah.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan jawaban dari permasalahan sebelumnya seperti yang
diuraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Penyelesaian sengketa tanah ulayat yang biasa digunakan oleh masyarakat
Malamoi adalah penyelesaian sengketa secara alternatif dengan sebutan
Liurai. Cara ini dipilih dengan alasan biayanya murah karena terkait
dengan keadaan ekonomi masyarakat yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani dan peternak. Penyelesaian dengan cara uang
sirih pinang biasanya digunakan apabila terjadi sengketa dalam hal tanah
ulayat yang dipergunakan oleh pemerintah untuk keperluan fasilitas umum
(pemukiman transmigrasi) yang digugat oleh masyarakat adat Malamoi.
Sedangkan penyelesaian antara masyarakat sendiri ataupun pihak-pihak di
luar anggota masyarakat hukum adat Malamoi yaitu dengan pendekatan
sosial budaya melalui musyawarah yang biasanya dilakukan oleh
masyarakat hukum adat Malamoi dalam menyelesaikan sengketa tanahnya
melalui non litigasi (Liurai) dengan melibatkan Lembaga Masyarakat Adat
(Lemasa), Tokoh Agama dan Fungsionaris Pemerintah (Tiga Tungku).
Tata cara “Liurai” dilakukan dengan cara upacara adat yaitu dengan
sebutan “Bakar Batu”. Kegiatan Upacara adat saat ini sudah jarang
dilakukan karena memudarnya peran Gelet sehingga masyarakat lebih
memilih bentuk ganti ruginya berupa uang sirih pinang saja, karena
menurut masyarakat Malamoi dengan melakukan upacara adat kurang
praktis.
2.
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat juga terdapat
berbagai faktor yang menghambat jalannya proses penyelesaian sengketa
alternative/non litigasi. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu faktor internal yang disebabkan oleh faktor
temperamen, tingkat pendidikan, kedisiplinan, dan ketidakjelasan batasbatas
tanah. Selain itu faktor penghambat lainnya adalah faktor eksternal
yang berasal dari pihak ketiga baik yang berasal dari keluarga masyarakat
Malamoi maupun pihak di luar para pihak yang bersengketa.
3.
Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah ulayat
yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi yaitu dilakukan dengan cara
upacara adat ”Bakar Batu” (Liurai/alternatif) tersebut sangat
menguntungkan masyarakat adat suku Malamoi karena biaya yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif lebih
murah dan waktu yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga
merupakan suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat Malamoi.
2.
Saran-Saran
1.
Dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat suku Malamoi diharapkan
masyarkat adat suku Malamoi tidak dengan emosional, akan tetapi lebih
menggunakan kepala dingin sehingga sengketa dapat terselesaikan dengan
cepat, aman dan tidak melebar ke hal-hal lainnya.
2.
Sebaiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong di dalam memanfaatkan
tanah ulayat tersebut agar lebih cepat untuk dijadikan lahan permukiman
transmigarsi, dengan cara mendaftarkan tanah-tanahnya agar
mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah) melalui
BPN. Serta mengenai sengketa tanah antar masyarakat Malamoi dengan
para pendatang dalam hal kepemilikan tanah dengan penggantian ganti
rugi uang sirih pinang diharapkan semua hal-hal yang menyangkut
penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat
perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi
pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris
masyarakat adat Malamoi.
3.
Sudah waktunya bagi Pejabat-pejabat yang berwenang dalam hal ini
(Kecamatan dan BPN) untuk kembali melakukan sosialisasi mengenai
berbagai peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanahan khususnya
dalam hal kepemilikan tanah. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui
penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat adat Malamoi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta.
Arif Budiman, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Penerbut Sinar Grafika,
Jakarta
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
UUPA, Isi Dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi Ke 10 Jilid 1, Penerbit
Djambatan, Jakarta
…………….., 2004, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta
Bushar Muhammad, 1983 Pokok-Pokok Hukum Adat, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta
Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, 2002 Metodologi Penelitian, Penerbit :
Bumi Aksara, Jakarta
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, et all, 1985 Jaminan Undang-Undang
Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Penerbit
Bina Aksara, Jakarta
Gary Goodpaster, 1993 Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi
dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Economic Law and
Improved Procurement System (ELIPS) Project, Penerbit Jakarta
John M. Echlos, Hasan Shadily, 1996 Kamus Inggris Indonesia Dan Indonesia
Inggris, Penerbit Gramedia, Jakarta
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan,Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Penerbit
Gramedia, Jakarta
Mansoben, Johszua Robert, 1995, Sistem Politik Tradisional Irian Jaya,
Penerbit Lipi, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian
Sebuah Panduan Dasar, Penerbit Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
………………, 2001 Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
………………., 2005, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,
Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung
Ronny H. Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Penerbit Mandar Maju, Bandung
Soni Harsono, 1996, Konflik Pertanahan dan Upaya-Upaya Penyelesaiannya,
Studium Generale Disampaikan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Pada FH-UGM, Yogyakarta
Soerjono Seokanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia Penerbit Press, Jakarta
Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta
Sulastriyono, 1997, Sengketa Penguasaan Tanah Timbul dan Proses
Penyelesaiannya, Tesis S-2 Program Pasca Sarjana UI, Jakarta
Sumardi Basuki, 1977, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria,
Suyud Margono, 2000, ADR (Alternative Dispute Resolution) Dan Arbitease
Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarata
Jurnal dan Karya Ilmiah
Gunawan Wiradi, 1990, Identifikasi dan Inventarisasi Permasalahan dalam
Penguasaan dan Penggunaan Tanah di Pedesaan, Makalah
Disampaikan dalam Seminar Nasional Tri Dasawarsa UUPA,
Kerjasama BPN-UGM, Yogyakarta
Lutfi Nasution, 2001, Catatan Ringkas tentang Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan dan Pemnfaatan Tanah, Pokok-Pokok Pikiran
Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Surat Keputusan Dalam Negeri Nomor 72 tahun 1981 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Cara Kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor
Agraria Kabupaten/Kota
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Tim Ad Hoc Penanganan Masalah Pertanahan Kepala
Bandan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Peraturan Menteri Dalam Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Hal ini disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi
bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang
sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek ekonomi saja, melainkan
meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai multiple
value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa
Indonesia untuk menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan
wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat.
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai
organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria yang
selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA
adalah :
1.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3.
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Oleh karena itu untuk dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
maka dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang merupakan bagian
dari sumber daya alam harus dilaksanakan secara bijaksana dan dalam
pengelolaannya diserahkan kepada negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan
sebutan UUPA secara ideologis mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan kaum petani Indonesia. Hal ini dikarenakan sejak berlakunya UUPA,
secara yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat untuk memfungsikan
hukum agraria nasional sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan masyarakat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur.
Karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan,
tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah
merupakan salah satu sumber hidup dan kehidupan mereka. di samping itu
tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai kosmis-magis-religius.
Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga antar
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam
hubungan dengan hak ulayat.
Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah
memiliki fungsi yang sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya. Di negara seperti Indonesia fungsi tanah kian meningkat dan
mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Dari sekian banyak bidang
yang menyangkut tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas
manusia atas tanah. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia,
dimana pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang melaju
pesat.
Sering kali karena pentingnya peran tanah dalam kehidupan manusia,
tanah menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar
manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin
meningkat, namun persediaan tanah relatif tetap.
Sengketa tanah dalam masyaratkat setiap tahun semakin meningkat dan
terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di
pedesaan.
Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflik
kepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain :1
1. Rakyat berhadapan dengan birokrasi
2. Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara
1 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas,
2005), hal 182
3. Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta
4. Konflik antara rakyat
Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang
terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan
dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama
ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non litigasi).
Dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah
memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum
terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil
terhadap kepemilikan tanah tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dan
tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan
melakukan gugatan ke pengadilan.
Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak
awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam
masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal,
memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit. Oleh karena itu
masyarakat berupaya menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non
litigasi.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan
keadilan dan kepastian hukum, maka penyelesaian di luar pengadilan justru
yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi sengketa yang terjadi di
antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau salah. Bila
harus mencari siapa yang benar dan yang salah tidak akan menghasilkan
keputusan yang menguntungkan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa non litigasi atau alternative yang lebih dikenal
dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-
Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan
dalam media non litigasi yaitu merupakan konsep penyelesaian konflik atau
sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan satu solusi
terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution. ADR
dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara
penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan.2
Meskipun permasalahan pertanahan dan penyelesaian yang timbul dari
permasalahan tersebut telah diatur sedemikian rupa, namun para pihak yang
terlibat di dalamnya mempunyai cara sendiri-sendiri yang mereka anggap
lebih baik atau lebih cocok dipakai untuk menyelesaikan permasalahan
pertanahan yang dialami. Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat
Malamoi yang ada di Kabupaten Sorong, Papua Barat dalam menyelesaikan
permasalahan atau sengketa atas tanah ulayat yang dimilikinya.
Masyarakat Malamoi yang merupakan suku asli dari Kabupaten Sorong
sebagian besar warganya bermata pencaharian di bidang pertanian dan
peternakan. Dengan bermata pencaharian tersebut, maka tanah bagi mereka
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya khususnya di
2 Rachamadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 4
bidang ekonomi yang pada akhirnya dalam pemanfaatannya sering atau
mudah terjadi benturan kepentingan antara pengguna tanah.
Secara umum daerah Kabupaten Sorong pada awalnya sebagian besar
merupakan kawasan hutan yang banyak ditumbuhi semak belukar yang
kemudian dibuka dan digarap oleh warga atau para perantau untuk ditanami
dengan tanaman pangan terutama tanaman umbi-umbian, sagu, buah-buahan
dan sebagainya. Masyarakat tersebut dapat mempunyai hak milik atas tanah
ini melalui pembukaan tanah hutan untuk dijadikan kebun. Pada mulanya
kebun merupakan usaha “Gelet/Keret” yang di dalamnya terdapat bagian
masing-masing keluarga yang dikerjakannya sendiri-sendiri, karena segala
sesuatu mengenai penyelenggaraan adat adalah milik “Gelet/Keret”, maka
kepala Gelet/Keret mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan,
penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah-tanah di wilayah
“Gelet/Keret”. Kepala Geletlah yang menentukan kapan dan di mana semua
warga secara bersama-sama membuka tanah untuk berkebun.
Di daerah Salawati di Kabupaten Sorong, tanah adalah milik Gelet atau
dalam bahasa setempat disebut “Ulisio”. Kepala Gelet yaitu “Ulisio”
membagi-bagikan tanahnya lagi kepada anggota pria yang sudah dewasa.
Tanah milik seorang ayah dibagikan kepada putra-putrinya bila mereka sudah
menikah atau bila sang ayah meninggal. Walaupun kebun tersebut
ditinggalkan oleh pemiliknya, tidak diurus karena pergi untuk beberapa lama,
tetapi menurut adat gelet ia tetap mempunyai hubungan hak dengan tanah
tersebut. Dalam pemahaman masyarakat terhadap tanah hak ulayat khususnya
di Kabupaten Sorong, adalah tanah adat terdiri atas tanah yang masih bersifat
komunal (dikuasai secara bersama) dan tanah adat yang sudah bersifat
perorangan yang cenderung penguasaannya dikuasai oleh Kepala Gelet.
Dengan berjalannya waktu pada tahun enam puluhan mulai banyak
orang yang berasal dari luar pulau Papua Barat yang berdatangan ke wilayah
dan kemudian mulai membuka serta membersihkan kawasan semak belukar
untuk dijadikan tempat berkebun/berladang bahkan dijadikan daerah
permukiman. Pada umumnya para perantau tersebut datang ke wilayah
tersebut secara berkelompok yang semuanya berasal dari berbagai daerah,
yang pada akhirnya mereka semua menetap di sana dan menjadi suatu
perkampungan.
Dengan berjalannya waktu demi memberikan kepastian status
kepemilikan atas bidang tanah yang digarapnya maka kepada penggarap tanah
diberikan surat tanda kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang
dibuat atau dikeluarkan oleh Kelurahan yang diketahui kepada Kepala Distrik
(Kecamatan), dan berfungsi sebagai surat tanda bukti kepemilikan tanah.
Akhir-akhir ini di daerah tersebut seringkali terjadi sengketa tanah dalam
hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di
daerah tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah
di antara warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketasengketa
tersebut bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak
ulayat. Di sisi lain pernah terjadinya sengketa perdata, sengketa antar
masyarakat adat dengan obyek tanah ulayat yaitu mengenai sengketa
pengadaan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Sorong.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut
mereka mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun
telah ada lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui
penyelesaian di luar pengadilan atau non litigasi.
Penyelesaian non litigasi dipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi
waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian
masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara
historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan
kosensus. Pengembangan ADR di Indonesia tampaknya lebih kuat
dibandingkan alasan ketidakefisien proses peradilan. Proses penyelesaian
melalui ADR bukanlah suatu yang baru dalam nilai-nilai budaya bangsa kita
yang berjiwa kooperatif.
Sehubungan dengan latar belakang di atas maka melalui karya tulis ini
akan penulis susun dalam bentuk penlisan hukum tesis yang berjudul
“PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MALAMOI DI
KABUPATEN SORONG”.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1.
Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh
Masyarakat Malamoi dalam rangka penyelesaian sengketa tanah?
2.
Hambatan-hambatan/kendala-kendala apa yang dihadapi dalam
penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Sorong?
3.
Apa manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh masyarakat malamoi?
3. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas dan
merupakan pedoman dalam mengadakan penelitian, dan juga menunjukkan
kualitas dari penelitian tersebut. Berdasarkan permasaahan yang telah
dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah :
1.
Untuk mengetahui mengkaji dan mendeskripsikan proses penyelesaian
sengketa tanah yang dilakukan oleh masyarakat malamoi.
2.
Untuk mengetahui Hambatan-hambatan/kendala-kendala yang dihadapi
dalam penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Sorong.
3.
Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh masyarakat malamoi
4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara :
1.
Teoritis/Akademis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan dalam
memperbanyak referensi ilmu dibidang Hukum Agraria khususnya cara
penyelesaian sengketa pertanahan untuk tanah-tanah hak ulayat.
2.
Praktis
a.
Dapat memberi jalan keluar terhadap permasalahan yang timbul atau
yang dihadapi dalam masalah Hukum Agraria khususnya mengenai
cara penyelesaian sengketa pertanahan di Kabupaten Sorong.
b.
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan
sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah
agraria khususnya mengenai cara penyelesaian sengketa pertanahan di
Kabupaten Sorong.
5. Sistematika Penulisan
Bab I : Berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang Tinjauan Umum
tentang Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional;
Tinjauan tentang Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat;
Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan
dan Prosedur Penyelesaiannya yang terdiri dari Pengertian Konflik
atau Sengketa Pertanahan, Prosedur Penyelesaian Konflik atau
Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Melalui Instansi Badan
Pertanahan Nasional; Tinjuan Tentang Mediasi yang terdiri dari
Pengertian Mediasi, Peran Mediator dalam Mediasi, Tahap-Tahap
Mediasi dan Keunggulan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa;
Bab III :
Metode Penelitian terdiri dari Metode Pendekatannya, Spesifikasi
Penelitiannya, Lokasi Penelitiannya, Populasi dan Sampel, Jenis
dan Sumber Data, Teknik Pengolahan dan Analisa Data.
Bab IV :
Hasil dan Pembahasan, dalam hal ini akan diuraikan tentang hasil
penelitian mengenai gambaran umum Kabupaten Sorong yang
meliputi keadaan geografis, pemerintahan dan demografi, uraian
mengenai sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Sorong,
dan cara penyelesaiannya serta manfaat yang diperoleh dalam
menyelesaikan sengketa.
Bab V : Penutup, merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan terhadap permasalahan yang telah diuraikan, serta
saran dari penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional
1.1 Pengertian Hak Ulayat, Subyek dan Obyek Hak Ulayat
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G.
Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan
UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, menyatakan bahwa ;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki
oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk
menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan
(kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.3
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas
merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat
yang bersangkutan sepanjang masa (Lebensraum). Kewenangan dan
kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang
masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam
bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas
tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan
3 G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-
Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), hal. 88
untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,
penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat.
Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai
komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak
ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat
bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan.
Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut
merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang
memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para
leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi
kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang
kehidupan itu berlangsung.
Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat
dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.4 Ke dalam
berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar
dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya,
yang disebut “orang asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa
adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan
kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan
sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya., (Jakarta: Djambatan, 2005), hal 190
dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Sedangkan untuk hak
ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan
dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil
hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan
tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.
