Adonara Nuha Serbitè Nuha Keutamaan Lamaholot

                             Adonara
Nuha Serbitè
Nuha Keutamaan Lamaholot

david kopong lawe
horinara, 12 agustus 2014



Pendahuluan

Ketika mengelilingi daerah Tanjung Bunga di ujung Flores Timur, para soledaad (serdadu) Portugis di bawah pimpinan M. Cabot berseru, “wooow, flora” ketika memandang hamparan bunga flamboyant dan bunga pecah piring yang lagi mekar dengan maraknya. Seruan inilah yang dipakai untuk menamai Nusa Nipa dengan nama Flores (Pulau Bunga). Batu payung yang ada di perairan Teluk Hading oleh M. Cabot di beri nama “cabo da flora” (1544). Nusa Nipa resmi dikenal dengan nama Flores pada tahun 1936, melalui keputusan Governoor General Belanda, Hendrick Brouwer.

Wilayah Lamaholot yang meliputi : Au’ Gatang Matang, ke Tana Kudi Lèlèn Bala, sampai ke Solo Watan Lèma, ke Nuha Serbitè (Adonara), sampai Nuha Kewèla (Lembata/Lomblèn), ke Tana Lepang Batang (yang kini telah tenggelam karena peristiwa air bah : belèbo lèbo - berèrang rèrang), Tana Muna Seli (dari perbatasan Sikka-Flotim, Hikong-Boganatar sampai ke Pantar dan Baranusa di Kepulauan Alor). Flores Timur (wilayah governance lama), yang dijuluki Nusa Timu Lera Gere, Bunga Warat Seni Tawan yang terdiri dari Flores Timur Daratan, Pulau Solor, Pulau Adonara, dan Pulau Lembata merupakan bagian dari wilayah Lamaholot yang seyogianya luas.

Membaca kata-kata kunci dalam makna Adonara Nuha Nebon, makna Solor Nusa Nipa, makna Lembata Nuha Kewela Lomblen dapat dipahami sebagai pernak-pernik yang mengungkapkan hilangnya benua Atlantis yang hilang (Chris Boro Tokan: Benua Atlantis Yang Hilang dan Litosferanya). Adonara, Solor, dan Lembata (termasuk Flores Timur Daratan dan Kepulauan Alor) merupakan litosfera, yaitu pecahan lapisan batu-batuan geosfera yang membentuk kulit bumi atau kerak bumi.

Pulau Adonara, Solor, dan Lembata masing-masing masih dikenal dengan nama kepurbakalaannya, sampai kini masih marak dalam kenangan sebagian anak-anak negerinya. Adonara dikenal dengan sebutan Nara Nuha Nebon, Solor dikenal dengan sebutan Solo Watan Lema dan Solor Nusa Nipa, Lembata dengan sebutan Nuha Kewela dan Lomblen.
***
Pé koda doan usu asa, buta mete walan maratana tawan ékan géré: pada zaman dahulu kala, (di saat) lumpur dan tanah berbencah mengering,(di saat itulah) bumi dan segala isinya tercipta. Atau dalam saduran bebas, “Sejak awal mula yang ada hanyalah sabda, yang menjadi asal usul segala sesuatu yang berwujud, di saat itulah lumpur dan tanah berbencah mengering. Maka terciptalah bumi dan alam raya serta segenap isinya.

Ungkapan di atas memacu penghayatan kita bahwa sandaran hidup, falsafah hidup, dan pandangan hidup kita yang telah dipatok nenek moyang ialah “koda”.
tekang di mété kepai koda
tenu di mété hukut kiring
ola doka di kelolo no’ong koda
hodang heré di kesuat no’ong kirin

Di mana ketika buta mete walan mara (mengeringnya lumpur dan tanah berbencah) dan tana tawan ékan géré (muncul kembali bumi baru) nenek moyang kita sudah berada dan hidup dengan selamat di wilayah Lamaholot di atas bumi Adonara.

Karena pada khakikatnya Adonara itu berakar dan berdasarkan  koda, nenek moyang kita telah bereligare menjalin keterikatan dengan koda kiring serta Koda Puken itu sendiri, yakni Lat Allah Rerawulan. Maka di sini saya cantumkan salah satu bentuk religare ke-Adonara-an menurut Yohanes, 1:1-5 dan 10-11,

“Pada awal mula adalah sabda. Sabda itu ada bersama-sama dengan Allah. Dan sabda itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia. Dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun yang telah jadi dari segala yang dijadikan. Dalam Dia ada hidup, dan hidup itu adalah terang bagi manusia. Terang itu bercahaya dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya. Ia telah ada di dalam dunia, tetapi dunia tidak mengenaliNya. Ia datang kepada orang-orang kepunyaanNya, tetapi orang-orang kepunyaanNya itu tidak menerimaNya”.