Subyek hak ulayat adalah masyarakat persekutuan adat dalam
keseluruhannya, yakni seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak
ulayat tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan
masyarakat.5
Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan
(kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang
hidup bebas dalam hutan.6 Dengan demikian hak ulayat menunjukkan
hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan
tanah/wilayah tertentu (objek hak).7
Isi Hak Ulayat adalah :
a.
Kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak
ulayat itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buah-buahan yang
tumbuh di tanah tersebut
5 Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, (Yogyakarta Universitas Gadjah Mada, 1977)
6 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1983), hal 109
7Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, Juni 2001, hal. 56
b.
Orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali
setelah mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang
pengakuan
Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik
persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya
terdapat pengecualian-pengecualian. Pengecualian ini berkaitan dengan
kekuatan hak ulayat yang berlaku ke luar.
Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki
oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak
ada tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat
masyarakat hukum adat territorial tidak dapat ditentukan secara pasti.
Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya,
yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang.
Masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya
yang khusus. Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak
pakai, tetapi ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah
yang dibuka tersebut dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada
kenyataan apakah tanah dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus
ataukah hanya sementara saja.
Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat
atau kepala desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap
tanah itu terjadi hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religius
magis antara individu warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud.
Perbuatan hukum ini jelas menimbulkan hak bagi warga yang menggarap
tanah atau kemudian hak wenang atas tanah yang bersangkutan.
1.2 Terjadinya Hak Ulayat
Pada asal mulanya hak ulayat dijumpai di hampir seluruh wilayah
Indonesia. Hak ulayat dapat dikatakan sebagai hubungan hukum kongkret
dan hubungan hukum pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang
atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau
menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang
merupakan kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai lembaga hukum sudah
ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan
satu-satunya yang mempunyai hak ulayat. Selain diperoleh dari nenek
moyang bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu hak ulayat juga bisa
tercipta atau terjadi karena pemisahan dari masyarakat hukum adat
induknya, menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri, dengan
sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.
Tetapi dengan bertambah menjadi kuatnya hak-hak pribadi para
warga masyarakat-masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagianbagian
tanah ulayat yang dikuasainya, juga karena pengaruh faktor-faktor
ekstern, secara alamiah kekuatan hak ulayat pada masyarakat hukum adat
semakin melemah, hingga pada akhirnya tidak tampak lagi keberadannya.
Sehubungan dengan itu dewasa ini pada kenyataannya keadaan dan
perkembangan hak ulayat itu sangat beragam. Tidak dapat dikatakan
secara umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum
adatnya masih ada atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada
sama sekali. Namun demikian bahwa hak ulayat yang sudah tidak ada lagi
akan dihidupkan kembali, juga tidak akan dapat diciptakan hak ulayat baru
yang sebelumnya tidak pernah ada.
1.3 Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria
Hak ulayat aturannya terdapat di dalam hukum adat. Hal ini karena
penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat
dari masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada. Hal ini kemudian
menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya
pengaturannya berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan
keragaman dalam hukum adat yang secara tidak langsung berpengaruh
pula bagi hukum pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak
penguasaan atas tanah hak milik adat. Namun sering perkembangan ilmu
pengetahuan di segala bidang termasuk bidang pertanahan maka kemudian
lahirlah suatu produk hukum yang dipandang dapat mengakomodir
keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam negara kita
sehingga unifikasi hukum sebagai salah satu tujuan dikeluarkan produk
hukum ini dapat terwujud. Produk hukum itu adalah UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria. Lahirnya Undang-
Undang Pokok Agraria bukan berarti meniadakan keragaman yang ada
dalam hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih pada mengatur
ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga negara mengenai hukum
pertanahan Indonesia. Sehingga untuk hukum adat pengaturannya
diserahkan pada peraturan hukum yang berlaku di daerahnya masingmasing
dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan
kepentingan nasional serta tata peraturan yang lebih tinggi. Salah satunya
pengaturan mengenai hak ulayat. Walaupun tidak semua daerah atau
wilayah di Indonesia yang masing mengakui keberadaan hak ulayat bukan
berarti hak ulayat tidak diatur dalam UUPA sebagai hukum nasional. Hal
ini karena sebagian besar materi yang ada dalam UUPA diadopsi dari
hukum adat.
Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu
pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya.
Eksistensi/keberadaan hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat
mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta
peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi.
Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada
kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh
sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan
bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih
mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada
peraturan daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi
dari pengaturan tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang
dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan
pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat
masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :8
1.
Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang
serupa dari masyarakat hukum adat
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya
Masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah
hanya dapat diketahui dan dipastikan dari hasil tinjauan dan penelitian
setempat berdasarkan kenyataan, bahwa :9
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta :
Djambatan, 2004), hal. 57
9 Maris S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Buku
Kompas, 2005), hal. 68
1.
Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu
persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat
hukum adat
2.
Masih adanya wilayah yang merupakan tanah ulayat masyarakat
hukum adat tersebut, yang didasari sebagai tanah kepunyaan bersama
para warganya
3.
Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui
oleh para warga mayarakat hukum adat yang bersangkutan,
melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara
kumulatif. Penelitian mengenai unsur hak ulayat di atas akan ditugaskan
kepada Pemerintah Kabupaten, yang dalam pelaksanaannya
mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat.
Hal lain yang diatur dalam PMNA/Ka.BPN No. 5 Tahun 1999
antara lain Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang pelaksanaan hak ulayat
sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyrakat hukum
adat menurut ketentuan hukum adat setempat. Namun dalam Pasal 3
terdapat pengecualiannya yaitu pelaksanaan hak ulayat tersebut tidak dapat
dilakukan lagi terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 :
1.
Tanah tersebut sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan suatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
2.
Tanah tersebut merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh
atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Di dalam Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa :
1.
Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanak hak ulayat oleh
perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
a.
Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
penguasaan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, yang
apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA
b.
Oleh instansi pemerintah atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah
menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara
setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu
atau oleh warganya sesuai dengan ketantauan dan tata cara hukum
adat yang berlaku
2.
Penglepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak
Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum
adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu
tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan sehingga Hak
Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka
penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru
dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat
masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2.
3.
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Hak Guna Usaha atau
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta
pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah
yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
2.
Masyarakat Hukum Adat
Menurut R. Supomo dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang
hukum adat dikatakan :
“Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam (agama)”. Hukum adat
itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan hakim, yang berisi
asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum
adat berurat-akar pada kebudayaan nasional. Hukum adat adalah hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Sedangkan pengertian hukum adat adalah sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.10
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri pokok dari masyarakat
hukum adat yaitu adanya kelompok manusia yang mempunyai batas wilayah
tertentu dan kewenangan tertentu serta memiliki norma-norma atau aturanaturan
yang dipenuhi oleh kelompok manusia dalam wilayah tersebut.
Selanjutnya Ter Haar mengatakan bahwa masyarakat Hukum terdiri
dari faktor territorial (daerah) dan genealogis (keturunan).11
Masyarakat hukum adat teritorial adalah masyarakat hukum berdasar
lingkungan daerah, keanggotaan persekutuan seseorang tergantung pada
tempat tinggalnya, apakah di dalam lingkungan daerah persekutuan atau tidak.
Sedangkan masyarakat hukum berdasarkan genealogis adalah persekutuan
masyarakat hukum berdasarkan suatu keturunan (keluarga). Keanggotaan
persekutuan seseorang bergantung pada apakah seseorang itu masuk dalam
satu keturunan yang sama atau tidak.
Terdapat 3 (tiga) jenis sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat
hukum adat Indonesia :
a.
Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum di mana anggotanya
menarik garis keturunan ke atas melalui bapak. Bapak dari bapak terus
ke atas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya.
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Pasal 1,
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, ayat 3,
Jakarta, Djambatan 2000.
11 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, 1979. Hal 8
b.
Sistem Matrilineal, yaitu suatu sistem di mana masyarakat tersebut
menarik garis keturunan ke atas melalui garis ibu, ibu dari ibu, terus ke
atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya
c.
Sistem Parental atau Bilateral adalah masyarakat hukum di mana para
anggotanya menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak dan
garis ibu, sehingga dijumpai seorang laki-laki dan seorang wanita
sebagai moyangnya.12
3.
Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat
Konsepsi dan Sistem Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat
Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran
bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai
sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, maka
orang harus menyelami dasar-dasar pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia.
Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
adalah Hak Ulayat, sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang beraspek
hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek Hak Ulayat adalah
masyarakat hukum adat, baik territorial, genealogik, maupun genealogis
territorial sebagai bentuk bersama para warganya.
12 I.G.N. Sugangga, Hukum Adat Khusus, Hukum Adat Waris pada Masyarakat Hukum Adat yang Bersistem
Patrilineal di Indonesia, Semarang 1998, hal 17-18.
Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum
publik ada pada Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, sebagai pertugas
masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama
tersebut.
Hubungan Hak Ulayat dengan Hak-hak Peseorangan
Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan selalu ada pengaruh
timbal balik. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu
bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan
dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Dalam hal yang demikian
kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang. Tetapi menurut
hukumnya yang asli, bagaimanapun juga kuatnya, hak perseorangan atas
tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. Dalam pada itu di banyak daerah
hak-hak perseorangan sudah sedemikian kuatnya, hingga kekuatan hak
ulayat menurut kenyataannya sudah hilang atau hampir-hampir tak terasa
lagi. Tetapi dimana hak ulayat masih kuat, sewaktu-waktu hubungan orang
dengan tanahnya menjadi kendor, misalnya tidak diusahakan lagi, hak
ulayat menjadi kuat kembali, hingga tanahnya kembali kedalam kekuasaan
penuh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kalau sebidang tanah tidak diusahakan lagi hingga kembali
menjadi hutan atau tumbuh belukar di atasnya, hal itu bisa mengakibatkan
hilangnya hak atas tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut kemudian
boleh diusahakan oleh anggota masyarakat lainnya. Teranglah bahwa
Hukum Adat mengenal isi pengertian fungsi sosial dari hak-hak atas tanah.
Dalam konsepsi Hukum Adat hak ini yang merupakan perwujudan dari
“unsur kebersamaan”. Para warga masyarakat diberi kemungkinan untuk
membuka, menguasai dan menghaki tanah bukan sekedar untuk dipunyai,
melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan kebutuhan
mereka masing-masing, ini bertentangan dengan fungsi sosialnya kalau
tanah yang mestinya diusahakan dibiarkan dalam keadaan terlantar. Hak
atas tanah menurut Hukum Adat tidak hanya memberi wewenang, tetapi
juga meletakkan kewajiban kepada yang empunya untuk mengusahakan
tanah. Demikian sifat asli dari hak perorangan atas tanah menurut konsepsi
Hukum Adat.
Dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah
bersama tersebut oleh para warganya, secara alamiah kekuatan Hak Ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tambah lama menjadi tambah
melemah, hingga akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Oleh
karena itu pada kenyataannya perkembangannya sudah sangat beragam,
maka tidak mungkin dikatakan secara umum, bahwa di suatu daerah Hak
Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adatnya masih ada atau sudah tidak
ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali. Undang-Undang Pokok
Agraria dan Hukum Tanah Nasional tidak menghapus Hak Ulayat, tetapi
juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan
masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat
tersebut melalui proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak
perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
4. Penyelesaian Sengketa dibidang Pertanahan dan Prosedur
Penyelesaiannya
Pengertian Konflik atau Sengketa Pertanahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertiakian atau
perbantahan.13 Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara
dalam pengadilan.14 Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya
perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan
yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki
seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun
sosial, demikian menurut Koentjaraningrat.15
Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris
sama dengan “conflict” atau “dispute”. 16 Keduanya mengandung
pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah
pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict”
dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik, sedangkan kosa kata
“dispute” diterjemahkan dengan kata sengketa.
13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta, 1990, hal 643
14 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2002, hal. 433.
15 Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982, hal 103.
16 John.M. Echlosdan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Penerbit Gramedia,
Jakarta, 1996, hal. 138
Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,
baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab
kerugian atau pihak lain.
Menurut Margono17 sengketa yang terjadi saat ini antara lain terdiri
atas: (1) sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan
tanah), (2) sengketa bisnis yang rumit serta erat dengan unsur keuangan,
perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemebuhan kontrak dan
sebagainya, (3) sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah
pembuktian ilmiah dan hubungan administrasi pusat-daerah dan (4)
sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi
Negara dan perhatian masyarakat internasional.
Konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun
dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada
masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :18
a.
Pemilikan/Penguasaan tanah yangtidak seimbang dan tidak merata;
b.
Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
c.
Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi
lemah;
d.
Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah
(hak ulayat);
17 Suyud Margono.ADR (Alternative Dispute Resolution) Dan Arbitease Proses Pelembagaan Dan Aspek
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarat, 2000, hal 85.
18 Lutfi Nsution, Catatan Ringkas Tentang Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
Tanah, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, 24 Oktober 2001
e.
Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.
Sengketa Tanah dan Permasalahannya
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim
dan keras dari persaingan. Konflik agraria ialah proses interaksi antara
dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, juga
udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Secara makro
sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan.
Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adaya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai
informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat
(teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat
pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.
Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang
tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang
tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang
berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.19
Menurut Maria. S.W. Sumardjono, secara garis besar peta
permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu :20
1.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan,
kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain;
2.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan
landreform;
3.
Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan
pembangunan;
4.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
5.
Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum
adat.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu
sengketa hukum tanah, antara lain :
1.
Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tana berstatus hak, atau atas tanah
yang belum ada haknya:
2.
Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak;
19 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Mandar Maju, Bandung 1991, hal.
20 Maris S.W Sumardjono, Puspita Serangkum Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hal.
3.
Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan
penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar
4.
Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial
praktis.
Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada
pihak yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang
disengketakan. Oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap
sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahan yang
diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu
sebelum diperoleh suatu keputusan.
Permasalahan tanah makin kompleks dari hari ke hari, sebagai
akibat meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang. Oleh karena itu
pelaksanaan dan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria di
lapangan menjadi makin tidak sederhana. Persaingan mendapatkan
ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara vertikal maupun
horizontal yang makin menajam.21
Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan
sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai
alat produksi semata melainkan juga sebagai alat utuk berspekulasi
(ekonomi) sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat
komoditi perdagangan yang dapat dipertukarkan.
21 Lutfi Nasution. Catatan Ringkas tentang Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemnfaatan
Tanah., Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, 24 Oktober 2001.
Prosedur Penyelesaian Konflik atau Sengketa Pertanahan
Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di
dalam Pasal 2, mengenai Hak menguasai negara atas tanah telah diuraikan
bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah berupa: 22
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
b.
Menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
c.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Berdasarkan wewenang tersebut, walaupun secara tegas tidak
diatur, namun wewenang untuk menyelesaikan konflik atau sengketa
adalah ada pada Negara Republik Indonesia yang kewenangannya
diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan sebagai landasan
operasional dan berfungsi untuk penyelesaian sengketa hukum atas tanah
yaitu PP No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. PMNA No.3 Tahun 1999,
PMNA No. 9 Tahun 1999 serta dasar operasional dalam Peraturan
Presiden No.10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan nasional.
22 Rusmadi Murad.Op.cit, hal. 14
Pasal 2 Perpres No. 10 Tahun 2006 mengatur secara tegas tugas
dari BPN yang di dalamnya menyatakan bahwa BPN bertugas
melaksanakan pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,
regional dan sektoral. Pasal selanjutnya dalam peraturan tersebut
menyebutkan 21 fungsi dari BPN, dimana salah satu fungsinya yaitu
melakukan kegiatan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik di bidang pertanahan. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut maka dibentuk Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Konflik atas tanah ulayat adalah satu dari masalah konflik
pertanahan yang rumit untuk dicarikan solusinya. Dalam konflik
pertanahan ini, selain berdampak pada persoalan ekonomi juga dapat
menimbulkan persoalan sosial yang lebih luas.
Bentuk suatu penyelesaian sengketa merupakan serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa dengan
menggunakan strategi untuk menyelesaikan sengketa. Menurut Nader dan
Todd dalam bukunya Sulastriyono23 para pihak dapat mengembangkan
beberapa strategi atau alternatif dalam menyelesaikan sengketa seperti :
a.
Lumping it atau membiarkan saja kasus itu berlalu dan mengangap
tidak perlu diperpanjang.
b.
Avoidance atau mengelak yaitu para pihak yang merasa dirugikan
memilih untuk tidak berhubungan lagi dengan pihak yang merugikan
23 Sulastriyono, Sengketa Penguasaan Tanah Timbul dan Proses Penyelesaiannya, Tesis S-2 Program Pasca
Sarjana UI, Jakarta 1997, hal. 47-49
c.
Coercion atau paksaan yaitu satu pihak memaksakan pemecahan
pada pihak lain, misalnya debt collector
d.
Negotiation atau negosiasi yaitu dua pihak berhadapan merupakan
cara pengambil keputusan
e.
Mediation atau mediasi adalah campur tangan dari pihak ketiga
untuk menyelesaikan sengketa tanpa memperdulikan bahwa kedua
belah pihak yang bersengketa meminta bantuan atau tidak. Orang
yang bertindak sebagai mediator seperti Kepala Desa/Camat, Kepala
Pemerintah dan Hakim dan sebagainya
f.
Arbitration atau arbiterasi yaitu jika kedua belah pihak ketiga yakni
arbitrator/arbiter untuk menyelesaikan sengketa dan sejak semula
sepakat aka menerima keputusan apapun dari arbitratos tersebut.
g.
Adjudication atau pengajuan sengketa ke pengadilan yaitu adanya
campur tangan dari pihak ketiga (pengadilan) untuk menyelesaikan
sengketa dan hasilnya ditaati oleh para pihak yang bersengketa.
Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah, dapat
juga dilakukan secara langsung oleh pihak-pihak yang bersengketa. Bisa
juga dengan perantara melalui wakil atau kuasa yang ditunjuk oleh
mereka masing-masing.
Menurut Harsono24 berbagai kasus-kasus pertanahan, dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pertama sebagai sengketa
24 Soni Harsono, Konflik Pertanahan dan Upaya-Upaya Penyelesaiannya, Studium Generale Disampaikan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Pada FH-UGM, Yogyakarta, 17 desember 1996,
hal. 14-15
yang terjadi di luar badan pengadilan, pada umumnya diusahakan untuk
dapat diselesaikan oleh aparat BPN. Dan kedua sengketa yang timbul
karena terjadinya sengketa perdata, atau terjadi sengketa Tata Usaha
Negara dan penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan negeri atau
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bertitik tolak dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa tidak
semua sengketa dapat diselesaikan dengan satu jenis pemecahan. Bentukbentuk
penyelesaian sengketa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok
utama yakni yang pertama dilakukan oleh salah satu pihak, kedua
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja, dan yang ketiga
melibatkan pihak ketiga.
Bentuk penyelesaian sengketa lainnya yang dilakukan oleh pihakpihak
yang bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian sengketa model ini
disebut penyelesaian diadik untuk menghasilkan suatu keputusan atau
kesepakatan tanpa campur tangan atau bantuan pihak ketiga. Biasanya
penyelesaian model ini tidak berdasarkan peraturan yang ada melainkan
berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri.
Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga
meliputi penyelesaian yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi.
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini mempunyai persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah bentuk penyelesaian ini bersifat triadic
karena melibatkan pihak ketiga, sedangkan perbedaannya adalah ajudikasi
merupakan penyelesaian yang dilakukan oeh pihak ketiga yang
mempunyai wewenang untuk campur tangan, dan ia dapat melaksanakan
keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan apa yang menjadi
kehendak para pihak. Berbeda dengan ajudikasi, arbitrase merupakan
penyelesaian sengketa yang dilakukan pihak ketiga dan keputusannya
disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi adalah
bentuk penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihakpihak
yang bersangkutan untuk mencapai persetujuan.
Berikut ini digambarkan sejumlah karakteristik yang dimiliki
ajudikasi, arbitrase, mediasi dan negosiasi sebagai berikut :25
Karakteristik Ajudikasi Arbitrase Mediasi Negosiasi
Sukarela/tidak
sukarela
Tidak sukarela Sukarela Sukarela Sukarela
Pemutus Hakim Arbitrator Para pihak Para pihak
Banding: mengikat
dan tidak mengikat
Mengikat dengan
kemungkinan banding
Mengikat tetapi dapat
diuji untuk hal yang
sangat terbatas
Jika tercapai
kesepakatan
enforceable sebagai
kontrak
Jika tercapai
kesepakatan
enforceable
sebagai kontrak
Pihak ketiga Imposed: pihak ketiga
dan umumnya tidak
mempunyai keahlian
tertentu pada subyek
yang disengketakan
Dipilih para pihak dan
biasanya mempunyai
keahlian dibidang
subyek yang
disengketakan
Dipilih para pihak
dan bertindak
sebagai fasilisator
Tidak ada pihak
ketiga atau
fasilisator=
perundingan
secara langsung
oleh para pihak
yang
bersengketa
Derajat Formalitas Formal, sangat
terbatas pada struktur
dengan aturan yang
ketat sudah ditentukan
Tidak terlalu formal:
atuan main dan
hukum yang
digunakan disepakati
para pihak
Biasanya informal
dan tidak
terstruktur
Biasanya
informal dan
tidak terstruktur
Aturan Pembuktian Sangat formal dan
teknis
Informal dan tidak
teknis
Tidak ada
ditentukan
berdasarkan para
pihak
Tidak ada
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
para pihak
Hubungan para
pihak
Sikap saling
bermusuhan=
Antagonis
Sikap saling
bermusuhan=
antagonis
Kooperatif
kerjasama
Kooperatif
bersaing
Fokus penyelesaian Masa lalu Masa lalu Masa depan Masa kini
Proses penyelesaian Kesepakatan masingmasing
pihak
menyampaikan
pembuktian dan
argument
Kesepakatan masingmasing
pihak
menyampaikan bukti
dan argument
Presentasi buktibukti
dan argumen
kepentingankepentingan
Presentasi buktibukti
dan
argumen dan
kepentingakepentingan
Suasana emosional Emosi bergejolak Emosional Bebas emosional Bebas emosional
Hasil Principle decision,
yang didukung oleh
pendapat yang
Kadang-kadang sama
dengan ajudikasi,
kadang-kadang
Kesepakatan yang
diterima kedua
belah pihak: win-
Kesepakatan
yang diterima
kedua belah
25 Racmadi Usman, Op. Cit, hal 24-25
objektif kompromi tanpa ada
opini
win solution pihak: win-win
solution
Publikasi dan jangka
waktu
Publik=terbuka untuk
umum. jangka waktu
panjang (5-12 tahun)
Tidak terbuka untuk
umum=privat. Jangka
waktu agak panjang
(3-6 bulan)
Tidak terbuka
untuk
umum=privat
Jangka waktu
segera (3-6 minggu)
Tidak terbuka
untuk
umum=privatJa
ngka waktu
segera (3-6
minggu)
Ada beberapa tawaran yang justru menjadi daya tarik alternatif
penyelesaian sengketa yakni : pertama, dipercaya dapat menghasilkan win-
win solution bagi para pihak yang bersengketa. Kedua, apa yang
diharapkan para pihak yang bersengketa adalah cepat pemberian
keputusan, sehingga tidak berlarut-larut masalahnya. Ketiga, dalam hal
keadilan yang dicari oleh kedua belah pihak adalah rasa keadilan kedua
belah pihak dan bukan keadilan menurut hukum atau undang-undang
belaka.
Penyelesaian Melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional
Suatu sengketa hak atas tanah itu timbul adalah karena adanya
pengaduan/keberatan dari orang/Badan Hukum yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tertentu.
Prosedur yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut,
para pihak dapat meminta bantuan kepada instansi BPN dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Pengaduan/Keberatan dari Masyarakat
Pengaduan tersebut diajukan karena mereka ingin mendapatkan
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi
serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan
untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara dibidang pertanahan (sertipikat/Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah), hanya ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Adapun sengketa hak atas tanah adalah meliputi beberapa
macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak,
bantahan terhadap bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar
pemberian hak atau pendaftaran dalam buku tanah dan sebagainya.
b. Penelitian dan Pengumpulan Data
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut
diatas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini dengan
mengadakan penelitian terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari
hasil penelitian ini dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat.
Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap,
maka BPN akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran
ke para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang
disengketakan. Selanjutnya setelah lengkap data yang diperlukan,
kemudian diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang
diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur kewenangan dan
penerapan hukumnya.
c. Pencegahan Mutasi (Penetapan Status Quo)
Agar kepentingan orang atau Badan Hukum yang berhak atas
tanah yang disengketakan tersebut mendapatkan perlindungan
hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari
keyakinannya memang harus distatus quo-kan, dapat dilakukan
pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam
Surat Edaran Kepala BPN No. 110-150 perihal Pencabutan Instruksi
Dalam Negeri No. 16 Tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16
Tahun 1984, memang diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kakanwil BPN Propinsi
dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya
didalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya
dilakukan apabila ada CB dari Pengadilan.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa apabila Kepala
Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo
terhadap suatau Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan
(sertipikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan azas-azas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain azas kecermatan dan ketelitian,
azas keterbukaan (Fair Play), azas persamaan didalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersegketa.
d. Pelayanan secara Musyawarah
Terhadap sengketa hak atas tanah yang disampaikan ke BPN
untuk dimintakan penyelesaian, apabila bisa dipertemukan pihakpihak
yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui
cara musyawarah penyelesaian melalui cara ini seringkali BPN
diminta sebagai mediator didalam menyelesaikan sengketa hak atas
tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah
seperti ini, harus pula disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan,
yaitu dari Surat Pemberitahuan untuk para pihak, Bertita Acara Rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam
Akta Pernyataan Perdamaian yang bila perlu dihadapan Notaris
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
e. Pencabutan/Pembatalan Surat Keputusan Tata Usaha Negara
dibidang Pertanahan oleh Kepala BPN berdasarkan adanya
cacat hukum /administrasi di dalam penerbitannya
Yang menjadi dasar hukum kewenangan tersebut adalah :
1.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
2.
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
3.
Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Pembentukan BPN
(Pasal 16 sub. C)
4.
PMNA/Ka.BPN No. 3 Tahun 1999
Permohonan tersebut sebagian besar biasanya diajukan
langsung kepada Kepala BPN dan lainnya diajukan melalui Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kakanwil BPN Propinsi.
f. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Pengadilan
Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah antar
pihak yang bersangkutan tidak tercapai, demikian juga penyelesaian
secara sepihak dari Kepala BPN karena mengadakan peninjauan
kembali atas Keputusan Kepala Tata Usaha Negara yang telah
dikeluarkannya, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah diteliti lebih lanjut ternyata Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan oleh Pejabat BPN menurut hukum sudah
benar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala BPN
juga dapat mengeluarkan suatu Keputusan yang berisi menolak
tuntutan pihak ketiga atas Keputusan Tata Usaha Negara, sebagai
konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha
yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada
pihak lain yang mengajukan gugatan ke Pengadilan setempat.
Sementara menunggu Putusan Pengadilan, sampai adanya
Putusan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata
Usaha Negara yang terkait untuk mengadakan mutasi atas tanah yang
bersangkutan (status quo). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya masalah dikemudian hari yang menimbulkan kerugian
pihak ketiga, untuk itu Pejabat Tata Usaha Negara dibidang
Pertanahan yang terkait harus menerapkan azas-azas umum
pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang
berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kakanwil BPN Propinsi yang
bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan/pencabutan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dibidang Pertanahan yang telah
diputuskan tersebut diatas. Permohonan tersebut harus dilengkapi
dengan laporan mengenai semua data-data yang menyangkut subyek
dan beban-beban yang ada diatas tanah tersebut serta segala
permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif untuk mencabut/membatalkan suatu
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertipikat Hak
Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala BPN termasuk
langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan
adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan (non
eksekutable). Semua ini agar diserahkan kepada Kepala BPN untuk
menilainya dan mengambil keputusan lebih lanjut.
5. Tinjauan Mediasi
Pengertian Mediasi
Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “Mediation” yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah
atau penyelesaian sengketa secara menengahi. UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan
rumusan definisi/pengertian dari mediasi secara jelas dan tegas.
Dalam kaitannya dengan mediasi, Pasal 6 ayat (3) Undang-undang
Arbitrase menyatakan bahwa: “Dalam hal sengketa/beda pendapat
sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa/perbedaan pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang/lebih penasihat ahli/melalui seorang mediator.”
Christopher W. Moore26 memberikan batasan tentang pengertian
mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa/negosiasi oleh pihak
ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu
para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan.
Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan
batasan bahwa : “Pengertian mediasi adalah suatu proses pengikutsertaan
26 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001, hal.67-68
pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Dan
mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang
bersengketa itu”.27
Menurut Rachmadi Usman28 “Mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial)
kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh
pihak-pihak yang bersengketa”.
Dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah adalah
proses dimana pihak luar yang tidak memihak/impartial dan netral bekerja
dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka untuk
memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur mediasi
adalah sebagai berikut :
a. Penyelesaian sengketa sukarela
b. Intervensi/bantuan
c. Pihak ketiga tidak berpihak
d. Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsensus
e. Partisipasi
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terdapat unsur
paksaan antara para pihak dengan mediator, karena para pihak secara
sukarela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan
27 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.hal.569
28 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal.82
konflik yang mereka hadapi. Oleh karena itu, mediator berkedudukan
sebagai pembantu, walaupun ada unsure intervensi dari pihak-pihak yang
sedang bersengketa. Dalam kondisi tersebut, maka mediator harus bersifat
netral/tidak memihak sampai diperoleh keputusan yanghanya ditentukan
oleh para pihak dan berpartispasi aktif membantu para pihak untuk
menemukan perbedaan persepsi/pandangan.
Peran Mediator dalam Mediasi
Pada dasarnya mediator berperan sebagai penengah/pihak ketiga
yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan. Jadi mediator hanya bertindak sebagai fasilitator
saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian
masalah/sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan
dituangkan dalam kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak
berbeda ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.29
Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam
memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari persoalanpersoalan
yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah
pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan
kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan
dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator
membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan
29 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 82
menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum.
Mediator akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi dan
mereka biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak
bersedia membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak,
mediator akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan
persoalan-persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu
menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu
perjanjian/ kesepakatan.
Dengan demikian seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai
penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan
pemimpin diskusi saja, tetapi juga harus membantu para pihak untuk
mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan
kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator juga harus memiliki
kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya
akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan
pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian
mediator juga akan membantu para pihak dalam menganalisis
sengketa/pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat mengemukakan
rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang
juga akan ditindak lanjuti secara bersama.
Tahap-Tahap Mediasi
Pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh mediator melalui
beberapa tahap. Penahapan proses pelaksanaan mediasi ini dilmaksudkan
untuk memberikan kemudahan kepada para pihak yang bersengketa
dengan bantuan mediator, agar dapat tercapai kesepakatan bersama yang
merupakan hasil akhir dari penyelesaian konflik melalui mediasi.
Gary Goodpaster membagi proses pelaksanaan mediasi itu
berlangsung melalui empat tahap yaitu :30
a.
Tahap Pertama : Menciptakan Forum
Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
mediator adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan pertemuan bersama
2.
Pernyataan pembukaan mediator
3.
Membimbing para pihak
4.
Menetapkan aturan dasar perundingan
5.
Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak
6.
Pernyataan-pernyataan para pihak
7.
Para pihak mengadakan/melakukan hearing dengan mediator
8.
Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi
informasi
9.
Menciptakan interaksi dan disiplin
b.
Tahap Kedua : Pengumpulan dan Pembagian Informasi
30 Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui
Negosiasi, Economic Law and Improved Procurement System (ELIPS) Project, Jakarta, 1993, hal 104
Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuan
pertemuan secara terpisah/dinamakan dengan causus-causus terpisah
guna :
1.
Mengembangkan informasi lanjutan
2.
Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai
keinginan/kepentingan para pihak
3.
Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan
4.
Membimbing para pihak dalam tawar menawar penyelesaian
masalah
c. Tahap Ketiga : Penyelesaian Masalah
Dalam tahap ini mediator dapat mengadakan pertemuan
bersama/causus-causus terpisah sebagai tambahan/kelanjutan dari
pertemuan sebelumnya dengan maksud untuk :
1.
Menyusun dan menetapkan agenda
2.
Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah
3.
Meningkatkan kerjasama
4.
Melakukan identifikasi dan klarifikasi masalah
5.
Mengadakan pilihan penyelesaian masalah
6.
Membantu melakukan pilihan penaksiran
7.
Membantu para pihak dalam menaksir, menilai dan membuat
prioritas kepentingan-kepentingan mereka
d. Tahap Keempat
Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan adalah : 31
1.
Mengadakan causus-causus dan pertemuan-pertemuan bersama
2.
Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para
pihak mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah
3.
Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan
4.
Mengkonfirmasikan dan mengklarifikasikan perjanjian
5.
Membantu para pihak untuk membandingkan proposal
penyelesaian masalah dengan pilihan diluar pengadilan
6.
Mendorong/mendesak para pihak untuk menghasilkan dan
menerima pemecahan masalah
7.
Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win dan
tidak hilang muka
8.
Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa
mereka
9.
Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.