Dengan uraian yang sangat terbatas terhadap “pe koda doan usu asa, buta mete walan mara, tana tawan ekan gere”, religare nenek moyang Adonara sudah tertata dengan rapi dan terus melekat dalam setiap perjumpaannya dalam berelasi-sosial. Kutipan Injil Yohanes di atas justru merupakan bukti otentik bahwa nenek moyang kita telah meletakkan dasar religare (keterikatan erat dengan keilahian Allah) yang hakiki dengan menjadikan “koda’ sebagai sentrum kehidupan, koda itu sendirib adalah tali yang memperteguh dan mempererat ikatan nurani nenek moyang kita dengan keilahian Tuhan, Lat Allah Rerawulan hadir sebagai penyempurna alur pikir kita yang mau ber-Lamaholot. Maka benarlah jika dikaitkan dengan filosofi religiositas orang Adonara menyangkut lahir, hidup, dan mati, adalah sebagai berikut :

Koda pulo lodo tuéna na’an ana Atadik’en
kirin léma géré balika na’an bai uhunen tukan
ke mian koda pulo lodo tudaka
kirin léma géré tagana
na’ nai gan ana atadik’en tou

Sabda menjelma menjadi manusia
firman berinkarnasi jadi buah hati
maka ketika bibir telanjur berbicara
(maka) seorang anak manusia
akan terenggut nyawanya.

Adonara, Tadon Tana Geto - Nara Nuha Nebon

Kepustakaan yang sempat ditelusuri (sebagaimana tuturan Chris Boro Tokan) adalah “Gezedenische van Inlander Nuha Nebo” oleh P. H. v. d.  Hulst, SVD (1930), Adonara disebutkan sebagai Nuha Nebon. Adonara yang selalu disebut-sebut dalam nama timangan “Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” adalah sebuah pulau yang timbul dan terjadi karena putus dan terbelahnya daratan sebagai tempat kediaman “dewa” (aton, adon, tadon), yang mengakibatkan seluruh inti-sari bumi (manusia, nara, atadiken) kembali besatu padu, berkumpul dan menghimpunkan diri (nebon, rebon) ke pada sumber aslinya dalam keutuhan pulau itu. Dengan demikian sebutan “Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” menggambarkan litosfera (daratan baru) sebagai sebuah pulau dalam jajaran provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur.

Atlantis adalah sebuah benua zaman purba yang menjadi kediaman para dewa tenggelam dan hilang. Merupakan peristiwa perulangan hilangnya Taman Firdaus, Taman Eden akibat dosa asal yang dulu ditabur-benihkan oleh seekor “ular” (nipa). Jika sebutan purba Flores adalah “Nusa Nipa” dan Solor disebut sebagai “Tana Laga Doni Nusa Nipa”, tidak lain membuktikan dahsyatnya peran ular di zaman itu untuk menjatuhkan manusia ke dalam dosa asal, membuat manusia pertama penghuni Taman Firdaus, Taman Taman Eden terusir dan mengenyah meninggalkan taman yang damai membahagiakan itu, yang terbilang dalam adanya bencana air bah terbesar di zaman Nabi Nuh dan zaman es, juga bencana lokal “belèbo lèbo berèrang rèrang” (air bah) di Keroko Pukeng Lepang Batang.

Nama Adonara, merupakan hasil evolusi pengujaran dari nama manusia pertama “adam” (adon, ad, at, aton, atl, atlantis) bermakna hakiki “Putra Dewa Putra Matahari” (bdk: suku kata akhir “ra”, bermakna dewa matahari orang Mesir). Tatanan nama Adonara dimaknai juga dalam “adonai” – “elohim” – “yehovah” yang merupakan sebutan tiga gelar Allah.
Sedangkan Solor dimaknai sebagai “solar” – “polar” yang berarti matahari dan bulan (rera-wulan).

Adonara, Nuha Serbite

Serbite, demikianlah sebutan bagi Adonara menurut penamaan Paderi Portulano van Fransisco Rodriques, OP, adalah Adonara yang menjadi pijakan para leluhur pendahulu, sekaligus menjadi tempat tumpuan hidup dan tempat merajut kehidupan sekarang ini. Adonara adalah Tanah Tadon, Tanah Nara Nuha Nebon, yang menjadi tempat tumpah darah kita semua, anak cucunya.