Keunggulan Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa
Mediasi merupakan salah satu pilihan yang baik dalam
penyelesaian sengketa, karena dianggap lebih efektif. Menurut Moore
suatu proses perundingan melalui mediasi dikatakan karena memenuhi tiga
syarat kepuasan yaitu :32
31 Gary Goodpaster, Ibid, hal. 106.
32 Joni Emirzon, Op. Cit, Hal. 91
a.
Kepuasan substantif yaitu kepuasan yang berhubungan dengan
kepuasan khusus dari pihak-pihak yang besengketa.
b.
Kepuasan Prosedural, dimana para pihak mendapatkan kesempatan
yang sama dalam menyampaikan gagasan-gagasan selama proses
perundingan dan diwujudkan dalam sebuah perjanjian tertulis untuk
disepakati pelaksanaannya.
c.
Kepuasan Psikologis terjadi jika masing-masing pihak memiliki emosi
yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan dalam setiap
permasalahan.
Kedudukan mediasi sebagai langkah awal artinya mediasi tidak
menutup kemungkinan untuk mengajukan sengketa ke Pengadilan.
Sekiranya tidak tercapai kompromi, baru ditingkatkan penyelesaiannya
melalui mediasi, salah satu tidak mentaati pemenuhan secara sukarela,
berarti dia telah melakukan pengingkaran terhadap penyelesaian. Dalam
hal ini terbuka jalan untuk meminta penyelesaian kepada Pengadilan.
Mediasi tidak selalu sesuai bagi semua sengketa/konflik. Dalam
mediasi para pihak pada umumnya mewakili dirinya daripada
menggunakan pengacara. Mediator berusaha keras membantu para pihak
untuk memusyawarahkan tawar-menawar yang sama-sama
menguntungkan keduanya. Oleh karena itu para pihak harus dapat
memusyawarahkan apa yang mereka inginkan dengan tujuan untuk
memperoleh kesepakatan. Dengan demikian kompromi merupakan suatu
pemecahan dalam sengketa dan mediator dapat membantu para pihak
menyadari bahwa satu-satunya pemecahan yang ada adalah kompromi.
Para pihak akan lebih memungkinkan mengambil kesimpulan sendiri
apabila mereka telah benar-benar dan dengan sewajarnya mempelajari
setiap pilihan yang ada, termasuk alternatif diluar kesepakatan.33
Dengan adanya proses mediasi, maka keuntungan yang didapat
menurut Moore dalam bukunya Joni Emirzon yaitu :34
1. Keputusan yang hemat
Jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui litigasi
yang berlarut-larut, mediasi hanya membutuhkan biaya yang lebih
murah.
2. Penyelesaian secara tepat
Penyelesaian sengketa melalui litigasi membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk selesai, misalnya jika kasus diteruskan menjadi
naik banding/kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding/bentuk lainnya.
3. Hasil-hasil yang memuaskan bagi para pihak
Para pihak yang bersengketa umumnya merasa puas dengan jalan
keluar yang telah disetujui bersama daripada harus menyetujui jalan
keluar yang sudah diputuskan dengan pengambilan keputusan oleh
pihak ketiga, seperti hakim wasit, kecuali dalam kasus criminal/tindak
pidana.
4. Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan customized
33 Gary Goodpaster, Op. Cit, hal. 211
34 Joni Emirzon, Op. Cit, hal. 91-94
Penyelesaian sengketa melalui mediasi bisa menyelesaikan
masalah hukum/yang diluar jangkauan hukum. Kesepakatan melalui
jalur mediasi seringkali mampu mencakup masalah prosedural dan
psikologis yang tidak mungkin diselesaikan melalui jalur hukum.
Pihak-pihak yang terlibat bisa menambal sulam cara-cara pemecahan
masalah sesuai dengan situasi mereka.
5. Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah
secara kreatif
Mediasi mengajarkan orang mengenai teknik-teknik penyelesaian
masalah secara praktis yang dapat digunakan untuk melestarikan
sengketa dimasa mendatang. Komponen pendidikan mediasi sangat
berbeda dengan prosedur-prosedur penyelesaian sengketa yang sangat
eksklusif berorientasi pada hasil keputusan, seperti misalnya keputusan
arbitrase/keputusan hukum.
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga
Para pihak yang menegosiasikan sendiri pilihan penyelesaia
sengketa mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap hasil-hasil
sengketa. Keuntungan dan kerugian menjadi lebih mudah diperkirakan
dalam suatu penyelesaian masalah negosiasi/mediasi daripada melalui
proses arbitrase dan pengadilan.
7.
Kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil
kompromi/prosedur menang kalah
Negosiasi yang dilakukan melalui mediasi berwawasan
kepentingan bisa menghasilkan pernyataan yang lebih memuaskan
bagi kedua belah pihak jika dibandingkan dengan keputusan
kompromi, dimana sebagian pihak menanggung kerugian dan sebagian
lagi menikmati keuntungan.
8.
Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu
Penyelesaian sengketa melalui mediasi cenderung bertahan
sepanjang masa dan jika akibat-akibat sengketa muncul kemudian,
pihak-pihak yang bersengketa cenderung untuk memanfaatkan sebuah
forum kerjasama untuk menyelesaikan masalah untuk mencari jalan
tengah perbedaan kepentingan mereka daripada mencoba
menyelesaikan masalah dengan pendekatan adversarial.35
Kelemahan-Kelemahan Mediasi
Disamping kelebihan-kelebihan dari pemilihan sengketa pilihan
berupa mediasi, maka dalam proses mediasi juga terdapat kelemahankelemahannya
yaitu: 36
1.
Bisa memakan waktu yang lama
2.
Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan hanya
seperti kekuatan suatu kontrak
3.
Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya sampai selesai
35 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 83-85
36 Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, hal.50-51
4.
Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi
dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya
5.
Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan
adanya fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada
mediator, sehingga keputusanya menjadi bias.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi Penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang
tepat melakukan sesuatu dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan, jadi
metodologi artinya cara untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan secara seksama untuk mencapai suatu
tujuan.
Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sesuatu hal sampai menyusun laporannya.37 Oleh
karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai nilai validitas yang tinggi
serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat juga diperlukan untuk
memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari dan memahami objek yang
diteliti. Sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan
yang telah direncanakan.
Di dalam penelitian termasuk penelitian hukum, dikenal berbagai macam
atau jenis dan tipe penelitian. Terjadinya perbedaan jenis penelitian itu
berdasarkan sudut pandang dan cara meninjaunya, dan pada umumnya suatu
penelitian sosial termasuk penelitian hukum dapat ditinjau dari segi sifat, bentuk,
tujuan dan penerapan dari sudut disiplin ilmu. Penentuan jenis atau macam
penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu
dengan sistematika dan metode serta analisa data yang harus dilakukan untuk
setiap penelitian. Hal demikian perlu dilakukan guna mencapai nilai validitas data
37 Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002), Hal. 1
yang tinggi, baik data yang dikumpulkan maupun hasil akhir penelitian yang
dilakukan.38
Menurut Maria S.W. Sumardjono penelitian merupakan suatu proses
penentuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang sistematis yang
berencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah. Seluruh proses penelitian
merupakan kegiatan terkait dan berkesinambungan. Ada suatu benang merah yang
dapat ditarik berawal dari pemilihan judul serta perumusan masalah yang harus
sinkron dengan tujuan penelitian. Dengan tinjauan pustaka yang dikemukakan
dapat dilihat kerangka berfikir yang berhubungan dan menunjang penelitian.
Kerangka berfikir ini tidak dapat diwujudkan tanpa merinci cara-cara melakukan
penelitian yang menerangkan tentang darimana serta bagaimana cara data
diperoleh, variable apa saja yang menjadi fokus penelitian, serta bagaimana data
yang trekumpul akan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian.39
Dengan demikian inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum
adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum harus
dilakukan. Disini penulis menentukan metode pendekatan apa yang akan
digunakan, spesifikasi/tipe penelitian yang dilakukan, metode populasi dan
sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan dan analisa data yang
dipergunakan.
1. Metode Pendekatan
38 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : SInar Grafika, 1991), hal. 7
39 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Umum, 1997) hal 27
Dalam penelitian untuk tesis ini digunakan metode pendekatan
yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang mengacu pada peraturanperaturan
tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat
sekunder, untuk melihat bagaimana penerapan/pelaksanaannya melalui
suatu penelitian lapangan yang dilakukan dengan sosiologis dan
wawancara, sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti.
Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya
adalah data sekunder, sebagaimana di atas untuk kemudian dilanjutkan
dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap
masyarakat atau para pihak yang terlibat dalam konflik. Dikatakan
sebagai data primer karena yang hendak diteliti adalah sebuah perilaku
hukum dari praktek penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi.
Metode pendekatan di atas digunakan karena mengingat bahwa
permasalahan yang diteliti berhubungan dengan cara penyelesaian
sengketa pertanahan yang terjadi, yang juga mencakup bidang yuridis
yaitu peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tata cara
pelaksanaannya dan penyelesaian sengketa yang timbul.
2.
Spesifikasi Penelitian
Pada umumnya suatu penelitian sosial termasuk penelitian hukum
ditinjau dari sifat penelitian dapat dibagi menjadi tiga yaitu :40
a.
Penelitian Eksploratoris yaitu penelitian penjelajahan, mencari
keterangan, penjelasan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.
40 Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986) hal 7-9
Penelitian ini dilakukan apabila pengetahuan tentang segala sesuatu
gejala yang akan diselidiki masih kurang sama sekali atau bahkan
tidak ada. Kadang-kadang penelitian semacam ini disebut feasibility
study yang bermaksud untuk memperoleh data awal.
b.
Penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menuliskan
tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.
Dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya, maksudnya agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama. Biasanya dalam
penelitian ini, peneliti sudah mempunyai atau mendapatkan gambaran
yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti.
c.
Penelitian Eksplanatoris yaitu suatu penelitian yang menerangkan,
memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau
hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil penelitian yang ada.
Istilah analitis yaitu mengelompokkan, menggabungkan secara
sistematis untuk mendapatkan data atau informasi mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhinya, pelaksanaan berbagai aturan dengan penanganan
kasus serta bagaimana cara penyelesaiannya.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis
yaitu memberikan deskripsi tentang konflik yang timbul, menganalisa
secara sistematis untuk mendapatkan data/informasi mengenai faktorfaktor
penyebab konflik, pelaksanaan berbagai aturan yang berkaitan
dengan konflik serta bagaimana cara penyelesaian konflik tersebut.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Sorong, lokasi yang
ditunjuk secara porpusive sampling yaitu penentuan sample yang
didasarkan pada ciri-ciri tertentu dari wilayah yang bersangkutan.
Lokasi yang ditunjuk secara purposive tersebut merupakan tempat
yang sering terjadi sengketa pertanahan yaitu sengketa tanah ulayat,
dengan demikian diharapkan akan mudah untuk mengetahui dan mudah
memahami berbagai klasifikasi maupun kearifan masyarakat setempat
sebagai pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi.
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi atau universe adalah seluruh objek atau seluruh
individu atau gejala atau keseluruhan kejadian atau seluruh yang akan
diteliti. Populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka
kerapkali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu.41
Populasi dalam penelitian ini adalah para pihak anggota
masyarakat di Kabupaten Sorong yang pernah mengalami sengketa
dibidang pertanahan dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
penyelesaiannya sengketa pertanahan.
b. Sampel
41 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) hal.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Berikut macam-macam teknik
pemilihan sampel yaitu :
a.
Teknik random sampling, yaitu cara pengambilan sampel secara
random tanpa pilih bulu, sehingga setiap anggota dari seluruh
populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama
untuk dipilih menjadi anggota.
b.
Teknik non random sampling, yaitu cara pengambilan sampel di
mana semua populasinya tidak mempunyai kesempatan yang sama
untuk menjadi anggota sampel, jika hanya populasi tertentu yang
dijadikan sampel.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik non random sampling, dengan cara purposive
sampling karena sampel dalam penelitian ini mempunyai karakteristik
yang sama yaitu anggota masyarakat yang pernah mengalami
sengketa tanah ulayat. Cara non random sampling ini dilakukan
dengan cara semua populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama
untuk pengambilan sampel dengan teknik pengambilan subyek pada
tujuan tertentu.42 Hal ini dilakukan karena alasan-alasan tertentu yaitu
disebabkan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya sehingga
tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dan letaknya
42 Ronny H. Soemitro, Ibid, hal 47
yang jauh. Sampel dalam penelitian ini adalah warga masyarakat
Malamoi yang ada di Kabupaten Sorong.
Untuk melengkapi data, Peneliti akan melakukan wawancara
dengan nara sumber yang terkait yaitu :
1.
Ketua lembaga masyarakat adat
2.
Pejabat Camat Kabupaten Sorong
3.
Kepala Bagian Kasus dan Penyelesaian Sengketa Peratanahan di
Kantor BPN Kabupaten Sorong
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, termasuk penelitian hukum pengumpulan
data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian dan sifatnya
mutlak untuk dilakukan karena dari data yang diperoleh kita mendapatkan
gambaran yang jelas tentang obyek yang diteliti, sehingga akan
membantu kita untuk menarik suatu kesimpulan dari obyek atau
fenomena yang akan diteliti.
Untuk membantu penulis mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai fenomena yang diteliti, maka dibutuhkan data yang valid.
Sumber data dalam penelitian hukum empiris ini adalah data primer
sebagai data utama dan data sekunder yang berupa bahan hukum yang
dipakai sebagai pendukung.
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian
adalah :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden dan nara sumber tentang obyek yang diteliti. Data primer
dalam penelitian dapat dilakukan dengan metode wawancara, metode
kuesioner, dan observasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan dengan terhun langsung ke daerah penelitian
yaitu Kebupaten Sorong. Wawancara dilakukan dengan responden
dan narasumber yang telah diutaikan di atas, secara bebas terpimpin
dengan melakukan Tanya jawab dengan responden dan narasumber
yang telah ditentukan.
Penulis memilih teknik wawancara ini dengan beberapa
pertimbangan, bahwa teknik ini ternyata memberikan beberapa
keuntungan, antara lain :
a.
Dengan memperoleh informasi langsung dari obyeknya
diharapkan akan memperoleh suatu tingkat ketelitian yang relatif
tinggi
b.
Keterangan yang didapatkan tidak semata-mata dari hal-hal yang
bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan akan
tetapi dari perkembangan tanya jawab
c.
Ada kesempatan untuk mengecek jawaban secara langsung dan
bersifat pribadi
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data berupa bahan hukum primer yang
meliputi peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder
yang meliputi buku-buku, hasil penelitian dan karya ilmiah serta
bahan hukum lainnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakn adalah studi pustaka
dan studi dokumen. Studi pustaka merupakan suatu teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca, mempelajari dan
memahami buku-buku serta mendeskripsikan, mensistematisasikan,
menganalisis, menginterpretasikan dan menilai peraturan perundangundangan
dengan menggunakan penalaran hukum yang berhubungan
dengan penyelesaian sengketa tanah hak ulayat.
Data sekunder dalam tesis ini diperoleh dari :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan
hukum utama berupa peraturan perundang - undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan
dasar hukum yang terdiri dari :
a.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
c.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
d. Peraturan
Menteri Dalam Negara Agraria /Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
e.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan
f.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 72 tahun 1981
tentang Susunan Organisasi dan Tata Cara Kerja Direktorat
Agraria Propinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya
g. Surat Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 26
Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Ad Hoc Penanganan
Masalah Pertanahan Kepala Bandan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia
2.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
kejelasan bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku yang
membahas tentang penyelesaian sengketa, berbagai hasil seminar,
makalah, karya ilmiah, artikel yang berkaitan dengan materi tesis.
3.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder yang
terdiri dari kamus hukum dan kamus lainnya yang menyangkut
penelitian.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara
deskriptif, dengan pengertian bahwa data-data yang dihasilkan akan
memberikan gambaran yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Untuk
memperoleh gambaran yang dimaksud maka peneliti mengumpulkan data
yang bersifat kualitatif, karena data yang dikumpulkan hanya sedikit dan
data tersebut tidak dapat diklasifikasikan.
Dalam suatu penelitian untuk menarik kesimpulan dapat
menggunakan metode deduktif dan induktif, penarikan kesimpulan secara
deduktif yakni penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menuju
hal yang bersifat khusus. Secara induktif adalah menarik kesimpulan
dengan cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang khusus
kemudian menilai suatu kejadian yang umum.
Penelitian ini menggunakan metode penarikan kesimpulan yang
deduktif yaitu menilai suatu kejadian yang bersifat umum menuju kesifat
khusus, yaitu permasalahan yang terjadi mengenai sengketa tanah ulayat
masyarakat Malamoi di Kabupaten Sorong.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.1 Keadaan Geografi
Secara geografis letak Kabupaten Sorong sangat strategis karena
berada di bagian barat propinsi Papua dan merupakan pintu gerbang
masuk ke Papua, baik melalui transportasi laut maupun udara. Kabupaten
Sorong terletak 130° BB-155° BT, 02° LU-01° LS dengan luas 17.970
Km². Kabupaten Sorong memiliki batas-batas wilayahnya sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Laut Pasifik
b. Sebelah Timur : Kabupaten Manokwari
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Fak-fak
d. Sebelah Barat : Propinsi Maluku
Iklim di wilayah kabupaten Sorong adalah tropis, dengan curah
hujan rata-rata 3.660 mm/th, dengan hari hujan 107-195 m/hari, curah
hujan 2500-3000 mm/th di bagian tengah distrik/kecamatan Sausapor,
sebagian Moraid, sebagian kecil Makbon, Sorong, dan sebagian Salawati.
Perbedaan musim hujan dan musim kering hampir tidak ada, karena
pengaruh angin.
Keadaan Demografi.
Selama periode 1998-1999, penduduk Kabupaten Sorong
menunjukkan laju pertumbuhan yang positif, dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 2,33 % per tahun. Banyaknya penduduk dalam dua
tahun tersebut adalah masing-masing sebanyak 141.535 jiwa dan 145.813
jiwa pada tahun 2004.
Dengan perkembangan selanjutnya tepatnya tahun 2003 dan tahun
2004, penduduk Kabupaten Sorong kembali menunjukkan pertambahan
yang positif, yaitu masing-masing tumbuh besar 2,92 % per tahun. Akan
tetapi, dengan adanya lagi pemekaran wilayah Kabupaten Sorong menjadi
Kabupaten Sorong sebagai induk dan Kabupaten Sorong Selatan dan
Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten pemekaran, penduduk
Kabupaten Sorong kembali mengalami penurunan sebesar 18,51 % atau
hanya sebanyak 120.052 jiwa.
Penduduk Kabupaten Sorong setelah diamati dari sisi
penyebarannya, ternyata pola penyebaran penduduk di 12 (dua belas)
Distrik/Kecamatan yang ada di Kabupaten Sorong tidak merata, di mana
lebih dari 40 % penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2003, tersebar di
dua Distrik/Kecamatan yaitu Distrik/Kecamatan Aimas (26,88 %) dan
Distrik/Kecamatan Salawati (16,44 %).
Keadaan Topografi
Topografi Kabupaten Sorong sangat bervariasi, mulai dari dataran
rendah dan berawa sampai dengan pegunungan seperti pegunungan
Tamrauw. Hampir 60% wilayah Kabupaten Sorong berupa pegunungan
dengan topografi yang agak bergelombang terdapat di bagian tengah
mengarah ke utara, sedangkan 25% merupakan dataran rendah yang
menyebar di bagian selatan.
Wilayah bagian selatan sampai ke barat Kabupaten Sorong
menunjukkan dataran rendah dan sebagian adalah daerah rawa-rawa,
sedangkan wilayah bagian tengah ke arah timur dan utara merupakan
daerah pegunungan dengan lereng-lereng yang curam dengan ketinggian
antara 100-3.000m/dpl, seperti pegunungan yang ada di Distrik/Kecamatan
Makbon, Distrik/Kecamatan Moraid, Distrik/Kecamatan Sausapor.
Wilayah dengan ketinggian di bawah 100 m/dpl umumnya terdapat pada
wilayah Kota Sorong, Distrik Seget dan Distrik Beraur. Wilayah dengan
ketinggian antara 100 m/dpl hingga 500 m/dpl terdapat di Ditrik Aimas.
Wilayah dengan ketinggian 500 m/dpl sampai dengan 2.000-2.500 m/dpl
terdapat di Distrik Sausapor.
Dari sekitar 3.193.007,18 Ha luas wilayah daratan Kabupaten
Sorong pada tahun 2002 sekitar 72,40 % (2.311.634,54 Ha) diperuntukkan
untuk lahan hutan. Luas lahan hutan Kabupaten Sorong tersebut,
berdasarkan peta padu serasi sekitar 60% adalah hutan produksi tetap dan
hutan produksi yang dapat dikonversikan. Peruntukkan lainnya yang
relative besar hanya untuk perkampungan/perumahan (7,87%) dan
tegalan/perkebunan (7,64%).
Wilayah Administratif
Secara administratif pada tahun 2005, Kabupaten Sorong terdiri
atas 16 Kecamatan/Distrik, 100 desa atau kampung dan kelurahan. Dari 16
Distrik yang ada, distrik yang paling luas di Kabupaten Sorong pada tahun
2003 adalah Distrik Klamono yaitu 3.600 Km² atau 20,30% dari luas
keseluruhan Kabupaten Sorong. Sementara distrik yang paling kecil
wilayahnya adalah Distrik Aimas, yaitu hanya 610 Km² atau 3,39% (Tabel
2.2). Di sisi lain, distrik yang memiliki kampung atau kelurahan yang
paling banyak adalah distrik aimas, yaitu sebanyak 15 kampung/kelurahan
disusul distrik salawati dan distrik beraur masing-masing sebanyak 10
kampung/kelurahan.
Tabel 1
Jumlah Distrik, Kampung/Kelurahan dan Luas Wilayah
Menurut Disrik di KabupatenSorong
No
.
Kecamatan Banyak Kampung/Kelurahan Wilayah
Kampung Kelurahan Jumlah Luas (Km²) %
1. Aimas 11 5 11 610 35,73,
2. Salawati 10 -10 330 3,69
3. Moraid 5 -5 1.582 9,92
4. Sausapor 7 -7 1.940 11,91
5. Beraur 11 -11 1.505 8,38
6. Makbon 6 -6 1.670 9,29
7. Seget 6 -6 520 5,73
8. Fef 5 -5 1.190 9,40
9. Klamono 7 -7 3.600 20,03
10. Segun 7 -7 640 3,56
11. Sayosa 6 -6 1.149 6,39
12. Abun 4 -4 1.191 8,30
13. Mayamuk 7 -7 342 -
14. Salawati Selatan 5 -5 510 -
15. Yembun 5 -5 750 -
16. Meyah 6 -6 600 -
Kabupaten Sorong 107 5 112 17.970 100,00 -
Sumber : Data Primer 2008
2. Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Persekutuan Hukum Adat Malamoi
Masyarakat hukum adat Malamoi termasuk dalam wilayah persekutuan
adat yang terletak di Kabupaten Sorong. Dalam wawancara dengan Lurah
Kelurahan Makbusun Kokmala Mayalibit, menjelaskan bahwa masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dilihat dari struktur masyarakatnya, pada
awalnya Suku Malamoi merupakan masyarakat hukum adat yang berstruktur
ganda43 . Sebutan Malamoi (Moi) diambil dari raja atau pemimpin mereka
yang bernama ”Fun Mo”. Fun atau Raja Mo merupakan pemimpin kerajaan
Sailolof yaitu suatu organisasi kekuasaan yang didirikan berdasarkan
”kesamaam teritorial” dari kelompok-kelompok yang ada di dalamnya. Dalam
lingkungan Suku Malamoi terdapat sejumlah sub-suku yang disebut ”Gelet
atau Keret” yaitu satu kesatuan masyarakat yang lebih kecil yang berada
dalam naungan suku malamoi. 44
Dalam pemahaman masyarakat terhadap tanah hak ulayat khususnya di
Kabupaten Sorong, tanah hak ulayat adalah tanah adat terdiri atas tanah yang
masih bersifat komunal (dikuasai secara bersama) dan tanah adat yang sudah
bersifat perorangan yang cenderung penguasaannya dikuasai oleh Kepala
Geret.
Masih berlaku dan tidaknya hak ulayat pada suatu wilayah persekutuan
masyarakat hukum adat antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Ada
wilayah persekutuan hukum adat yang hak ulayatnya masih dijalankan dan
berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya. Tetapi ada juga wilayah atau
daerah yang karena menguatnya sifat individualistis masyarakat dan
melemahnya sifat komunalistik menjadikan hak ulayat itu tidak berlaku
sepenuhnya atau memudar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini terbukti
43 Kokmala Mayalibit, Lurah Kelurahan Makbusun, Wawancara, 16 April 2008
44 Mansoben, Johszua Robert, Sistem Politik Tradisional Irian Jaya, (Jakarta: Lipi, 1995), hal 245
dalam wilayah persekutuan hukum adat di Kabupaten Sorong selain masih
terdapat tanah yang berstatus tanah hak ulayat tetapi ada juga tanah yang
sudah berstatus tanah hak milik dari masyarakat setempat secara individu
ataupun perorangan.
Dalam wawancara dengan pihak dari Kantor Pertanahan Kabupaten
Sorong yang diwakili oleh R. Ipik Perkesit sebagai Kasi Penyelesaian
Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan, mengatakan bahwa di Kabupaten
Sorong pada awalnya sebagian besar merupakan kawasan hutan yang telah
ditebangi oleh para para pengusaha yang mempunyai Hak Pengelolaan hutan,
yang kemudian dibiarkan begitu saja dan pada akhirnya menjadi semak
belukar karena sudah tidak dikerjakan lagi.45
Tolak ukur yang digunakan untuk mengukur masih ada tidaknya
eksistensi masyarakat persekutuan hukum adat di Kabupaten Sorong dapat
diketahui dari wawancara dengan Lurah Kelurahan Makbusun Kokmala
Mayalibit46 , berdasarkan kenyataan seperti diatur dalam Pasal
PMNA/Ka.BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, bahwa :
a.
Masih Ada-tidaknya Warga Masyarakat dan Wilayah Ulayat
Persekutuan Hukum Adat Malamoi
Suku Malamoi mempunyai wilayah adat atau dapat disebut hak
ulayat yang batas-batasnya dapat ditelusuri dari wilayah kerajaan
Sailolof sebagai organisasi kekuasaan suku malamoi. Disamping hak
ulayat di tingkat suku malamoi, dalam sejarah suku ini dijumpai juga
adanya hak ulayat pada tingkat Gelet/Keret. Hak ulayat Gelet merupakan
wilayah adat yang nyata karena di dalamnya terdapat sumber daya alam
45 R. Ipik Perkesit, Kasi Penyelesaian Sengketa Konflik dan Perkara Pertanahan Kabupaten Sorong,
Wawancara, 15 April 2008
46 Kokmala Mayalibit, Lurah Kelurahan Makbusun, Wawancara, 16 April 2008
termasuk tanah yang menjadi sumber hidup dan tempat yang
menyediakan kebutuhan hidup bagi warga Gelet/Keret pengaturan
kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam itu dilaksanakan oleh
Ketua Gelet/Keret yang disebut ”Usilio”. Seorang usilio bertanggung
jawab baik ke luar maupun ke dalam, tanggung jawab keluar yaitu
berkaitan dengan kedudukannya sebagai pembantu Raja Sailolof.
Dengan mendasarkan pada tanggung jawab kedalam dari Ketua
Gelet (Ulisio) yaitu mengatur kepemilikan dan pemanfaatan sumber
daya alam di wilayah ulayatnya bagi kepentingan masing-masing
keluarga yang menjadi anggota geletnya menunjukkan bahwa pada
awalnya hak ulayat Gelet besifat publik. Hutan mana yang boleh dibuka
dan diusahakan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya dikoordinir
dan diatur oleh Ketua Gelet. Namun tampaknya dalam
perkembangannya karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal
terdapat kecenderungan semua tanah dan hutan bahkan termasuk
wilayah perairan tertentu dalam wilayah ulayat Gelet terbagi secara
habis kepada semua keluarga yang menjadi warga Gelet. Jika jumlah
keluarga bertambah, maka dilakukan pengaturan kembali kepemilikan
tanah di bawah koordinasi anak tertua dalam Gelet yang menjalankan
fungsi Ketua Gelet sehingga memungkinkan keluarga yang baru
mempunyai tanah. Sebaliknya jika jumlah keluarga semakin berkurang,
maka keluarga yang ada akan menata kembali pemilikan tanah kepada
keluarga yang ada.
Namun dengan seiringnya perkembangan waktu dan
berkembangnya pola peradaban manusia warga masyarakat yang tinggal
di Kabupaten Sorong pada saat ini tidak hanya penduduk asli yang
merupakan anggota masyarakat persekutuan hukum adat Malamoi, tetapi
juga terdiri dari para pendatang. Para pendatang ini kemudian saling
berinteraksi dengan melakukan perkawinan dengan para warga
masyarakat persekutuan adat Malamoi.
Perkawinan yang terjadi tidak hanya menyatukan individu yang
berbeda, tetapi antara satu dengan yang lainnya membawa dan menyerap
kebudayaan yang berbeda-beda. Dari perkawinan ini lahir generasi yang
merupakan percampuran dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang
berbeda ini berpengaruh pada keaslian pola kehidupan warga masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi. Dengan berjalannya waktu perbedaan
antara keaslian pola kehidupan warga masyarakat persekutuan hukum
adatnya dengan warga pendatang kian hari semakin tidak terlihat, karena
dipengaruhi pola kehidupan yang semakin modern yang menyebabkan
melemahnya ikatan ulayat antara warga masyarakat persekutuannya.
Keadaan inilah yang kemudian menyebabkan warga masyarakat hukum
adat Malamoi menjadi semakin pudar keberadaannya. Sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa warga masyarakat persekutuan hukum adat
Malamoi secara utuh masih ada.
Seiring dengan meningkatnya peradaban manusia dari waktu ke
waktu yang berdampak pada kehidupan masyarakat persekutuan hukum
adat Malamoi yang semula adalah wilayah persekutuan adat berubah
menjadi desa dan sampai sekarang menjadi satu kelurahan yang berada
di bawah naungan Distrik/Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong.
Perkembangan dalam bidang pembangunan ini juga membawa dampak
bagi perkembangan di bidang hukum, salah satunya bidang hukum
pertanahan. Sebagai satu kelurahan maka hampir sebagian besar
penduduknya sudah memiliki surat tanda bukti kepemilikan tanah ”alas
hak” yang di atasnya telah didirikan rumah tinggal mereka. Surat tanda
bukti kepemilikan tanah (alas hak) ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa tanah-tanah yang ada dalam wilayah Kabupaten
Sorong yang merupakan wilayah persekutuan hukum adatnya tidak
semua merupakan hak milik ulayat lagi.
Dari hasil penelitian, tanah yang masih berstatus tanah hak ulayat
adalah tanah-tanah yang dijadikan lahan untuk berkebun yang dahulu
oleh penguasa adat diberikan hak pengelolaan kepada penggarapnya.
Namun oleh penggarapnya tanah-tanah yang telah digarap secara terusmenerus
dalam kurun waktu lebih lama dari sepuluh tahun, belum
diterbitkan surat tanda bukti kepemilikan tanahnya. Indikasi yang seperti
ini kemudian menjadikan wilayah ulayat persekutuan hukum adat
Malamoi menjadi kabur dan tidak pasti.
b. Masih Ada-tidaknya Penguasa Adat serta Aktivitas dalam
Masyarakat Hukum Adat Malamoi
Penguasa adat suku Malamoi (Gelet) mempunyai tugas serta
kewenangan untuk mengatur, menyelenggarakan dan menjalankan
kehidupan ulayat masyarakat persekutuan hukum adatnya secara penuh.
Tetapi seiring dengan perubahan dari wilayah persekutuan hukum adat
menjadi satu kelurahan maka peran dari para penguasa adatnya menjadi
berkurang karena berbenturan dengan peran pemerintah setempat. Tugas
dan kewenangan mereka hanya terbatas pada pengaturan upacara adat
dan masalah yang menyangkut tanah yang berstatus tanah hak ulayat.
Sejalan dengan perkembangan waktu keberadaan Gelet terjadi juga
perubahan status hak penguasaan atas tanah dari sifat penguasaan yang
bersifat publik (hak ulayat) menjadi hak yang bersifat keperdataan
karena adanya kecenderungan untuk membagi secara habis dalam
wilayah ulayat Gelet kepada semua keluarga yang ada. Pembagian yang
demikian itu menyebabkan melemahnya keberadaan hak ulayat Gelet.
Perubahan menjadi hak yang bersifat keperdataan itu masih ada
seperti perubahan menjadi Hak Milik Kolektif, artinya tanah yang
semula berstatus sebagai hak ulayat Gelet telah berubah menjadi hak
milik bersama dari seluruh warga Gelet. Perubahan menjadi Hak Milik
Kolektif dapat dicermati dari kenyataan yaitu : 1.) tanah-tanah
kepunyaan Gelet dapat diwariskan kepada masing-masing anggota
keluarga dalam Gelet yang bersangkutan dengan bagian-bagian yang
pasti; 2.) bagian-bagian dari tanah Gelet yang sudah dikuasai oleh
masing-masing keluarga dapat dijual kepada orang lain baik warga dari
Gelet itu sendri maupun orang luar .