Pulau kecil, The Dreamy Island of Adonara (sebutan menurut penilaian Penelope Graham), semulanya diberi nama Serbite oleh Paderi Portulano van Fransisco Rodriques, OP. Tidak jelas sebab musebab apa yang mendasari penamaan “Serbite” atas Adonara. Ternyata setelah diusut diketahui bahwa penamaan itu berdasarkan kebiasaan orang Portugis, yaitu bahwa dalam setiap pelayaran menuju sebuah tempat baru, orang Portugis masa itu cendrung menamai sebuah tempat berdasarkan kata atau seruan apa yang pertama-tama mereka dengar ketika tiba di tempat baru tersebut.

Selanjutnya Sebastian de Elcano dan Pigafetta dalam pelayarannya dengan kapal Magelhaens ke bagian timur Indonesia dan menyinggahi kepulauan Solor, mencatat: “Di Nusa Serbite-Adonara, Nusa Solor, dan Nusa Kewela- Lomblen, penduduknya terbagi dalam dua etnis yang selalu bermusuhan, yaitu “suku Pajinaran dan suku Demonaran”. Elcano dan Pigafetta menyebutkan Adonara dalam paparannya, dan entah bermula dari pendirian siapa dan kesepakatan mana, maka nama “Serbite” luruh dan kemudian diunggulkan sebutan Adonara sebagai nama pulau kecil ini.

Secara geografis Adonara dilingkupi Laut Flores di sebelah utara, Selat Solor (=Selat Lamakera) di selatan, Selat Boleng di sebelah timur, dan dibatasi Selat Sempit Larantuka di sebelah barat. Luas wilayahnya kurang lebih 530 km persegi. Di atas bumi Adonara yang mungil ini tersebar kurang lebih 225 desa dan kampung yang dihuni oleh penduduk dari beragam agama dan berbagai etnik kesukuan.

Topografi Adonara meliputi 70% kawasan bebukitan dan gunung. Tidak heran jika pola perkampungan dan desa kebanyakan terdapat di lereng-lereng gunung dan bukit, terlepas dari desa-desa yang berada di kawasan dataranm lembah, dan pesisir pantai. Strategisnya perintisan sebuah desa ditetapkan berdasarkan pertimbangan keamanan dan pengamanan diri dari serangan musuh serta kemudahan membalas serangan musuh. Yang menjadi alas an lain adalah kenyamanan untuk bertempat tinggal, serta kemudahan daya dukung untuk bercocok-tanam.

Nuha Serbite adalah nama klasik Adonara, yang disebut pula dalam tatanan “knalan” (nama sanjungan): “Tadon Adonara Lewo Liang Labaenga, Nara Nuha Nebon Tana Wadan Somi Ama”. Ada sekelompok orang malah menyebutnya Tadon Tana Geto, Nara Holot Bage.
Adonara adalah sebuah pulau unik. Karena di dalam pulau Adonara itu sendiri terdapat desa Adonara, desa yang dijuluki “Lewotanah Kelibene Bel’eng Kelek’eng Belah’ang”. Kelibene Bel’eng sehingga mampu “bote hada hong helek na’aro goleka” (menggendong memangku, dan membopong). Kelek’eng Belah’ang sehingga “ba’ang dongot hada gawak na’aro gawaka” (memanggul di bahu, merangkul). Ungkapan ini bermakna bahwa pulau Adonara, teristimewa desa Adonara merupakan pulau serta desa yang menjelma menjadi ibu pertiwi, tanah persada yang setia mengayomi segenap anak keturunannya serta siapa saja tanpa perbedaan.

Tentang nama Adonara didapati beberapa pendapat:

Adonara, terdiri dari dua suku kata yakni ado dan nara. Ado diambil dari nama Ado Pehang, leluhur Adonara, sedangkan nara diterjemahkan sebagai anak keturunan dari Ado Pehang. Yakni (1) Laba Ipe Jarang, yang kemudian menetap di Boleng, (2) Mado Paling Tale, yang kemudian tinggal di Dokeng, (3) Beda Geri Niha, yang kemudian tinggal di Nihaone, (4) Duli Ledang Labi, yang kemudian tinggal di Lewoduli, (5) Kia Karabau, yang kemudian tinggal di Kiwangona, Wokabelolong, (6) Kia Lali Tokan, yang kemudian menghuni Lewobelek, Lamapaha, (7) Sue Buku Taran, yang belakangan menetap di Ebo Lewojawa, antara Terong dan Lamahala. Sehingga nama Adonara merupakan daerah hunian dari anak keturunan Ado Pehang.