Yang perlu dipahami bahwa Hak Milik Kolektif tetap menjadi bagian
dari tanah adat karena adanya koordinasi, pengaturan penguasaan dan
pemanfaatan serta peralihan oleh anak laki-laki yang menjalankan fungsi
Gelet.
Batas wilayah tanah ulayat masing-masing Gelet dapat dipahami
oleh masing-masing anggotanya, meskipun tandanya berupa batas alam
seperti batu, sungai, gunung, dan pohon-pohon. Hal-hal itulah yang
menjadi pemicu/potensi konflik terutama jika melihat pada
perkembangan yang mendorong warga masyarakat adat semakin
memandang tanah dari nilai ekonomisnya. Di antara tanah hak ulayat
dalam pengertian hak milik kolektif itu seperti di atas ada yang berubah
menjadi hak milik perorangan terutama dalam Gelet yang sudah tidak
terdapat lagi orang yang menjalankan fungsi ketua Gelet. Sebagai hak
milik perorangan, penggunaan dan peralihan tanah sepenuhnya berada
dalam kewenangan keluarga yang memiliki.
Keadaan ini kemudian menimbulkan keraguan masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dan masyarakat lainnya tentang
kedaulatan dari para suku penguasa adat ini masih berlaku atau tidak.
Ketiga unsur di atas harus terpenuhi secara kumulatif agar suatu
masyarakat persekutuan hukum adat Malamoi diakui eksistensinya. Jika
salah satu dari unsur tersebut tidak terpenuhi maka eksistensi masyarakat
persekutuan hukum adat Malamoi dapat dinyatakan tidak berlaku lagi.47
Dari uraian di atas dicermati bahwa eksistensi hak ulayat masyarakat
hukum adat Malamoi tidak dapat dikatakan berlaku sepenuhnya bahkan
boleh dibilang semakin melemah dan tidak pasti. Hal ini dipengaruhi
berbagai faktor diantaranya ; percampuran kebudayaan, peningkatan
peradaban manusia, dan pembangunan yang sudah ada pada tanah-tanah
masyarakat Malamoi yang telah di terbitkan sertipikat Hak Milik atas
nama perorangan.
3.
Gambaran Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Persekutuan Hukum
Adat Malamoi
3.1
Sengketa Tanah Ulayat antar Masyarakat Malamoi dengan
Pemerintah Kabupaten Sorong
Hak ulayat masyarakat hukum adat diartikan sebagai “kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh kelompok masyarakat tertentu
atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk
tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup warganya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun
dan tidak terputus antara warga dengan warga dan warga dengan
wilayahnya tersebut.”
47 Maria S.W.Sumardjono, Kebjakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, ( Jakarta: Buku Kompas,
2005), Hal.67
Salah satu sengketa antara masyarakat adat Malamoi dengan
Pemerintah dari hasil penelitian yaitu sengketa tanah Kantor Pemda
Kabupaten Sorong, tanah sengketa terletak di Distrik/Kecamatan Aimas
yang melibatkan 3 (tiga) Gelet yaitu Osok Tilipia, Kauso dan Klawen
dengan pihak Pemeritah Kabupaten Sorong. Konflik berawal dari
terjadinya pelepasan tanah untuk permukiman transmigrasi terutama
tanah ulayat yang terletak di sebelah kanan jalan Sorong-Klamono mulai
dari kilometer 18,5 sampai dengan kilometer 22,5. Sebagian tanah yang
disengketakan tersebut pada saat sekarang digunakan sebagai lokasi
Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. Konflik ini berlangsung
setelah era reformasi. Areal tanah yang telah dipergunakan untuk
fasilitas umum, diperjual belikan kepada pihak ketiga, oleh masyarakat
adat (yaitu bekas pemilik tanah tersebut) dengan alasan bahwa tanah
tersebut dibiarkan dalam keadaan kosong dan tidak dimanfaatkan oleh
Pemerintah Kabupaten Sorong. Perbuatan jual beli oleh masyarakat
adatpun terjadi pada areal lahan transmigrasi yang sudah bersertipikat
yang tidak dimanfaatkan oleh warga transmigrasi karena lahan tanahnya
kurang subur.
Menurut Hukum Tanah Nasional, hubungan antar tanah dengan
pemiliknya merupakan hubungan yang bersifat sakral (magis-religius)
dan timbulnya suatu mitos bahwa tanah yang terdapat di dalam
lingkungan wilayah tanah ulayat masyarakat hukum adat merupakan
tanah tumpah darah. Tanah-tanah di Kabupaten Sorong sebagian besar
merupakan milik masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya, atau
dengan kata lain sistem pemilikan tanah masih bersifat
komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat, dan masih sedikit
yang kepemilikannya bersifat perorangan.
Menurut masyarakat adat/pemilik tanah semula, bahwa tanah-tanah
adat yang sudah pernah dilakukan pelepasan hak oleh pemiliknya dahulu
direclaiming atau diminta kembali oleh para ahli warisnya (keturunan
terdahulu) dengan dalih bahwa mereka tidak pernah tahu adanya
pelepasan hak atas tanah tersebut dan dari luas tanah yang dilepaskan
ternyata termasuk bagian dari tanah miliknya.
Dengan dilakukannya aksi ”pemalangan” oleh masyarakat adat
Malamoi atas tanah-tanahnya yang telah dilepaskan oleh Pemda Sorong,
dengan ini Pemda Sorong mengambil suatu cara untuk menyelesaikan
sengketa tersebut agar sengketa tidak berlarut-larut. Maka dilakukannya
proses musyawarah (non litigasi) antar Pemda Sorong dengan
masyarakat adat Malamoi dengan perantara lembaga masyarakat adat
dan Kantor BPN. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu kesepakatan
bersama yaitu diberikannya ganti rugi uang sirih pinang kepada
masyarakat adat Malamoi.
3.2 Sengketa Tanah Ulayat antar Masyarakat Malamoi dengan
Masyarakat Pendatang
Pada mulanya hampir semua tanah di wilayah Kabupaten Sorong
penguasaannya adalah merupakan tanah marga atau tanah milik
masyarakat adat Gelet/Keret, termasuk di daerah Salawati. Kepala Gelet
membagi-bagikan tanahnya kepada anggota masyarakat adat, dapat juga
seorang ayah yang sudah mendapatkan bagian tanah dari Kepala
Gelet/Keret kemudian membagikan kepada putra-putrinya yang sudah
menikah apabila sang ayah meninggal.
Menurut adat Gelet, meskipun tanah atau kebun yang sudah
diberikan kepada warga dan tanah tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya,
tidak diurus dan pergi untuk beberapa lama, ia tetap mempunyai
hubungan hukum keperdataan terhadap tanah tersebut. Pihak luar yang
bukan anggota warga masyarakat hukum adat, dapat menguasai tanah di
wilayah tanah ulayat masyarakat hukum adat setelah mendapat ijin dari
kepala gelet/keret sebatas dengan ”Hak Pakai”. Konsekuensinya, apabila
pihak luar yang bukan anggota warga masyarakat hukum adat
meninggal, pindah atau meninggalkan lokasi tanah yang telah dikuasai
tersebut, maka tanah kembali dalam penguasaan masyarakat hukum adat.
Pada tahun enam puluhan mulai banyak orang yang berasal dari
luar pulau Papua Barat yang berdatangan ke wilayah dan kemudian
mulai membuka serta membersihkan kawasan semak belukar tersebut
untuk dijadikan tempat berkebun/berladang bahkan dijadikan daerah
permukiman. Pada umumnya para perantau tersebut datang ke wilayah
tersebut secara berkelompok yang semuanya berasal dari berbagai
daerah, yang pada akhirnya mereka semua menetap di sana dan menjadi
suatu perkampungan.
Pada mulanya dalam hal penguasaan tanah oleh warganya
didasarkan pada siapa di antara mereka yang pertama kali membuka
kawasan tersebut dan menggarapnya, begitu pula dalam hal menentukan
batas tanah yang dikuasai hanya didasarkan pada patokan pohon yang
sifatnya tahunan atau patokan lainnya berupa petak-petak tanah ataupun
sawah yang dapat dikerjakannya. Batas-batas penguasaan tanah ulayat
dari masyarakat hukum adat sulit dikenal oleh pihak luar, karena mereka
menganut luas tanah yang dipunyai hanya dibatasi oleh alam yang
mereka sendiri kenal/ketahui. Penetapan batas secara ulayat/adat sering
tumpang tindih antara suku, marga, dan geret/keret yang satu dengan
yang lainnya dan mereka mengaku selaku pihak yang lebih berhak
memiliki tanah-tanah tersebut
Demi memberikan kepastian status kepemilikan atas bidang tanah
yang digarapnya maka kepada penggarap tanah diberikan surat tanda
kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang dibuat atau
dikeluarkan oleh Kelurahan yang diketahui kepada Kepala
Distrik/Kecamatan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti
kepemilikan tanah.
Alas hak (bukti kepemlikan tanah) yang dikeluarkan oleh
Kelurahan yang diketahui kepada Kepala Distrik/Kecamatan setempat
sebenarnya hanya memberikan hak untuk menggarap saja kepada
pemiliknya bukan hak milik, sehingga dengan demikian tanah tersebut
tetap merupakan milik adat. Sehingga apabila sewaktu-waktu
masyarakat adat membutuhkan tanah tersebut kembali, maka masyarakat
adat berhak untuk meminta warga sekitarnya untuk meninggalkan tanah
yang telah mereka garap tersebut.
Hal ini menimbulkan permasalahan di lapangan, dan ini dapat
dibuktikan dengan adanya permasalahan baik antar warga dalam satu
gelet/keret maupun terhadap warga diluar gelet/keret atau dengan kata
lain adanya sengketa permasalahan tanah dengan keret berbatasan,
sengketa mengenai tanah juga sering terjadi dengan pihak diluar adat
(pihak ketiga) atau pihak diluar gelet/keret yang membeli tanah adat
tersebut, permasalahan juga timbul disebabkan dari ketidakstabilan
masyarakat menjunjung tinggi dan menghormati keputusan adat yang
dibuat oleh pendahulunya.
Dengan semakin meningkatnya nilai ekonomis tanah sehingga
menimbulkan perubahan pola pikir masyarakat, yang tadinya masyarakat
agraris berubah menjadi masyrakat ekonomis, dan dengan meningkatnya
nilai tanah mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya kepada pihak
lain daripada mengolah tanah tersebut. Faktor ini yang mendorong bagi
masyarakat adat Malamoi untuk merubah bentuk tanah yang semula
dikuasai dengan hak ulayat menjadi tanah hak milik peorangan sehingga
menyebabkan fungsi tanah itu menjadi berubah dari tanah ulayat
menjadi tanah perseorangan/individu dan kedudukan ketua adat yang
selama ini begitu dominan bagi masyarakat adat Malamoi menjadi
semakin memudar pengaruhnya.
Penggunaan tanah dan pengaturannya yang semula dipercayakan
kepada ketua adat, dengan berubahnya status tanah tersebut dari hak
ulayat menjadi hak milik perorangan maka saat ini tidak lagi diatur oleh
ketua adat, namun diatur sesuai Hukum Tanah Nasional untuk itulah
pada perkembangannya banyak terjadi jual beli tanah secara langsung
oleh pemilik tanah kepada pihak lain di luar lingkungan adat atau
masyarakat pendatang tanpa persetujuan dari ketua adat hal inilah yang
menjadi salah satu pemicu yang kedua dengan tidak dilibatkannya ketua
adat dalam proses jual beli tersebut menyebabkan banyak hal yang tidak
diketahui oleh pembeli mengenai status tanah maupun sejarah
kepemilikan tanah tersebut misalnya apakah tanah tersebut diperoleh
dari pewarisan atau sebenarnya dimiliki oleh pembeli saja ataupun ada
orang/pihak lain yang turut memiliki hak atas tanah tersebut juga
menjadi pemicu timbulnya masalah sengketa tanah di Kabupaten
Sorong.
Di samping itu juga orang-orang dari masyarakat adat yang sudah
terlibat dalam suatu transaksi tanah (sudah menjual tanahnya) dapat
dengan mudah membatalkan atau mengingkari perbuatannya dengan
dalih waktu itu hanya menandatangani, tidak mengetahui isinya, dipaksa
dan lain-lain. Kemudian ada anggapan dari masyarakat dengan
dimilikinya “alas hak” atas penguasaan tanah mereka menganggap
bahwa tanah yang selama ini ia garap ada anggapan hubungan antara
tanah dengan masyarakat adat memiliki keterikatan secara emosional,
sehingga berdasarkan kepemilikannya ”alas hak” sebagai dasar
kepemilikan tanah dianggap sebagai pengakuan atas kepamilikan tanah
yang dikuasainya dengan Hak Milik.
Selain itu, masyarakat adat sulit untuk diajak menyelesaikan
permasalahannya melalui lembaga peradilan (litigasi), sehingga mereka
memilih aksi pemalangan/pendudukan dan intimidasi untuk
menyelesaikan masalah tersebut, masyarakat adat memilih dengan
”pengaduan/mengadu” kepada Kepala Lembaga Masyarakat Hukum
Adat mengenai sengketa yang timbul di antara masyarakat tersebut. Dan
lembaga tersebut yang menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
4. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kabupaten Sorong
4.1
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat
Malamoi
Dari selang kurun waktu sampai dengan tahun 2007 di Kabupaten
Sorong ditemukan telah terjadi 38 (tiga puluh delapan) kasus sengketa
tanah baik sengketa tanah antar masyarakat Malamoi dengan pendatang
dan masyarakat adat Malamoi dengan Pemda Sorong. Berikut ini adalah
tabel pemecahan jenis-jenis sengketa tanah yang terjadi di Kabupaten
Sorong adalah sebagai berikut :
Tabel 2.
Jenis sengketa yang pernah terjadi dan penyelesaiannya
No. Jenis Sengketa Jumlah Cara Penyelesaian
1. Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah 15 11 dengan ADR dan
4 melalui pengadilan
2. Masalah Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah 11 Semua dengan ADR
3. Masalah mengenai Batas Bidang Tanah 3 Semua dengan ADR
4. Masalah Tanah Ulayat 5 Semua dengan ADR
5. Masalah Pembebasan/Pengadaan Tanah 4 Semua dengan ADR
JUMLAH 38
Sumber Data : Data Primer 2007
Dari kasus-kasus tersebut ada beberapa kasus yang diselesaikan
melalui jalur litigasi yang sampai dengan sekarang tidak diketahui
bagaimana putusan yang dihasilkan oleh pengadilan yang
menanganinya. Sedangkan kebanyakan kasus lainnya diselesaikan
melalui jalur perdamaian di luar pengadilan (non litigasi/alternatif).
Berdasarkan data yang diketahui bahwa Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Kabupaten Sorong dalam kenyataannya masih eksis dan
menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi setiap warga masyarakat.
Sebagai contoh dalam hal penyelesaian sengketa tanah ulayat antara
Pemerintah Kabupaten Sorong dengan masyarakat adat Malamoi
mengenai pengadaan tanah untuk permukiman transmigrasi, dengan
perantara mediator BPN dan Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat
Malamoi (Lemasa) diadakan musyawarah yang telah dicapai kata
sepakat bahwa Pemerintah Kabupaten Sorong dapat memperoleh ijin
membuka lahan untuk permukiman trasmigrasi di tanah tersebut dengan
memberikan ganti rugi kepada masyarakat adat Malamoi.
Berdasarkan uraian di atas juga menunjukkan bahwa lembaga
pengadilan yang diciptakan oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat khususnya bagi
mereka yang berperkara, sebenarnya oleh warga/masyarakat adat belum
dapat memenuhi kebutuhan warga/masyarakat untuk menciptakan
keadilan.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan cara non litigasi atau
ADR sebenarnya merupakan model penyelesaian sengketa yang sangat
cocok dengan karakter dan cara hidup masyarakat yang bersifat
kekeluargaan, dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui
lembaga pengadilan yang cenderung bersifat konfrontatif, lebih
memperhitungkan menang dan kalah, lebih memperhitungkan aspek
yang bersifat materalistik dan mengabaikan unsur sosial dalam
masyarakat yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan para tokoh
masyarakat setempat, diperoleh informasi yang sama mengenai alasan
mengapa penyelesaian dengan cara alternatif dipilih masyarakat adat
Malamoi. Mereka juga menyampaikan bahwa penyelesaian secara
alternatif yaitu musyawarah akan lebih mereka tawarkan lebih dahulu
kepada mereka yang bersengketa sebelum menempuh jalur hukum.48
48 Abdoel Morek Warwei, Tokoh Masyarakat, Wawancara, tanggal 17 April 2008
Penyelesaian sengketa secara alternative/non litigasi di daerah
Salawati di Kabupaten Sorong relatif lebih mengutamakan harmonisasi
dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu penyelesaian dengan cara
ini juga lebih mengedepankan aspek kekeluargaan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan yang ada dalam
masyarakat yang heterogen, yang mana hal ini identik dengan sifat
masyarakat adat yang digambarkan sebagai masyarakat yang
mengedepankan sisi rasa tanpa mengesampingkan sisi rasional, sifat
komunalistik, hubungan satu terhadap lainnya yang cenderung tanpa
pamrih karena mereka merupakan kelompok masyarakat adat yang
dalam interaksi sosialnya didasarkan pada kesukarelaan yang tinggi
dalam berkorban terhadap anggota masyarakat lainnya. Berbeda dengan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dimana penyelesaian dengan
cara ini memerlukan biaya yang relatif besar dan memerlukan waktu
yang relarif lama karena prosesnya yang cukup panjang dalam beracara.
Karena alasan tersebutlah sehingga masyarakat menghindari
penyelesaian melalui pengadilan. Selain alasan tersebut masyarakat juga
telah tertanam pikiran bahwa penyelesaian melalui pengadilan hanya
akan mewujudkan keadilan bagi mereka yang mempunyai kekuasaan
dan memiliki materi yang relatif tinggi/mapan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini
penulis tidak memilah-milah penyelesaian sengketa dengan mendasarkan
pada jenis-jenis sengketa lainnya, akan tetapi didasarkan pada
keterangan yang diperoleh dari para responden yang mana mereka
memberikan keterangan yang relatif sama dimana mereka menyatakan
bahwa penyelesaian setiap jenis sengketa digunakan penyelesaian yang
relatif sama.
Terdapat dasar aturan dalam proses penyelesaian sengketa, yang
menyangkut proses beracaranya maupun hukum materiil yang berlaku
dan menjadi dasar dalam pelaksanaan sengketa alternatif. Landasan
aturan penyelesaian sengketa alternatif pada masyarakat adat di
Kabupaten Sorong tidak semata-mata bersifat formalistik.
4.2 Penentuan Mediator atau Juru Penengah
Keberadaan mediator atau juru penengah dalam penyelesaan
sengketa alternatif (ADR) memegang peranan yang sangat penting.
Mediator atau juru penengah biasanya merupakan orang atau lembaga
masyarakat adat yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat mampu
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, sehingga diharapkan
kesepakatan yang akan dihasilkan dapat memberikan keadilan bagi para
pihak yang bersengketa.
Menurut R. Ipik Perkesit,SH49 selaku kasi penyelesaian sengketa
konflik pertanahan di kantor Pertanahan Kabupaten Sorong, yang
biasanya ditunjuk sebagai juru penengah atau mediator adalah :
1. Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat (LEMASA)
2. Tokoh Pemerintahan setempat (Kelurahan atau Kecamatan)
49 R.Ipik Perkesit,Wawancara tanggal 19 April 2008
3. Fungsionaris Pemerintah (TIGA TUNGKU)
4. Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong
Penunjukan seseorang atau suatu lembaga musyawarah masyarakat
hukum adat sebagai mediator atau juru penengah tidak didasarkan pada
spesialisasi tertentu, akan tetapi lebih mengutamakan dan
memperhatikan pada sisi pengetahuan, kompetensi sosialnya dalam
masyarakat serta pengamatannya dalam menyelesaikan sengketa tanah
yang pernah terjadi.
Seorang mediator atau juru penengah dalam kenyataannya sangat
mengerti tentang hukum, mengerti mengenai hal eksistensi tanah serta
sejarah tanah yang ada di daerah Kabupaten Sorong. Pengetahuan yang
cukup luas dari seseorang mediator atau juru penengah yang seperti ini
yang akan membuat juru penengah atau mediator dapat menjalankan
tugas secara efektif dan praktis.
Pihak-pihak yang ditunjuk sebagai mediator atau juru penengah
tersebut oleh masyarakat dipilih berdasarkan tingkat kepercayaan yang
berbeda-beda dalam kemampuannya untuk menyelesaikan sengketa
tanah yang terjadi. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada masingmasing
tokoh ditentukan oleh tipe masyarakat dan kerumitan sengketa
tanah yang terjadi.
Kepercayaan masyarakat di Kabupaten Sorong diberikan kepada
lembaga musyawarah masyarakat hukum adat karena adanya peran
tokoh masyarakat adat setempat dalam lembaga tersebut seperti yang
telah disebutkan di atas. Secara umum masyarakat cenderung
memberikan kepercayaannya untuk menyelesaikan sengketa tanah yang
terjadi kepada lembaga musyawarah masyarakat hukum adat dari pihakpihak
yang bersengketa dan benar-benar mengetahui sejarah pertanahan
di daerah tersebut.
Dalam hal ini mereka akan berusaha untuk menyelesaikan sengketa
tanah yang terjadi berdasarkan pengetahuannya dan pengalamannya
dengan memberikan solusi-solusi yang pernah diberikan pada sengketasengketa
yang telah terjadi sebelumnya yang telah biasa digunakan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator atau juru penengah,
terdapat beberapa tahap yang dilakukan oleh seorang juru penengah
yaitu:50
1.
Menentukan penyimpangan-penyimpangan
Pada tahap ini juru penengah berkewajiban untuk memilah dengan
mendasarkan pada aspek-aspek dalam masyarakat bentuk-bentuk
penyimpangan yang telah dilakukan oleh para pihak yang berkaitan
langsung dengan sengketa tanah yang terjadi.
2.
Mengkualifikasikan karakteristik sengketa
Tahap ini mengandung makna bahwa dalam hal ini juru penengah
akan mengkualifkasikan karakteristik dari sengketa tanah yang
terjadi dan kemudian membandingkannya dengan sengketa tanah
lainnya.
50 Husen Nurdin,Wawancara tanggal 19 April 2008
3.
Mencari jalan keluarnya
Pada tahap ini juru penengah akan berusaha mencari jalan keluar
untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi. Jalan keluar
yang ditawarkan merupakan alternatif.
4.3 Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kabupaten Sorong
Sengketa tanah terjadi apabila adanya benturan kepentingan di antara
dua pihak atau lebih yang merasa mempunyai hak yang sama atau suatu
bidang tanah yang sama. Dalam hal ini biasanya masyarakat Malamoi
melakukan aksi pemalangan/pendudukan tanah tersebut para pihak juga
melakukan segala usaha untuk membuktikan bahwa dirinya yang paling
berhak, sehingga tidak jarang dalam kondisi seperti ini maka akan
banyak pihak yang dirugikan dan menimbulkan gangguan bagi
masyarakat yang ada disekitarnya. Oleh karena maka para pihak akan
berusaha untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Cara penyelesaian
sengketa yang akan mereka tempuh pertama kali adalah secara damai
dengan cara non litigasi atau alternatif.
Dalam penyelesaian sengketa alternatif ada beberapa tahapan dalam
proses penyelesaiannya. Proses penyelesaian sengketa tanah melalui cara
non litigasi atau alternatif secara umum di bagi dalam 3 (tiga) tahap
yaitu :
1.
Tahap Musyawarah
Pada tahap ini di dalamnya terdapat tiga proses yang harus dilalui
oleh para pihak yang terlibat. Prosesnya antara lain :
a.
Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini
akan ditentukan siapa yang akan menjadi juru penengah atau
mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan
pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat
penyelesaian, waktu, dan pihak-pihak lain yang akan
dilibatkan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung
musyawarah.
b.
Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini
akan diperoleh keterangan-keterangan dari pihak
pemohon/penggugat dan pihak termohon/tergugat berkaitan
dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksisaksi
yang berasal dari penggugat atau tergugat.
c.
Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan
pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian,
penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang
bersengketa (bila sudah disepakati), saksi dan penutupan
musyawarah.
2.
Tahap Pelaksanaan Hasil Musyawarah
Pada tahap ini maka para pihak akan melaksanakan kesepakatan
yang telah dicapai dalam musyawarah secara sukarela, sehingga
pelaksanaannya relatif murah.
3.
Tahap Penutupan Musyawarah
Setelah kesepakatan dicapai, maka musyawarah akan ditutup oleh
pihak yang berkompeten untuk melakukannya dan biasanya
dilakukan oleh pemimpin musyawarah.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari para responden, penulis
memperoleh informasi bahwa adanya pengaduan dari masyarakat
Malamoi yang diajukan kepada lembaga musyawarah adat (Lemasa).
Berdasarkan pengaduan permohonan itu maka ketua Lemasa akan
mempelajari sengketa yang terjadi dan mencoba untuk mencari jalan
keluarnya. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah sengketa yang terjadi
memerlukan seorang mediator/juru penengah yaitu lembaga masyarakat
adat/dewan adat.
Apabila sengketa tanahnya cukup rumit, kemungkinan para pihak
yang dipilih sebagai mediator tidak cukup hanya salah satu orang saja
dan akan dilakukan musyawarah dengan segenap para pihak yang
berkepentingan. Bila kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tanah
yang terjadi tidak juga dapat diselesaikan pada tingkat ini, maka
penyelesaian sengketa akan diteruskan ke Kantor Kelurahan atau
Kecamatan/Distrik.
Sengketa tanah yang belum diselesaikan oleh Lemasa tersebut akan
diajukan kepada Kelurahan dalam bentuk tertulis. Berdasarkan laporan
tersebut maka pejabat kelurahan akan berwenang untuk menanganinya
akan menerima laporan tersebut dan akan mengumpulkan informasi
yang diperlukan yang berkaitan dengan sengketa tanah yang terjadi.
Selanjutnya ditunjuk pejabat Kelurahan sebagai mediator atau
dibentuknya team mediator apabila sengketa dianggap rumit.
Oleh karena terdapat banyak kepentingan yang harus diperhatikan
dalam musyawarah untuk menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi dan
menghargai kepercayaan yang diberikan oleh para pihak yang
bersengketa kepada mediator atau juru penengah, maka sebelum
memulai musyawarah dengan para pihak yang bersengketa juru
penengah/mediator harus mempelajari, mengelompokkan dan
memahami betul sengketa tanah yang terjadi sehingga dapat
memfokuskan apa yang menjadi sengketanya dan mengetahui faktorfaktor
apa yang mendorong sehingga sengketa tanah tersebut muncul.
Berdasarkan keterangan yang ada dari para pihak maka mediator
atau juru penengah akan mengetahui secara benar apa yang menjadi
sebab munculnya masalah/sengketa, apa yang menjadi tuntutan para
pihak serta sarana dan prasarana apa yang diperlukan untuk memperoleh
titik temu atau kesepakatan di antara para pihak. Dari usaha yang yang
dilakukan oleh mediator/juru penengah dalam menyelesaikan sengketa
akan diketahui apa yang menjadi motivasi kedua belah pihak yaitu
terselesainya sengketa tanah secara terpadu, kembalinya kondisi yang
harmonis dalam masyarakat karena banyaknya kepentingan pihak
lainnya.
Untuk membantu mediator/juru penengah dalam menyelesaikan
sengketa tanah yang terjadi, maka dibutuhkan data yang dapat
memberikan informasi mengenai status tanah maupun asal-usul tanah
yang menjadi sengketa. Data tersebut diperoleh dari para pihak yang
dapat dipercaya sebagai sumber informasi. Informasi tersebut dapat
berbentuk tertulis maupun secara lisan dan harus dipelajari secara
keseluruhan. Karena banyaknya hal yang harus dipelajari, maka
dibutuhkan waktu yang tidak cepat.
Setelah mempelajari, mengelompokkan dan memahami sengketa
tanah yang terjadi, juru penengah akan menentukan tempat yang paling
netral. Tempat yang biasanya dipilih untuk proses musyarawah adalah
Balai pertemuan Kelurahan atau Kecamatan/Distrik.
Musyawarah yang diadakan tersebut harus dihadiri oleh semua pihak
yang terlibat yaitu para pihak yang bersengketa, saksi-saksi dan
mediator/juru penengah. Agar semua pihak dapat hadir ke musyawarah
yang diadakan, maka sebelumnya mediator/juru penengah harus
mengundang semua pihak. Undangan tersebut tidak harus dalam bentuk
formal ataupun tertulis, akan tetapi dapat juga disampaikan dalam bentuk
lisan saja.
Selanjutnya juru penengah/mediator juga akan menyampaikan
harapannya agar setiap peserta musyawarah dalam pelaksanaan
musyawarah dapat tetap memperhatikan dan mentaati peraturanperaturan
yang berlaku dan nilai-nilai sosial yang hidup di dalam
masyarakat yang meliputi nilai kekeluargaan, nilai agama, nilai
kesopanan, dan sebagainya. Karena meskipun sengketa tanah yang
dimusyawarahkan dianggap sederhana, tentunya akan tetap berkaitan
dengan segala aspek yang ada dalam masyarakat dimana segala aspek
tersebut dijadikan dasar dalam menyelesaikan sengketa tanah yang
terjadi.
Mediator/juru penengah beranggapan bahwa para peserta
musyawarah telah memahami maksud dan tujuan diadakannya
musyawarah tersebut dan peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam
musyawarah tersebut, maka juru penengah akan memberikan
kesempatan bahwa para pihak yang bersengketa yaitu tergugat dan
penggugat secara bergantian untuk menyampaikan hal-hal dan menjadi
alasan kepentingannya masing-masing yang berupa fakta-fakta yang
menjadi dasar sahnya kepemilikan/penguasaan atas bidang tanah yang
menjadi objek sengketa.
Biasanya dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi, para
pihak yang bersengketa akan bertindak sendiri dan tidak memberikan
kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya sehingga dengan demikian
permasalan tidak akan melebar karena kepentingan dan permasalahan
dari para pihak akan dapat dengan mudah diketahui oleh juru penengah
dan pihak lain yang berkepentingan selain itu para pihak dapat dengan
mudah menyampaikan apa yang diinginkannya langsung kepada pihak
lainnya dan juga pada juru penengah.
Hal ini berbeda apabila kita beracara di pengadilan, dimana biasanya
para pihak bertindak diwakili oleh kuasa hukumnya karena mereka lebih
memahami mengenai tata cara beracara di pengadilan. Tata cara beracara
seperti sebagaimana yang telah disebutkan yang terkadang menyebabkan
masyarakat tidak mau menyelesaikan sengketa tanah yang dialaminya
melalui jalur pengadilan, karena dianggap masyarakat kurang efektif
disamping alasan-alasan lain seperti lamanya proses beracaranya, biaya
yang mahal dan sebagainya.
Setelah para pihak merasa cukup untuk menyampaikan segala
kepentingannya dan permasalahan yang disengketakan maka, juru
penengah akan memberikan kesempatan lagi kepada para pihak untuk
memberikan penawaran solusinya masing-masing terhadap sengketa
tanah yang sedang dimusyawarahkan.
Berdasarkan hasil penelitian dan juga berdasarkan informasi yang
diperoleh dari pihak yang terlibat sengketa diketahui jenis solusi yang
seringkali digunakan untuk menyelesaikan sengketa yaitu uang sirih
pinang, pemberian ganti rugi dalam bentuk uang. Penyelesaian dengan
cara uang sirih pinang biasanya digunakan apabila terjadi sengketa
dalam hal tanah ulayat yang dipergunakan oleh pemerintah untuk
keperluan fasilitas umum (pemukiman transmigrasi) yang digugat oleh
masyarakat hukum Malamoi. Sedangkan penyelesaian antara masyarakat
sendiri ataupun pihak-pihak di luar anggota masyarakat hukum adat
Malamoi yaitu dengan pendekatan sosial budaya melalui musyawarah
yang biasanya dilakukan oleh masyarakat hukum adat Malamoi dalam
menyelesaikan sengketa tanahnya melalui non litigasi yaitu dengan
sebutan “Liurai” dengan melibatkan Lembaga Masyarakat Hukum Adat
(Lemasa), Tokoh Agama dan Fungsionaris Pemerintah (Tiga Tungku).
Tata cara “Liurai” dilakukan dengan cara upacara adat yaitu dengan
sebutan “Bakar batu”. Adapun syarat-syarat yang dibutuhkan dalam
upacara adat dengan menyediakan 2 (dua ekor) binatang ternak seperti
(sapi, kerbau atau babi) serta ganti rugi dalam bentuk uang (uang sirih
pinang) yang diberikan dari pihak pendatang kepada masyarakat adat.