Adonara terdiri dari dua suku kata yakni ado dan nara. Ado diambil dari nama Ado Pehang sang leluhur Adonara, sebagaimana dalam pendapat pertama, sedangkan nara diambil dari nama Ola Lakunara, seorang raja Adonara dari kerajaan Liang Lolong. Sehingga nama Adonara adalah perpaduan dari nama dua orang penatua pulau (nuha), yakni Ado Pehang (Kelake Ado Pehang) dengan Ola Lakunara.

Menurut Ernst Vater, nama Adonara diberikan oleh orang Portugis (1516). Orang Portugis yang melihat bahwa orang yang menghuni tanah nara nuha nebon adalah manusia berwawasan luas, luwes, berbudi baik, memberikan nama bagi nuha kita tercinta dengan sebutan Don Nara. Kata don menurut orang Portugis berarti bangsawan, kaum yang memiliki kepantasan strata, sedangkan nara berarti berpengetahuan, berwawasan luas, dan berbudi baik. Sebutan Don Nara rupanya sulit dalam tata ujar orang-orang tua di masa lalu, maka sebutan Don Nara diplesetkan ujarannya menjadi Adonara.

Paul Arndt, SVD mempublikasikan “Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder des Solor-Archipels” (Anthropos, Band XXXIII, 1938), yang telah di-Indonesiakan oleh Bp. Paulus Sabon Nama, dalam judul “Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor” (2002), telah menggambarkan pulau Adonara sebagai pulau yang sarat dengan konflik sosial dan perang tanding di mana-mana. Karakter manusia penghuninya digambarkan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal menurut pandangan Eropa. Karakter yang selalu mengutamakan perseteruan sebagaimana diwariskan seteru dua bersaudara, Demon (Demonaran) dan Paji (Pajinaran). Seteru antara sesama saudara yang selalu diakhiri dengan peperangan, mengacungkan parang dan tombak. Sehingga Ernst Vatter lalu menyebutkan “Adonara the Murdered Island”, Adonara Pulau Pembunuh.
Dalam kacamata budaya dan antropologi manusia Adonara adalah manusia unik. Ada pertentangan yang mengakar antara orang Demonaran dengan orang Pajinaran, dan persaingan dasar antara orang pante (watang lolong) dengan orang gunung (kiwang, dulhi). Konflik mendasar antara Demon dan Paji merupakan pengguguhan atas pertikaian Kain sebagai petani dengan Abel sebagai peternak dan penggembala.

Raibnya Keaslian di Adonara

ADONARA ADALAH BUMI PERSADA, pulau tumpah darah yang menjadi pulau keutamaan dalam lingkup etnis Lamaholot. Patut dibanggakan bahwa dalam hal membangun diri, Adonara “Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” memiliki citra yang luwes, yang secara perlahan tapi pasti menyesuaikan diri dengan derap laju pembangunan dan perputaran waktu sesuai dengan definisi istilah Lamaholot. Tetapi disini, di tanah Tadon Adonara patut disayangkan, raibnya beberapa carik pesona “tempoe doeloe” yang mestinya menjadi kebanggan anak-anaknya di zaman ini. Beberapa pernik budaya masa lampau kini sirna. Mungkin disebabkan oleh kelalaian anak negerinya yang menyepelekan nilai emas masa lampau dalam napas kepurbakalaan. Karena terlanjur hanyut dalam arus modernisasi dan mabuk kepayang dikejar perubahan zaman. Yang mau saya angkat sebagai bagian penyesalan saya meratapi kehilangan ini adalah “Pesona Perkampungan Tradisional”.