Dengan dipenuhinya syarat upacara adat tersebut maka diperoleh
kesepakatan antara kedua belah pihak dalam penyelesaian sengketa antar
warga masyarakat. Kegiatan Upacara adat saat ini sudah jarang
dilakukan karena memudarnya peran Gelet sehingga masyarakat lebih
memilih bentuk ganti ruginya berupa uang sirih pinang saja, karena
menurut masyarakat Malamoi dengan melakukan upacara adat kurang
praktis memakan waktu yang lama. 51
Penyelesaian sengketa alternatif oleh masyarakat adat Malamoi
digunakan untuk menyesaikan sengketa tanah ulayat dengan maksud
mencari penyesaian secara win win solution yaitu suatu bentuk
penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa
karena tidak ada yang menang atau kalah, keduanya mempunyai
kedudukan yang sama. Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui
51 Abdoel Morek Warwei, Tokoh Masyarakat, Wawancara, tanggal 17 April 2008
pengadilan yang mana di dalamnya tidak ada penawaran pilihan lainnya.
Pihak yang bersengketa hanya mempunyai dua pilihan yaitu menang
atau kalah, meskipun masih diberikan kesempatan lain untuk
mengajukan upaya hukum, akan tetapi pada akhirnya pilihan itu juga
tetap sama yaitu menang atau kalah.
Tahap akhir dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah.
Pada tahap ini juru penengah/mediator akan menyimpulkan apa yang
telah dibicarakan sebelumnya dalam musyawarah. Apabila dalam
musyawarah tersebut telah diperoleh kesepakatan mengenai solusi bagi
sengketa tanah yang terjadi, maka kesempatan tersebut akan dibuatkan
draftnya terlebih dahulu untuk kemudian dituangkan dalam bentuk
kesepakatan secara tertulis yang akan ditandatangani oleh para pihak
yang bersengketa dan saksi-saksi. Akan tetapi bila pada musyawarah
tersebut solusi yang ditawarkan oleh juru penengah/mediator belum
dapat diterima oleh para pihak sehingga tidak dicapai kesepakatan, maka
juru penengah akan menganjurkan untuk mengajukan musyawarah lagi.
Bila anjuran tersebebut diterima oleh para pihak juru penengah akan
menjadwalkan lagi musyawarah selanjutnya, tetapi bila para pihak
menolak untuk musyawarah lagi maka mediator akan menganjurkan para
pihak menyelesaikan cara lain yang lebih formal yaitu melalui jalur
hukum.
Bedasarkan uraian mengenai proses penyelesaian sengketa tanah
yang ada di Kabupaten Sorong, menurut analisis penulis dalam hal
penyelesaian sengketa secara alternatif antara masyarakat Malamoi
dengan para pendatang dengan musyawarah dicapai kesepakatan antara
kedua belah pihak. Dalam musyawarah tersebut diberikannya ganti rugi
uang sirih pinang, hal tersebut apabila tidak dituangkan dalam surat
otentik bukti-bukti yang ada kurang kuat, misalnya dibuat Berita Acara
atau Surat Perjanjian Perdamaian yang dibuat dihadapan Pejabat yang
berwenang. Dengan tidak dilakukannya suatu perbuatan hukum atau
dibuatnya surat yang otentik maka hal ini memungkinkan akan
timbulnya sengketa dikemudian hari dikarenakan para pewaris atau
keturunan mereka tidak mengetahuinya sehingga mereka menuntut
kembali tanah tersebut. Dalam hal ini para pendatang mempunyai bukti
yang kuat untuk pemilikan tanah-tanah yang ada di Kabupaten Sorong
dan diharapkan sengketa-sengketa yang ada tidak timbul kembali.
5. Kendala atau Faktor-faktor Penghambat dalam Proses Penyelesaian
Sengketa
Pada setiap sengketa tanah masing-masing mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya
dalam setiap penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi atau non litigasi
di dalamnya terdapat hal-hal yang menghambat jalannya musyawarah ataupun
pelaksanaan hasil musyawarahnya.
Secara umum hambatan-hambatan dalam musyawarah tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal yang berasal dari para
pihak yang bersengketa dan pada obyek yang disengketakan dan faktor-faktor
eksternal yang berasal dari pihak lainnya.
Faktor internal yang menghambat proses penyelesaian sengketa antara
lain dapat disebabkan oleh :
1.
Temperamen
Para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor
yang menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan
temperamen mereka. Temperamen masyarakat adat dalam proses
musyawarah sangat berpengaruh dalam proses musyawarah.
Musyawarah kadang tidak dapat berjalan dengan lancar karena salah
satu pihak atau kedua belah pihak lebih menggunakan emosi daripada
logikanya dalam bermusyawarah dan tidak mau mendengarkan pendapat
dari pihak lainnya dan lebih menganggap dirinya yang paling benar.
Dengan sikap seperti inilah yang membuat musyawarah menjadi tidak
kondusif karena tidak ada pihak yang mau mengalah.
2.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat adat juga terkadang menjadi faktor
penghambat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian
besar dari para responden (masyarakat adat) yang merupakan pihak yang
bersengketa hanya mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Sehingga mereka terkadang mengalami kesulitan untuk memahami hal
yang menjadi fokus dari sengketa yang dimusyawarahkan dan
menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit untuk diselesaikan.
3. Kedisiplinan
Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaiana sengketa juga
menjadi salah satu faktor penghambat. Tidak jarang terjadi pada saat
akan dilakukan penandatanganan kesepakatan, salah satu pihak menolak
untuk melakukannya dengan alasan mereka tidak mengerti maksudnya
karena tidak dapat membaca sebelumnya telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
4. Ketidakjelasan Batas-batas Tanah
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari R.Ipik Perkesit,SH
selaku pejabat Kantor Pertanahan di Kabupaten Sorong52, tanah-tanah
sebagai obyek sengketa juga dapat menjadi penyebab penghambat
jalannya proses musyawarah. Sebagai contoh dalam hal penentuan batas
tanah, karena dari semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya
tidak jelas. Hal ini dikarenakan dahulu pada awal penguasaan tanah oleh
masyarakat adat sebagian besar penentuan batas tanah seperti sungai,
batu, pohon-pohon dan lainnya, sehingga dalam hal ini para pihak
mengalami kesulitan untuk menunjukkan batasnya.
Faktor eksternal yang menghambat musyawarah merupakan faktor
lain yang tidak bersumber dari subyek maupun obyek sengketa yang
dapat disebabkan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sengketa tanah
adalah pihak lain selain para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini
biasanya adalah keluarga dari masyarakat adat yang ikut campur tangan
52 Husein Nurdin, Wawancara tanggal 19 April 2008
yang terkadang mempengaruhi salah satu pihak yang bersengketa, dan
biasanya juga karena faktor ganti rugi uang sirih pinang yang kurang.
Pada dasarnya kelancaran jalannya penyelesaian sengketa tanah
baik pada saat proses musyawarahnya maupun pada saat pelaksanaannya
hasil musyawarahnya sangat dipengaruhi oleh kesadaran semua pihak
untuk memahami arti penting dari musyawarah tersebut bagi
terselesainya sengketa. Selain itu diperlukan peran aktif dari semua
pihak untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi sehingga
akan diperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua pihak.
6. Manfaat yang diperoleh dari Pilihan Penyelesaian Sengketa yang
dilakukan oleh Masyarakat Malamoi
Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah
ulayat yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi yaitu dilakukan dengan cara
upacara adat ”Bakar Batu” (Liurai/non litigasi) tersebut sangat
menguntungkan masyarakat adat suku Malamoi karena biaya yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif lebih murah dan waktu
yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga adanya ganti rugi (uang
sirih pinang) yang diberikan kepada masyarakat adat Malamoi oleh
pemerintah setempat, serta pemberian binatang ternak untuk penggantian
tanah-tanah yang diduduki oleh perantau kepada masyarakat adat Malamoi
walaupun saat ini kegiatan upacara adat sudah jarang dilakukan karena kurang
praktis sehingga mereka hanya memilih uang sirih pinang saja.
Ada berbagai alasan yang mendorong masyarakat adat malamoi lebih
memilih penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui cara non litigasi/alternaif.
Alasan tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian dari 37 responden yang
ditunjukkan pada table berikut :
Tabel 3
Alasan yang mendorong masyarakat memilih cara non litigasi/alternative
No. Alasan responden Jumlah Presentase (%)
1. Biayanya murah 16 44,2 %
2. Kebiasaan 12 32,6 %
3. Waktunya cepat 9 20,9 %
Jumlah 37 100 %
Sumber data : data primer 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat diuraikan Kelebihan-kelebihan
penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif adalah sebagai berikut :
1.
Penyelesaiaan sengketa secara alternatif lebih dipilih oleh masyarakat
adat malamoi karena penyelesaian dengan cara ini biayanya lebih
murah bahkan cuma-cuma. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin
mereka menyelesaikan sengketa tanahnya melalui jalur hukum karena
biayanya yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.
2.
Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara
alternatif, karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan
mereka dimana setiap terjadi sengketa dalam masyarakat akan
diselesaikan secara musyawarah di antara mereka. Cara seperti ini
telah berlangsung secara turun temurun.
3.
Waktu penyelesaian yang relatif singkat juga menjadi alasan yang
mendorong responden lebih memilih penyelesaian secara alternatif.
Untuk menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya membutuhkan
waktu beberapa minggu saja. Berbeda dengan penyelesaian melalui
pengadilan yang membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu
berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Kelemahan-kelemahan penyelesaian sengketa non litigasi/alternatif :
1.
Dikarenakan penyelesaian secara non litigasi/alternatif merupakan
suatu kebiasaan maka hasil kesepakatan digantungkan dari itikad baik
para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sehingga terkadang
menimbulkan kericuhan antar kedua belah pihak dikarenakan
temperaman mereka yang labil.
2.
Tidak ada kepastian hukum karena biasanya tidak dituangkan dalam
suatu bukti tertulis (bukti otentik) namun hanya memberikan ganti rugi
uang sirih pinang dengan dasar kesepakatan antara kedua belah pihak.
3.
Jika informasi tidak cukup diberikan kepada masyarakat adat Malamoi
dan apabila tidak ada bukti otentik yang kuat bagi para pemilik tanah
(pendatang), kemungkinan akan timbul lagi tuntutan balik dari
keturunan/pewaris yang terdahulu dikarenakan kurangnya pengetahuan
yang dimiliki masyarakat adat Malamoi mengenai pertanahan.
4.
Penyelesaian sengketa secara alternatif yang memakai upacara adat
biasanya kendalanya biaya sehingga rakyat tidak efisisen lagi karena
masyarakat yang nota bene hanya bermatapencaharian rendah.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan jawaban dari permasalahan sebelumnya seperti yang
diuraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Penyelesaian sengketa tanah ulayat yang biasa digunakan oleh masyarakat
Malamoi adalah penyelesaian sengketa secara alternatif dengan sebutan
Liurai. Cara ini dipilih dengan alasan biayanya murah karena terkait
dengan keadaan ekonomi masyarakat yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani dan peternak. Penyelesaian dengan cara uang
sirih pinang biasanya digunakan apabila terjadi sengketa dalam hal tanah
ulayat yang dipergunakan oleh pemerintah untuk keperluan fasilitas umum
(pemukiman transmigrasi) yang digugat oleh masyarakat adat Malamoi.
Sedangkan penyelesaian antara masyarakat sendiri ataupun pihak-pihak di
luar anggota masyarakat hukum adat Malamoi yaitu dengan pendekatan
sosial budaya melalui musyawarah yang biasanya dilakukan oleh
masyarakat hukum adat Malamoi dalam menyelesaikan sengketa tanahnya
melalui non litigasi (Liurai) dengan melibatkan Lembaga Masyarakat Adat
(Lemasa), Tokoh Agama dan Fungsionaris Pemerintah (Tiga Tungku).
Tata cara “Liurai” dilakukan dengan cara upacara adat yaitu dengan
sebutan “Bakar Batu”. Kegiatan Upacara adat saat ini sudah jarang
dilakukan karena memudarnya peran Gelet sehingga masyarakat lebih
memilih bentuk ganti ruginya berupa uang sirih pinang saja, karena
menurut masyarakat Malamoi dengan melakukan upacara adat kurang
praktis.
2.
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat juga terdapat
berbagai faktor yang menghambat jalannya proses penyelesaian sengketa
alternative/non litigasi. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu faktor internal yang disebabkan oleh faktor
temperamen, tingkat pendidikan, kedisiplinan, dan ketidakjelasan batasbatas
tanah. Selain itu faktor penghambat lainnya adalah faktor eksternal
yang berasal dari pihak ketiga baik yang berasal dari keluarga masyarakat
Malamoi maupun pihak di luar para pihak yang bersengketa.
3.
Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah ulayat
yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi yaitu dilakukan dengan cara
upacara adat ”Bakar Batu” (Liurai/alternatif) tersebut sangat
menguntungkan masyarakat adat suku Malamoi karena biaya yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif lebih
murah dan waktu yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga
merupakan suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat Malamoi.
2.
Saran-Saran
1.
Dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat suku Malamoi diharapkan
masyarkat adat suku Malamoi tidak dengan emosional, akan tetapi lebih
menggunakan kepala dingin sehingga sengketa dapat terselesaikan dengan
cepat, aman dan tidak melebar ke hal-hal lainnya.
2.
Sebaiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong di dalam memanfaatkan
tanah ulayat tersebut agar lebih cepat untuk dijadikan lahan permukiman
transmigarsi, dengan cara mendaftarkan tanah-tanahnya agar
mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah) melalui
BPN. Serta mengenai sengketa tanah antar masyarakat Malamoi dengan
para pendatang dalam hal kepemilikan tanah dengan penggantian ganti
rugi uang sirih pinang diharapkan semua hal-hal yang menyangkut
penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat
perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi
pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris
masyarakat adat Malamoi.
3.
Sudah waktunya bagi Pejabat-pejabat yang berwenang dalam hal ini
(Kecamatan dan BPN) untuk kembali melakukan sosialisasi mengenai
berbagai peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanahan khususnya
dalam hal kepemilikan tanah. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui
penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat adat Malamoi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta.
Arif Budiman, 1996, Fungsi Tanah dan Kapitalis, Penerbut Sinar Grafika,
Jakarta
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
UUPA, Isi Dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi Ke 10 Jilid 1, Penerbit
Djambatan, Jakarta
…………….., 2004, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-
Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta
Bushar Muhammad, 1983 Pokok-Pokok Hukum Adat, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta
Cholid Narbuko, H. Abu Achmadi, 2002 Metodologi Penelitian, Penerbit :
Bumi Aksara, Jakarta
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, et all, 1985 Jaminan Undang-Undang
Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Penerbit
Bina Aksara, Jakarta
Gary Goodpaster, 1993 Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi
dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Economic Law and
Improved Procurement System (ELIPS) Project, Penerbit Jakarta
John M. Echlos, Hasan Shadily, 1996 Kamus Inggris Indonesia Dan Indonesia
Inggris, Penerbit Gramedia, Jakarta
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan,Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Penerbit
Gramedia, Jakarta
Mansoben, Johszua Robert, 1995, Sistem Politik Tradisional Irian Jaya,
Penerbit Lipi, Jakarta
Maria S.W. Sumardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian
Sebuah Panduan Dasar, Penerbit Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
………………, 2001 Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
………………., 2005, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,
Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung
Ronny H. Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni,
Penerbit Mandar Maju, Bandung
Soni Harsono, 1996, Konflik Pertanahan dan Upaya-Upaya Penyelesaiannya,
Studium Generale Disampaikan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Pada FH-UGM, Yogyakarta
Soerjono Seokanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia Penerbit Press, Jakarta
Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta
Sulastriyono, 1997, Sengketa Penguasaan Tanah Timbul dan Proses
Penyelesaiannya, Tesis S-2 Program Pasca Sarjana UI, Jakarta
Sumardi Basuki, 1977, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria,
Suyud Margono, 2000, ADR (Alternative Dispute Resolution) Dan Arbitease
Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarata
Jurnal dan Karya Ilmiah
Gunawan Wiradi, 1990, Identifikasi dan Inventarisasi Permasalahan dalam
Penguasaan dan Penggunaan Tanah di Pedesaan, Makalah
Disampaikan dalam Seminar Nasional Tri Dasawarsa UUPA,
Kerjasama BPN-UGM, Yogyakarta
Lutfi Nasution, 2001, Catatan Ringkas tentang Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan dan Pemnfaatan Tanah, Pokok-Pokok Pikiran
Dalam Sarasehan Oleh Badan Pertanahan Nasional, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Surat Keputusan Dalam Negeri Nomor 72 tahun 1981 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Cara Kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor
Agraria Kabupaten/Kota
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Tim Ad Hoc Penanganan Masalah Pertanahan Kepala
Bandan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Peraturan Menteri Dalam Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan
Komentar
Posting Komentar