Dimanakah “kenere/kenerin” (Tenaran matan = Pintu Gerbang) yang semestinya berdiri anggun menyambut siapapun yang datang bertandang ke desa? Dimanakah “Saboratu” (patung manusia/lelaki) sebagai wujud penjaga gerbang? Padahal dia adalah wujud penjaga yang berperan ganda. Ia (Saboratu) adalah simbol yang bertampang heroik mempertahankan desa tua dari ancaman musuh-musuh yang jahil. Tetapi boleh juga bertampang ramah dan lemah lembut menerima siapa yang datang sebagai tamu, serta santun menghantar pergikan sang tamu yang kembali pulang atau merestui anak desanya yang turun ke medan tempur dan medan kerja. “Nobo Merik”, yang berwujud tancapan batu-batu pilihan sebagai tempat duduk para penatua desa, porak poranda bahkan ada yang ikut terbenam sebagai material perbaikan dan pembangunan jalan raya. Uh, saying! “Namang” (halaman) sebagai tempat digelarkan berbagai atraksi dan aneka ritus, kian sempit bahkan hilang diganti berjejalnya rumah-rumah penduduk yang tidak berpihak pada makna historis-estetis. Pancangan kayu berlapis ijuk yang disebut “menula” sebagai tempat memohonkan bantuan Lera Wulan Tana Ekan untuk menolak bala dan wabah (nuung mayang) kini tiada lagi. Kini berada nun jauh di balik rabun anak-anak bumi di zaman serba baru ini. “Bale” dan “Sebaun” sebagai tempat pertemuan adat berganti rupa dengan dibangunkan Bale Desa megah yang konon semakin menjauhkan warganya dari warna solidaritas (kesetiakawanan) sosial. Yang akhirnya memupus kemurnian nilai “hayu-baya” (perjanjian atau kesepakatan tidak tertulis) yang berarti memudahkan nilai dan hakekat demokrasi, yang menghantar anak dan warganya menjadi insan individualis serta menghapus nilai gotong royong. Kemanakah “ko-ke/kokebale” sebagai tempat para penatua desa dan para kepala suku memohon restu nenek moyang? Kemanakan kekuatan magis “eken” serta “nubanara” yang saat ini masih ada, namun penghayatan terhadap nilai mistisnya kabur, dihadang kilau gemerlap modernisasi? Padahal nubanara adalah “ike-kewaat” dan “kuat-kemuha” (kekuatan) lewotana serta segenap warganya.

Di pinggiran perkampungan tradisional semestinya kita temui “laka” dan “urut wai”. “Laka” adalah pondok serta lingkungannya sebagai tempat berlangsungnya pesta perburuan, yang mana di samping pondok berdirilah eken sebagai tempat digantungkan rahang-rahang hewan hasil buruan. Kini tidak ada lagi. “Urut wai” sebagai tempat berlangsungnya upacara ritual memohon turunnya hujan, kini hilang dari pelataran-pelataran perkampungan tua itu. Ini merupakan kekalahan kita, anak-anak Adonara. Kita dikalahkan oleh arus zaman ini sehingga kita mengupetikan keunikan ini ke liang bumi yang paling dalam. Maka semuanya raib dan punah. Di kemudian hari, angan anak cucu kita akan menganggap bahwa beragam keunik-indahan Adonara adalah milik negeri antah berantah di ujung dunia. Inilah mutiara yang hilang.
Adonara telah kehilangan banyak pernik dan pesona budaya yang asli. Termasuk di dalamnya berbagai legenda, cerita-cerita kesejarahan, dan cerita-cerita heroik di masa kolonial. Karena semua kekayaan itu tidak pernah terhimpun secara tertulis. Semuanya, hanyalah kisah-kisah tutur lisan dari generasi ke generasi. Generasi kedua menceritakannya kepada generasi ketiga dengan sedikit perubahan versi, atau melalaikan sebagian. Maka meranalah generasi keempat dan seterusnya yang menerima dan menceritakan kisah-kisah yang tidak sempurna.

Maka, “biarkanlah sebutir mutiara hilang, dari pada kehilangan seuntai mutiara”. Kehilangan berbagai rona budaya asli, perlahan-lahan membuat kita tidak memiliki apa-apa yang patut dibanggakan.
Satu saja harapan sederhana: Kiranya nama timangan “Tadon Adonara Lewo Liang Labaenga, Nara Nuha Nebon Tana Wadan Somi Ama” dan “Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” tetaplah semarak dalam penghayatan anak-anak negerinya. Caranya adalah menggali kembali tradisi-tradisi orisinil yang hilang tenggelam.

(dari berbagai sumber tutur lisan)

Tidak ada komentar:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELUSURI KEBERADAAN PT. ASA MUTIARA NUSANTARA (PT. AMN) DI PULAU KONGA, DESA KONGA, FLORES TIMUR

TENTANG KERAJAAN LARANTUKA

SEMANA SANTA (HARI BAE) KONGA